"Seperti yang sudah Ibu bilang tadi, itu uang pembagian hasil toko. Ibu sudah tua Zalia, Ibu juga tidak mungkin mengelola toko itu lagi. Itu sebabnya dulu Ibu memintamu untuk pulang. Ibu berencana membagi toko itu pada kalian berdua. Namun, kamu tak datang dan juga susah dihubungi, jadi ibu memutuskan untuk Zahra mengelola toko itu untuk sementara waktu. Sedangkan hasil dari pendapatan toko itu di bagi tiga." Ibu menjeda ucapannya sesaat sambil menarik napas lelah. Aku mendengarkan baik-baik penjelasan Ibu."10% dari hasil pendapatan bersih toko setiap bulan diwakafkan untuk para anak yatim dan duafa . Sedangkan sisanya di bagi tiga secara adil dan rata. Masing-masing dari kita mendapatkan jatah 30%. Sedangkan Mbakmu Zahra, karena ia ikut mengelola, maka ia juga mendapatkan tambahan upah layaknya karyawan toko. Ibu sudah tua Zalia, untuk apa lagi Ibu menimbun harta. Itu sebabnya Ibu membagikan hasil toko itu. Ibu juga tidak mungkin menjualnya pada orang lain. Kamu tahu sendiri kan, N
Sudah dua hari waktu berlalu, tapi Mbak Zahra belum juga mentransfer uang yang ia janjikan padaku dan Ibu. Semenjak ketahuan mengambil hakku, ia juga tidak datang lagi ke rumah Ibu. Sedangkan nomor ponselnya sangat susah untuk dihubungi.Aku bisa saja mengadukannya pada Ibu dan membuat Ibu marah padanya. Aku tahu Mbak Zahra sangat takut jika Ibu mengambil alih kembali toko yang sedang ia kelola. Tapi aku segan merepotkan Ibuku itu. Lagi pula, akan terasa tidak seru jika masalah ini langsung selesai karena campur tangan Ibu.Siang ini aku memutuskan pergi ke toko pecah belah Ibu menggunakan motor matik yang dulu aku pakai saat zaman sebelum nikah. Ibu dan Bapak tidak menjualnya, mereka bilang sayang jika di jual. Banyak kenangan masa gadisku di motor itu. Sebab motor itu adalah motor yang di belikan Bapak tepat di hari ulang tahunku yang ke dua puluh.Sesampainya di teras toko. Aku memarkirkan motor maticku, suasana toko benar-benar ramai Sinaga ini. Karena toko Ibu juga merupakan gros
"Mbak jangan menghindar atau pura-pura gak tahu, Mbak. Gak baik memakan hak saudara sendiri, Mbak," ujarku pelan. Ada beberapa orang pembeli yang berada di dekat kami, jadi tak mungkin aku berbicara kencang-kencang. Aku masih menjaga wibawa kakakku perempuanku di depan pelanggan dan karyawannya."Maksud kamu, aku serakah gitu? Heh ... Zalia, tahu apa kamu. Masih untung setiap bulan aku kirimkan uang itu padamu. Padahal kamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di sana," jawabnya. Sungguh menusuk hati. Aku mengepalkan kedua tanganku di atas paha. Aku geram mendengar ucapannya, bekerja dari pagi sampai malam berkutat dengan cucian kotor. Apa itu yang di sebut ongkang-ongkang kaki?"Jika Mbak gak tahu kebenaran tentang hidupku, gak usah asal ngomong, Mbak!" "Kenapa? Mbak tahu kamu sengsara nikah sama Yudha kan? Makanya jadi wanita jangan bodoh Zalia. Lagi pula, siapa suruh kamu ngebet banget pengen nikah sama Yudha! Sekarang rasain!" ejek Mbak Zahra. Degh. Dadaku kembali terasa begitu sesa
"Oh ya ... Mbak Zahra, ini siapa?" tanya Bu Ratna sambil menyerahkan sembilan lembar uang kertas berwarna merah. Ia melirik ke arahku yang masih setia duduk di depan Mbak Zahra. Mbak Zahra menerima uang itu, menghitungnya secara teliti, membuka kunci laci mejanya, dan memasukkan uang itu kedalam laci. lalu menyerahkan kembalian pada Bu Ratna sebelum mengunci laci meja itu kembali."Oh ... ini adik saya, Bu. Biasa minta bantuan minjam duit sama saya. Ya ... sebagai saudara tentu saya akan menolongnya. Walaupun uang yang di pinjam gak akan pernah kembali," ujar Mbak Zahra berbohong. Mataku terbelalak, menatap tak suka ke arah Mbak Zahra."Benar-benar baik kamu ya, Mbak. Pantas rezekinya selalu lancar," puji Bu Ratna. Tapi membuat hatiku muak dan geram. Siapa yang mau pinjam uang padanya? Aku justru ingin mengambil hakku yang di makan olehnya!Baru saja mulut ini akan terbuka untuk menjelaskan, Mbak Zahra lebih dulu memotongnya. "Oh ... Ya, Jenk Ratna. Apa masih ada lagi yang mau di bel
