로그인Hutan malam tampak berbeda kini. Tidak lagi sekadar deretan pohon tua dan kabut diam—melainkan ruang antara dunia. Laras berdiri di tengahnya, tubuhnya masih dingin oleh angin, tapi pikirannya mulai terbakar oleh keputusan yang ia tahu harus ia buat.
Alric berdiri di sampingnya, diam. Tak ada kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang telah berubah sejak pertemuan mereka. Dulu ia adalah bayangan. Sekarang, ia nyata. Dulu Laras hanya bermimpi, sekarang ia bagian dari mimpi itu. “Bulan akan merah malam ini,” ujar Alric pelan. “Tiga ratus tahun sekali. Ini bukan hanya kebetulan, Laras.” Laras menoleh. “Apa yang terjadi kalau aku... membiarkan darah ini bangkit sepenuhnya?” Alric menatapnya tajam. “Kau akan menjadi jembatan. Dunia malam akan terbuka. Yang tersegel akan bebas. Termasuk mereka yang menginginkan kehancuran.” “Dan kalau aku menolak?” Alric menghela napas. “Mereka akan mencarimu. Memaksamu. Karena kamu... kunci terakhir.” Laras memejamkan mata, suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan. Seperti suara langkah, tapi terlalu besar untuk manusia. “Kenapa aku nggak bisa punya hidup biasa aja?” gumamnya. “Karena kamu tidak diciptakan untuk itu,” jawab suara baru dari balik kegelapan. Laras dan Alric sama-sama menoleh. Dari balik pepohonan, muncullah seorang perempuan—tinggi, rambut panjang perak mengalir sampai pinggang, mata kuning menyala seperti bara. Ia mengenakan gaun hitam panjang yang tampak hidup, seperti terbuat dari bayangan malam itu sendiri. “Aku Miora,” katanya. “Penjaga Seberang. Dan aku datang bukan untuk menyakitimu, Laras. Aku datang untuk menawarkan... perjanjian.” Alric maju setapak, melindungi Laras secara naluriah. “Dia belum siap.” Miora tersenyum. “Tapi darahnya sudah membangunkanku, Alric. Itu berarti waktunya telah tiba.” Laras menatap Miora dengan mata waspada. “Perjanjian apa?” “Jika kau bersedia membuka dirimu, menerima warisanmu, kami akan melindungi dunia manusia dari mereka yang lebih gelap. Tapi ada harga.” “Selalu ada harga,” bisik Laras. Miora menatapnya lekat-lekat. “Kau akan kehilangan separuh jiwamu. Separuh manusiamu. Termasuk... hakmu untuk mencintai.” Laras membeku. Alric langsung bersuara, keras dan dingin. “Itu takkan terjadi.” Tapi Miora tertawa pelan. “Apa kau pikir kalian bisa bersama? Dua makhluk dari sisi berbeda dunia? Laras tidak bisa mencintaimu tanpa membayar dengan darahnya. Dan kau—kau sudah mati, Alric. Apa yang bisa kau beri?” Diam menggantung. Mata Laras berkaca-kaca, dan untuk pertama kalinya... ia ragu. Miora melangkah mendekat. “Dan kini semuanya kembali. Ulang. Tapi kau bisa memilih akhir yang berbeda, Laras. Dengan melepaskan cinta itu... kau bisa selamat.” Laras menatap Alric. Alric menatap balik, matanya penuh luka. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi ketahuilah... jika kau lepaskan aku, mereka mungkin akan membiarkanmu hidup. Tapi tidak utuh.” Suara angin malam berubah seperti bisikan. Daun-daun berjatuhan, bulan mulai naik lebih tinggi—dan warna merah mulai mengendap di pinggirnya. Pertanda. Waktu hampir habis. Laras menggigit bibirnya, dadanya sesak. “Kalau aku menerima darah ini… menerima semuanya. Apa aku masih akan jadi diriku?” Miora tersenyum samar. “Kau akan menjadi sesuatu yang lebih.” “Tapi bukan manusia.” “Tidak sepenuhnya.” Alric mendekat, sangat pelan. “Tapi bagiku, kau tetap Laras. Selalu Laras.” Air mata jatuh di pipi Laras. Ia berdiri di tengah dua pilihan: Cinta... atau keselamatan. Manusia... atau sesuatu yang lebih. Dan semuanya tergantung pada satu malam. Alric mengepalkan tangannya. Hawa dingin memancar dari tubuhnya, tapi bukan karena takut—melainkan amarah yang ia tahan dengan susah payah. Tatapan Miora menantangnya, seolah tahu kelemahannya sejak lama: *Laras.* “Pergi, Miora,” kata Alric dingin. “Ini bukan urusanmu.” “Tapi ini urusan kami semua,” jawab Miora, suaranya tetap tenang, hampir anggun. “Kau pikir dunia malam hanya akan duduk diam melihat garis penjaga kembali bangkit? Kau tahu apa yang terjadi terakhir kali, Alric.” Laras menoleh ke Alric, napasnya tercekat. “Apa maksudnya… terakhir kali?” Alric menatap tanah. Diam. Miora menjawab untuknya. “Darahmu... dulu membuka gerbang. Tapi cinta kalian menghancurkan keseimbangan. Dunia gelap dan terang bercampur. Hancur. Dan saat semuanya hampir lenyap... waktu diputar ulang. Kalian dikutuk. Dipisahkan.” Alric memejamkan mata. Laras merasa dunia di sekelilingnya berguncang. “Kita… sudah pernah melalui ini?” Alric mengangguk pelan. “Kau dikunci. Ingatanmu dihapus. Aku... dibunuh. Dan dibangkitkan sebagai kutukan.” “Jadi semua ini—perasaan ini… mimpi itu—semuanya nyata?” “Ya.” Langit kini benar-benar berubah. Bulan yang naik perlahan di atas kanopi hutan telah memerah sepenuhnya—merah darah. Angin berputar, seperti membawa bisikan dari makhluk-makhluk yang tertidur dalam bayang-bayang malam. Laras berdiri di antara dua dunia: satu ditarik oleh cinta yang begitu asing tapi terasa familiar… dan satu lagi oleh takdir yang tak pernah ia minta. “Kalau aku tolak semuanya… apa aku bisa kembali jadi normal?” tanya Laras, pelan. Miora menggeleng. “Tidak ada jalan kembali. Saat darahmu bangkit, bahkan menolaknya hanya akan membuatmu rapuh. Dunia gelap akan tetap mencarimu. Mereka mencium darahmu sekarang. Kau hanya bisa memilih… jadi mangsa, atau jadi penguasa.” Laras menunduk. Ia merasa tubuhnya mulai berbeda—jantungnya berdetak lebih keras, tapi kadang terhenti sejenak lalu berdetak lagi. Telinganya mendengar lebih banyak, matanya menangkap gerakan sekecil apa pun di sekitar mereka. “Kenapa aku merasa seperti ini?” “Karena batasmu sebagai manusia mulai pecah,” jawab Alric. Ia mendekat, tapi tidak menyentuhnya. “Dan kau butuh jawaban sebelum kau kehilangan kendali.” Laras berbisik lirih, “Aku takut.” Alric menatapnya. “Aku juga.” Diam kembali menyelimuti mereka. Sampai akhirnya, dari balik kabut, muncul dua sosok lagi. Kali ini lelaki—keduanya tampak seperti bangsawan dari zaman lain. Jas panjang, rambut putih, mata gelap seperti lubang tak berdasar. Miora menyeringai. “Dewan malam mulai muncul. Waktumu habis.” Salah satu lelaki bicara. “Laras, darahmu membuka pintu. Jika kau tak memilih sekarang, dunia akan memilih untukmu.” Alric berdiri di depan Laras. “Tidak. Dia masih punya waktu.” Lelaki itu mengangkat tangannya—kabut mengencang. Akar-akar tanah bergerak, seperti tangan-tangan gaib yang mencoba menjerat kaki Laras. “Alric!” Dengan kecepatan kilat, Alric bergerak. Tubuhnya berubah—matanya merah terang, taring muncul, dan aura dingin seperti es meledak dari tubuhnya. Ia menerjang salah satu makhluk, mencabik mereka dalam satu gerakan. Miora mundur, tidak terkejut. “Kau masih seganas dulu, vampir.” Pertarungan meledak di tengah hutan. Laras jatuh terduduk, tapi matanya menyala. Untuk sesaat, dunia melambat, dan ia bisa merasakan semuanya—darah yang berdesir cepat, energi yang menari dalam tubuhnya, dan sesuatu yang terbuka... …segel di dalam dirinya. Bulu kuduknya meremang. Sebuah simbol terbakar samar di kulit tangannya—dua bulan membelakangi, dengan setetes darah di tengahnya. Simbol warisan. Laras menatap tangannya sendiri, lalu berbisik: “Apa aku masih bisa tetap jadi aku… kalau aku menerima semua ini?” Tak ada yang menjawab. Hanya bulan merah di langit yang menjadi saksi — bahwa malam ini, sesuatu telah bangkit. Kabut telah menghilang. Alric berdiri dengan napas terengah, darah hitam menetes dari lengan dan dagunya. Dua makhluk tadi—anggota dewan malam—lenyap jadi abu. Tapi ini baru awal. Laras berdiri perlahan, tubuhnya masih bergetar. Tangan kanannya—yang kini bercorak simbol darah bulan—terasa panas. Simbol itu masih menyala samar. “Sudah terbuka,” gumam Miora dari jauh. “Tidak ada jalan mundur.” Alric menatap Laras dengan mata yang mulai kembali normal. “Kau masih Laras.” Laras menggeleng pelan. “Aku… merasa seperti dua orang. Aku masih Laras, tapi ada sesuatu yang baru. Kuat. Gelap. Tapi juga... kosong.” Miora melangkah mendekat. “Kosong itu akan terisi. Entah oleh kehendakmu... atau oleh kehendak mereka.” Ia menengadah, menunjuk ke arah langit. Bulan merah mulai memudar, digantikan warna kelabu. “Kau telah melewati tahap pertama. Tapi ujian yang sesungguhnya... baru dimulai.” “Berapa banyak lagi yang akan datang?” tanya Laras. Miora menatapnya dalam. “Cukup untuk memecah dua dunia. Jika kau tidak siap... maka akan ada perang. Dan semua yang kau cintai akan terbakar.” Alric menggenggam tangan Laras. “Kita akan bertarung bersama.” Miora tersenyum samar. “Kalau kau cukup kuat menahan rasa hausnya nanti, vampir.” Laras menarik napas dalam-dalam. “Kalau takdirku memang membawa perang... aku akan menjemputnya. Tapi dengan caraku.” Ia menatap Alric. “Aku nggak akan kehilangan cinta ini lagi. Sekali sudah cukup.” Alric tersenyum kecil, pahit tapi penuh harap. “Kalau begitu, kita mulai langkah pertama... sebagai dua makhluk yang tak seharusnya bersatu.” Laras menoleh ke hutan, menatap jalan gelap di hadapannya. Bukan lagi sebagai gadis biasa. Tapi sebagai penjaga darah. Pewaris gerbang. Dan perempuan yang mencintai vampir dalam bayang-bayang dunia yang membencinya.Hutan pagi kembali hening setelah pertarungan dengan bayangan besar. Namun bagi Ravien dan Laras, ketenangan itu terasa menyesakkan. Setiap langkah mereka penuh kewaspadaan, karena ancaman belum sepenuhnya hilang. Bayangan itu mungkin lenyap, tapi jejak mereka tetap tersisa. Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus menyapu ke sekeliling. “Kita harus menemukan jalur rahasia yang bisa membawa kita ke tempat Bayu,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Laras mengikuti di belakang, menatap sekeliling dengan cemas. “Aku takut… kalau kita terlambat, Bayu mungkin sudah menghadapi mereka sendirian.” Ravien menoleh sekilas, matanya merah menyala, tapi ada kehangatan di sorotnya. “Itulah kenapa kita harus segera. Dan kau… kau harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.” Laras menggenggam tangan Ravien. “Aku di sini. Selalu bersamamu.” Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sempit, dipenuhi akar-akar pohon yang menjulur dan daun-d
Hutan pagi tampak tenang, meski udara masih terasa tegang. Setelah pertempuran dengan pemimpin Kultus Malam, Ravien dan Laras berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka berhati-hati. Setiap pohon, setiap bayangan, bisa saja menyimpan ancaman tersembunyi. Ravien menggenggam pedangnya erat, matanya terus menyapu sekeliling. “Kita harus segera menemukan jalur menuju Bayu,” ujarnya pelan. “Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi.” Laras menatapnya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Aku ikut. Jangan coba menahan aku. Aku bisa bertarung.” Ravien tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan rasa cemas. “Aku tidak menahanmu. Tapi kita harus cermat. Musuh kita bukan hanya dari dunia nyata, tapi juga dari bayangan masa lalu kita.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kabut tiba-tiba menebal. Udara menjadi dingin dan lengket, membuat langkah mereka berat. Dari balik kabut, muncul siluet samar—bayangan yang bergerak cepat, menatap mereka dengan mata merah berkilau
Embun pagi menutupi daun-daun di hutan, menciptakan kilauan kecil seperti ribuan permata. Namun keindahan itu terasa palsu bagi Ravien dan Laras. Setelah pertarungan dengan Ravel, hati mereka masih bergejolak, dan luka-luka lama belum benar-benar tertutup.Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus mencari tanda-tanda bahaya. Laras mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun waspada. Hatinya tak lepas dari rasa bersalah karena Bayu masih menghadapi kultus itu sendirian.“Ravien,” Laras memulai dengan suara lembut tapi tegas, “kita harus menemukan jalur balik ke dimensi itu. Bayu menunggu kita, dan kita tidak boleh membiarkannya sendirian.”Ravien menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Aku tahu. Tapi setiap langkah ke sana… aku bisa merasa bayangan masa lalu semakin mendekat. Ravel belum selesai denganku. Dan aku… belum siap menghadapi semuanya lagi.”Laras menggenggam lengan Ravien. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Jangan coba menanggung sendiri.”Ra
Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, meski matahari telah naik malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan. Suara burung pun tak terdengar—seolah alam pun ikut diam, menyimpan rahasia yang tak ingin dibagikan.Laras duduk di tepi sungai kecil, membasuh luka di tangannya dengan air yang mengalir pelan. Matanya sembab, masih menyisakan sisa tangis semalam. Di belakangnya, Ravien diam berdiri, menjaga jarak namun tak pernah benar-benar menjauh.“Aku… masih bisa mendengar suara Bayu saat dia berteriak memanggil kita,” ujar Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemericik air.Ravien menunduk. “Aku juga.”Mereka belum bicara sejak lolos dari dunia bayangan. Tubuh mereka selamat, tapi jiwa mereka masih tertinggal di sana—di tempat Bayu berdiri sendirian menghadapi kegelapan demi mereka.“Kita harus kembali,” Laras akhirnya berkata. “Kita nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”Ravien mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu itu bukan keputusan mudah. Dunia bayangan hanya t
Kabut belum juga sirna saat pagi datang. Desa masih terdiam dalam ketakutan, dan tidak seorang pun berani keluar dari rumah mereka. Bayangan yang mulai menyebar dari hutan kini sudah mencapai tepi desa, membuat langit siang tampak seperti senja yang kelabu.Ravien duduk di teras rumah Bayu, tatapannya kosong, pikirannya terjebak pada Laras yang kini masih berada dalam dimensi ujian. Sudah semalaman penuh Laras tidak kembali, dan itu cukup untuk membuat gelisah merayapi hatinya.“Dia kuat,” ujar Bayu, datang dengan dua cangkir teh panas. “Kalau bukan Laras, mungkin kita semua sudah hancur dari awal.”Ravien menerima teh itu, tapi tak sempat menyeruputnya. “Aku tahu. Tapi tetap saja... dia di sana sendirian. Kalau ujian itu gagal, bukan hanya dia yang hilang.”Bayu menatap langit. “Aku mencoba melacak jejak energi si bayangan itu. Seolah-olah... dia bukan makhluk biasa. Dia terikat dengan Ravien, atau lebih tepatnya, dengan darah vampirmu yang belum sepenuhnya terikat pada dunia ini.”R
Malam telah berganti fajar, namun ketegangan yang mengendap sejak pertempuran semalam belum juga mereda. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan, Laras duduk bersandar di ambang jendela, menatap matahari yang malu-malu muncul di balik pepohonan.Suasana tenang itu seolah palsu, karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan: siapa pria berjubah gelap itu? Apa maksudnya dengan kekuatan yang tersembunyi dalam darah Ravien?Ravien duduk tak jauh darinya, menatap secangkir teh yang mulai mendingin. Luka di lengannya telah dibalut, tapi luka di dalam hatinya jauh lebih sulit sembuh.“Kau tidak tidur semalaman,” ucap Laras pelan tanpa menoleh.Ravien menarik napas panjang. “Aku bermimpi. Tapi bukan mimpi biasa. Aku melihat seorang wanita… wajahnya mirip denganmu. Tapi dia menangis, berdiri di tengah api. Lalu terdengar suara, ‘Janji belum ditepati. Bayangan akan menuntut.’”Laras perlahan menoleh, ekspresi wajahnya berubah tegang. “Apa maksudnya, Ravien? Janji apa?”Sebelum Ravien bisa







