Beranda / Young Adult / Bayang di Balik Kabut / BAB 4: Jejak Darah Ditanah Terlarang

Share

BAB 4: Jejak Darah Ditanah Terlarang

Penulis: khobir
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-19 16:15:19

Tiga hari berlalu sejak malam bulan merah.

Desa terlihat sama. Langit pagi tetap cerah, suara ayam tetap berkokok, dan para petani masih turun ke sawah. Tapi di balik rutinitas itu, sesuatu telah berubah. Laras tahu — ia bisa merasakannya.

Setiap langkahnya kini disambut bisikan dari pohon, tatapan diam dari bayangan, dan desiran angin yang membawa nama-nama yang tak pernah ia pelajari.

Ia tidak lagi manusia biasa. Tapi juga belum sepenuhnya milik dunia malam.

Pagi itu, Laras berjalan ke arah hutan, bukan karena terpanggil — tapi karena ia mencari. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan ada yang harus ditemukan. Sebuah kunci. Atau mungkin... peringatan.

Alric muncul dari balik kabut, seolah tak pernah benar-benar jauh. Wajahnya masih pucat, tapi ada guratan lembut di sana — sejenak, Laras lupa bahwa ia adalah makhluk yang pernah mati.

“Mimpi buruk semalam?” tanya Alric.

Laras mengangguk. “Aku melihat tanah merah. Pohon-pohon berdarah. Dan suara yang terus memanggilku… bukan dengan namaku, tapi dengan sebutan ‘pembuka.’”

Alric terlihat tegang. “Itu bukan mimpi. Itu panggilan dari *Tanah Terlarang*. Tempat di mana para penjaga pertama menyegel dunia malam ratusan tahun lalu.”

“Mereka memanggilku?”

“Bukan mereka,” jawab Alric pelan. “Tapi yang tersegel di bawahnya.”

***

Mereka berjalan lebih dalam ke hutan. Laras memperhatikan jejak-jejak aneh di tanah — bukan kaki manusia atau hewan, tapi semacam bentuk tapak terbalik, seperti bayangan yang mencakar tanah dari dalam.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba tanah di sekitar mereka retak pelan. Kabut menebal. Alric menarik Laras cepat ke belakang pohon.

Sosok hitam muncul — tinggi, kurus, mengenakan jubah kabur, dan membawa tongkat dari tulang. Matanya menyala biru es.

“Mereka utusan dari ruang antara,” bisik Alric. “Mereka mencium jejak darahmu.”

Sosok itu berbicara dengan bahasa asing, suaranya seperti bisikan di antara daun kering. Tapi entah kenapa, Laras bisa memahaminya.

“Pewaris garis darah, kau telah membuka pintu pertama. Datanglah ke akar yang membisik. Ke Tanah Terlarang. Atau dunia akan membusuk dari dalam.”

Laras melangkah keluar dari persembunyian.

“Kalau aku datang, apa yang akan terjadi?”

Sosok itu menatapnya diam. “Kebenaran. Dan kehancuran. Tergantung siapa yang lebih dulu menyentuh hatimu.”

Lalu ia lenyap—membaur dengan kabut, menyisakan hawa dingin menusuk.

***

Alric menatap Laras, serius. “Kau tidak boleh ke sana sendirian.”

Laras mengangguk. “Aku tahu. Tapi cepat atau lambat… aku harus pergi.”

Dan jauh di dalam dirinya, Laras tahu… Tanah Terlarang memanggilnya bukan hanya sebagai pewaris. Tapi sebagai pemutus rantai sejarah—yang akan menentukan apakah cinta ini menyelamatkan… atau menghancurkan dua dunia sekaligus.

Laras dan Alric kembali ke tepi hutan menjelang senja. Langit memerah, mencerminkan apa yang terus bergolak dalam hati Laras. Bayangan mimpi, simbol yang menyala di kulit, dan sosok yang menyebut dirinya “pembuka”—semuanya seperti rantai tak terlihat yang makin erat membelitnya.

Di rumah, Laras duduk di depan buku warisan kakeknya. Tapi kali ini, halaman-halaman yang sebelumnya kosong… mulai terisi sendiri.

Tulisan kuno itu muncul perlahan, seolah darah dari jarinya menetes dan membentuk kata-kata.

