BAGIAN 40
Menuju Ending
Akhirnya, tuntas sudah urusan dengan Pak Candra. Sekalian hari itu juga aku berpamitan dengannya sebab besok sudah mulai akan resign. Kuucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau dan meminta maaf sebab telah banyak membuatnya kerepotan.
“Tidak masalah. Anggap saja aku sedang mengumpulkan pahala.” Begitu jawabannya tatkala menerima kata maaf dariku.
Lintang pun ikut mengucapkan terima kasih. Tak kusangka, pacarku ternyata sudah berdamai dengan keadaan dalam waktu yang relatif singkat. Dia pun sepertinya sudah tidak marah lagi kepada Pak Candra.
“Selamat untuk kalian berdua, ya. Ka
BAGIAN 41ENDING “Mah, kapan ya, Alana bisa punya adek? Semua teman-teman sudah punya adek, tapi Alana sendiri yang belum. Kan, Alana jadinya minder.” Celotehan gadis manis yang sudah setahun ini resmi menjadi anak sambungku, kontan membuat aku dan Lintang, suamiku, saling pandang. Ada perasaan bersalah sekaligus sedih. Iya, kami sudah menikah tepat setahun. Baru saja kemarin merayakan hari jadi. Sudah usaha dan promil mulai dari dokter maupun tradisional. Namun, apa mau dikata, Allah belum berkehendak. “Al, doain Mamah, ya? Mamah sama Papah udah usaha, kok. Namun, Allah belum kasih dedeknya bobo di rahim Mamah,” ujarku menghibur hatinya sambil mengelus rambut panjang gadis berkulit putih tersebut. Pagi ini, kami berkumpul untuk sarapan bersama di ruang makan. Ada Mami juga. Mami leb
BAGIAN 1 “Makanya, jadi cewek itu jangan kerja aja tahunya! Gaul dong, Mbak! Masa umur udah mau 29 tahun masih jomblo juga?” Iren mendelik sembari mendecih ke arahku. Wajah cantik nan ayu miliknya terasa begitu menyebalkan di mataku. Bagaimana tidak, orok sok gede itu terang-terangan menjatuhkan harga diriku. Tak sadarkah dia, bahwa selama ini aku banting tulang untuk siapa? “Kalo aku gaul, kelar hidupmu!” Aku menggesekkan leher dengan sisiran lima jari kanan yang kurapatkan. Meskipun sakit hati, kubuat muka yang sok galak dan memilih untuk melipir dari Iren yang masih sibuk dengan nasi goreng di piringnya. Betapa durhakanya anak 21 tahun yang baru saja lulus diploma tiga kebidanan tersebut. Sudah pengangguran, sarapan pagi juga masih disiapkan oleh Mama. Eh, malah ngeledek ak
BAGIAN 2“Kamu sudah nggak apa-apa, kan, Si? Mama tinggal ke dapur dulu, ya. Tolong pesanan adikmu jangan sampai lupa.” Mama mengusap puncak kepalaku dua kali dengan gerakan lembut. Aku yang sempat terpaku sebab kata-kata menyakitkan dari Iren hanya bisa menganggukan kepala.Mama pun beringsut dari duduknya. Keluar dari kamarku dan menutup kembali daun pintu. Meninggalkan diriku sendirian yang masih terhenyak.Aku jadi tak habis pikir. Merasa kecewa secara tiba-tiba dengan sikap Iren dan Mama. Selama ini kukira Iren hanya bersikap manja sekaligus caper kepada sang kakak. Namun, setelah kucermati lebih lanjut, ini sudah lebih dari sekadar manja. Ini kurang ajar! Anak itu tak seperti yang kubayangkan. Diam-diam dia sekarang telah tumbuh menjadi gadis yang tak berakhlak sekaligus menyebalkan.Perasaanku begitu berkecamuk. Campur aduk. Antara ingin mengasihi atau mendidik Iren yang menurutku tak lagi bisa dikatakan anak-anak. Dia jelas sudah dewas
