Home / Young Adult / Bayang di Balik Kabut / BAB 5: Mata Yang Terbangun

Share

BAB 5: Mata Yang Terbangun

Author: khobir
last update Last Updated: 2025-09-20 01:47:11

Fajar belum sepenuhnya datang, tapi desa Laras terasa lebih gelap dari biasanya. Angin membawa aroma asing—logam, seperti darah, bercampur tanah basah. Tak ada yang menyadarinya, kecuali satu orang.

Laras berdiri di jendela kamarnya, memandangi arah hutan. Matanya sudah tidak sama. Ia bisa melihat gerakan bayangan di kejauhan, suara napas makhluk yang tak terlihat manusia.

“Dia bangun,” gumamnya.

Di belakangnya, Alric duduk di kursi kayu, luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih.

“Apa kau yakin?” tanyanya.

Laras menoleh. “Aku nggak mimpi, Ric. Aku merasakannya sejak altar itu—ada yang bangkit. Tapi belum sepenuhnya lepas.”

Alric bangkit, menatap serius. “Kalau benar dia bangun… kita punya waktu sangat sedikit. Tanah Terlarang bukan lagi batas. Dunia manusia mulai retak.”

Laras mengangguk pelan. Tapi hatinya belum hanya gelisah karena itu.

Ia juga mulai merasakan sesuatu lain. *Dorongan haus*. Bukan haus darah… tapi energi. Emosi. Sesuatu yang hanya muncul saat dekat dengan Alric.

“Kenapa tubuhku makin aneh?” tanyanya lirih. “Semakin aku terikat, semakin aku kehilangan bagian yang dulu aku kenal sebagai 'aku'.”

Alric menatapnya dalam. “Karena kau bukan sepenuhnya manusia lagi.”

Laras terdiam. Tapi sebelum keheningan menguasai, sebuah suara dari luar rumah memecah segalanya.

Ketukan. Lalu suara.

“Laras, bukakan pintunya. Aku tahu kau di dalam.”

Suara perempuan. Tapi bukan suara dari desa. Suara itu… *familiar*, tapi juga asing.

Laras membuka pintu perlahan.

Dan di hadapannya berdiri seorang wanita muda, berpakaian seperti manusia biasa—tapi matanya…

*Sama seperti milik Laras.*

Perempuan itu tersenyum kecil. Tapi senyumnya bukan kehangatan — lebih seperti teka-teki yang belum selesai. Rambutnya hitam pekat, kulitnya pucat, dan gerakannya terlalu tenang… terlalu terukur.

“Siapa kamu?” tanya Laras, pelan tapi waspada.

Perempuan itu menatap langsung ke mata Laras. “Namaku *Senara*. Dan aku... adalah saudaramu.”

Laras mengernyit. “Aku nggak punya saudara.”

“Tidak di dunia ini. Tapi di dunia lain... kau bagian dari garis keturunan yang dibelah dua. Aku penjaga bayangan. Kau, penjaga gerbang. Kita… dua sisi dari satu warisan.”

Alric berdiri di samping Laras, ekspresinya langsung berubah tegang. “Dia berbahaya, Laras.”

Senara tertawa kecil. “Tentu saja aku berbahaya. Begitu juga dengan kalian.”

Laras menatap Senara penuh curiga. Tapi di dalam dirinya, darahnya bergerak—*merespons kehadiran Senara*. Seolah tubuhnya mengenali sesuatu yang pikirannya belum sempat pahami.

“Apa maumu?” tanya Laras.

“Aku datang bukan untuk bertarung. Tapi untuk memberi peringatan,” jawab Senara. “Yang bangkit dari bawah altar bukan hanya makhluk tua. Tapi *ayah kita*.”

Jantung Laras seolah berhenti berdetak.

“Ayah...?”

“Ya. Bukan manusia. Bukan vampir. Tapi makhluk pertama—yang menciptakan jalur antara dunia cahaya dan gelap. Ia tertidur karena perjanjian. Dan kau… baru saja membangunkannya.”

“Ayah kita bukan manusia, Laras,” ulang Senara. “Dia penjaga malam pertama, pencipta ikatan darah dan pengikat gerbang dunia gelap.”

Laras menatapnya tak percaya. “Berarti... aku dilahirkan untuk ini? Untuk membuka segel dan membangunkan dia?”

“Tidak,” jawab Senara. “Kau diciptakan untuk *memilih* — menyelamatkan atau menggantikannya.”

Alric melangkah maju. “Laras tidak akan memilih sisi kegelapan.”

Senara menatap Alric sejenak, kemudian tersenyum dingin. “Kau berbicara seolah kau mengenalnya lebih dari darahnya sendiri. Tapi ikatan cinta tak bisa mengalahkan warisan yang mendidih dalam tubuhnya.”

Laras merasa kepalanya berputar. Suara-suara mulai berdengung di telinganya. Di matanya, sesaat dunia seperti terbagi dua — satu sisi hitam merah, satu sisi biru pucat.

Ia jatuh berlutut. Alric langsung menahan tubuhnya.

“Laras!”

Suara ayah. Suara asing. Suara dalam pikirannya.

*“Anakku… dunia ini bukan milik mereka. Datanglah ke tengah gerbang. Warisanmu menunggumu.”*

Laras memejamkan mata, mencengkeram tanah. Tapi saat ia membuka matanya lagi, sesuatu berubah. Ia bisa melihat *garis* di udara—seperti retakan dimensi. Dan di tengahnya, cahaya merah mengalir seperti darah beku yang menyala.

Senara berkata pelan, “Dia membuka jalur. Dan hanya kau yang bisa melewatinya.”

Alric mengguncang Laras. “Jangan dengarkan dia! Itu perangkap!”

Tapi Laras… tidak bisa berhenti melihatnya. Cahaya itu seperti magnet dalam jiwanya. Makin lama dipandang, makin terasa seperti *rumah*.

“Apa yang akan terjadi kalau aku masuk?” bisiknya.

Senara menjawab, lembut tapi tegas. “Kau akan melihat kebenaran. Tentang siapa dirimu sebenarnya.”

Dan malam itu, di antara dua sisi yang saling tarik-menarik, Laras berdiri di ambang — di antara cinta yang melindungi dan darah yang memanggilnya pulang.

Laras menatap garis retakan bercahaya di udara itu—makin lama makin terbuka, membentuk seperti gerbang tipis berlapis kabut merah. Dari celahnya, terdengar bisikan, tangisan, dan… suara yang memanggil namanya dengan lembut namun menusuk.

*“Laras… pulanglah.”*

Alric berdiri di belakangnya, tangan masih menggenggam pergelangan Laras. “Kalau kau masuk, aku tak bisa ikut. Itu bukan jalur untuk vampir.”

Senara mengangguk. “Gerbang darah hanya menerima satu pewaris. Bahkan aku pun tak bisa masuk, meski darahku sama.”

Laras menoleh cepat. “Kenapa tidak?”

“Karena aku telah memilih sisi. Kau belum.”

Alric menggeleng. “Kau nggak harus masuk ke sana hanya karena mereka bilang begitu. Kita bisa cari cara lain.”

Tapi Laras tidak menjawab. Dalam dirinya, dua hal bertarung: rasa takut kehilangan siapa dirinya… dan rasa ingin tahu yang membakar.

Ia perlahan melangkah mendekat ke retakan.

Suara di dalam kepalanya kembali—lebih kuat.

*“Langkahmu menentukan nasib dua dunia. Tapi juga hatimu. Jika kau masuk dengan cinta yang retak… maka kau akan hancur dari dalam.”*

Laras menatap ke belakang. Matanya menatap mata Alric. Tak ada kata yang keluar. Tapi dalam satu tatapan, mereka saling berkata:

*“Tunggu aku kembali.”*

Dengan satu tarikan napas, Laras melangkah ke dalam cahaya retakan merah itu.

Gerbang menutup… seketika.

Alric berteriak, “LARAS!”

Senara menatap gerbang yang lenyap. “Jika dia keluar… dia tak akan lagi jadi manusia. Atau gadis yang kau cintai dulu.”

Alric menatapnya tajam. “Maka aku akan mencintai dia… apapun bentuknya nanti.”

Di dalam retakan, Laras tidak berjalan di tanah.

Ia *melayang* dalam ruang tanpa arah — dikelilingi arus darah yang mengalir seperti sungai di udara. Di sekelilingnya, bayangan berbisik, memperlihatkan kilasan masa lalu yang tak pernah ia lihat:

— Seorang perempuan berwajah mirip dirinya, melahirkan di altar kuno.

— Seorang pria bermata gelap berdiri di tengah kabut, membelah dunia dengan tangannya sendiri.

— Bayi kembar dipisahkan, satu dibawa ke cahaya… satu disembunyikan dalam bayangan.

