Share

2. Suami parasit.

Penulis: Desti Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-12 15:47:21

"Zalia!" teriak Mas Yudha dari dapur. Aku yang sedang berkutat dengan cucian di sumur ini pun jadi terkejut.

Jika sudah teriak seperti ini, itu tandanya sang Nahkoda pemalas sudah bangun.

"Zalia! Kuping kamu dengar apa tidak aku panggil!" teriaknya lagi.

Suaranya yang menggelegar menjadi alarm sumbang di siang hari. Dengan cepat aku menghampiri, dengan baju yang sedikit basah. Karena aku sedang mencuci, makanya bajuku basah. Aku mencuci semua baju yang bertumpuk itu secara manual dengan tangan, jangankan membeli mesin cuci, untuk makan sama bayar listrik aja masih susah.

"Apa sih, Mas. Teriak-teriak, malu di dengar tetangga!" jawabku. Masih berusaha sopan demi menjaga Marwah sang suami.

"Makanya kalau punya kuping dipakai!" hardik Mas Yudha begitu ketus. Membuatku lagi-lagi mengelus dada.

Degh!

Nyeri sekali rasa hati ini ya Allah. Sudah capek dari pagi kerja, mencuci semua cucian pelanggan untuk mengisi perut. Sekarang justru di bentak suami. Nelongso rasanya hatiku saat ini. Jika bukan karena Alia, mungkin aku sudah akan mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah.

"Aku lagi nyuci di belakang, Mas. Memangnya ada apa kamu teriak-teriak? Apa tak bisa menghampiriku di belakang?" jawabku kembali. Masih mencoba bersabar dengan sikap suami durjanaku ini.

"Gak usah cerewet. Aku lapar, siapkan makanan!" perintah Mas Yudha layaknya seorang mandor yang memerintah bawahan.

Lagi-lagi aku menekan dadaku yang kembali terasa nyeri, aku merasa tak ubahnya seperti babu, bukan seorang istri.

"Sudah kusiapkan di atas meja, Mas. Bangun tidur kamu bisa tinggal makan!" ujarku dalam. Memang aku sengaja menyindir, Mas Yudha.

Matahari sudah mulai meninggi, namun lelakiku ini baru bangun. Sekalinya bangun, dia justru teriak-teriak minta makan. Padahal semua sudah dihidangkan di atas meja makan.

"Makanan apa yang kamu hidangkan, Zalia! Hanya ini?" sungut Mas Yudha tak tahu terima kasih.

Ia membanting tudung nasi itu dengan kasar. Membuatku terkejut. Untung saja Alia yang sedang tidur di ruangan depan tidak terbangun mendengar suara keras bapaknya.

Kupandang tajam lelaki yang menjadi imamku ini, yang sangat memilih-milih pekerjaan itu.

"Jika mau makan enak, makanya kasih aku uang belanja, Mas. Jangan cuma tahunya makan tidur saja!" balasku. Mata Mas Yudha yang bulat semakin membulat besar.

Rasanya stok rasa sabar di hatiku sudah mulai menipis. Sejak menikah hingga kini, Mas Yudha begitu pemilih dalam bekerja, hampir semua kebutuhan rumah tangga aku yang memenuhi. Dari hasil menjadi upah buruh cuci para tetangga.

"Kamu kan setiap bulan dapat jatah kiriman dari orang tuamu. Mana uangnya, pasti sudah masuk ke rekeningmu, kan! Sini berikan padaku!" pinta Mas Yudha kasar padaku. Aku memejamkan mataku sejenak.

"Gak ada. Mulai bulan ini uang itu aku simpan untuk masa depan Alia. Lagi pula, ibu mengirimkan uang itu untuk kebutuhan cucunya, bukan untuk kamu, Mas! Kamu itu kepala rumah tangga, Mas. Kamu yang bertanggung jawab padaku dan Alia. Bukan ibuku yang janda!" sungutku tak habis pikir.

Entah di mana letak rasa malu lelaki ini. Sudah malas bekerja, dan jarang memberi nafkah. Sekarang kiriman uang mertua untuk anaknya, mau ia pinta juga.

Ibuku memang orang berada. Almarhum bapakku seorang pensiunan tentara, selain dari gaji pensiunan almarhum bapak. Ibu juga memiliki toko pecah belah yang cukup besar di kampung, yang kini di kelola oleh Zahara, kakakku.

Setiap bulan Ibu mengirimkan uang sebesar dua juta rupiah untuk jajan serta kebutuhan Alia, putriku. Tapi mau sampai kapan, aku mengandalkan kiriman ibuku itu. Alia semakin hari semakin tumbuh besar, dan sebentar lagi kebutuhannya pun juga semakin bertambah.

Selama ini aku tak pernah cerita pada Ibu jika kehidupanku di sini susah, aku merasa sangat malu. Aku malu jika Ibu tahu, lelaki yang dulu begitu kucintai segenap hati, hingga berani menentang kedua orang tuaku dulu. Adalah lelaki yang tak bertanggung jawab dan pemalas.

"Loh kok! Kamu mulai perhitungan gitu, dek! Alia itu masih kecil, kebutuhannya juga belum banyak-banyak amat. Sini uangnya setengah! Mas mau makan di warung makan saja," perintah Mas Yudha.

Benar-benar tidak ada rasa malu. Mas Yudha memaksaku untuk memberikan uang kiriman orang tuaku itu, hanya untuk memenuhi perutnya sendiri.

"Gak ada. Kalau kamu mau makan enak, makanya kerja! Jika tidak, makan saja apa yang ada. Masih untung bisa makan, dari pada kelaparan!" sungutku.

Aku begitu kekeuh tidak mau memberikan uang itu. Tidak ada hak Mas Yudha sedikitpun atas uang itu.

Selama ini uang kiriman orang tuaku selalu aku berikan pada Mas Yudha setiap ia meminta. Alasannya untuk ongkos pergi kerja, tapi nyatanya, uang itu Mas Yudha habiskan untuk makan enak seorang diri di luaran sana.

Sedangkan untuk makanku dan Alia, ia seolah tak mau tahu menahu. Mau anak istrinya ini sudah makan atau tidak.

Belum lagi uang kontrakan sebesar tiga ratus ribu sebulan, Mas Yudha seolah menutup mata dan membiarkan ibu pemilik kontrakan menemuiku. Semuanya ia limpahkan padaku.

Brakkk ...

Prang ...

Mas Yudha mengebrak meja dengan marah lalu lanjut membanting piring. Begitu lah sifatnya jika marah saat keinginannya tidak di turuti. Terkadang aku berpikir, betapa bodohnya diriku. Kenapa dulu mau saja termakan janji manis pria tak bertanggung jawab ini, yang katanya akan membahagiakanku. Tapi nyatanya, jangankan membahagiakan. Memberikan kehidupan yang layak, bisa makan tiga kali sehari saja dia tak mampu!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Idadalia Mutiara79
lagian ngapain seh di kasih tau kalo orang tua ngirim uang...
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Tinggalin aj biar jd gembel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status