Share

3. Menguji kesabaran.

last update Last Updated: 2022-06-12 15:47:59

Pagi mencuci, sore hari menyetrika. Begitulah pekerjaan yang aku kerjakan setiap hari. Aku kerjakan tanpa mengeluh. Walau terkadang harus sering sekali mengelus dada.

"Zalia!"

Lagi-lagi sebuah teriakan mengagetkanku. Aku yang sedang menyetrika pakaian menyahut. Dari suaranya saja aku sudah tahu, itu adalah suara ibu mertuaku. Orang sekitar biasa memanggilnya Bu Nani.

Aku heran Ibu dan anak itu hobby sekali memanggilku dengan berteriak. Apa pita suaranya tak sakit?

"Assalamualaikum," sindirku saat ibu terdengar memasuki rumah.

Awal-awal menikah ibu selalu berlaku lembut padaku, ia juga tampak begitu penyayang. Tapi setelah orang tuaku, tak mengabulkan keinginan Mas Yudha, untuk meminjam uang pada orang tuaku. Sejak itu ibu bersikap cuek dan ketus padaku.

Siapa juga yang mau meminjamkan uang pada seorang lelaki pemalas. Apa lagi uang yang ia pinjam jumlahnya sangat besar. Katanya untuk membeli sebuah rumah agar aku bisa hidup nyaman. Tapi belakangan niat buruknya kebaca, ia ingin mengubah sertifikat rumah itu atas nama dirinya. Tentu saja orang tuaku menolak. Almarhum bapakku bukanlah orang yang bodoh dan mudah untuk di tipu daya.

"Kamu sama orang tua gak ada sopan-sopannya! Nih sekalian!" sungut ibu. Ia melempar pakaian yang di buntel dengan selimut ke sebelahku. Tanpa membukanya saja aku sudah tahu, apa isi dari kain buntelan itu.

Aku menelan ludahku susah payah. Pekerjaan yang ada saja sudah membuat pinggang dan tubuhku letih. Ini malah ibu tambah lagi.

"Kenapa lihat-lihat, Ibu? Kerjakan itu! Kamu, kan, juga sedang setrika, jadi sekalian!" perintahnya. Padahal di rumahnya masih ada Rika. Adik bungsu Mas Yudha. Tapi ia selalu membawa pakaiannya ke rumahku untuk di setrika. Membuat pekerjaanku semakin bertambah banyak saja.

"Aku gak janji, Bu. Pekerjaanku masih banyak. Ibu suruh saja Rika untuk mengerjakannya!" tolakku secara halus.

"Kamu berani membantah ibu sekarang, Zalia! Kamu ini sebagai menantu tidak berguna sekali. Cuma sebatas menyetrika pakaian mertua saja tidak mau!"

Jleb.

Hati ini kembali meringis sakit. Jika hanya berupa baju ibu dan bapak saja, mungkin aku masih diam. Ini hampir semua baju penghuni rumah yang ibu bawa untuk aku setrikakan. Termasuk baju Rika dan Mbak Intan kakak Iparku yang sudah menikah.

Sedangkan menyetrika baju para pelangganku saja aku sudah kecapekan. Rasanya ingin sekali aku menangis mengingat perlakuan mereka semua padaku. Tapi kali ini, mereka semakin kelewatan. Semakin di diamkan tingkahnya semakin jadi.

"Maaf, Bu. Bukannya Zalia ingin membantah ibu. Tapi ibu bisa lihat sendiri, kan. Pekerjaan Zalia masih menumpuk. Zalia ini manusia, Bu. Bukan robot!" jawabku. Tanganku masih bergerak menggosok satu persatu pakaian pelangganku hingga licin.

Ibu tampak terkejut, karena selama ini aku tidak pernah berkata tegas, apalagi menolak dengan segala yang ia perintahkan. Walau terkadang apa yang ia suruh adalah sesuatu yang tak masuk di akal. Tapi kali ini aku sudah letih. Aku letih menuruti semua kemauan mereka. Aku letih untuk terus bersabar.

"Terserah kamu mau kerjakan nanti atau nanti malam, Zalia. Yang ibu tahu, setrikaan Ibu itu selesai! Awas kalau tidak selesai!" ancam ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku dengan setumpuk pakaian yang harus aku kerjakan.

Aku hanya bisa mendengus dengan tingkah laku mertuaku ini. Tidak anak, tidak emak sama-sama cuma bisa menyakiti saja.

Aku menendang buntalan kain itu hingga menggelinding di dekat tembok. Biar saja, pakaian itu berjamur di sana. Mereka pikir aku ini babu apa!

🍃🍃🍃

Mentari pagi menyapa, kicau burung bersahutan membangunkan tubuh yang terasa remuk-redam. Pukul sepuluh malam aku baru selesai berjibaku menyelesaikan setrikaanku.

Jika bukan karena perut yang menjerit untuk selalu di isi, mungkin aku tak akan mau mengerjakan pekerjaan ini.

Dengan gerakan malas aku bangkit dari tidurku. Melirik sejenak pada lelaki yang bergelar suami ini. Mas Yudha tidur di ujung, bersebelahan dengan Alia yang di tengah. Entah dari mana ia seharian kemaren? Pulang-pulang langsung tidur dan tak bangun juga pagi ini. Jika ada lomba pura-pura mati, aku yakin Mas Yudha lah pemenangnya.

Aku bangkit dari ranjang menuju kamar mandi, membersihkan diri sebelum berjibaku kembali menyelesaikan pekerjaan yang tiada habisnya.

Ahh ... andai dulu aku tak tergoda janji manis suamiku. Mungkin dulu kuliahku selesai dan memegang ijazah sarjana. Bekerja layaknya wanita kantoran, bukan menjadi babu cuci seperti ini.

Setelah mandi, aku ke warung sebentar membeli bahan untuk dimasak. Setelah berkutat di dapur. Akhirnya nasi hangat yang masih mengepul, tempe goreng, sambal terasi dan sayur lodeh sudah terhidang di atas meja.

"Bunda!" panggil putriku, Alia. Ia berdiri diambang pintu dengan celana yang basah. Lantai juga basah dengan air ompol yang menggenang. Alia memang tidak kupakaikan diapers. Selain gak sehat di badan juga tak sehat di kantongku.

"Ayo kita mandi sayang," ajakku. Aku membawa Alia ke kamar mandi. Meninggalkannya sebentar untuk mengelap dan mengepel bekas ompolnya yang ada di lantai. Setelah itu baru memandikan putriku hingga bersih.

Setelah bersih dan wangi. Memakaikannya pakaian dan mengajaknya ke meja makan. Menyuapi putriku hingga kenyang. Agar saat aku bekerja di belakang nanti, ia tidak rewel dan tidak menggangguku.

Alia makan dengan lahap. Putriku ini memang tidak rewel dalam makanan, ia akan makan apa saja yang aku masak asalkan tidak pedas. Terkadang hatiku terenyuh membayangkan masa depannya nanti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status