“Pernikahan ini bukan karena cinta… tapi karena keadaan.” Arga Mahendra dikenal sebagai dosen sastra paling ditakuti di kampus. Sikapnya dingin, aturannya kaku, dan tidak ada toleransi untuk kesalahan sekecil apa pun. Tak heran, para mahasiswa menjulukinya “dosen killer.” Naya Lestari, mahasiswi tingkat akhir yang keras kepala namun cerdas, mendadak harus menghadapi Arga sebagai dosen pembimbing skripsinya. Bagi Naya, ini adalah ujian terberat dalam hidupnya. Namun semuanya berubah drastis saat satu insiden tak terduga membuat mereka terpaksa menikah—bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan reputasi dan masa depan mereka berdua. Pernikahan mereka adalah kontrak. Tak ada perasaan, tak ada kehangatan—hanya kesepakatan dan jarak yang dijaga rapat. Tapi hidup bersama di bawah satu atap perlahan mengungkap sisi lain dari Arga yang tak pernah diketahui siapa pun, dan membawa Naya pada dilema antara rasa takut dan harapan. Ketika drama kampus, tekanan keluarga, dan masa lalu yang belum selesai mulai menghantui, keduanya harus menjawab pertanyaan yang tak bisa dihindari: Apakah pernikahan kilat ini akan berakhir sebagai kesalahan besar… atau justru menjadi awal dari kisah cinta yang sesungguhnya?
View More"Maaf!"
Naya terus berlari menaiki tangga setelah menabrak seseorang. Jam ditangannya menunjukkan angka delapan lebih dua. Artinya dua menit sudah lewat dari waktu janjian dengan dosen paling disiplin di kampus ini. Suasana lorong Fakultas Sastra siang itu terasa lebih tegang dari biasanya. Langkah kaki mahasiswa berlalu lalang dengan cepat, sebagian wajah tampak cemas, sebagian lagi berusaha tak terlihat. Di depan sebuah ruang dosen yang pintunya tertutup rapat, Naya berdiri mematung sambil memeluk map skripsinya erat-erat. Telapak tangannya dingin meski matahari menyengat dari luar jendela. Nafasnya memburu karena dia memilih menaiki tangga dibanding lift karena tak mau menunggu antrian. "Ayo, Na, kamu bisa," bisiknya pada diri sendiri. Tapi jantungnya berdetak lebih keras saat melihat pintu itu terbuka sedikit. Ia menarik nafas panjang berulang kali berharap detakan itu kembali normal. Dari dalam, terdengar suara bariton yang tak asing: dingin, tegas, nyaris tanpa intonasi emosi. “Silakan masuk! Kalau hanya ingin berdiri di depan pintu lebih baik pergi!” Naya tersentak. Suara itu—tanpa perlu melihat pun ia tahu siapa pemiliknya. Dosen Arga. Si “dosen killer” yang sudah jadi momok semua mahasiswa tingkat akhir. Tegas, disiplin, dan tak punya toleransi terhadap kesalahan kecil sekalipun. Bukan hanya menyeramkan, tapi juga hampir mustahil ditembus untuk urusan skripsi. Dengan menarik napas panjang, Naya melangkah masuk. Mendadak keringat dingin membanjiri tubuhnya. Namun sebisa mungkin ia menetralkan kegugupannya dengan berdo'a dalam hati sembari melangkah pelan tapi pasti. Ruangan itu bersih, rapi, dan dingin. Bukan hanya karena pendingin udara, tapi juga karena atmosfer yang ditimbulkan pemiliknya. Arga duduk di balik meja kayu besar, kemeja putihnya licin tanpa lipatan, dasi abu-abu terikat rapi. Tatapannya mengunci pada Naya dengan ekspresi datar, nyaris tidak manusiawi. “Selamat siang, Pak,” sapa Naya dengan suara pelan. “Siang,” jawab Arga singkat. Ia mengulurkan tangan tanpa menatapnya. “Skripsi revisi minggu lalu.” Naya cepat-cepat menyerahkan map biru itu. Tangannya sedikit gemetar. Arga membukanya, membalik halaman demi halaman, sesekali mengernyit. Sunyi, kecuali suara kertas yang dibalik. “Kau masih belum mengerti struktur argumentasi dalam bab tiga. Analisisnya dangkal, referensi tidak memadai, dan kutipan ini—” Arga mengetukkan jarinya ke satu paragraf, “—salah kutip.” Naya menahan napas. Sudah lima kali ia merevisi bagian itu. Lima kali! Dan setiap kali, hasilnya tetap ditolak. “Tapi saya sudah ikuti arahan Bapak yang sebelumnya,” sahut Naya, berusaha tetap sopan walau nadanya nyaris putus asa. Arga menutup map itu dengan satu gerakan tegas. “Mengikuti arahan tidak berarti memahami. Kau mengerjakan ini seperti tugas kelas, bukan penelitian ilmiah.” Naya mengepalkan tangan di balik meja. Harga dirinya mulai bergolak. Ia tahu Arga keras, tapi ini … seperti tak ada ruang untuk berkembang. “Pak, saya butuh kelulusan semester ini. Kalau tidak, saya—” “Itu bukan urusan saya.” Arga menyela dengan cepat tapi datar. “Tugas saya memastikan mahasiswa saya layak lulus. Kalau kamu belum layak, kamu tidak akan saya luluskan.” Kalimat itu menamparnya. Keras dan tanpa belas kasih. Sungguh, setiap kali Naya menghadap Arga, ia seperti tengah menunggu vonis hakim di pengadilan. Sangat menegangkan. “Jadi saya ini tidak layak?” Naya membalas, suaranya mulai naik. “Padahal saya sudah bekerja keras, bolak-balik revisi, memperbaiki semua catatan Bapak. Tapi Bapak tetap—” “Saya menilai berdasarkan kualitas, bukan kuantitas usaha,” potong Arga lagi. Tatapannya menajam. “Dan kalau kamu menganggap ini tidak adil, silakan ajukan penggantian dosen pembimbing.” Naya terdiam. Ia tahu tawaran itu semu. Tidak ada dosen lain yang mau mengambil skripsi menjelang akhir semester. Lagi pula, mengganti pembimbing berarti memulai dari awal. Mustahil. Seperti menunggu hujan turun di musim kemarau. “Tidak, Pak. Saya tidak akan ganti dosen. Saya akan perbaiki lagi.” Naya berusaha mempertahankan suaranya agar tidak bergetar. Arga mengangguk tipis. “Saya tunggu revisinya minggu depan. Jangan bawa skripsi setengah matang lagi.” Tanpa menatap wajah mahasiswanya itu, Arga mengibaskan tangan seperti mengusirnya pergi. Naya berdiri, membungkuk sedikit, lalu berbalik dan melangkah keluar. Tapi sebelum pintu tertutup, suara Arga terdengar lagi. “Dan satu lagi, Naya," ucapnya menggantung. Ia menoleh. Menunggu kelanjutan kalimat Arga dengan dada berdebar-debar. Ia tahu akan ada kejutan lebih besar lagi dari sekadar kalimat-kalimat pedas barusan. “Kalau kamu ingin dianggap serius sebagai peneliti, berhentilah berharap belas kasihan.” Benar 'kan? Selalu ada kejutan dari setiap kata yang terucap dosen killer itu. Brak. Pintu tertutup di belakangnya, dan Naya berdiri kaku di luar, matanya panas. Dadanya naik turun menahan gemuruh yang sejak tadi ia tahan mati-matian. “Dosen gila,” gumamnya sambil berjalan cepat ke tangga, air mata tertahan di pelupuk. Tapi belum sempat ia turun dua anak tangga, seseorang menabraknya dari belakang. “Naya! Eh, sorry!” Itu Tiara, sahabatnya. “Lo barusan dari ruangan Pak Arga, ya? Gimana?” Naya menarik napas dalam. “Sama aja. Revisi lagi. Katanya dangkal, salah kutip, bla bla bla...” Tiara mengerutkan dahi. “Duh, gila juga ya. Emang nggak bisa diajak ngobrol baik-baik? Masa semua harus perfect banget sih?” “Buat dia, semuanya hitam putih. Gak ada toleransi,” sahut Naya getir. “Kayak robot.” Tiara menepuk bahunya. “Sabar, Na. Lo pasti bisa. Mungkin lo cuma perlu ... pendekatan lain?” “Deketin dosen killer? Lo pikir ini sinetron?” Naya mendengus. Membayangkannya saja membuat bulu kuduknya berdiri. Tapi dalam hati, ia tahu satu hal: jika Arga tetap seperti ini, skripsinya akan kandas. Dan jika itu terjadi ... masa depannya juga ikut hancur. Sedangkan orang tuanya sudah memberi ultimatum jika tidak bisa ikut wisuda tahun ini maka dia harus rela semua kiriman akan dihentikan. Naya menghela nafas panjang seolah dengan begitu semua beban ikut terangkat. Namun yang belum ia tahu, takdir sedang menyiapkan jalan yang jauh lebih rumit dari labirin dan lebih aneh dari sinetron mana pun.Hari itu langit mendung, seolah ikut murung menyaksikan dua insan yang berdiri di depan penghulu, mengenakan pakaian formal dan ekspresi yang nyaris tak terbaca.Naya mengenakan kebaya krem sederhana yang disewa kilat dari butik kenalan Tiara. Sementara Arga mengenakan setelan hitam yang terlalu resmi untuk acara sekecil ini, tapi terlalu dingin untuk disebut sakral. Tidak ada bunga. Tidak ada senyum bahagia. Hanya tatapan mata yang sama-sama memendam ketegangan.Naya larut dalam pikirannya sendiri hingga tak mendengar kalimat ijab Qabul yang diucapkan penghulu dan Arga."Sah!"Satu kata sakral itu membangunkan Kiara yang tengah larut dengan pikirannya. Tidak ada perasaan haru dan bahagia layaknya pengantin pada umumnya. Semua terasa ... hambar.“Dengan ini, sah... kalian resmi menjadi suami istri.”Penghulu mengakhiri prosesi dengan suara yang terdengar seperti palu pengadilan—dan detik itu juga, hidup Naya berubah sepenuhnya.Sah. Istri dari dosen killer.---Dua hari kemudian, mere
