Share

3

BAGIAN 3

              Aku masih memacu motorku. Membawanya entah ke mana. Pikiranku seketika galau. Sedikit banyak aku merasa takut. Ya, takut bila apa yang sudah kulakukan tadi salah. Meskipun aku jadi tahu bahwa sikap Andika sangat-sangat tidak sopan plus menjijikan, tapi entah mengapa perasaan bersalah itu tiba-tiba saja muncul ke permukaan.

              “Ah, sudahlah, Si! Ngapain juga mikirin sampah kaya dia!” rutukku pada diri sendiri dengan suara pelan.

              Meskipun begitu, lagi-lagi perasaan bersalah itu tetap hadir. Wajah Papa yang teduh dan selalu berpesan agar aku menjaga Mama dan Iren, tiba-tiba saja masuk ke dalam pikiran.

              “Jaga Mama dan adikmu, Si. Papa cuma punya kamu sebagai pengganti punggung Papa.” Begitu ucapan Papa yang sudah terbaring lemah selama tiga tahun sebelum kepergiannya ke rahmatullah. Diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit jantung koroner telah merenggut kebugaran tubuhnya selama perlahan-lahan. Papa yang hanya bekerja sebagai tukang service barang elektronik di pasar, pada akhirnya harus menyerah dengan takdir dan berpulang tepat setahun lalu. Praktis, empat tahun belakangan ini akulah yang 100% menyokong kebutuhan keluarga. Mama memang hanya IRT tanpa punya keahlian lain untuk mencari nafkah. Sedangkan Iren, meskipun sebenarnya bisa saja dia membantuku dengan berjualan kecil-kecilan, lebih memilih untuk berpangku tangan ketimbang mengulurkan bantuannya.

              Namun, saat aku harus mengingat betapa sesungguhnya Mama dan Iren telah terlalu jauh memeras keringat serta membanting tulangku, perasaan bersalah itu tiba-tiba berganti jadi geram. Aku tak tahu, hasutan setan dari mana yang membuatku secara spontan merasa dimanfaatkan begini. Padahal, aku awalnya fine-fine saja saat Mama kerap meminta uang untuk seluruh keperluan rumah tangga plus biaya kuliah Iren. Mungkin sebenarnya perasaan ini sudah muncul dari dulu, tapi sekuat tenaga kutahan-tahan. Setelah terakumulasi cukup banyak, maka meledaklah semua perasaan kesal sekaligus jengkel yang mendesak rongga dada.

              Saat aku menepikan motor tepat di depan parkiran minimarket untuk singgah membeli air, kudengar dari dalam tas, suara ponselku memekik keras. Feelingku kuat mengatakan bahwa itu adalah telepon dari orang rumah. Entah Mama atau Iren, yang pasti salah satu dari keduanya.

              Tanpa ada rasa takut dan gentar, langsung kurogoh tas dan menatap layar dengan perasaan kesal. Ya, benar saja. Itu adalah telepon dari Mama. Cepat kulepas helm dan mengaitkannya ke spion, lalu kuangkat panggilan suara dari nomor Mama.

              “Halo,” kataku dengan tenang tanpa rasa bersalah sedikit pun.

              “Sisi, kamu apakan adikmu, Nak?” Suara Mama begitu lembut, tapi aku tahu ada intimidasi di balik semua.

              “Apakan?” tanyaku dengan penuh penekanan.

              “Iya, kamu apakan dia? Dia tiba-tiba keluar kamar sambil menangis histeris. Ngadu ke Mama kalau kamu sudah terlalu ikut campur dengan hubungan percintaannya. Sisi, apakah ini bentuk protesmu sebab Iren akan melangkahimu, Nak? Mama kan, sudah bilang, Sisi segera cari pasangan untuk calon suami. Bukan malah membuat adikmu batal menikah begini.” Memang, tak ada nada ketus atau sinis dari omongan Mama. Namun, kelembutan itu malah membuat hatiku teriris-iris tipis hingga rasanya perih sekali.

              Sejauh itu ternyata pikiran Mama. Tanpa dia mau bertanya dahulu, sebenarnya masalah apa yang tengah terjadi, beliau malah menuduhku yang bukan-bukan. Sebenarnya aku ini anak Mama juga atau bukan? Mengapa hanya Iren saja yang dia elu-elukan? Apa karena dia lebih kecil, Mama jadi hanya ingatnya punya anak bernama Iren saja?

              “Ucapan Mama keterlaluan!” Air mataku meluncur begitu saja melinangi pipi. Namun, sejatinya ini bukan air mata kesedihan, melainkan gambaran betapa aku kecewa terhadap Mama.

              “Andika jelas-jelas berduaan dengan wanita lain di kafe! Dia bahkan mengataiku anj**g di depan khalayak umum hanya karena aku melabraknya. Apa itu yang Mama sebut sebagai tindakan membatalkan pernikahan Iren?” Suaraku yang parau akibat tangisan kini menyeruak dari tenggorokan yang rasanya kerontang. Biar saja ada orang yang lalu lalang di depan minimarket ini. Aku sungguh tak mau peduli.

