Share

4

BAGIAN 4

              Kulupakan sejenak permasalahan yang sesungguhnya telah mengguncang jiwa ini. Siapa yang tak hancur saat orang yang paling dicintai, ternyata tak sepanjang itu kasihnya kepada kita. Namun, aku terus mencoba untuk tegar.

              Melangkahlah kaki ini ke dalam minimarket yang sedari tadi menyaksikan betapa kecewanya hatiku. Gontai kedua tapak kaki menijak lantai, segontai perasaan yang tengah terluka. Aku terus berjalan ke arah paling ujung minimarket, mengambil sebuah air mineral botol dari dalam showcase pendingin. Lihatlah. Untuk minum saja, sengaja kupilih merek dengan harga paling murah. Sudah jadi kebiasaan, sebab aku berpikir bagaimana pun pengeluaran pribadi harus ditekan seminimal mungkin. Kalau tak begitu, mana mungkin gajiku sebagai supervisor warehouse material bangunan mencukupi seluruh kebutuhan rumah tangga yang selangit.

              Ya, gajiku memang lumayan sebenarnya. Take home pay yang kudapat per bulannya adalah tujuh juta rupiah. Akan tetapi, tentu saja semua uang-uang tersebut bukan untuk perut sendiri. Ada perut Mama dan Iren yang harus disumpali tiap harinya. Jangan harapkan handphone atau motor baru saat THR atau bonus tahunan. Semua sudah ada peruntukannya sendiri-sendiri dan tentu saja hanya sebagian kecil yang dapat kunikmati.

              Ah, sudahlah. Tak baik juga mengingat dan mengungkit sebuah pemberian di masa lampau. It’s okay. Sekali lagi, aku tidak apa-apa, meskipun air mata ini rasanya mau menetes.

              Sambil membawa sebotol air mineral, aku berjalan lagi ke arah kasir. Saat hendak membayar, betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa yang sedang melayani.

              “Sisi?” sapanya dengan agak kaget.

              “Lintang, ya?” Aku menunjuk pria yang berada tepat di depan meja kasir. Pria yang masih tampak muda dari usia sesungguhnya. Sebentar, dia yang awet muda atau aku yang punya muka serta tubuh boros?

              “Iya. Aku Lintang. Sudah lama tak berjumpa,” kata lelaki berkulit cerah dengan tubuh yang tak begitu tinggi tersebut. Sebab perawakannya yang tak terlalu besar, membuat pria ini jadi tampak segitu-segitu saja wajahnya.

              “Iya, sudah sangat lama. Kerja di sini, Tang?” Aku tersenyum ke arah pria yang mengenakan kemeja flanel hitam motif kotak-kotak tersebut. Aku terbilang jarang sekali mampir ke minimarket ini memang. Mungkin, hanya sekitar dua atau tiga kali saja. Seingatku, tak pernah kujumpai Lintang yang merupakan teman semasa SMA dulu.

              “I-iya, aku kerja di sini.” Lelaki itu menjawab agak ragu. Dia terlihat senyum tak enak. Mungkin dia malu dengan pekerjaannya saat ini. Padahal, bagiku tak ada yang salah. Apakah sebab dia dulu tergolong cowok populer dan banyak dielukan para cewek akibat wajahnya yang lumayan? Entahlah.

              “Oh, begitu.” Aku manggut-manggut. Tersenyum manis pertanda bahwa aku sangat menghormati profesinya. Semoga dia tak berkecil hati lagi.

              “Ini, Tang. Maaf cuma beli satu botol aja,” kataku sambil menyorongkan botol air mineral yang masih bersegel kepadanya.

              Dengan sigap Lintang melakukan scan barcode dan memberitahukan harga yang harus kubayar. Saat aku menyodorkan uang lima ribuan, dengan tegas lelaki itu menjawab, “Tidak usah, Si. Aku yang traktir.” Senyum Lintang terlihat tulus sekali. Kebetulan, di minimarket ini tampak tak ada pembeli lain. Karyawan yang tampak pun hanya Lintang seorang.

              “Terima kasih banyak, Tang. Aku jadi tak enak hati.” Aku pun dengan agak sungkan meraih air mineral yang sudah dimasukan ke plastik bening.

              “Eh, kamu sudah punya anak berapa?” Pertanyaan Lintang tiba-tiba saja mengusik telingaku. Memangnya aku segendut itukah sampai-sampai pertanyaan yang dia ajukan seperti itu?

              “A-aku … belum menikah.” Agak malu aku mengucapkan hal tersebut. Mungkin, wajahku yang kuning langsat ini sudah kemerahan saking malunya.

              “Oh, sama dong kita. Generasi jomlo masa kini.” Lintang tampak tersenyum lebar. Seolah dia begitu bangga dengan kondisinya saat ini.

              “Eh, begitu, ya?” Aku jadi ikut tersenyum. Jujur, aku bingung mau menanggapi apa. Sebab, nyatanya aku tak sebahagia Lintang karena harus menelan kenyataan bahwa di usiaku yang sudah ke-29 tahun ini, aku masih saja sendirian.

              “Boleh aku minta nomor ponselmu, Si? Untuk bersilaturahmi. Siapa tahu kamu punya info-info lowongan pekerjaan baru untukku.” Lintang yang memiliki hidung mancung dan bibir yang kemerahan tersebut dengan tanpa tedeng aling-aling langsung meminta nomor ponselku. Sebenarnya, aku agak merasa risih. Satu, kami tidak akrab waktu sekelas dulu. Dua, aku dan dia baru saja bertemu kembali setelah sekian puluh tahun kami tak berjumpa. Dan ketiga, apakah dia sungguh mencari lowongan pekerjaan atau hanya ingin berbasa basi saja dengangku? Ah, sudahlah. Lupakan. Berikan saja, siapa tahu memang ada manfaatnya perjumpaan ini.

              “Kosong delapan satu tiga,” kataku menyebutkan dua belas digit nomor teleponku kepadanya. Lelaki itu pun tampak serius mencatat deretan angka ke ponsel canggih miliknya. Dalam hati aku terkagum-kagum. Untuk ukuran seorang kasir minimarket, gawai yang dimiliki oleh Lintang begitu mahal sekaligus berkelas. Seharga dua kali gajiku. Kalau mau membeli itu, sudah barang tentu aku tidak makan setiap hari dan tidak memberikan Mama serta Iren uang bulanan.

              “Aku missed call, ya.”

“Ponselku mati, Tang. Kirimi pesan W******p saja.”

              “Baik. Jangan lupa save, ya.” Lintang tersenyum begitu manis. Lelaki yang sudah hampir kepala tiga tapi berwajah bak remaja itu tampak sangat semringah. Ya, aku tidak mau GR. Mana mungkin dia suka dan tertarik pada perempuan modelan gentong sepertiku. Lupakan saja.

              Sebab ada pembeli baru yang tiba-tiba masuk, aku pun langsung meminta diri untuk pulang. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada sosok kasir yang telah mentraktirku sebotol air mineral tersebut.

              “Hati-hati di jalan, Si. Lain kali mampir lagi.” Lintang sampai melambaikan tangan segala saat aku hendak mendorong pintu kaca minimarket. Hanya sebuah anggukan dan senyum tipis yang kuulaskan kepadanya.

              Berjumpa dengan kawan lama yang tiba-tiba mengakrabkan diri, sampai ditraktir sebotol air mineral segala, cukup membuat perasaan hatiku membaik. Ya, saking jarangnya aku mendapatkan perhatian dari orang lain. Hal-hal kecil pun jadi sangat berarti bagi kehidupan ini. Andai saja, ya andai saja orang-orang terdekatku mau memahami apa yang aku butuhkan sekarang. Sudah pasti aku bakal bahagia dan baik-baik saja meskipun harus kutelan pil pahit sebab belum kunjung menikah di usia segini.

              Pikiran kalutku mulai tenang. Kuputuskan untuk kembali ke rumah orangtuaku. Entah apa yang akan kulakukan lagi di sana. Tergantung perlakuan Mama dan adikku, tentunya. Bila mereka benar menginginkan aku untuk keluar, aku tak bakal masalah. Hari ini pun akan kukemasi semua barang-barangku. Namun, bila mereka masih ingin berbaikan denganku, ketahuilah sesungguhnya hati ini seluas samudra untuk memberikan maaf. Bagaimana pun, di dunia ini hanya mereka berdua saja yang kupunya.

              Sekitar dua puluh menit kupacu motor dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di depan halaman rumah sederhana peninggalan almarhum Papa yang letaknya berada di komplek perumahan bersubsidi, jantungku langsung berdegup cukup kencang. Namun, aku lagi-lagi harus membuktikan pada dunia bahwa diriku kuat. Tak bisa harga diriku diinjak terus menerus oleh ibu serta adik kandungku sendiri, meskipun rasa cinta kepada mereka nyatanya begitu sangat besar.

              Pintu rumah yang tertutup tanpa dikunci langsung kubuka perlahan. Tak ada siapa-siapa di ruang tamu kecil ini. Namun, saat aku masuk terus dan mencapai ruang tengah, bangkitlah Mama dan anak bungsunya dari kursi rotan panjang yang mereka duduki.

              Plak! Sebuah tamparan telak mendarat di pipi. Untuk pertama kalinya, Mama berbuat kasar kepadaku. Aku termangu. Bukan sebab rasa sakit. Namun, heran yang luar biasa. Takjub. Semarah apa Mama sehingga tega memukuliku.

              “Kamu sangat jahat kepada adikmu sendiri, Sisi! Mama sangat kecewa kepadamu!” Mama menuding wajahku sambil meneteskan air mata. Suaranya melengking sekaligus parau. Beliau pun akhirnya terisak-isak dalam dekapan Iren yang giliran memandangku sangat sinis.

              “Aku tidak percaya kalau ternyata kamu diam-diam iri kepadaku, Mbak!” Iren tak kalah sadisnya dalam menuduhku. Ternyata, ucapan kasarnya di telepon belum puas dia lontarkan.

              Plak! Sebuah tamparan kini kulayangkan kepada pipi kanan Iren. Belum puas, kutampar lagi pipi kirinya sampai gadis itu berteriak sangat kencang. Aku tak mau banyak bicara. Bila dia ingin baku hantam, mungkin kali ini aku akan meladeninya.

              “Apa yang kamu inginkan, Mbak!” Iren berteriak sambil melepaskan tubuh Mama dari pelukannya. Gadis itu meringsek maju dan hendak menyambar kepalaku. Namun, kedua tangannya keburu kusergap dan kuremas kuat.

              “Katakan, Ren. Siapa yang sudah membayar biaya kuliahmu selama tiga tahun. KATAKAN!” Aku menyemburkan kemarahanku dengan pekik yang sangat kencang tepat mengarah ke wajahnya.

              Iren menggeram. Cucuran air mata tiba-tiba saja menggenangi wajah mulusnya. Meskipun menangis, dia tampak masih sangat jengkel dan hendak memukuliku. Tidak semudah itu! Aku masih punya tenaga lebih besar ketimbang tubuh cungkringnya.

              “Hentikan, Sisi! Hentikan! Lepaskan adikmu!” Mama menarik-narik tanganku agar mau melepaskan remasan tersebut dari tangan Iren yang kelihatan mulai memerah. Namun, inilah ternyata kali pertama keras kepalaku meledak. Tak kuhiraukan ucapan Mama. Malah sebaliknya, aku memberanikan diri untuk menegur Mama yang kunilai selama ini telah berat sebelah.

              “Biarkan aku mendidik anak kesayanganmu ini, Ma! Atau, katakan saja sekarang. Aku ini sebenarnya anakmu juga atau bukan? Mengapa hanya Iren saja yang kamu prioritaskan sejak dulu? MENGAPA?”

              Teriakanku yang membabi buta telah membuat Mama melepaskan tangan kami. Wanita berambut pendek itu yang wajahnya basah akibat tangis itu langsung berlari untuk masuk ke kamar yang berada di sisi barat ruang tengah. Kuat sekali dia menutup pintu, sampai-sampai pondasi rumah ini bergetar lumayan.

              “Anak durhaka kamu, Mbak! Kamu pikir, uangmu itu sudah mampu membalas jasa-jasa Mama selama ini? Tidak! Sampai mati pun kamu tak akan bahagia! Sampai mati pun kamu tak bakal menikah!”

              Aku tersentak. Luar biasa sakit hatiku dengan ucapan Iren. Sebegitunyakah? Durhakakah diriku saat aku membela diri dan menyuarakan kebenaran di rumah ini? Hidup ternyata tak seadil itu.

(Bersambung)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status