LOGINHutan di luar gerbang sekte seharusnya penuh suara serangga, ranting patah, angin yang menyentuh daun. Tapi malam itu tidak ada apa pun, seolah dunia menahan napas saat Kael berjalan sendirian dalam hujan.
Bayangan di bawah kakinya mengikuti langkahnya, bukan menempel seperti biasa, tapi bergerak, seolah hidup. Tanah menyerap jejaknya dan menutup kembali, menyembunyikan kehadirannya dari siapa pun yang mengejar.
Tanah ini mengenal kita, bisik darah bayangan dari dalam tubuhnya. Sebelum dunia memberi nama pada kegelapan, tempat ini sudah mengakuinya.
Kael tidak menanggapi. Ia hanya berjalan, tenang, seperti seseorang yang tidak lagi membutuhkan alasan untuk hidup, hanya arah.
Jalan setapak menghilang. Pepohonan rapat, kabut turun, dan lembah gelap di depan tampak seperti mulut yang menunggu.
Itulah Lembah Sunyi Bayangan. Tempat yang dibicarakan murid nakal, disembunyikan tetua, dan dilupakan sejarah. Tempat yang dikatakan menelan cahaya dan mengembalikan sesuatu yang tidak lagi sepenuhnya hidup.
Kael baru akan memasuki batas lembah ketika tanah bergetar kecil, bukan gempa, tapi langkah. Tiga arah, ringan, terlatih.
Ia berhenti.
“Berhenti di situ!” perintah suara laki-laki dari kiri. Suara tali busur yang ditarik terdengar jelas. “Gerak sedikit, dan panah ini akan menembus jantungmu.”
Dua bayangan lain bergerak menutup belakang dan kanan. Mereka tidak memakai lambang sekte. Jubah hitam, wajah tertutup kain, senjata ringan. Bukan murid, bukan tetua.
Pemburu.
“Terlalu tenang.” Suara perempuan di kanan berbisik. “Dia tahu kita ada di sini.”
Kael tidak menoleh. “Kalian dari sekte?”
“Tentu bukan,” jawab si kiri. “Kalau dari sekte, mereka akan datang ribut dan sombong. Kami tidak suka sombong.”
Kael menurunkan napas tipis. “Kalian mengikutiku sejak arena.”
“Sejak kau menelan aura darah.” Perempuan itu mengakui. “Teknik terlarang seperti itu tidak boleh dibiarkan tanpa pemilik.”
Kael melirik tanah. “Kalian mau menangkapku?”
“Kami mau menilai dulu,” kata pria kiri. “Ada yang ingin membeli tubuhmu. Ada yang ingin menyiksamu. Ada yang ingin mempelajari darahmu. Kami ingin tahu mana yang paling untung.”
“Siapa kalian?”
“Pedagang Hening,” ungkap perempuan itu. “Kami tidak menjual suara. Hanya benda, dan kau … adalah benda berharga.”
Kael diam sejenak, sebelum menjawab datar, “Kalau begitu, mengapa kalian menarik panah?”
“Karena semua barang yang berharga harus diuji ketahanannya.”
Panah dilepaskan.
Kael tidak bergerak.
Bayangan di bawahnya menebal, seperti kabut hitam yang memadat. Panah yang seharusnya mengenai jantungnya menghilang, seolah ditarik ke lubang gelap.
Panah kedua menyusul, dan lenyap lagi.
“Tidak mungkin …” Perempuan itu tersentak, menarik busur lebih tinggi. “Aura panahku ditelan!”
“Bukan aura,” sahut pria tua di belakang, suaranya waspada. “Itu … darah bayangan sungguhan.”
Kael mengangkat tangan perlahan. Bayangan membentuk garis tipis, seperti bilah yang belum disarungkan.
“Kalian datang untuk menilai,” katanya pelan. “Sekarang kalian sudah tahu.”
Pria kiri menghunus belati dan melompat, tapi begitu mata pisaunya menyentuh bayangan Kael, logam itu retak, pecah seperti kaca dingin yang muak disentuh.
Pria itu mundur, terkejut. “Dia bahkan tidak memakai teknik pertahanan, bayangannya yang menahan!”
Kael menoleh sedikit, tatapannya datar. “Pergi, atau aku uji ketahanan kalian.”
Si perempuan menurunkan busur pertama kali. “Tidak hari ini,” katanya. Ia melempar sesuatu ke tanah, kantong kain kecil berisi peta lusuh dan tanda hitam. “Itu jalur masuk lembah yang tidak bisa dilihat mata biasa. Anggap saja bayaran untuk tidak membunuh kami.”
Pria tua menambahkan, “Kami tidak menjualmu hari ini. Tapi kami akan menjual beritamu. Dunia akan tahu kau bangkit.”
Kael mengambil peta itu tanpa berkata apa pun.
Para pemburu menyingkir, hilang ke kabut tanpa suara. Kael melanjutkan langkahnya lebih dalam ke hutan.
Dunia mencium darahmu, bisik suara gelap di dalamnya. Mereka akan datang, membeli, memburu, memohon. Pilih urutanmu.
“Aku memilih yang menertawakan dulu,” jawab Kael.
Hutan berhenti. Tanah turun, membelah menjadi jalur curam yang mengarah ke dinding lembah hitam. Tidak ada cahaya yang masuk, tidak ada suara yang keluar.
Di sini, hujan pun berhenti, bukan karena terlindung, tapi karena udara menelan tetesannya.
Bayangan Kael menyebar, menyentuh tanah, dan tanah membalas, seperti makhluk tidur yang mengenali darahnya.
Pewaris ke-7… kau datang.
Kael menatap dinding hitam itu. “Apa yang menunggu di dalam?”
Bukan jawaban, bukan kekuatan. Tapi bagian dirimu yang belum pernah kau bangunkan.
Jembatan bayangan terbentuk, menghubungkan kakinya ke pintu lembah.
Kael melangkah.
Satu langkah, dua, tiga, dan dinding hitam itu membelah, membuka lorong seperti mulut raksasa yang tidak memiliki gigi, hanya kedalaman.
Darah Kael berdenyut, bukan cepat, tapi dalam.
“Kalau ini tempatku tumbuh,” katanya tenang, “Maka biarkan dunia mempersiapkan dirinya untuk jatuh.”
Ia masuk.
Lorong tertutup di belakangnya, memutus cahaya, suara, dan segala hubungan terakhir dengan dunia lama.
Dan jauh di dalam kegelapan sana … sesuatu bangun.
Pada detik itu, Kael merasakan perubahan pertama. Udara di dalam lorong bukan sekadar dingin, ada berat di dalamnya, seperti tekanan yang hanya bisa dirasakan oleh seseorang yang pernah dipaksa hidup dalam gelap terlalu lama.
Setiap langkahnya memantul, tidak sebagai gema, tetapi sebagai desahan lembut, seolah lantai itu sendiri sedang mencatat kedatangannya.
Bayangan Kael tidak lagi mengikuti, melainkan merayap mendahului, seperti penunjuk arah yang mengenali tempat ini lebih dulu darinya. Dan di kejauhan, sebuah napas panjang terdengar, bukan napas makhluk hidup, melainkan ruang yang bernafas.
Pewaris ke-7… kau masuk lebih dalam dari yang lain.
Bisikan itu kini lebih jelas. Tidak lagi menggema di pikiran, tetapi seolah berada tepat di belakang telinganya. Kael tidak menoleh. “Berapa banyak yang pernah masuk sebelumku?” tanyanya.
Enam, jawab suara itu. Enam yang dipilih, enam yang tidak keluar.
Kael berhenti sejenak, “Apakah mereka mati?”
Tidak. Mereka menjadi bagian dari apa yang kau injak sekarang.
Kael kembali bergerak, tak ada ketakutan. Hanya pemahaman baru, bahwa di sini, tidak ada tempat bagi mereka yang ingin tetap manusia.
Dinding-dinding lembah mulai menyala samar, garis tipis seperti urat berwarna hitam keunguan, seolah darahnya sendiri dipantulkan oleh batu. Kael merentangkan jari untuk menyentuhnya. Batu itu terasa dingin, tetapi saat kulitnya menyentuh, garis itu menyala lebih terang, merespons darahnya seperti kunci menemukan pintu.
Temui yang menunggumu di dasar lembah, bisik itu lagi. Dialah yang akan menjawab apakah kau akan menjadi iblis … atau tuannya.
Kael menurunkan tangan. “Aku tidak datang untuk bertanya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengambil.”
Dan untuk pertama kalinya, lembah tertawa.
Tidak keras, tidak meledak. Hanya getaran halus, seperti bumi bergerak sangat pelan, cukup untuk mengatakan satu hal.
“Silakan! Buktikan kau berbeda dari enam yang gagal.”
Kael melangkah lebih dalam, dan untuk sesaat, hanya keheningan yang menyambutnya.
Lalu, sesuatu bergerak.Bukan angin. Bukan binatang. Sebuah bayangan besar, tinggi, namun tidak memiliki bentuk pasti, mulai menyatu dari kegelapan di ujung lorong.
Dua mata terbuka di dalam kegelapan tanpa cahaya, tapi Kael merasa ditatap.
Dan lembah berbisik seperti pertanyaan, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”
Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya
Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba
Hutan di luar gerbang sekte seharusnya penuh suara serangga, ranting patah, angin yang menyentuh daun. Tapi malam itu tidak ada apa pun, seolah dunia menahan napas saat Kael berjalan sendirian dalam hujan.Bayangan di bawah kakinya mengikuti langkahnya, bukan menempel seperti biasa, tapi bergerak, seolah hidup. Tanah menyerap jejaknya dan menutup kembali, menyembunyikan kehadirannya dari siapa pun yang mengejar.Tanah ini mengenal kita, bisik darah bayangan dari dalam tubuhnya. Sebelum dunia memberi nama pada kegelapan, tempat ini sudah mengakuinya.Kael tidak menanggapi. Ia hanya berjalan, tenang, seperti seseorang yang tidak lagi membutuhkan alasan untuk hidup, hanya arah.Jalan setapak menghilang. Pepohonan rapat, kabut turun, dan lembah gelap di depan tampak seperti mulut yang menunggu.Itulah Lembah Sunyi Bayangan. Tempat yang dibicarakan murid nakal, disembunyikan tetua, dan dilupakan sejarah. Tempat yang dikatakan menelan cahaya dan mengembalikan sesuatu yang tidak lagi sepenuh
Hujan masih turun saat suara bel darurat sekte berdentang tiga kali. Arena yang sebelumnya dipenuhi sorak dan cemooh kini berubah menjadi tempat di mana setiap orang memilih untuk diam, bukan karena hormat, tapi karena takut membuat suara yang salah.Lord Varyon Astaroth turun dari singgasananya. Dengan satu langkah saja, tribun yang kacau mulai kembali teratur. Para murid yang tadinya berseru ingin menyaksikan kematian Kael kini menunduk, seolah takut menyebut namanya dengan suara terlalu keras.Varyon menatap Kael lama, sebelum akhirnya mengucapkan satu kalimat yang mengubah segalanya.“Mulai detik ini, Kael Astaroth bukan lagi bagian dari keluarga Astaroth. Namanya dicabut dari silsilah, dan statusnya adalah pemberontak tingkat pertama.”Geger langsung pecah.Dicabut dari silsilah, artinya Kael bukan lagi putra, bukan pewaris, bukan keturunan. Bahkan anak budak masih memiliki nama di dalam sekte. Namun Kael? Sekarang ia adalah seseorang yang tidak pernah lahir.Darian melangkah maj
Gelap menutup dunia. Sorak, hujan, suara runtuhnya tubuh Kael, semua hilang seolah ditelan ruang lain.Kael berdiri di sebuah dimensi yang tidak memiliki warna selain hitam. Lantainya seperti kaca gelap yang memantulkan tubuhnya, wajah pucat, darah mengalir dari dada, mata setengah terpejam. Namun darah itu … hitam. Bukan darah biasa.“Pewaris ketujuh,” sebuah suara bergema. Bukan datang dari satu arah, tapi dari seluruh ruangan. Dalam, dingin, dan terdengar puas. “Akhirnya kau membuka celah itu.”Kael tidak bergerak, namun suaranya tetap tenang. “Kau siapa?”“Pertanyaanmu salah,” jawab suara itu. “Pertanyaannya bukan ‘siapa aku’, tapi ‘apa kau sebenarnya’.”Bayangan di lantai bergetar, seperti genangan air yang disentuh angin. “Selama ini, mereka bilang kau gagal. Bahwa darahmu tidak bereaksi. Bahwa kau terlahir lemah.”Kael menatap jarinya. Ujung kukunya berubah gelap, seolah kegelapan merayap dari dalam tubuhnya.“Padahal, kenyataannya kau hanya … belum mati.”Kael mengerut tipis a
“Lihat dia. Wajah tampan, tubuh bagus, tapi tetap saja sampah.”“Apa, darah iblis murni? Jangan bercanda. Yang mengalir di tubuhnya cuma kegagalan.”“Kalau bukan putra Pemimpin Sekte, dia sudah mati sejak lahir.”Ejekan datang dari segala arah, bergulung seperti badai yang menubruk satu titik, seorang pemuda berdiri sendirian di tengah arena eksekusi Sekte Iblis Suci Langit.Kael Astaroth. Putra ketujuh, pewaris darah ibli yang menurut seluruh sekte tidak layak disebut pewaris apa pun.Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah babak belur. Jubah hitamnya robek, darah kering menodai tepi kain, namun wajahnya tetap tenang. Bukan kosong, melainkan tenang. Seolah semua hinaan yang ditujukan padanya hanya udara yang lewat.Kael tampan, terlalu tampan untuk tempat ini. Rahangnya tajam, kulitnya pucat bersih, sorot matanya gelap dan dalam, seperti malam yang tidak memantulkan bulan. Tubuhnya terlatih, ototnya terdefinisi jelas meski ia tak pernah diberi sumber daya pelatihan layak.Di mata o