Dua hari setelah percakapan mengejutkan di ruang dekanat, Naya masih seperti berjalan dalam kabut. Kata menikah masih terasa asing di kepalanya. Ia belum cerita ke siapa pun kecuali Tiara—dan bahkan Tiara pun masih setengah percaya, setengah panik.“Lo yakin ini bukan prank hidup? Atau ini semua bagian dari skripsi eksperimen sosial lo?” tanya Tiara saat mereka duduk di bangku taman sore itu, dengan dua cup bubble tea yang tak tersentuh.“Gue gak yakin gue masih hidup,” jawab Naya pelan.Ia memainkan ujung sepatunya hingga membentuk goresan abstrak di tanah. Tatapannya masih kosong seperti tak memiliki gairah hidup.Tiara mencak-mencak. Diantara semua orang yang mungkin merasa beruntung bisa menikah dengan dosen killer tapi tampan maksimal itu, Tiara adalah orang yang tidak pernah setuju untuk itu. “Gila. Gue tau lo stress karena skripsi, tapi nikah?! Dan sama Pak Arga pula! Itu kayak ... menikahi Google Form. Datar, kaku, dan gak pernah bisa lo edit.”Naya melempar pandangan pada ha
"Kali ini gue nggak boleh gagal." Naya melangkah memasuki gerbang kampus dengan perasaan yang sulit dijabarkan.Langit kampus sore itu tampak mendung, seolah memantulkan suasana hati Naya yang sedang rapuh. Di tangannya, skripsi revisi terbaru sudah selesai. Ia mencetaknya pagi tadi, lengkap dengan tambahan referensi dan pendekatan analisis baru seperti yang disarankan Arga. Meski ada sedikit rasa percaya diri, kegugupan tetap mengiringi langkahnya menuju ruang dosen.Tapi saat tiba di lorong lantai dua, suasana terasa berbeda. Beberapa mahasiswa berkumpul di depan ruang dosen, berbisik-bisik. Sebagian menatap ponsel mereka, sebagian lain mencuri pandang ke arah Naya. Bisikan itu pelan, tapi cukup untuk membuat dadanya menegang.“Eh, itu tuh anaknya…” bisik salah satu mahasiswa yang masih bisa didengar Naya.“Iya, yang katanya tadi pagi kepergok…” timpal mahasiswi lainnya.“Hush! Jangan keras-keras!”Naya mempercepat langkah, tapi detak jantungnya jadi semakin tak terkontrol. Ia langs
“Kalau kamu ingin dianggap serius sebagai peneliti, berhentilah berharap belas kasihan.”Kalimat terakhir dosen Arga terus berputar-putar di kepala Naya bak film yang terus berulang. Menjajah pikirannya hingga menciptakan kekuatan tak kasat mata dalam diri Naya. Mahasiswi cantik berlesung pipi jika sedang tersenyum. Namun itu tak bertahan lama.Dua hari setelah pertemuan yang membekas itu, Naya kembali duduk di perpustakaan kampus, dikelilingi tumpukan buku yang tak lagi menggugah semangat. Matanya yang sembap dan sayu karena kurang tidur menyapu halaman demi halaman buku, tapi pikirannya berputar di tempat yang sama: skripsinya. Lebih tepatnya, Dosen Arga.Ia menatap layar laptop yang menampilkan file bernama “Skripsi FINAL FINAL Revisi Fix Banget.docx” — yang anehnya, belum juga dianggap “final” oleh dosen pembimbingnya."Aku tuh udah bener-bener gak ngerti lagi harus gimana,” gumamnya pelan. Bahunya melorot lalu kepala tergeletak di meja. "Lo tuh butuh liburan, bukan literatur bar
"Maaf!" Naya terus berlari menaiki tangga setelah menabrak seseorang. Jam ditangannya menunjukkan angka delapan lebih dua. Artinya dua menit sudah lewat dari waktu janjian dengan dosen paling disiplin di kampus ini. Suasana lorong Fakultas Sastra siang itu terasa lebih tegang dari biasanya. Langkah kaki mahasiswa berlalu lalang dengan cepat, sebagian wajah tampak cemas, sebagian lagi berusaha tak terlihat. Di depan sebuah ruang dosen yang pintunya tertutup rapat, Naya berdiri mematung sambil memeluk map skripsinya erat-erat. Telapak tangannya dingin meski matahari menyengat dari luar jendela. Nafasnya memburu karena dia memilih menaiki tangga dibanding lift karena tak mau menunggu antrian."Ayo, Na, kamu bisa," bisiknya pada diri sendiri. Tapi jantungnya berdetak lebih keras saat melihat pintu itu terbuka sedikit. Ia menarik nafas panjang berulang kali berharap detakan itu kembali normal.Dari dalam, terdengar suara bariton yang tak asing: dingin, tegas, nyaris tanpa intonasi emosi.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments