Setelah mereka bertiga makan malam dan masuk ke kamar masing-masing, Arum membuka tasnya dan mengaktifkan ponsel pemberian Arjuna. Begitu lampunya menyala, terdengar bunyi getar tiada henti, tanda banyak pesan yang masuk.
Arum membukanya satu per satu dan mulai membaca. Tadi di sekolah, Ratih sudah mengajari bagaimana cara menggunakan benda itu, jadi dia sudah tahu.
'Rum. Malam minggu nanti, saya main ke rumahmu, ya.'
Begitulah pesan pertama yang dia terima dari kontak bernama Arjuna, si pemberi ponsel.
'Kenapa hape kamu gak aktif?'
'Kamu marah?'
'Atau takut?"
Arum mengulum senyum saat membaca semua pesan dari laki-laki itu. Arjuna terlihat tampan di foto profil dengan latar belakang pegunungan salju. Pastilah laki-laki itu sangat kaya, sehingga bisa jalan-jalan ke luar negeri.
Seandainya memang benar Arjuna menyukainya dan mereka ditakdirkan berjodoh, mungkin dia bisa merubah nasib. Namun, jika mengingat pesan dari Bu Lasti bahwa dia harus tetap berhati-hati dengan semua laki-laki yang mendekat, maka rasa takut itu kembali muncul.
Bisa saja, kan Arjuna di kota sudah memiliki istri. Di kampung, laki-laki seusianya bahkan sudah memiliki anak tiga.
Lamunan Arum terhenti saat terdengar ketukan pintu yang cukup keras.
"Rum, baju seragamku buat besok sudah digosok?" tanya Ayu.
Arum segera mematikan ponsel dan menyimpannya di bawah bantal. Lalu dia membuka pintu.
"Ada di bagian bawah keranjang," jawabnya singkat.
"Mana? Coba kamu carikan, aku ndak ketemu," titah Ayu.
Arum menyeret kaki ke belakang dengan terpaksa. Ayu sudah seperti ratu di rumah ini karena selalu memerintah.
"Ini." Dia menyodorkan sebuah kemeja putih dan rok panjang abu-abu.
"Makasih ya, Rum." Ayu mengambilnya dengan kasar kemudian berlalu begitu saja.
"Punya mata empat, nyari baju saja ndak ketemu. Dasar tukang perintah!" gerutunya.
Arum kembali ke kamar dan mengunci pintu. Setelah beberapa kali menguap, dia mematikan lampu. Seharian di sekolah dan mengerjakan pekerjaan rumah membuatnya lelah.
Tangannya menarik bantal dan tak sengaja menyentuh ponsel. Rasa penasaran kembali muncul. Dia kembali menghidupkan benda itu dan membaca ulang pesan dari Arjuna. Arum berniat hendak membalas, tapi kemudian urung.
Akhirnya, dia meletakkan benda itu di meja dan mulai memejamkan mata sambil memijat pelipis.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini terdengar lebih panjang karena itu sebuah panggilan.
"Halo." Arum menjawabnya pelan. Kenapa malam-malam begini Arjuna malah menelepon. Jika ketahuan Bu Lastri, bisa habis dia.
"Lagi ngapain, Rum?" tanya Arjuna.
"Mau tidur, Om."
"Jangan panggil, Om. Panggil aja mas."
"Tapi om memang sudah tua," katanya polos, lalu menutup mulut karena sadar sudah kelepasan bicara.
"Aku baru tiga puluh tiga tahun, Rum," kata Arjuna menjelaskan.
"Aku mau delapan belas, Om."
Arjuna tergelak mendengar itu. Jawaban seperti itu membuatnya geli. Gadis itu begitu polos dan dia ... suka.
"Kenapa kamu bisik-bisik?"
"Nanti kedengaran yang lain."
"Oh. Jadi gimana, malam minggu boleh?" desaknya.
"Baiknya ... jangan, Om. Saya ndak mau Ibu marah," tolak Arum halus. Dia tak mau dimarahi Bu Lasti karena membawa laki-laki asing ke rumah.
"Kalau begitu, ya udah. Katanya kamu ngantuk, tidur sana. Besok masih sekolah, kan?"
"Iya, sekolah."
Sambungan telepon benar-benar terputus hingga setengah jam kemudian, karena Arjuna masih ingin berbicara. Ternyata ucapannya yang tadi hanya sekadar basa-basi. Arum sendiri merespons pertanyaan laki-laki itu sebisanya. Dia masih merasa canggung karena belum pernah berdekatan dengan laki-laki sebelumnya.