Suara kembali bergema, kini lebih jelas:

*“Anakku… kau datang.”*

Dari ujung lorong darah itu, muncul sosok: tinggi, bermantel merah tua, wajah tertutup bayangan. Tapi matanya menyala seperti bara hitam. Ia bukan makhluk biasa. Ia adalah *Ayah*. Entitas yang tertidur selama ratusan tahun.

“Kenapa aku?” tanya Laras.

Ayah menjawab, “Karena kau… seimbang. Kau membawa cinta dari dunia cahaya, dan darah dari dunia kegelapan.”

Laras menatap matanya, mencoba menahan gejolak batin. “Apa kau ingin aku menggantikanmu?”

Senyum samar. “Aku ingin kau memilih. Dunia tak butuh penguasa. Dunia butuh penentu.”

Laras berdiri tegak. “Aku belum siap.”

Sosok itu menunduk sedikit. “Tapi waktu tidak menunggu.”

Dan saat ruangan mulai runtuh, Laras dilempar kembali ke dunia luar — terjatuh keras di tanah, napas terengah. Alric langsung menangkapnya.

“Laras!”

Laras membuka matanya perlahan. Tapi kali ini, bukan hanya matanya yang berbeda.

*Aura seluruh tubuhnya berubah.*

Ia telah melihat yang tersembunyi.

Dan di balik itu semua, ia tahu satu hal pasti:

*Perang... akan segera dimulai.*

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 12: Malam Yang Dijanjikan

    Hujan turun deras di perbukitan tempat Laras dan yang lain bersembunyi. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya berwarna gelap, seperti darah yang menipis di udara. Langit diselimuti awan merah, tanda bahwa *bulan darah* sebentar lagi akan muncul.Laras berdiri di tepi jurang, menatap lembah luas yang akan menjadi medan perang.“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Alric, berdiri di sampingnya.“Kalindra akan buka gerbang penuh di sini,” jawab Laras. “Tempat pertama kali leluhur kita mengikat perjanjian darah.”Senara datang sambil membawa peta kuno. “Ada jalur masuk tersembunyi dari utara. Kita bisa gunakan itu untuk menyusup sebelum ritual dimulai.”Laras menatap ke arah kabut yang menggantung tebal. *Malam ini bukan hanya pertarungan darah—ini pertarungan pilihan.*“Aku tidak akan menyerah, Alric. Meski dia ayahku. Meski yang harus aku lawan adalah bagian dari diriku sendiri.”Alric menggenggam tangannya erat. “Dan aku tidak akan melepaskanmu. Meski dunia memaksa.”Kabut tebal menggulung per

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 11: Darah Yang Menuntut

    *Tiga hari setelah kemunculan Kalindra.*Langit tak pernah lagi biru sepenuhnya. Ada semburat merah samar setiap pagi, seolah dunia sedang menahan napas. Desa terdekat mulai merasakan ketegangan: ladang gagal panen, ternak mati tanpa sebab, dan mimpi buruk menjangkiti anak-anak.Laras duduk di tepi danau kecil di dekat hutan. Airnya memantulkan wajahnya—tapi kali ini, bayangannya bukan miliknya sendiri. Itu *Kalindra*, menatap balik dari permukaan air, tersenyum tenang.Laras memukul air itu dengan tangannya, gemetar. “Aku nggak akan kalah... walaupun darah kita sama.”Dari belakang, Alric datang diam-diam dan duduk di sampingnya. “Kalau dia memang bagian dari warisan yang sama, mungkin kita perlu tahu lebih banyak soal masa lalu keluargamu.”Laras menoleh. “Aku nggak tahu siapa ibuku. Ayahku meninggal sebelum sempat cerita.”Alric mengeluarkan sebuah gulungan tua dari jubahnya. “Aku menemukan ini di perpustakaan bawah kuil vampir tua di utara. Isinya... tentang *Perjanjian Da

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 10: Bayangan Yang Bangkit

    *Tiga hari berlalu.* Lembah di mana monolit berdiri kini berubah menjadi tanah suci yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Sejak Laras dan Alric membuka ingatan masa lalu, langit di atas lembah itu selalu merah saat senja. Tidak gelap… tapi juga tidak damai. Senara duduk di tepi bukit, matanya tak lepas dari awan-awan aneh yang berputar di utara. “Sesaat setelah cinta kalian terbuka, mereka langsung kirim pasukan. Kayak mereka takut sesuatu bangkit.” Laras menatap tanah lembah. “Mereka tahu. Cinta ini bukan cuma kekuatan. Ini kunci.” Alric muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. “Aku baru kembali dari desa sebelah. Mereka juga dapat mimpi buruk.” Laras mengernyit. “Mimpi?” Alric mengangguk. “Tentang sosok tinggi… bermata merah… dan membawa rantai dari tulang.” Senara berdiri cepat. “Itu bukan mimpi. Itu *Bayangan Penjaga*. Dia cuma muncul kalau batas antara dunia lama dan dunia sekarang mulai runtuh.” Laras menatap Alric dengan ngeri. “Maksudmu... kita nggak cuma

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 9: Retakan Didalam Cinta

    Desa telah sepi. Bukan karena penduduknya pergi—tapi karena semua orang kini hidup dalam *diam dan ketakutan*. Setelah ledakan energi dari pertarungan kemarin, banyak yang percaya bumi itu sendiri mulai menolak keberadaan Laras dan Alric. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri desa, bahu membahu. Tapi tidak semua mata memandang mereka dengan rasa hormat. Beberapa memandang dengan waspada… bahkan curiga. “Aku mulai merasa asing di tempat ini,” kata Alric pelan. Laras menggenggam tangannya. “Kita tak butuh pengakuan mereka. Kita butuh waktu. Dan kamu.” Namun belum sempat langkah mereka jauh, seseorang menghadang mereka di tengah jalan—*kepala penjaga desa*, tua, berjubah coklat tanah, dengan wajah keras. “Kalian membawa kutukan ke tanah ini,” katanya datar. “Langit berubah. Binatang di hutan pergi. Dan orang-orang mulai bermimpi buruk setiap malam.” “Kami sedang melawan kekuatan yang lebih besar,” jawab Laras, menahan emosi. “Masalahnya,” lanjut sang penjaga, “kalian bukan lag

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 8 : Api yang diam

    Pagi menyelimuti hutan dengan kabut tipis. Tapi tidak ada damai di dalamnya—*hutan itu sunyi karena takut.* Langkah Laras pelan tapi pasti. Di belakangnya, Senara mengikuti dengan mata penuh tanda tanya. Aura emas darah Laras belum mereda sepenuhnya. Ia seperti menyimpan *api dalam diam*—tidak membakar, tapi siap meledak kapan saja. "Ke mana kita sekarang?" tanya Senara. "Ke Alric," jawab Laras singkat. Mereka melintasi jalur tanah yang telah berubah bentuk. Bekas pertempuran semalam masih terlihat. Pohon-pohon patah, tanah hangus, dan... *darah*. Banyak darah. Tapi tidak ada tubuh. Hanya kehancuran. Laras berhenti di tengah lapangan kecil di tepi sungai. Di sana, berdiri sosok yang dikenalnya.Alric. Ia berdiri diam, punggung menghadap Laras, tubuhnya berlumur luka kering. Tapi ada yang aneh. Aura di sekelilingnya berbeda. Terlalu tenang. Terlalu... kosong. "Alric!" Laras berlari mendekat. Saat pria itu menoleh, Laras langsung terdiam. Mata Alric tak lagi berwarna emas—melai

  • Bayang di Balik Kabut   BAB 7: Bayang yang mengikuti

    Malam itu sunyi, tapi tidak damai.Desa masih berbau asap dan darah. Banyak rumah hancur sebagian, dan tanah di luar pagar penuh bekas luka — bukan luka biasa, tapi *luka yang tidak akan sembuh* karena ditinggalkan oleh makhluk kegelapan.Laras duduk di samping Alric yang masih terbaring. Tubuhnya mulai pulih, tapi napasnya belum stabil.“Kau seharusnya tidak menahan sabit itu sendiri,” bisik Laras.Alric membuka mata pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku sudah pernah kehilangan orang yang kucintai sekali. Aku tidak akan ulangi itu lagi.”Laras menggenggam tangannya. “Aku juga tidak ingin kehilangan kamu.”Di luar, Senara berdiri menatap langit dari atas menara kayu.“Perang ini belum selesai,” gumamnya. “Mereka mundur bukan karena kalah… tapi karena puas. Sekarang mereka tahu seberapa kuat Laras.”Dari balik pepohonan, bayangan kecil menyelinap, bergerak pelan. Seperti… *mengintai*.Senara menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Tapi udara terasa lebih dingin. Dan di atas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status