Tiga hari berlalu sejak malam bulan merah.
Desa terlihat sama. Langit pagi tetap cerah, suara ayam tetap berkokok, dan para petani masih turun ke sawah. Tapi di balik rutinitas itu, sesuatu telah berubah. Laras tahu — ia bisa merasakannya. Setiap langkahnya kini disambut bisikan dari pohon, tatapan diam dari bayangan, dan desiran angin yang membawa nama-nama yang tak pernah ia pelajari. Ia tidak lagi manusia biasa. Tapi juga belum sepenuhnya milik dunia malam. Pagi itu, Laras berjalan ke arah hutan, bukan karena terpanggil — tapi karena ia mencari. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan ada yang harus ditemukan. Sebuah kunci. Atau mungkin... peringatan. Alric muncul dari balik kabut, seolah tak pernah benar-benar jauh. Wajahnya masih pucat, tapi ada guratan lembut di sana — sejenak, Laras lupa bahwa ia adalah makhluk yang pernah mati. “Mimpi buruk semalam?” tanya Alric. Laras mengangguk. “Aku melihat tanah merah. Pohon-pohon berdarah. Dan suara yang terus memanggilku… bukan dengan namaku, tapi dengan sebutan ‘pembuka.’” Alric terlihat tegang. “Itu bukan mimpi. Itu panggilan dari *Tanah Terlarang*. Tempat di mana para penjaga pertama menyegel dunia malam ratusan tahun lalu.” “Mereka memanggilku?” “Bukan mereka,” jawab Alric pelan. “Tapi yang tersegel di bawahnya.” *** Mereka berjalan lebih dalam ke hutan. Laras memperhatikan jejak-jejak aneh di tanah — bukan kaki manusia atau hewan, tapi semacam bentuk tapak terbalik, seperti bayangan yang mencakar tanah dari dalam. Di tengah perjalanan, tiba-tiba tanah di sekitar mereka retak pelan. Kabut menebal. Alric menarik Laras cepat ke belakang pohon. Sosok hitam muncul — tinggi, kurus, mengenakan jubah kabur, dan membawa tongkat dari tulang. Matanya menyala biru es. “Mereka utusan dari ruang antara,” bisik Alric. “Mereka mencium jejak darahmu.” Sosok itu berbicara dengan bahasa asing, suaranya seperti bisikan di antara daun kering. Tapi entah kenapa, Laras bisa memahaminya. “Pewaris garis darah, kau telah membuka pintu pertama. Datanglah ke akar yang membisik. Ke Tanah Terlarang. Atau dunia akan membusuk dari dalam.” Laras melangkah keluar dari persembunyian. “Kalau aku datang, apa yang akan terjadi?” Sosok itu menatapnya diam. “Kebenaran. Dan kehancuran. Tergantung siapa yang lebih dulu menyentuh hatimu.” Lalu ia lenyap—membaur dengan kabut, menyisakan hawa dingin menusuk. *** Alric menatap Laras, serius. “Kau tidak boleh ke sana sendirian.” Laras mengangguk. “Aku tahu. Tapi cepat atau lambat… aku harus pergi.” Dan jauh di dalam dirinya, Laras tahu… Tanah Terlarang memanggilnya bukan hanya sebagai pewaris. Tapi sebagai pemutus rantai sejarah—yang akan menentukan apakah cinta ini menyelamatkan… atau menghancurkan dua dunia sekaligus. Laras dan Alric kembali ke tepi hutan menjelang senja. Langit memerah, mencerminkan apa yang terus bergolak dalam hati Laras. Bayangan mimpi, simbol yang menyala di kulit, dan sosok yang menyebut dirinya “pembuka”—semuanya seperti rantai tak terlihat yang makin erat membelitnya. Di rumah, Laras duduk di depan buku warisan kakeknya. Tapi kali ini, halaman-halaman yang sebelumnya kosong… mulai terisi sendiri. Tulisan kuno itu muncul perlahan, seolah darah dari jarinya menetes dan membentuk kata-kata. *“Jika pembuka menginjak Tanah Terlarang tanpa ikatan jiwa, maka segel akan retak. Dan makhluk yang tertidur akan kembali mengukir malam.”