***
Sabtu malam waktunya Arum mencuci semua seragam sekolahnya, karena di Minggu pagi, giliran baju Ayu dan Bu Lastri yang akan dicuci.
"Di depan ada tamu mencari kamu!" Kata Ayu ketus sambil melipat tangan di dada.
Arum menoleh dan mengabaikan ucapan itu kemudian lanjut mencuci. Seragam putihnya sejak SMP masih sama, hanya mengganti logo di tempat jahit.
Berbeda dengan Ayu yang hampir setiap tahun mendapat baju dan sepatu baru. Ibunya selalu memanjakan karena dia anak yang pintar dan memiliki wajah cantik.
Lastri berjualan barang-barang rumah tangga menggunakan sistem kredit yang modalnya dipinjam dari bank dengan menggadaikan sertifikat rumah. Hasilnya untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, membayar sekolah mereka dan membelikan semua yang diinginkan Ayu.
"Kamu budeg ya, Rum? Ndak dengar apa yang aku bilang barusan?" ulang Ayu.
"Tamu siapa? Aku ndak punya teman selain Ratih," katanya sembari menimba air ke dalam ember dan melanjutkan bilasan.
"Cowok."
Arum kembali menoleh dan menatap Ayu dengan lekat, seolah mencari kebenaran dari ucapannya.
"Aku ndak punya pacar."
"Itu di depan sana. Temui. Dia bawa mobil."
Mobil? Arum segera mencuci tangan dan mengintip ke arah ruang tamu. Sesosok laki-laki sedang berbicara dengan ibunya. Wajahnya tak terlihat karena duduk dengan posisi membelakangi.
"Itu dia yang ditunggu!" Lastri menunjuk putrinya yang sedang mengintip di balik gorden.
Mata Arum melebar ketika laki-laki itu menoleh.
"Hai, Rum!" sapa Arjuna sembari memberikan senyum terbaiknya.
"Om, kenapa datang?" Arum duduk di sebelah ibunya karena Lastri yang meminta.
"Mau silaturahmi. Ibumu gak marah, kok," jawab Arjuna.
Wajah Arum memucat karena ucapan itu. Apalagi Lastri terlihat kaget, hanya pintar menyembunyikan ekspresinya dengan senyuman manis.
"Iya, Ibu ndak marah, Rum. Mas ini datang baik-baik mau ketemu kamu."
"Mau ajak Arum jalan, boleh, Bu?" pinta Arjuna.
Kali ini Lastri yang terbelalak mendengarnya, tak menyangka jika laki-laki di depannya ini benar-benar menyukai putri sambungnya. Padahal tadi dia sudah menyodorkan Ayu, tapi malah ditolak secara halus.
"Bo-leh saja. Ya, bo-leh. Tapi jangan terlalu malam pulangnya. Ndak baik anak perawan keluyuran."
"Siap, Bu. Sebelum jam sepuluh saya kembalikan."
"Hus! Memangnya anakku itu barang apa," kata Lastri.
Arjuna menjadi tak enak hati karena salah berucap. Maksudnya tadi ingin bercanda dan mendekatkan diri, tapi ternyata ibunya Arum tidak suka.
"Maksudnya nanti sebelum jam sepuluh kami sudah pulang, Bu," ralatnya.
"Kemalaman. Jam sembilan sudah pulang. Ini di kampung, bisa jadi bahan pembicaraan tetangga. Saya menjaga nama baik keluarga," jelas Lastri.
"Baik, Bu." Arjuna melirik jam di tangan. Ini sudah jam tujuh lewat tiga puluh menit. Waktunya tak banyak, jadi nanti mungkin dia akan mengajak Arum makan di lapangan.
"Sana ganti baju. Pakai yang pantas. Jangan kelamaan, kasihan masnya ini menunggu. "
Arum menuruti perintah ibunya dan berjalan ke kamar. Dia membuka lemari untuk mencari baju terbaik. Akhirnya pilihan gadis itu jatuh pada sebuah kemeja lengan panjang yang sedikit longgar. Arum mengambil celana kain yang digantung di belakang pintu kemudian memakainya.
Tangan kecil itu meraih sisir dan merapikan rambut lalu mengikatnya dengan karet agar tidak berantakan.
