LOGINKeheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”
Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.
Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.
Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.
Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.
Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk dibaca, melainkan dirasa.
Yang dibuang memilih dua jalan, menjadi mangsa, atau menjadi mulut.
“Mulut,” ucap Kael.
Lorong di hadapannya berubah menjadi koridor sempit. Dari langit-langit, bayangan jatuh seperti tirai. Kael melangkah. Saat kakinya menyentuh ambang, sesuatu menggeliat dari lantai, seperti tangan tanpa tulang, mencoba meraih pergelangannya.
Kael tidak menepis, bayangannya yang menepis. Ujung gelap menyentuh “tangan” itu, dan suara rapuh terdengar, seperti kaca tipis pecah di air. Tangan-tangan itu menghitam, mengerut, lalu hancur menjadi debu gelap.
Kekuatanmu menelan, tapi kau masih bernafas seperti manusia, bisik lembah. Apakah kau siap kehabisan udara?
“Manusia yang tersisa di dalamku,” Kael berkata pelan, “Hanya butuh satu hal, mengingat.”
Ia melangkah lebih dalam. Setiap tiga langkah, koridor memunculkan rupa bayang-bayang setinggi manusia, tanpa wajah, masing-masing membawa sisa-sisa aura berwarna, merah, biru, emas.
Mereka datang menyerang tanpa suara. Bayangan Kael merespons seperti air yang dipanaskan, mengembang, merapat, memakan. Cahaya pudar saat menyentuh gelapnya. Yang tersisa hanya abu yang menempel di telapak.
Di serangan keempat, koridor berubah permainan. Bukannya menurunkan musuh, ia menurunkan rasa sakit yang dulu ia telan sendirian, cemooh murid, tatapan ayah, suara Darian di arena. Rasa itu merambati tulang rusuknya seperti paku dingin, mencoba memecah ritmenya.
Kael berhenti. Bukan karena kalah, melainkan untuk mengingat.
Ia melihat wajah ibunya di bawah hujan di hari pengusiran, tangan gemetar yang tetap mengelus rambutnya. Hening yang diminta agar ia tidak membalas, hening yang membuat mereka percaya ia tidak bisa.
“Noda!” Suara Darian pernah berkata. “Kau lahir untuk diinjak.”
Kael mengangkat wajah. Koridor menunggu.
“Terima kasih sudah mengembalikan barangku,” katanya tenang. “Sekarang lihat bagaimana aku memakannya.”
Rasa itu, sakit, hina, malam-malam pendek masuk ke bayangannya seperti air disedot tanah kering. Dingin berubah menjadi tenaga yang merayap ke lengan, berat berubah menjadi ketegasan di telapak. Urat-urat hitam di bawah kulitnya berdenyut pelan.
Kemampuan terbentuk, bisik lembah, terdengar puas. Berikan namanya.
Bayangan di sekitar Kael berkumpul, membentuk mantel tipis yang menyelimuti bahunya, memadamkan tetesan air yang tidak ada. Kael meraba tepinya, ringan, dingin, patuh.
“Jubah Malam,” ucapnya.
Mantel itu menyatu, melindungi, menenangkan paru-paru seolah udara baru disiapkan hanya untuknya. Kael melanjutkan jalan.
Di luar lembah, kabar menyebar seperti api yang tidak membutuhkan kayu. Di pelataran sekte, lembar pengumuman basah oleh hujan, Buronan Tingkat Pertama, Kael (nama dicabut). Hadiah, jatah darah suci 1 tahun.
Darian menatap lembar itu hingga hurufnya terasa seperti arang di mata. “Siapkan tim. Kita ke lembah sekarang.”
Tetua ketiga menghalangi. “Kau mau mati? Lembah menelan aura darah. Kita akan kehilangan lebih dari harga diri.”
“Jadi kita mau menunggu?” dengus Darian.
“Bukan menunggu,” suara Varyon memotong. “Membiarkan lembah menimbang. Jika dia keluar, dia keluar sebagai sesuatu. Dan sesuatu harus dipahami sebelum dihancurkan.”
Darian menoleh. “Atau ditundukkan.”
Varyon tidak berkedip. “Itu juga pilihan.”
Di koridor, langkah Kael memasuki ruangan kedua, lebih kecil, lebih gelap. Di tengah ruangan, sebuah altar rendah, di atasnya tulang, bukan tulang hewan, bukan juga manusia lengkap. Hanya serpih, seperti cawan yang diremukkan dan dibiarkan untuk menjadi pelajaran.
“Enam,” Kael bergumam.
Enam yang mencoba menjadi mulut tanpa belajar menelan, sahut lembah. Apa yang akan kau bayar, Pewaris ke-7?
Kael menatap telapak tangannya, abu aura yang tadi ia telan masih menempel tipis. “Beri aku ujian yang tidak bisa dibayar orang mati.”
Dinding mengerut, jika batu bisa tertawa, begitulah suaranya.
Altar retak. Dari celahnya, asap hitam tipis keluar, membentuk wajah tanpa detail, seperti topeng kabut. Suaranya bukan suara, tetapi gerakan udara yang dipaksa menjadi kalimat:
Tinggalkan satu hal manusia di sini. Sebagai harga untuk berjalan tanpa kembali.
Kael diam. “Hal manusia?”
"Nama, takut, ragu, lapar, rindu. Pilih satu. Yang kau tinggalkan tidak akan lagi menjadi milikmu."
Hening kembali. Kael memikirkan ragu—tapi ragu adalah alat. Lapar—ia membutuhkannya. Takut—berguna untuk mengukur jarak. Nama—sudah diambil sekte, yang tersisa adalah miliknya sendiri, Kael, yang diucapkan ibunya dengan lembut. Rindu—
Ia melihat kalung di telapak, kusam, hangat oleh kulit.
“Rindu tetap tinggal,” katanya lagi. “Aku membawanya melewati tempat mana pun.” Ia menatap kabut itu. “Ambil namaku.”
Kabut bergetar. Nama apa? Dunia sudah mencabutnya.
“Nama yang ibuku pakai,” jawab Kael. Suaranya turun, dingin dan bersih. “Ambil dariku, agar saat aku kembali, dunia akan memohon untuk mengucapkannya lagi.”
Altar berderak pelan. Asap melilit pergelangan tangannya, dingin seperti air malam. Sesuatu tersentak dari dalam dada, bukan daging, bukan darah, tapi cara ia memanggil dirinya sendiri. Untuk sesaat, hampa itu menyentuh tulangnya. Kael tidak bergerak.
Harga diterima. Ruangan berbisik, "Kau berjalan tanpa nama. Kau akan menulis yang baru dengan tanganmu sendiri."
Mata tanpa cahaya kembali menyala di ujung ruangan, lebih dekat, lebih besar. Kael menoleh. “Kau,” katanya kepada yang menunggu di pintu. “Kau yang memutuskan?”
"Aku penjaga. Bukan hakim." Mata itu berkelip, atau mungkin itu batu yang bergerak. "Tapi aku dapat membuka satu pintu lagi, jika mulutmu cukup lapang."
“Buka.”
Dinding terakhir meluncur turun, memperlihatkan jurang sempit yang diisi kabut pekat. Di bawah kabut, sesuatu berdenyut, seperti jantung. Setiap denyutnya membuat udara bergetar, melucuti kehangatan dari kulit.
Di sana, kata lembah. Sumber. Minumlah, jika kau tidak takut kehausan yang tidak pernah selesai.
Kael berdiri di tepi. Jubah Malam berkibar tanpa angin, melukis siluetnya seperti patung dari kegelapan. Ia mengangkat telapak, dan bayangannya memanjang, menyentuh kabut. Suara gesek lembut terdengar, seperti mulut yang disiapkan.
“Jika dunia menolak keberadaanku,” ucapnya, “biarkan dunia belajar lapar dariku.”
Ia melompat.
Kabut menelan sosoknya, dan untuk sekejap, seluruh ruangan padam, ukiran, mata, cahaya semu, semuanya ditarik ke satu titik diam.
Lalu terjadi.
Darah bayangan di tubuh Kael menyala tanpa cahaya. Setiap hinaan yang pernah ia telan menjadi baris gigi, setiap malam ia paksakan napas menjadi urat-urat hitam yang semakin tebal. Sesuatu dari dasar jurang menyambutnya, dingin, tua, lapar, dan menggigit balik.
Bukan untuk menghancurkan, tapi ntuk mengukur.
Daging … atau penguasa?
Kael membuka mata di tengah kabut. Dalam pupilnya, cincin gelap bukan lagi lingkar, melainkan menjadi lambang yang tidak dikenali bahasa mana pun.
Ia tersenyum tipis.
“Coba telan aku,” bisiknya.
Kabut menjawab dengan dentum yang membuat lembah bergetar.
—BERSAMBUNG—
Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya
Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba
Hutan di luar gerbang sekte seharusnya penuh suara serangga, ranting patah, angin yang menyentuh daun. Tapi malam itu tidak ada apa pun, seolah dunia menahan napas saat Kael berjalan sendirian dalam hujan.Bayangan di bawah kakinya mengikuti langkahnya, bukan menempel seperti biasa, tapi bergerak, seolah hidup. Tanah menyerap jejaknya dan menutup kembali, menyembunyikan kehadirannya dari siapa pun yang mengejar.Tanah ini mengenal kita, bisik darah bayangan dari dalam tubuhnya. Sebelum dunia memberi nama pada kegelapan, tempat ini sudah mengakuinya.Kael tidak menanggapi. Ia hanya berjalan, tenang, seperti seseorang yang tidak lagi membutuhkan alasan untuk hidup, hanya arah.Jalan setapak menghilang. Pepohonan rapat, kabut turun, dan lembah gelap di depan tampak seperti mulut yang menunggu.Itulah Lembah Sunyi Bayangan. Tempat yang dibicarakan murid nakal, disembunyikan tetua, dan dilupakan sejarah. Tempat yang dikatakan menelan cahaya dan mengembalikan sesuatu yang tidak lagi sepenuh
Hujan masih turun saat suara bel darurat sekte berdentang tiga kali. Arena yang sebelumnya dipenuhi sorak dan cemooh kini berubah menjadi tempat di mana setiap orang memilih untuk diam, bukan karena hormat, tapi karena takut membuat suara yang salah.Lord Varyon Astaroth turun dari singgasananya. Dengan satu langkah saja, tribun yang kacau mulai kembali teratur. Para murid yang tadinya berseru ingin menyaksikan kematian Kael kini menunduk, seolah takut menyebut namanya dengan suara terlalu keras.Varyon menatap Kael lama, sebelum akhirnya mengucapkan satu kalimat yang mengubah segalanya.“Mulai detik ini, Kael Astaroth bukan lagi bagian dari keluarga Astaroth. Namanya dicabut dari silsilah, dan statusnya adalah pemberontak tingkat pertama.”Geger langsung pecah.Dicabut dari silsilah, artinya Kael bukan lagi putra, bukan pewaris, bukan keturunan. Bahkan anak budak masih memiliki nama di dalam sekte. Namun Kael? Sekarang ia adalah seseorang yang tidak pernah lahir.Darian melangkah maj
Gelap menutup dunia. Sorak, hujan, suara runtuhnya tubuh Kael, semua hilang seolah ditelan ruang lain.Kael berdiri di sebuah dimensi yang tidak memiliki warna selain hitam. Lantainya seperti kaca gelap yang memantulkan tubuhnya, wajah pucat, darah mengalir dari dada, mata setengah terpejam. Namun darah itu … hitam. Bukan darah biasa.“Pewaris ketujuh,” sebuah suara bergema. Bukan datang dari satu arah, tapi dari seluruh ruangan. Dalam, dingin, dan terdengar puas. “Akhirnya kau membuka celah itu.”Kael tidak bergerak, namun suaranya tetap tenang. “Kau siapa?”“Pertanyaanmu salah,” jawab suara itu. “Pertanyaannya bukan ‘siapa aku’, tapi ‘apa kau sebenarnya’.”Bayangan di lantai bergetar, seperti genangan air yang disentuh angin. “Selama ini, mereka bilang kau gagal. Bahwa darahmu tidak bereaksi. Bahwa kau terlahir lemah.”Kael menatap jarinya. Ujung kukunya berubah gelap, seolah kegelapan merayap dari dalam tubuhnya.“Padahal, kenyataannya kau hanya … belum mati.”Kael mengerut tipis a
“Lihat dia. Wajah tampan, tubuh bagus, tapi tetap saja sampah.”“Apa, darah iblis murni? Jangan bercanda. Yang mengalir di tubuhnya cuma kegagalan.”“Kalau bukan putra Pemimpin Sekte, dia sudah mati sejak lahir.”Ejekan datang dari segala arah, bergulung seperti badai yang menubruk satu titik, seorang pemuda berdiri sendirian di tengah arena eksekusi Sekte Iblis Suci Langit.Kael Astaroth. Putra ketujuh, pewaris darah ibli yang menurut seluruh sekte tidak layak disebut pewaris apa pun.Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah babak belur. Jubah hitamnya robek, darah kering menodai tepi kain, namun wajahnya tetap tenang. Bukan kosong, melainkan tenang. Seolah semua hinaan yang ditujukan padanya hanya udara yang lewat.Kael tampan, terlalu tampan untuk tempat ini. Rahangnya tajam, kulitnya pucat bersih, sorot matanya gelap dan dalam, seperti malam yang tidak memantulkan bulan. Tubuhnya terlatih, ototnya terdefinisi jelas meski ia tak pernah diberi sumber daya pelatihan layak.Di mata o







