MasukFajar belum sepenuhnya datang, tapi desa Laras terasa lebih gelap dari biasanya. Angin membawa aroma asing—logam, seperti darah, bercampur tanah basah. Tak ada yang menyadarinya, kecuali satu orang.
Laras berdiri di jendela kamarnya, memandangi arah hutan. Matanya sudah tidak sama. Ia bisa melihat gerakan bayangan di kejauhan, suara napas makhluk yang tak terlihat manusia. “Dia bangun,” gumamnya. Di belakangnya, Alric duduk di kursi kayu, luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih. “Apa kau yakin?” tanyanya. Laras menoleh. “Aku nggak mimpi, Ric. Aku merasakannya sejak altar itu—ada yang bangkit. Tapi belum sepenuhnya lepas.” Alric bangkit, menatap serius. “Kalau benar dia bangun… kita punya waktu sangat sedikit. Tanah Terlarang bukan lagi batas. Dunia manusia mulai retak.” Laras mengangguk pelan. Tapi hatinya belum hanya gelisah karena itu. Ia juga mulai merasakan sesuatu lain. *Dorongan haus*. Bukan haus darah… tapi energi. Emosi. Sesuatu yang hanya muncul saat dekat dengan Alric. “Kenapa tubuhku makin aneh?” tanyanya lirih. “Semakin aku terikat, semakin aku kehilangan bagian yang dulu aku kenal sebagai 'aku'.” Alric menatapnya dalam. “Karena kau bukan sepenuhnya manusia lagi.” Laras terdiam. Tapi sebelum keheningan menguasai, sebuah suara dari luar rumah memecah segalanya. Ketukan. Lalu suara. “Laras, bukakan pintunya. Aku tahu kau di dalam.” Suara perempuan. Tapi bukan suara dari desa. Suara itu… *familiar*, tapi juga asing. Laras membuka pintu perlahan. Dan di hadapannya berdiri seorang wanita muda, berpakaian seperti manusia biasa—tapi matanya… *Sama seperti milik Laras.* Perempuan itu tersenyum kecil. Tapi senyumnya bukan kehangatan — lebih seperti teka-teki yang belum selesai. Rambutnya hitam pekat, kulitnya pucat, dan gerakannya terlalu tenang… terlalu terukur. “Siapa kamu?” tanya Laras, pelan tapi waspada. Perempuan itu menatap langsung ke mata Laras. “Namaku *Senara*. Dan aku... adalah saudaramu.” Laras mengernyit. “Aku nggak punya saudara.” “Tidak di dunia ini. Tapi di dunia lain... kau bagian dari garis keturunan yang dibelah dua. Aku penjaga bayangan. Kau, penjaga gerbang. Kita… dua sisi dari satu warisan.” Alric berdiri di samping Laras, ekspresinya langsung berubah tegang. “Dia berbahaya, Laras.” Senara tertawa kecil. “Tentu saja aku berbahaya. Begitu juga dengan kalian.” Laras menatap Senara penuh curiga. Tapi di dalam dirinya, darahnya bergerak—*merespons kehadiran Senara*. Seolah tubuhnya mengenali sesuatu yang pikirannya belum sempat pahami. “Apa maumu?” tanya Laras. “Aku datang bukan untuk bertarung. Tapi untuk memberi peringatan,” jawab Senara. “Yang bangkit dari bawah altar bukan hanya makhluk tua. Tapi *ayah kita*.” Jantung Laras seolah berhenti berdetak. “Ayah...?” “Ya. Bukan manusia. Bukan vampir. Tapi makhluk pertama—yang menciptakan jalur antara dunia cahaya dan gelap. Ia tertidur karena perjanjian. Dan kau… baru saja membangunkannya.” “Ayah kita bukan manusia, Laras,” ulang Senara. “Dia penjaga malam pertama, pencipta ikatan darah dan pengikat gerbang dunia gelap.” Laras menatapnya tak percaya. “Berarti... aku dilahirkan untuk ini? Untuk membuka segel dan membangunkan dia?” “Tidak,” jawab Senara. “Kau diciptakan untuk *memilih* — menyelamatkan atau menggantikannya.” Alric melangkah maju. “Laras tidak akan memilih sisi kegelapan.” Senara menatap Alric sejenak, kemudian tersenyum dingin. “Kau berbicara seolah kau mengenalnya lebih dari darahnya sendiri. Tapi ikatan cinta tak bisa mengalahkan warisan yang mendidih dalam tubuhnya.” Laras merasa kepalanya berputar. Suara-suara mulai berdengung di telinganya. Di matanya, sesaat dunia seperti terbagi dua — satu sisi hitam merah, satu sisi biru pucat. Ia jatuh berlutut. Alric langsung menahan tubuhnya. “Laras!” Suara ayah. Suara asing. Suara dalam pikirannya. *“Anakku… dunia ini bukan milik mereka. Datanglah ke tengah gerbang. Warisanmu menunggumu.”