              Mama terdiam sesaat. Sejurus kemudian, terdengar suara isakan dan teriakan yang tiba-tiba muncul. Siapa lagi kalau bukan Iren.

              “Biarkan aku bicara, Ma!” Terdengar dari sebrang sana bahwa Iren telah merampas ponsel milik Mama. Anak itu selain manja dan tak tahu diri, juga sangat kasar perilakunya. Namun, semua perbuatan tak berakhlak tersebut, tak cukup juga menjadikan Mama berlaku tegas kepadanya.

              “Adel itu sepupu dua kali Andika! Mbak jangan sok tahu! Jangan sok menghakimi! Mereka memang akrab sejak kecil. Apa salahnya kalau mereka berduaan di kafe dan pegangan tangan?”

              Sekonyong-konyong aku mau muntah mendengarnya. Apakah adikku sudah mabuk racun serangga? Sadarkah dia dengan kalimat tol*l yang dia ucapkan barusan? Sepupu dua kali? Puih!

              “Iren, dengarkan omonganku! Sepupu dua kali itu sudah tidak ada hubungan darah sama sekali! Mereka halal menikah. Di mana otakmu, Ren? Apa kamu mewajarkan hal janggal demikian? Astaga, di mana kewarasanmu?”

              “Jaga bicaramu, Mbak Sisi! Tugasmu itu menafkahi aku dan Mama, bukan ikut campur terhadap kehidupan pribadiku terlalu jauh. Aku juga punya privasi. Tolong hargai itu!”

              Demi Tuhan, aku rasanya bagai disambar petir. Jika ucapan adalah pedang, mungkin nadiku sudah robek akibat tusukannya. Pedih betul perasaanku. Sapi perahkah diriku selama ini yang hanya bertugas menyumpal mulut Mama dan Iren dengan uang? Sampai membela dirinya pun dia bilang aku terlalu ikut campur.

              Kepalaku seketika berat. Tidak. Iren memang tak boleh dibiarkan terlalu jauh menginjak kepalaku. Nyata sudah di depan mataku, bahwa nyatanya adik kandung hanya menggerogotiku sampai membuat diri ini menderita. Aku bahkan sampai lupa bahwa aku ini sudah makin berumur dan harusnya menikah serta melanjutkan kehidupan pribadiku, tanpa harus pening-pening memikirkan orang yang tak tahu diuntung.

              “Privasi katamu, Ren?” tanyaku dengan bibir yang bergetar hebat.

              “Iya! Masalah Andika mau pergi dengan siapa pun, itu adalah haknya dia! Aku yang pacarnya saja tak pernah mau mengusik! Aku percaya sama dia, dia pun begitu. Eh, kamu sebagai kakakku malah ikut campur dan mempermalukan dia di depan umum. Bagaimana kalau ancamannya untuk membatalkan pernikahan kami benar-benar dia lakukan? Aku tak akan memaafkanmu sampai mati jika sampai itu terjadi!” Lengkingan suara Iren kini sempurna menghancurkan perasaan sekaligus harga diriku. Meskipun hanya lewat telepon, aku tahu bahwa kini hatiku benar tersobek-sobek.

              “Baiklah, Ren. Tidak perlu nanti kamu membenciku, silakan benci aku mulai detik ini juga! Kuputuskan hubungan adik kakak denganmu, jika itu memang keinginanmu. Silakan cari pekerjaan sendiri. Hidupi Mama dengan uang hasil keringatmu. Mulai hari ini, aku tak akan menginjakkan kaki di rumah Papa lagi, kecuali untuk mengambil barang-barangku.”

              Lancar lidahku berucap. Tak ada sesal dari setiap kata yang keluar dari mulut ini. Segera kuputuskan sambungan telepon, lalu kumatikan daya ponsel. Kuhapus jejak air mata yang membasahi pipi, kemudian bangkit dari sadel motor.

              Inilah aku Prisilia atau akrab disapa Sisi oleh semua orang terdekatku. Sisi yang selama ini hanya bisa mengatakan iya dan iya saat adik dan orangtuanya meminta apa pun itu. Susah gampang, tetap akan kupenuhi, meski sebenarnya kebutuhan pribadiku sendiri belum tunai. Sisi yang selama ini tampak menerima, kalem, pengertian, dan rela berkorban, sekarang sudah keluar dari zona nyamannya. Bukan, bukannya aku berubah menjadi monster sekarang. Aku hanya berusaha menghargai diri sendiri, sebelum orang lain menghargaiku. Sudah cukup kurasa pengorbanan selama ini, kalau akhirnya hanya dihargai dengan caci dan maki.

              Terima kasih, Iren dan Mama. Terima kasih juga Andika si lelaki sialan. Akhirnya, aku paham juga arti keluarga yang sesungguhnya. Keluarga ternyata bukanlah seorang yang selalu ada karena hubungan darah saja. Arti dari keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Saat kamu dihargai, dicintai tanpa syarat, dan dihormati tanpa meminta, itulah pertanda bahwa kamu dianggap keluarga. Namun, jika malah sebaliknya, meskipun ikatan darah mengalir deras di dalam nadi, sesungguhnya keluarga hanyalah menjadi sebuah kata yang tak memiliki makna apa pun di dalamnya.

Lanjut?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status