BAGIAN 3 Aku masih memacu motorku. Membawanya entah ke mana. Pikiranku seketika galau. Sedikit banyak aku merasa takut. Ya, takut bila apa yang sudah kulakukan tadi salah. Meskipun aku jadi tahu bahwa sikap Andika sangat-sangat tidak sopan plus menjijikan, tapi entah mengapa perasaan bersalah itu tiba-tiba saja muncul ke permukaan. “Ah, sudahlah, Si! Ngapain juga mikirin sampah kaya dia!” rutukku pada diri sendiri dengan suara pelan. Meskipun begitu, lagi-lagi perasaan bersalah itu tetap hadir. Wajah Papa yang teduh dan selalu berpesan agar aku menjaga Mama dan Iren, tiba-tiba saja masuk ke dalam pikiran. “Jaga Mama dan adikmu,
BAGIAN 4 Kulupakan sejenak permasalahan yang sesungguhnya telah mengguncang jiwa ini. Siapa yang tak hancur saat orang yang paling dicintai, ternyata tak sepanjang itu kasihnya kepada kita. Namun, aku terus mencoba untuk tegar. Melangkahlah kaki ini ke dalam minimarket yang sedari tadi menyaksikan betapa kecewanya hatiku. Gontai kedua tapak kaki menijak lantai, segontai perasaan yang tengah terluka. Aku terus berjalan ke arah paling ujung minimarket, mengambil sebuah air mineral botol dari dalam showcase pendingin. Lihatlah. Untuk minum saja, sengaja kupilih merek dengan harga paling murah. Sudah jadi kebiasaan, sebab aku berpikir bagaimana pun pengeluaran pribadi harus ditekan seminimal mungkin. Kalau tak begitu, mana mungkin gajiku sebagai supervisor warehouse material bangunan mencukupi seluruh kebutuhan rumah
BAGIAN 5 “Aku durhaka? Aku?” Aku makin meringsek maju. Kedua tinjuku bahkan terkepal sempurna. Terus aku maju sampai-sampai tubuh adikku ikut termudur dan bersandar mentok ke dinding. Wajahnya tentu saja terlihat sangat ketakutan. “Kamu yang durhaka! Kamu manusia tidak tahu diri! Hidup pengeretan! Makan masih minta. Uang kuliah dari hasil keringatku saja, kelakuanmu sudah sok-sokan seperti aku yang mengemis hidup!” Kucengkeram dengan keras bahu Iren. Membuat tubuhnya luar biasa gemetar. Seketika, timbul sebuah ide gilaku. Beginilah seekor macan. Jangan coba-coba ganggu dia saat tengah tertidur pulas, jika masih menginginkan nyawa. Namun, jika memang ingin mengadu nyali, akan kulayani juga.&nb
BAGIAN 6 Aku benar-benar kabur dari rumah dengan membawa sebuah tas berisikan barang-barang milikku. Dengan berbekal uang gaji yang tinggal dua ratus ribu di ATM dan uang tunai senilai lima puluh ribu di dompet, kuangkat kaki dari rumah yang selama 15 tahun belakangan ini kami diami bersama. Hatiku perih. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam episode kehidupan, bakal terjadi tragedi berdarah sebesar ini antara aku dan keluarga intiku. Menyesalkah aku meninggalkan Mama dan Iren? Tidak. Namun, tentu saja ada gejolak-gejolak yang mengombak di dalam dada. Ketahuilah, tak ada satu pun anak perempuan yang ingin membenci ibu dan adiknya sendiri, kalau bukan karena sebab yang sangat luar biasa. Motor kupacu dengan kecepatan sedang. Tak sulit bagiku untuk mengendara sembari membawa tas travel yang kuletakkan pada pij
Bagian 7 Saat Pak Candra sudah menghilang dari balik pintu utama rumah miliknya yang memiliki dua daun besar bercat putih, akhirnya aku bisa juga menguatkan diri untuk bangkit dari duduk. Langkahku agak tertatih menyusul beliau sebab rasa syok yang tiba-tiba mendera. Bagaimana tak syok, seorang staf sepertiku bakal tinggal serumah dengan GM perusahaan! Gila, mana mungkin aku bisa betah di rumah sebesar ini. Apalagi sikap Bu Vika yang tadi begitu ketus kepadaku. Oh, no! Namun, sungguh terlambat. Satpam bernama Baim telah masuk sambil menenteng tas hitam milikku dan disusul oleh sang majikan. “Antar ke kamar belakang yang di samping kamar Selma, Im,” perintah Pak Candra yang makin membuatku melongo dan kini hanya bisa m