Sebelum keluar, Arum mengambil ponsel yang dia sembunyikan di bawah ranjang dan memasukkannya ke dalam tas.
"Ayo, nanti kemalaman," ajak Arjuna.
Mereka berjalan kaki menyusuri gang dengan diiringi bisik-bisik dan intipan tetangga. Arum, gadis yang berwajah biasa, justru didatangi oleh seorang laki-laki tampan dan juga kaya.
"Kok jalannya masing-masing? Barengan gitu, Rum," kata Arjuna sambil menoleh karena gadis itu berjalan di belakangnya.
"Om duluan saja, saya menyusul."
Sesampainya di mobil, Ajuna membukakan pintu. Arum segera masuk dan menutupnya. Kendaraan itu melaju membelah jalanan kampung yang sepi. Tiba di sebuah lapangan terbuka, tampak berderet tenda yang menjual aneka makanan.
Setiap malam minggu, lapangan ini beralih fungsi menjadi tempat makan dan hiburan bagi penduduk kampung.
"Mau makan apa, Rum?" tanya Arjuna sembari menyodorkan daftar menu.
"Terserah, Om."
"Ayam lalapan?"
"Boleh," jawab Arum senang.
Tak lama, dua porsi ayam goreng dengan lalapan dan sambal yang lezat tersaji di meja. Arum mencuci tangan dan makan dengan lahap tanpa malu-malu. Lauk begini selalu ada di rumahnya, hanya saja dia jarang menikmati.
"Enak?"
Arum mengangguk tanpa bicara karena mulutnya masih penuh.
"Mau tambah?"
Dia menggeleng dan melanjutkan makan hingga habis tak bersisa.
"Ada nasi di bibirmu." Arjuna tanpa sungkan menyentuhnya.
Mendapat perlakuan seperti itu, Arum BEREAKSI dengan menepiskan tangan Arjuna.
"Maaf, Om. Jangan sentuh," tegurnya tak senang.
"Maaf."
"Kata Ibu ndak boleh bersentuhan sebelum halal," tegurnya.
"Kalau sudah halal, boleh?"
"Ya terserah."
"Kamu mau aku halalkan, Rum?" tanya laki-laki itu memancing.
"Baiknya kita pulang sekarang, Om," kata Arum mencoba mengalihkan pembicaraan. Mereka baru saja berkenalan. Rasanya terlalu cepat jika Arjuna menyinggung hal itu.
"Belum jam sembilan."
"Aku mau pulang sekarang!" kata Arum tegas.
Arjuna akhirnya mengalah dan membayar pesanan tadi. Lalu mereka memutuskan untuk pulang atas permintaan Arum.
"Kamu belum punya pacar, kan?"
"Belum. Memangnya kenapa?"
"Mau jadi pacarku?"
"Om sudah punya istri," kata Arum ketus.
Tawa Arjuna menggema di mobil. Entah mengapa setiap kali berbicara dengan gadis itu, selalu saja menggelitik hatinya.
"Aku belum menikah, Rum."
"Oh, perjaka?"
Arjuna mengusap tengkuk berulang kali, bingung hendak menjawab apa jika ditanya seperti ini.
"Kalau perjaka ya gak, sih. Tapi yang pasti, aku belum menikah. Masih single," katanya.
Setelah mengucapkan itu suasana menjadi hening. Arum menatap jalanan, sementara Arjuna fokus menyetir.
Untuk mengurangi rasa canggung di antara mereka, Arjuna memutar beberapa lagu. Arum sendiri diam-diam melirik laki-laki itu, mencoba meyakinkan diri atas apa yang baru saja didengarnya. Sudah tidak perjaka tetapi masih single. Itu berarti ... dia berbahaya dan harus dijauhi.
"Sampai ketemu lagi," kata Arjuna saat tiba di depan gang.
Arum mengangguk dan hendak membuka pintu saat tangannya disentuh lembut.
"Rum. Aku ... suka kamu," katanya dengan yakin.
"I-ya, Om," katanya gugup.
"Tolong pertimbangkan. Aku serius," pintanya lagi.
Arum segera keluar dan menutup pintu mobil lalu berjalan menyusuri gang dengan jantung yang berdegup kencang. Seumur hidupnya, ini pertama kali ada laki-laki yang menyatakan cinta. Dan dia ... takut.
Isak tangis seorang gadis terdengar di sebuah kamar setelah kepergian Arum dan Arjuna. Ternyata, sejak tadi Ayu merasa kesal kepada saudara tirinya karena disukai laki-laki kaya.Selama ini Ayu selalu mendapat semua yang terbaik melebihi Arum. Sehingga, jika ada sedikit saja kebahagiaan yang dirasakan saudara tirinya itu, dia tidak terima.Hati manusia, kadang memang begitu kotor, hingga tak bisa melihat kebahagiaan orang lain, sekalipun dirinya bergelimang segala harta dunia."Sudah. Jangan menangis begitu," bujuk Lastri sambil mengusap rambut putrinya. Dia sendiri tak menyangka jika ada laki-laki yang menyukai Arum."Ini memang ndak adil, Bu. Masa Arum yang wajahnya begitu dapat pacar sugih. Ganteng lagi," sungutnya.Dalam hati Ayu bertanya, apa mata Arjuna rabun sehingga gadis seperti Arum terlihat lebih menarik? Apa cantiknya dia, kurus seperti kurang makan. Wajahnya juga biasa dengan kulit kecokelatan. Berbeda dengan di
Setelah menghabiskan malam minggu berdua walaupun hanya sebentar, Arjuna semakin intens menghubungi Arum, terutama di malam hari setelah pulang bekerja.Kontrak yang sudah dia tanda-tangani selama setahun untuk mengawal proses pembuatan tanggul, akan membosankan jika hanya diisi dengan bekerja. Arjuna membutuhkan hiburan lain, salah satunya dengan berkenalan dengan gadis-gadis di kampung.Arum bukanlah gadis pertama yang ditemuinya, namun justru yang paling memikat hati. Mungkin karena dia secara terang-terangan menolak dan menghindar, sehingga Arjuna merasa tertantang untuk menaklukkannya.Setelah malam itu juga, sikap Lastri benar-benar berubah kepada Arum. Dia menjadi lebih perhatian dan jarang menyuruh putri sambungnya itu membereskan pekerjaan rumah. Hal itu membuat Ayu menjadi geram dan semakin iri hati.Seperti hari ini, Ayu TERBAKAR amarah saat melihat ibunya mencuci piring setelah mereka makan, juga menimba air di sumur. S
Lastri menatap Ibu Guru dengan malu sembari mengusap tangan untuk menghilangkan rasa gugup. Arum sudah mencoreng nama keluarga dengan hasil ujian yang rendah bahkan mendapat peringkat nomor tiga dari bawah. Siang ini, dia datang membawa surat yang tadi putrinya berikan sebelum berangkat sekolah.Saat Ibu Guru memberikan penjelasan dengan menunjukkan rekap nilai per semester, Lastri mendengarkan semua penuturan itu tanpa menyela."Sebenarnya Arum ini anak yang pandai, Bu. Hanya sulit berkonsentrasi. Dia juga suka mengantuk di kelas. Apa di rumah tidurnya kemalaman? Sepertinya dia terlihat kelelahan," jelas Ibu Guru sembari menatap Lastri dengan lekat.Sedikit banyak para guru harus tahu secara garis besar apa saja kegiatan para murid di rumah, jika memang itu mempengaruhi proses belajar di sekolah. Dengan demikian, maka bisa dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya."Tidurnya seperti biasa, Bu. Jam sembilan malam semua sudah masuk
Sejak pernyataan cintanya diterima oleh sang pujaan hati walaupun karena terpaksa, Arjuna semakin giat bekerja. Arum menjadi penyemangat hidupnya walaupun mereka hanya bisa bertemu di hari libur dan itu hanya sebentar.Arum sendiri semakin giat belajar semenjak dibantu oleh Ayu, sekalipun saudaranya itu kerap kali marah atau mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar karena pemahamannya yang lambat."Pergi dulu, Bu." Arum mencium tangan Lastri dan berpamitan. Dia memang berangkat lebih awal karena harus berjalan kaki. Sementara Ayu akan dijemput oleh salah satu temannya dengan motor."Hati-hati. Belajar yang rajin."Arum berjalan melewati gang dan membalas sapaan para tetangga. Setelah Arjuna rutin menjemputnya setiap minggu, warga gang menjadi lebih ramah jika bertemu. Mereka mulai membandingnya dan Ayu, dan mengatakan bahwa dia lebih beruntung.Sesampainya di sekolah, Arum terkejut saat Ratih menarik tangannya da