*“Jika pembuka menginjak Tanah Terlarang tanpa ikatan jiwa, maka segel akan retak. Dan makhluk yang tertidur akan kembali mengukir malam.”*

“Ikatan jiwa?” Laras mengulang, suara serak.

Tiba-tiba, suara dari jendela. Alric.

“Kau sudah membaca peringatannya.”

“Ikatan jiwa itu... maksudnya?”

Alric diam. Kemudian mendekat, pelan, menatap Laras dalam. “Itu bukan hanya janji… tapi sumpah yang mengikat dua makhluk lintas dunia. Jika kita terikat, kekuatanmu tak bisa disentuh oleh mereka. Tapi…”

“Tapi?”

“Kau akan terhubung denganku. Sepenuhnya. Dalam darah, jiwa, dan rasa. Dan kalau aku... hancur... kau ikut merasakannya.”

Laras menggigit bibir, hatinya berdetak cepat. Ini bukan hanya soal cinta. Ini sudah masuk wilayah antara hidup dan kehancuran.

“Kalau aku setuju, bagaimana caranya?”

Alric menatapnya serius. “Kita harus melakukannya di Tanah Terlarang, di bawah bulan mati. Itu satu-satunya tempat ikatan bisa dibentuk... atau dihancurkan.”

Laras menarik napas dalam. “Kapan bulan mati?”

Alric menjawab pelan, “Tiga hari lagi.”

Dan malam itu, Laras tidur dengan satu pertanyaan yang menggantung di langit-langit pikirannya:

*Beranikah ia mencintai sepenuhnya, jika cinta itu bisa membunuhnya juga?*

Tiga hari kemudian.

Langit malam kosong. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya kelam pekat menyelimuti hutan. Itulah *malam bulan mati*—malam di mana dunia malam dan dunia manusia bersentuhan paling dekat.

Laras dan Alric berdiri di depan batas terakhir: *Tanah Terlarang*.

Tanah itu tak terlihat berbeda, tapi rasanya lain. Dingin seperti kuburan, dan setiap langkah mengeluarkan suara berat seperti menapaki tulang.

“Setelah kita melewati ini, semuanya akan berubah,” kata Alric.

Laras mengangguk, meski hatinya berdebar tak karuan. “Kita mulai.”

Mereka berjalan beriringan. Pepohonan di sekitar melengkung seperti tunduk pada sesuatu. Udara menebal. Dan suara-suara aneh terdengar—bisikan, tangisan, dan nyanyian kuno yang tidak berasal dari mulut manusia.

Di tengah tanah itu berdiri sebuah altar batu — tinggi, dipenuhi ukiran bulan, darah, dan mata.

Di sanalah, ikatan akan dibentuk.

“Letakkan tanganmu di sini,” kata Alric.

Laras meletakkan tangan di atas batu. Alric menyusul, menempelkan tangannya di atas milik Laras. Saat itu, cahaya merah keluar dari batu, melilit keduanya seperti tali cahaya.

*“Dengan darah dan jiwa, kami bersumpah. Jika satu jatuh, yang lain remuk. Jika satu setia, yang lain kekal.”*

Suara gaib memenuhi udara. Tapi dari dalam tanah, sesuatu merespons. Getaran.

“Alric…” Laras menggenggam tangan Alric erat. “Tanah ini bergerak.”

Alric menoleh cepat. “Mereka tahu kita di sini.”

Dari bawah altar, retakan muncul. Kabut kehitaman menyembur, dan suara berat muncul—bukan teriakan, tapi *tawa*.

*“Pewaris darah telah menyentuh altar. Ikatan terbentuk… dan segel mulai runtuh.”*

Tiba-tiba, makhluk-makhluk tinggi, berwajah kosong, muncul dari kabut. Mereka bukan vampir. Bukan manusia. Mereka adalah *Penjaga Bayangan*—pelayan terakhir dari kegelapan terdalam.

Alric menarik Laras. “Kita harus pergi. Sekarang!”

“Tapi ikatannya—”

“Sudah terbentuk. Tapi kita belum aman!”

Mereka berlari, dikejar oleh makhluk-makhluk yang tak terdengar langkahnya, hanya bayangan yang melompat dari satu sudut ke sudut lain.