* Laras memejamkan mata, mencengkeram tanah. Tapi saat ia membuka matanya lagi, sesuatu berubah. Ia bisa melihat *garis* di udara—seperti retakan dimensi. Dan di tengahnya, cahaya merah mengalir seperti darah beku yang menyala. Senara berkata pelan, “Dia membuka jalur. Dan hanya kau yang bisa melewatinya.” Alric mengguncang Laras. “Jangan dengarkan dia! Itu perangkap!” Tapi Laras… tidak bisa berhenti melihatnya. Cahaya itu seperti magnet dalam jiwanya. Makin lama dipandang, makin terasa seperti *rumah*. “Apa yang akan terjadi kalau aku masuk?” bisiknya. Senara menjawab, lembut tapi tegas. “Kau akan melihat kebenaran. Tentang siapa dirimu sebenarnya.” Dan malam itu, di antara dua sisi yang saling tarik-menarik, Laras berdiri di ambang — di antara cinta yang melindungi dan darah yang memanggilnya pulang. Laras menatap garis retakan bercahaya di udara itu—makin lama makin terbuka, membentuk seperti gerbang tipis berlapis kabut merah. Dari celahnya, terdengar bisikan, tangisan, dan… suara yang memanggil namanya dengan lembut namun menusuk. *“Laras… pulanglah.”* Alric berdiri di belakangnya, tangan masih menggenggam pergelangan Laras. “Kalau kau masuk, aku tak bisa ikut. Itu bukan jalur untuk vampir.” Senara mengangguk. “Gerbang darah hanya menerima satu pewaris. Bahkan aku pun tak bisa masuk, meski darahku sama.” Laras menoleh cepat. “Kenapa tidak?” “Karena aku telah memilih sisi. Kau belum.” Alric menggeleng. “Kau nggak harus masuk ke sana hanya karena mereka bilang begitu. Kita bisa cari cara lain.” Tapi Laras tidak menjawab. Dalam dirinya, dua hal bertarung: rasa takut kehilangan siapa dirinya… dan rasa ingin tahu yang membakar. Ia perlahan melangkah mendekat ke retakan. Suara di dalam kepalanya kembali—lebih kuat. *“Langkahmu menentukan nasib dua dunia. Tapi juga hatimu. Jika kau masuk dengan cinta yang retak… maka kau akan hancur dari dalam.”* Laras menatap ke belakang. Matanya menatap mata Alric. Tak ada kata yang keluar. Tapi dalam satu tatapan, mereka saling berkata: *“Tunggu aku kembali.”* Dengan satu tarikan napas, Laras melangkah ke dalam cahaya retakan merah itu. Gerbang menutup… seketika. Alric berteriak, “LARAS!” Senara menatap gerbang yang lenyap. “Jika dia keluar… dia tak akan lagi jadi manusia. Atau gadis yang kau cintai dulu.” Alric menatapnya tajam. “Maka aku akan mencintai dia… apapun bentuknya nanti.” Di dalam retakan, Laras tidak berjalan di tanah. Ia *melayang* dalam ruang tanpa arah — dikelilingi arus darah yang mengalir seperti sungai di udara. Di sekelilingnya, bayangan berbisik, memperlihatkan kilasan masa lalu yang tak pernah ia lihat: — Seorang perempuan berwajah mirip dirinya, melahirkan di altar kuno. — Seorang pria bermata gelap berdiri di tengah kabut, membelah dunia dengan tangannya sendiri. — Bayi kembar dipisahkan, satu dibawa ke cahaya… satu disembunyikan dalam bayangan. Suara kembali bergema, kini lebih jelas: *“Anakku… kau datang.”