* “Ikatan jiwa?” Laras mengulang, suara serak. Tiba-tiba, suara dari jendela. Alric. “Kau sudah membaca peringatannya.” “Ikatan jiwa itu... maksudnya?” Alric diam. Kemudian mendekat, pelan, menatap Laras dalam. “Itu bukan hanya janji… tapi sumpah yang mengikat dua makhluk lintas dunia. Jika kita terikat, kekuatanmu tak bisa disentuh oleh mereka. Tapi…” “Tapi?” “Kau akan terhubung denganku. Sepenuhnya. Dalam darah, jiwa, dan rasa. Dan kalau aku... hancur... kau ikut merasakannya.” Laras menggigit bibir, hatinya berdetak cepat. Ini bukan hanya soal cinta. Ini sudah masuk wilayah antara hidup dan kehancuran. “Kalau aku setuju, bagaimana caranya?” Alric menatapnya serius. “Kita harus melakukannya di Tanah Terlarang, di bawah bulan mati. Itu satu-satunya tempat ikatan bisa dibentuk... atau dihancurkan.” Laras menarik napas dalam. “Kapan bulan mati?” Alric menjawab pelan, “Tiga hari lagi.” Dan malam itu, Laras tidur dengan satu pertanyaan yang menggantung di langit-langit pikirannya: *Beranikah ia mencintai sepenuhnya, jika cinta itu bisa membunuhnya juga?* Tiga hari kemudian. Langit malam kosong. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya kelam pekat menyelimuti hutan. Itulah *malam bulan mati*—malam di mana dunia malam dan dunia manusia bersentuhan paling dekat. Laras dan Alric berdiri di depan batas terakhir: *Tanah Terlarang*. Tanah itu tak terlihat berbeda, tapi rasanya lain. Dingin seperti kuburan, dan setiap langkah mengeluarkan suara berat seperti menapaki tulang. “Setelah kita melewati ini, semuanya akan berubah,” kata Alric. Laras mengangguk, meski hatinya berdebar tak karuan. “Kita mulai.” Mereka berjalan beriringan. Pepohonan di sekitar melengkung seperti tunduk pada sesuatu. Udara menebal. Dan suara-suara aneh terdengar—bisikan, tangisan, dan nyanyian kuno yang tidak berasal dari mulut manusia. Di tengah tanah itu berdiri sebuah altar batu — tinggi, dipenuhi ukiran bulan, darah, dan mata. Di sanalah, ikatan akan dibentuk. “Letakkan tanganmu di sini,” kata Alric. Laras meletakkan tangan di atas batu. Alric menyusul, menempelkan tangannya di atas milik Laras. Saat itu, cahaya merah keluar dari batu, melilit keduanya seperti tali cahaya. *“Dengan darah dan jiwa, kami bersumpah. Jika satu jatuh, yang lain remuk. Jika satu setia, yang lain kekal.”* Suara gaib memenuhi udara. Tapi dari dalam tanah, sesuatu merespons. Getaran. “Alric…” Laras menggenggam tangan Alric erat. “Tanah ini bergerak.” Alric menoleh cepat. “Mereka tahu kita di sini.” Dari bawah altar, retakan muncul. Kabut kehitaman menyembur, dan suara berat muncul—bukan teriakan, tapi *tawa*. *“Pewaris darah telah menyentuh altar. Ikatan terbentuk… dan segel mulai runtuh.”* Tiba-tiba, makhluk-makhluk tinggi, berwajah kosong, muncul dari kabut. Mereka bukan vampir. Bukan manusia. Mereka adalah *Penjaga Bayangan*—pelayan terakhir dari kegelapan terdalam. Alric menarik Laras. “Kita harus pergi. Sekarang!” “Tapi ikatannya—” “Sudah terbentuk. Tapi kita belum aman!” Mereka berlari, dikejar oleh makhluk-makhluk yang tak terdengar langkahnya, hanya bayangan yang melompat dari satu sudut ke sudut lain. Namun sebelum mereka bisa keluar dari tanah itu, salah satu Penjaga Bayangan menerjang Alric, menghantamnya keras ke tanah. “Alric!” jerit Laras. Ia berbalik, dan untuk pertama kalinya, *mata Laras menyala merah terang*—bukan karena kutukan, tapi karena *ikatan* Ia mengangkat tangannya… dan dari dalam tanah, akar-akar merah mencuat, menghantam makhluk itu hingga terlempar jauh. Laras berdiri di antara altar dan Alric, napasnya berat, tapi matanya kini menyala penuh kekuatan. “Sentuh dia lagi… dan kalian semua kubakar dalam darahku sendiri.