Namun sebelum mereka bisa keluar dari tanah itu, salah satu Penjaga Bayangan menerjang Alric, menghantamnya keras ke tanah.

“Alric!” jerit Laras.

Ia berbalik, dan untuk pertama kalinya, *mata Laras menyala merah terang*—bukan karena kutukan, tapi karena *ikatan*

Ia mengangkat tangannya… dan dari dalam tanah, akar-akar merah mencuat, menghantam makhluk itu hingga terlempar jauh.

Laras berdiri di antara altar dan Alric, napasnya berat, tapi matanya kini menyala penuh kekuatan.

“Sentuh dia lagi… dan kalian semua kubakar dalam darahku sendiri.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya… dunia malam melihat siapa sebenarnya Laras:

Bukan hanya pewaris.

Tapi ancaman.

Makhluk-makhluk bayangan membeku. Bukan karena takut—mereka tak punya rasa itu. Tapi karena insting. Dan insting mereka tahu: darah Laras kini bukan darah biasa.

Alric perlahan bangkit, wajahnya memar tapi masih tersenyum tipis. “Kau… sudah mulai berubah.”

Laras menatap tangannya sendiri. Akar merah perlahan surut kembali ke tanah. Nafasnya mulai tenang. Tapi dalam dirinya, ia tahu: ini baru awal.

Mereka keluar dari Tanah Terlarang tepat sebelum fajar. Saat kaki Laras menginjak tanah biasa, kabut lenyap seketika. Dan langit mulai berwarna keemasan.

Tapi di kejauhan, di dalam tanah, sesuatu bergerak. Bukan bayangan. Bukan kabut.

*Seseorang.*

Matanya terbuka perlahan di balik segel batu.

*“Pembuka telah datang…”*

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 44 : Jejak Rahasia

    Hutan pagi kembali hening setelah pertarungan dengan bayangan besar. Namun bagi Ravien dan Laras, ketenangan itu terasa menyesakkan. Setiap langkah mereka penuh kewaspadaan, karena ancaman belum sepenuhnya hilang. Bayangan itu mungkin lenyap, tapi jejak mereka tetap tersisa. Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus menyapu ke sekeliling. “Kita harus menemukan jalur rahasia yang bisa membawa kita ke tempat Bayu,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Laras mengikuti di belakang, menatap sekeliling dengan cemas. “Aku takut… kalau kita terlambat, Bayu mungkin sudah menghadapi mereka sendirian.” Ravien menoleh sekilas, matanya merah menyala, tapi ada kehangatan di sorotnya. “Itulah kenapa kita harus segera. Dan kau… kau harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.” Laras menggenggam tangan Ravien. “Aku di sini. Selalu bersamamu.” Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sempit, dipenuhi akar-akar pohon yang menjulur dan daun-d

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 43 : Bayangan yang Kembali

    Hutan pagi tampak tenang, meski udara masih terasa tegang. Setelah pertempuran dengan pemimpin Kultus Malam, Ravien dan Laras berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka berhati-hati. Setiap pohon, setiap bayangan, bisa saja menyimpan ancaman tersembunyi. Ravien menggenggam pedangnya erat, matanya terus menyapu sekeliling. “Kita harus segera menemukan jalur menuju Bayu,” ujarnya pelan. “Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi.” Laras menatapnya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Aku ikut. Jangan coba menahan aku. Aku bisa bertarung.” Ravien tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan rasa cemas. “Aku tidak menahanmu. Tapi kita harus cermat. Musuh kita bukan hanya dari dunia nyata, tapi juga dari bayangan masa lalu kita.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kabut tiba-tiba menebal. Udara menjadi dingin dan lengket, membuat langkah mereka berat. Dari balik kabut, muncul siluet samar—bayangan yang bergerak cepat, menatap mereka dengan mata merah berkilau

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 42 : Jejak Yang Terlupakan

    Embun pagi menutupi daun-daun di hutan, menciptakan kilauan kecil seperti ribuan permata. Namun keindahan itu terasa palsu bagi Ravien dan Laras. Setelah pertarungan dengan Ravel, hati mereka masih bergejolak, dan luka-luka lama belum benar-benar tertutup.Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus mencari tanda-tanda bahaya. Laras mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun waspada. Hatinya tak lepas dari rasa bersalah karena Bayu masih menghadapi kultus itu sendirian.“Ravien,” Laras memulai dengan suara lembut tapi tegas, “kita harus menemukan jalur balik ke dimensi itu. Bayu menunggu kita, dan kita tidak boleh membiarkannya sendirian.”Ravien menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Aku tahu. Tapi setiap langkah ke sana… aku bisa merasa bayangan masa lalu semakin mendekat. Ravel belum selesai denganku. Dan aku… belum siap menghadapi semuanya lagi.”Laras menggenggam lengan Ravien. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Jangan coba menanggung sendiri.”Ra

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 41 : Luka yang Belum Sembuh

    Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, meski matahari telah naik malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan. Suara burung pun tak terdengar—seolah alam pun ikut diam, menyimpan rahasia yang tak ingin dibagikan.Laras duduk di tepi sungai kecil, membasuh luka di tangannya dengan air yang mengalir pelan. Matanya sembab, masih menyisakan sisa tangis semalam. Di belakangnya, Ravien diam berdiri, menjaga jarak namun tak pernah benar-benar menjauh.“Aku… masih bisa mendengar suara Bayu saat dia berteriak memanggil kita,” ujar Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemericik air.Ravien menunduk. “Aku juga.”Mereka belum bicara sejak lolos dari dunia bayangan. Tubuh mereka selamat, tapi jiwa mereka masih tertinggal di sana—di tempat Bayu berdiri sendirian menghadapi kegelapan demi mereka.“Kita harus kembali,” Laras akhirnya berkata. “Kita nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”Ravien mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu itu bukan keputusan mudah. Dunia bayangan hanya t

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 40 : Jejak Dalam Kegelapan

    Kabut belum juga sirna saat pagi datang. Desa masih terdiam dalam ketakutan, dan tidak seorang pun berani keluar dari rumah mereka. Bayangan yang mulai menyebar dari hutan kini sudah mencapai tepi desa, membuat langit siang tampak seperti senja yang kelabu.Ravien duduk di teras rumah Bayu, tatapannya kosong, pikirannya terjebak pada Laras yang kini masih berada dalam dimensi ujian. Sudah semalaman penuh Laras tidak kembali, dan itu cukup untuk membuat gelisah merayapi hatinya.“Dia kuat,” ujar Bayu, datang dengan dua cangkir teh panas. “Kalau bukan Laras, mungkin kita semua sudah hancur dari awal.”Ravien menerima teh itu, tapi tak sempat menyeruputnya. “Aku tahu. Tapi tetap saja... dia di sana sendirian. Kalau ujian itu gagal, bukan hanya dia yang hilang.”Bayu menatap langit. “Aku mencoba melacak jejak energi si bayangan itu. Seolah-olah... dia bukan makhluk biasa. Dia terikat dengan Ravien, atau lebih tepatnya, dengan darah vampirmu yang belum sepenuhnya terikat pada dunia ini.”R

  • Bayang di Balik Kabut   BABA 39 : Bayangan di Balik Janji

    Malam telah berganti fajar, namun ketegangan yang mengendap sejak pertempuran semalam belum juga mereda. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan, Laras duduk bersandar di ambang jendela, menatap matahari yang malu-malu muncul di balik pepohonan.Suasana tenang itu seolah palsu, karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan: siapa pria berjubah gelap itu? Apa maksudnya dengan kekuatan yang tersembunyi dalam darah Ravien?Ravien duduk tak jauh darinya, menatap secangkir teh yang mulai mendingin. Luka di lengannya telah dibalut, tapi luka di dalam hatinya jauh lebih sulit sembuh.“Kau tidak tidur semalaman,” ucap Laras pelan tanpa menoleh.Ravien menarik napas panjang. “Aku bermimpi. Tapi bukan mimpi biasa. Aku melihat seorang wanita… wajahnya mirip denganmu. Tapi dia menangis, berdiri di tengah api. Lalu terdengar suara, ‘Janji belum ditepati. Bayangan akan menuntut.’”Laras perlahan menoleh, ekspresi wajahnya berubah tegang. “Apa maksudnya, Ravien? Janji apa?”Sebelum Ravien bisa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status