Lastri duduk di ruang tamu dengan gelisah. Ini sudah hampir sore dan Arum belum muncul. Tadi Arjuna meneleponnya dan meminta izin untuk mengajak putrinya pergi tapi entah ke mana. Laki-laki itu tak menjelaskan secara detail.Sekalipun tak sedarah, namun dia sudah diamanahkan untuk menjaga Arum. Lastri sudah berjanji kepada mendiang sang suami bahwa dia akan mengantar putrinya hingga lulus sekolah."Arum pergi ke mana sih, Bu?" tanya Ayu ketika melihat ibunya tak tenang sejak tadi."Tadi dijemput Arjuna. Katanya mau pergi sebentar. Ini belum pulang juga," jawab Lastri."Ya biarkan saja, Bu. Mungkin mereka lagi jalan-jalan. Aku juga kan sering," kata Ayu."Tapi kamu pergi sama teman perempuan. Ini kan beda, Yu. Ibu tetap khawatir. Apalagi Arjuna itu orang kota," jelasnya.Lastri tidak membenci siapa pun yang berasal dari kota. Namun, perbuatan suami pertamanya menimbulkan trauma. Apalagi, putri keduanya yang waktu
Arum menyodorkan sebuah kertas dengan lukisan seorang ibu dan anak kepada Ratih, saat jam istirahat tiba."Ini. Bagus, ndak?" Matanya menatap dengan harap-harap cemas.Ratih meraih kertasnya dan melihat dengan teliti. Sahabatnya itu memang lemah di beberapa mata pelajaran umum, namun mendapat nilai yang cukup baik di pelajaran kesenian."Kataku kurang greget, Rum," ucap Ratih sembari memutar gambarnya dan melihat ulang."Apanya yang kurang?" tanya gadis itu kebingungan.Selama dua hari ini, diam-diam Arum membongkar semua album foto lama dan memilih beberapa kenangan saat bersama ibunya dan mulai menggambar. Hanya dasarnya saja, nanti dia akan menyempurnakannya lagi saat lomba dimulai. "Gambar ibu dan anak ini sudah bagus, Rum. Mungkin latarnya yang kamu tambah, misalnya di mana begitu," saran Ratih. Tangannya sibuk menyeruput es dawet dan menyuap sepotong kue bolu."Kalau begitu nanti aku perbaiki," kata Arum
Ratih menggenggam tangan Arum yang berkeringat karena gugup."Kamu pasti bisa," bisiknya memberikan semangat."Aku lolos tidak, ya?" tanya Arum khawatir."Semoga saja. Yang penting kamu sudah berusaha," katanya meyakinkan.Ketika suara MC terdengar, dua gadis itu segera duduk dan menunggu acara dimulai. Ada beberapa guru yang mendampingi siswa yang ikut perlombaan. Arum sendiri ditemani oleh Ratih, karena Ayu dan ibunya tidak datang. Gadis itu meminta kepada Ibu Guru Kesenian untuk merahasiakannya.Gilang yang tadinya mengatakan akan ikut menemani membatalkan janji setelah Arum menolaknya untuk ikut. Akhirnya, anak laki-laki itu mundur secara perlahan untuk mendekatinya, karena kecewa.Lalu, di mana Arjuna? Dia masih berada di lokasi tanggul karena lomba diadakan di hari kerja. Arum sudah mengabarinya lewat surat yang dititipkan ke penjaga sekolah."Baiklah. Acara kita mulai dengan sambutan dari Kep
Tak terasa waktu berlalu. Hari demi hari Arum lewati dengan penuh perjuangan, hingga ujian kelulusan sudah di depan mata. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin semuanya selesai dan pergi dari kampung ini untuk mengadu nasib."Gimana, apa kamu sudah mengerti?" Ratih melirik sahabatnya yang sejak tadi serius menyimak penjelasannya."Sedikit. Masih bingung di bagian ini." Arum menunjuk beberapa rumus matematika yang membuatnya pusing tujuh keliling.Ratih menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mungkin, Arum memang sulit memahami pelajaran ini sehingga tidak bisa dipaksakan."Ya sudah. Nanti kita sambung lagi. Aku pulang dulu." Ratih membereskan bukunya dan berpamitan.Saat Arum bercerita bahwa Ayu merebut hadiahnya, Ratih memutuskan bahwa setiap hari Minggu, mereka akan belajar bersama.Dengan meminjam motor bapaknya, Ratih menyusuri gang dan harus menerima sindiran Bu Lastri juga Ayu. Namun tekadnya untu