Sesampainya di rumah, aku masuk lewat pintu belakang menuju kamar mandi. Membasuh wajah yang sembab ini agar tidak terlalu kentara jika aku habis nangis. "Ya Allah zalia! Ibu sampai kaget. Ibu pikir tadi siapa yang ada di kamar mandi. Soalnya Ibu tidak lihat kamu masuk rumah tadi," ujar Ibu saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Bukan hanya Ibu saja yang kaget tapi aku juga."Iya Bu, tadi Zalia kebelet mau ke kamar kecil. Makanya sampai langsung masuk kamar mandi," jawabku. "Alia mana, Bu?" lanjutku. Aku mencium bau minyak telon dari tubuh Ibu, itu artinya Ibu baru saja habis memandikan Alia."Ada di kamar, sedang tidur," Jam baru menunjukkan pukul dua siang, semenjak tinggal di rumah Ibu. Kehidupan putriku jadi lebih teratur, Ibu sudah terbiasa memandikan kami dulu sebelum di suruh tidur siang. Katanya biar tidurnya lebih nyaman saat badan bersih dan wangi. Hal itu juga yang ia lakukan pada Alia saat ini."Terima kasih, Bu. Sudah mengurus dan merawat Alia. Maaf jika selama i
"Tidak usah repot-repot, Bu. Biar Zalia cari kerja saja dulu, Bu. Aku sadar ini semua salahku, Bu. Maafkan aku yang selama ini membantah dan mengabaikan nasehat Ibu." tolakku halus.Ibu kembali menghela napas. Tak terhitung sudah berapa kali Ibu menarik napas panjang hari ini."Kamu jangan sungkan Zalia, Ibu tahu kamu membutuhkannya, lagi pula Ibu hanya meminjamkannya padamu. Bukan memberikannya. Kamu bisa mengembalikannya pada Ibu secara beransur-ansur. Hanya ini yang dapat Ibu lakukan padamu. Ibu tidak bisa memaksa Zahra mengembalikan uang itu, apa lagi mengambil alih toko itu kembali. Karena walau bagaimanapun, Zahra adalah anak tertua Ibu, ia juga yang menjaga dan merawat Ibu saat Ibu sakit dulu. Jadi ikhlas kan saja semuanya, yang penting bagianmu setiap bulan untuk kedepannya aman di tangan Ibu. Pakai lah tabungan Ibu untuk modal usahamu!" "Terima kasih, Bu." balasku. Ibu tersenyum.Jika Ibu sudah memaksa, maka tak ada yang dapat aku katakan lagi selain ucapan terima kasih. Bah
Mbak Zahra tersenyum mengejek. "Kamu memang wanita berwajah tebal, makanya tak tahu malu kalau orang-orang tahu jika kamu itu anak durhaka. Saat orang tua sakit jangankan merawat datang saja tidak, sekarang malah minta modal untuk buka toko! Sudah berapa banyak uang Ibu yang kamu habiskan untuk modal tokomu ini, hah!" bentak Mbak Zahra. "Jangan berkata sembarangan Mbak! Jika ucapan itu tidak benar, maka akan jadi fitnah!" sentakku. Aku tentu tak mau diam saja."Fitnah apa? Memang itu kenyataannya kan, kamu membuka toko ini dengan tabungan Ibuku!" sungut Mbak Zahra kembali. Sepertinya ia sengaja meninggikan intonasi suaranya agar orang-orang bisa mendengarnya. Aku mengerti sekarang, apa tujuan ia ke sini. Ia hanya ingin mempermalukan aku."Benar atau tidak benar, kamu tidak patut mengungkitnya di depan orang banyak seperti ini, Mbak! Walau bagaimanapun kita adalah saudara. Selesaikan semua ini secara baik-baik tanpa di dengar orang lain." tegurku. Tapi tampaknya Mbak Zahra tidak terim
FlashbackHujan rintik-rintik jatuh membasahi bumi, aku turun dari taksi lalu berjalan tergepoh-gepoh menyusuri gang kecil yang terdapat banyak bedengan, dengan cepat aku berjalan ke pintu bedengan nomor empat dari gerbang.Di sekitar sini banyak kontrakan serta kost-kosan. Baik kost putri ataupun putra. Karena letaknya memang strategi, tidak jauh dari universitas juga tidak terlalu dekat.Tampilanku saat ini mungkin sudah seperti orang gila. Aku yang sedang tidur nyenyak harus terbangun dan terburu-buru ke sini, saat mendapatkan kabar dari Mbak Zahra beberapa jam yang lalu. Siapa yang tidak panik, saat Mbak ku menelepon dengan suara meringis menahan sakit, tapi saat di tanya dia kenapa? Ia justru tidak menjawab. Hanya mengatakan 'datang ke sini cepat, aku butuh bantuanmu! Jangan sampai Ayah dan Ibu tahu!'Untung saja, tadi pagi Ibu pergi ke Bandung, menjaga eyang putri yang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan Ayah, selama sebulan ini telah pergi tugas di luar kot