* Dari ujung lorong darah itu, muncul sosok: tinggi, bermantel merah tua, wajah tertutup bayangan. Tapi matanya menyala seperti bara hitam. Ia bukan makhluk biasa. Ia adalah *Ayah*. Entitas yang tertidur selama ratusan tahun. “Kenapa aku?” tanya Laras. Ayah menjawab, “Karena kau… seimbang. Kau membawa cinta dari dunia cahaya, dan darah dari dunia kegelapan.” Laras menatap matanya, mencoba menahan gejolak batin. “Apa kau ingin aku menggantikanmu?” Senyum samar. “Aku ingin kau memilih. Dunia tak butuh penguasa. Dunia butuh penentu.” Laras berdiri tegak. “Aku belum siap.” Sosok itu menunduk sedikit. “Tapi waktu tidak menunggu.” Dan saat ruangan mulai runtuh, Laras dilempar kembali ke dunia luar — terjatuh keras di tanah, napas terengah. Alric langsung menangkapnya. “Laras!” Laras membuka matanya perlahan. Tapi kali ini, bukan hanya matanya yang berbeda. *Aura seluruh tubuhnya berubah.* Ia telah melihat yang tersembunyi. Dan di balik itu semua, ia tahu satu hal pasti: *Perang... akan segera dimulai.* ---Hutan pagi kembali hening setelah pertarungan dengan bayangan besar. Namun bagi Ravien dan Laras, ketenangan itu terasa menyesakkan. Setiap langkah mereka penuh kewaspadaan, karena ancaman belum sepenuhnya hilang. Bayangan itu mungkin lenyap, tapi jejak mereka tetap tersisa. Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus menyapu ke sekeliling. “Kita harus menemukan jalur rahasia yang bisa membawa kita ke tempat Bayu,” ucapnya, suara rendah tapi tegas. Laras mengikuti di belakang, menatap sekeliling dengan cemas. “Aku takut… kalau kita terlambat, Bayu mungkin sudah menghadapi mereka sendirian.” Ravien menoleh sekilas, matanya merah menyala, tapi ada kehangatan di sorotnya. “Itulah kenapa kita harus segera. Dan kau… kau harus tetap fokus. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.” Laras menggenggam tangan Ravien. “Aku di sini. Selalu bersamamu.” Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang sempit, dipenuhi akar-akar pohon yang menjulur dan daun-d
Hutan pagi tampak tenang, meski udara masih terasa tegang. Setelah pertempuran dengan pemimpin Kultus Malam, Ravien dan Laras berjalan menyusuri jalan setapak yang berliku, langkah mereka berhati-hati. Setiap pohon, setiap bayangan, bisa saja menyimpan ancaman tersembunyi. Ravien menggenggam pedangnya erat, matanya terus menyapu sekeliling. “Kita harus segera menemukan jalur menuju Bayu,” ujarnya pelan. “Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi.” Laras menatapnya, wajahnya pucat tapi penuh tekad. “Aku ikut. Jangan coba menahan aku. Aku bisa bertarung.” Ravien tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan rasa cemas. “Aku tidak menahanmu. Tapi kita harus cermat. Musuh kita bukan hanya dari dunia nyata, tapi juga dari bayangan masa lalu kita.” Mereka melanjutkan perjalanan, tapi kabut tiba-tiba menebal. Udara menjadi dingin dan lengket, membuat langkah mereka berat. Dari balik kabut, muncul siluet samar—bayangan yang bergerak cepat, menatap mereka dengan mata merah berkilau
Embun pagi menutupi daun-daun di hutan, menciptakan kilauan kecil seperti ribuan permata. Namun keindahan itu terasa palsu bagi Ravien dan Laras. Setelah pertarungan dengan Ravel, hati mereka masih bergejolak, dan luka-luka lama belum benar-benar tertutup.Ravien berjalan di depan, pedangnya tergenggam erat, matanya terus mencari tanda-tanda bahaya. Laras mengikuti di belakang, langkahnya ringan namun waspada. Hatinya tak lepas dari rasa bersalah karena Bayu masih menghadapi kultus itu sendirian.“Ravien,” Laras memulai dengan suara lembut tapi tegas, “kita harus menemukan jalur balik ke dimensi itu. Bayu menunggu kita, dan kita tidak boleh membiarkannya sendirian.”Ravien menatapnya sekilas, lalu kembali ke jalan. “Aku tahu. Tapi setiap langkah ke sana… aku bisa merasa bayangan masa lalu semakin mendekat. Ravel belum selesai denganku. Dan aku… belum siap menghadapi semuanya lagi.”Laras menggenggam lengan Ravien. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Jangan coba menanggung sendiri.”Ra
Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, meski matahari telah naik malu-malu dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan. Suara burung pun tak terdengar—seolah alam pun ikut diam, menyimpan rahasia yang tak ingin dibagikan.Laras duduk di tepi sungai kecil, membasuh luka di tangannya dengan air yang mengalir pelan. Matanya sembab, masih menyisakan sisa tangis semalam. Di belakangnya, Ravien diam berdiri, menjaga jarak namun tak pernah benar-benar menjauh.“Aku… masih bisa mendengar suara Bayu saat dia berteriak memanggil kita,” ujar Laras pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemericik air.Ravien menunduk. “Aku juga.”Mereka belum bicara sejak lolos dari dunia bayangan. Tubuh mereka selamat, tapi jiwa mereka masih tertinggal di sana—di tempat Bayu berdiri sendirian menghadapi kegelapan demi mereka.“Kita harus kembali,” Laras akhirnya berkata. “Kita nggak bisa ninggalin dia begitu aja.”Ravien mengangguk, walau dalam hatinya ia tahu itu bukan keputusan mudah. Dunia bayangan hanya t
Kabut belum juga sirna saat pagi datang. Desa masih terdiam dalam ketakutan, dan tidak seorang pun berani keluar dari rumah mereka. Bayangan yang mulai menyebar dari hutan kini sudah mencapai tepi desa, membuat langit siang tampak seperti senja yang kelabu.Ravien duduk di teras rumah Bayu, tatapannya kosong, pikirannya terjebak pada Laras yang kini masih berada dalam dimensi ujian. Sudah semalaman penuh Laras tidak kembali, dan itu cukup untuk membuat gelisah merayapi hatinya.“Dia kuat,” ujar Bayu, datang dengan dua cangkir teh panas. “Kalau bukan Laras, mungkin kita semua sudah hancur dari awal.”Ravien menerima teh itu, tapi tak sempat menyeruputnya. “Aku tahu. Tapi tetap saja... dia di sana sendirian. Kalau ujian itu gagal, bukan hanya dia yang hilang.”Bayu menatap langit. “Aku mencoba melacak jejak energi si bayangan itu. Seolah-olah... dia bukan makhluk biasa. Dia terikat dengan Ravien, atau lebih tepatnya, dengan darah vampirmu yang belum sepenuhnya terikat pada dunia ini.”R
Malam telah berganti fajar, namun ketegangan yang mengendap sejak pertempuran semalam belum juga mereda. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir hutan, Laras duduk bersandar di ambang jendela, menatap matahari yang malu-malu muncul di balik pepohonan.Suasana tenang itu seolah palsu, karena pikirannya masih dipenuhi pertanyaan: siapa pria berjubah gelap itu? Apa maksudnya dengan kekuatan yang tersembunyi dalam darah Ravien?Ravien duduk tak jauh darinya, menatap secangkir teh yang mulai mendingin. Luka di lengannya telah dibalut, tapi luka di dalam hatinya jauh lebih sulit sembuh.“Kau tidak tidur semalaman,” ucap Laras pelan tanpa menoleh.Ravien menarik napas panjang. “Aku bermimpi. Tapi bukan mimpi biasa. Aku melihat seorang wanita… wajahnya mirip denganmu. Tapi dia menangis, berdiri di tengah api. Lalu terdengar suara, ‘Janji belum ditepati. Bayangan akan menuntut.’”Laras perlahan menoleh, ekspresi wajahnya berubah tegang. “Apa maksudnya, Ravien? Janji apa?”Sebelum Ravien bisa