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya… dunia malam melihat siapa sebenarnya Laras: Bukan hanya pewaris. Tapi ancaman. Makhluk-makhluk bayangan membeku. Bukan karena takut—mereka tak punya rasa itu. Tapi karena insting. Dan insting mereka tahu: darah Laras kini bukan darah biasa. Alric perlahan bangkit, wajahnya memar tapi masih tersenyum tipis. “Kau… sudah mulai berubah.” Laras menatap tangannya sendiri. Akar merah perlahan surut kembali ke tanah. Nafasnya mulai tenang. Tapi dalam dirinya, ia tahu: ini baru awal. Mereka keluar dari Tanah Terlarang tepat sebelum fajar. Saat kaki Laras menginjak tanah biasa, kabut lenyap seketika. Dan langit mulai berwarna keemasan. Tapi di kejauhan, di dalam tanah, sesuatu bergerak. Bukan bayangan. Bukan kabut. *Seseorang.* Matanya terbuka perlahan di balik segel batu. *“Pembuka telah datang…”* ---Hujan turun deras di perbukitan tempat Laras dan yang lain bersembunyi. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya berwarna gelap, seperti darah yang menipis di udara. Langit diselimuti awan merah, tanda bahwa *bulan darah* sebentar lagi akan muncul.Laras berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang akan menjadi medan perang.“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Alric, berdiri di sampingnya.“Kalindra akan buka gerbang penuh di sini,” jawab Laras. “Tempat pertama kali leluhur kita mengikat perjanjian darah.”Senara datang sambil membawa peta kuno. “Ada jalur masuk tersembunyi dari utara. Kita bisa gunakan itu untuk menyusup sebelum ritual dimulai.”Laras menatap ke arah kabut yang menggantung tebal. *Malam ini bukan hanya pertarungan darah—ini pertarungan pilihan.*“Aku tidak akan menyerah, Alric. Meski dia ayahku. Meski yang harus aku lawan adalah bagian dari diriku sendiri.”Alric menggenggam tangannya erat. “Dan aku tidak akan melepaskanmu. Meski dunia memaksa.”Kabut tebal menggulung per
*Tiga hari setelah kemunculan Kalindra.*Langit tak pernah lagi biru sepenuhnya. Ada semburat merah samar setiap pagi, seolah dunia sedang menahan napas. Desa terdekat mulai merasakan ketegangan: ladang gagal panen, ternak mati tanpa sebab, dan mimpi buruk menjangkiti anak-anak.Laras duduk di tepi danau kecil di dekat hutan. Airnya memantulkan wajahnya—tapi kali ini, bayangannya bukan miliknya sendiri. Itu *Kalindra*, menatap balik dari permukaan air, tersenyum tenang.Laras memukul air itu dengan tangannya, gemetar. “Aku nggak akan kalah... walaupun darah kita sama.”Dari belakang, Alric datang diam-diam dan duduk di sampingnya. “Kalau dia memang bagian dari warisan yang sama, mungkin kita perlu tahu lebih banyak soal masa lalu keluargamu.”Laras menoleh. “Aku nggak tahu siapa ibuku. Ayahku meninggal sebelum sempat cerita.”Alric mengeluarkan sebuah gulungan tua dari jubahnya. “Aku menemukan ini di perpustakaan bawah kuil vampir tua di utara. Isinya... tentang *Perjanjian Da
*Tiga hari berlalu.* Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma
Desa telah sepi. Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lag
Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.* Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja. "Ke mana kita sekarang?" tanya Senara. "Ke Alric," jawab Laras singkat. Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran. Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.Alric. Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong. "Alric!" Laras berlari mendekat. Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam. Mata Alric tak lagi berwarna emas—melai
Malam itu sunyi, tapi tidak damai.Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas