LOGINHujan masih turun saat suara bel darurat sekte berdentang tiga kali. Arena yang sebelumnya dipenuhi sorak dan cemooh kini berubah menjadi tempat di mana setiap orang memilih untuk diam, bukan karena hormat, tapi karena takut membuat suara yang salah.
Lord Varyon Astaroth turun dari singgasananya. Dengan satu langkah saja, tribun yang kacau mulai kembali teratur. Para murid yang tadinya berseru ingin menyaksikan kematian Kael kini menunduk, seolah takut menyebut namanya dengan suara terlalu keras.
Varyon menatap Kael lama, sebelum akhirnya mengucapkan satu kalimat yang mengubah segalanya.
“Mulai detik ini, Kael Astaroth bukan lagi bagian dari keluarga Astaroth. Namanya dicabut dari silsilah, dan statusnya adalah pemberontak tingkat pertama.”
Geger langsung pecah.
Dicabut dari silsilah, artinya Kael bukan lagi putra, bukan pewaris, bukan keturunan. Bahkan anak budak masih memiliki nama di dalam sekte. Namun Kael? Sekarang ia adalah seseorang yang tidak pernah lahir.
Darian melangkah maju, suara bergetar menahan amarah. “Tidak cukup! Kita harus membunuhnya sekarang juga! Kau lihat sendiri apa yang dia lakukan, dia memakan aura darahku!”
Tapi Varyon menggeleng pelan. “Tidak. Membunuhnya sekarang hanya akan membuat kekuatan itu hilang tanpa dipahami.”
“Jadi kau ingin menyimpannya?!” Darian menjerit. “Dia sudah menghina sekte di depan semua orang!”
Varyon menoleh, dan tatapannya cukup untuk membuat Darian terdiam.
“Kau tidak takut dia melarikan diri?” Salah satu tetua bertanya.
“Dia tidak melarikan diri,” jawab Varyon datar. “Orang yang melarikan diri membuka pintu dengan panik. Dia …” Matanya mengarah pada Kael, “Hanya berjalan keluar.”
Seluruh arena kembali menatap Kael.
Ia masih berdiri di tengah hujan, luka di dadanya masih menghitam, namun ekspresinya tetap sama, tenang, dingin, dan sepenuhnya sadar akan apa yang sedang terjadi.
“Kael,” ujar Varyon. “Kau diizinkan pergi. Dan bila kau memilih kembali dengan pedang, maka itu akan menjadi pilihanmu, bukan takdirmu.”
Kael mengangkat wajah, hujan meluncur dari rambut putih yang menempel di pelipisnya. “Kau menghapus namaku,” katanya tenang. “Tapi tidak ingatanku.”
Darian mendecak. “Berlagak puitis? Kau tetap sampah yang dibuang.”
Kael memandangnya sekejap, tanpa emosi, dan justru itulah yang membuat Darian menggigil.
“Aku ingat setiap orang yang menertawakan kelemahanku,” kata Kael. “Kelemahanku mati hari ini. Tawa kalian menyusul berikutnya.”
Arah tatapannya bergerak perlahan ke tribun, ke para murid yang dulu meludahinya, yang dulu menertawakan cara berjalannya, yang dulu mengira mereka aman karena ia terlalu lemah untuk membalas.
Kini mereka menunduk.
Untuk pertama kalinya sejak ia lahir, keheningan bukan diberikan padanya, melainkan karena dirinya.
Varyon kembali berbicara, suaranya keras agar terdengar sampai sudut terdalam sekte.
Kali ini sebagian murid bersorak, bukan karena berani, tapi karena hadiah itu terlalu besar untuk diabaikan. Namun sebagian lagi tetap diam, tidak yakin ingin menjadi pulang-pergi antara pemburu dan jasad dingin.
Kael tidak menanggapi pengumuman itu.
Sebaliknya, ia menunduk sebentar, meraih kalung tipis yang tergantung di balik jubahnya, kalung yang pernah dipakaikan ibunya saat ia masih kecil. Ia mengepalkan benda itu seolah mengunci satu bagian luka yang tidak ia tunjukkan pada siapa pun.
Lalu ia berkata pelan, “Terima kasih.”
Suara itu membuat banyak orang menoleh dalam bingung.
Kael mengangkat wajah, menatap Varyon. “Karena aku tidak perlu mengotori silsilah ini ketika nanti aku berdiri di atasnya.”
Tatapan Varyon tidak berubah, tapi matanya berkedip satu kali lebih lambat. Itu cukup untuk menunjukkan bahwa ia mengerti apa yang baru saja diputuskan.
Darian melangkah maju lagi. “Berhenti! Pertarungan kita belum selesai!”
Kael menatap tombak patah di tangan kakaknya. Lalu dengan satu gerakan jemari, bayangan di tanah menggulung ujung logam itu, dan logam itu berubah rapuh seperti abu. Hancur dalam satu kedipan.
“Benar,” ucap Kael. “Belum selesai, yang ini hanya awal.” Ia berbalik, melangkah ke arah gerbang sekte. Tidak berlari, tidak bergegas.
Setiap langkahnya terdengar seperti jejak yang menempel permanen di batu, bukan jejak pelarian, tapi jejak pemilik masa depan.
Saat Kael melewati gerbang, hujan tiba-tiba lebih deras, angin lebih dingin, dan para murid yang berdiri di sepanjang jalan itu memilih untuk tidak menoleh terlalu lama. Karena menatapnya kini terasa seperti memanggil sesuatu yang lebih gelap daripada sekte mereka sendiri.
Di titik terakhir sebelum keluar sepenuhnya, Kael berhenti. Tidak menoleh, hanya berbicara ke udara yang basah.
“Hari ini kalian menghapus namaku. Kelak kalian akan berebut menyebutnya.” Lalu ia melangkah keluar.
Dan bayangan menyusulnya, seperti makhluk setia yang tidak memiliki bentuk, hanya tujuan.
Di balik lembah, jauh dari mata sekte, sesuatu berbisik dari kegelapan yang lebih tua dari seluruh pohon yang berdiri di atas tanah itu.
Ke mari, ke lembah Sunyi Bayangan yang sedang menunggu pewarisnya.
Kael tidak menjawab, tapi darahnya menjawab untuknya, berdenyut, memanggil, dan menuntun.
Itu bukan pelarian. Itu pendaratan pertama seorang iblis.
Saat langkah Kael hilang dalam hujan, beberapa murid akhirnya berani bernapas lagi. Namun di sudut tribun, ada satu murid perempuan yang tidak ikut menunduk. Matanya mengikuti sosok Kael sampai hilang di balik kabut, dan bibirnya bergerak pelan, seolah menahan kata yang tidak boleh keluar.
“Jadi… kau benar-benar bangkit.” Ia mengepal jari di balik lengan jubahnya. “Terserah apa kata mereka, aku ingin melihat sampai di mana kau akan berdiri.”
Tepat di belakangnya, seorang tetua berwajah kurus memperhatikan tanpa suara, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan minat. Ia menyentuh cincin batu tua di jarinya, dan lingkar rune abu-abu menyala redup.
“Darah Bayangan … setelah sekian lama.” Ia berbalik sebelum siapa pun menyadari ia mengamati.
“Sepertinya Sekte Iblis Suci Langit bukan satu-satunya yang punya alasan untuk mencari anak itu.”
Di sisi lain, jauh dari sekte, Kael terus berjalan tanpa henti. Hujan membasahi tubuhnya, tetapi bayangan di bawah kakinya bergerak seperti makhluk yang mempersiapkan tempat tidur bagi tuannya.
Suara itu datang lagi, bukan dari luar, tetapi dari dalam darahnya.
“Jika kau melangkah satu kali lagi, kau tidak hanya meninggalkan rumahmu, kau memasuki takdirmu.”
Kael tidak berhenti.
“Di depanmu ada lembah tempat malam tidak pernah tidur. Di sana, kau tidak akan sendirian.” Suara itu muncul lagi.
Ia mengangkat wajah, membiarkan hujan jatuh di mata yang kini tak lagi tampak seperti mata manusia biasa.
“Aku tidak butuh rumah,” bisiknya. “Aku butuh awal.”
Bayangan bergulung di belakangnya, seolah mengiris batas antara dunia lama dan dunia yang akan ia kuasai. Dan hujan tiba-tiba terbelah, seakan udara memberi jalan untuk sesuatu yang lebih gelap dari badai.
Kael Astaroth telah dibuang dari namanya. Tapi nama baru sedang menunggu untuk diukir, memakai darah orang-orang yang pernah menghapusnya.
Kabut menelan Kael seolah lembah sedang menarik nafas panjang, suhu jatuh drastis. Gelap bukan hanya warna, melainkan zat, ia padat, seperti udara yang sedang menebal untuk membentuk sesuatu yang belum memilih wujud.Kael merasakan dirinya jatuh atau ditarik, atau tidak bergerak sama sekali. Sulit ditebak di tempat yang tidak mengenali arah. Setiap helai kabut yang menyentuh kulitnya seperti menyedot lapisan-lapisan terakhir yang membuatnya ‘manusia’.Itu tujuanmu, bisik sesuatu. Bukan menjadi manusia, tapi menjadi sesuatu yang mereka tidak berani beri nama.Kael tidak menjawab, ia membiarkan kegelapan membentuk dirinya ulang.Lalu, dunia retak. Bukan secara fisik, tetapi di dalam tubuh Kael.Bayangan naik dari kakinya, menyapu lutut, pinggang, bahu, menekan dada, menyelam masuk melalui kulit dan memaksa tubuhnya menerima kekuatan asing yang pernah menelan enam pewaris sebelumnya.Kegelapan bukan lagi kabut, ia menjadi mulut.Dan Kael merasakan prosesnya. Darahnya membara, jantungnya
Keheningan itu seperti kulit kedua. Menempel pada napas Kael saat ia menatap dua mata tanpa cahaya yang mengapung di ujung lorong. Pertanyaan lembah masih menggantung, tajam seperti paku, “Apakah kau datang sebagai daging … atau sebagai penguasa?”Kael tidak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan langkah. Satu, dua, bayangannya memanjang, menjembatani jarak seperti tinta yang tahu ke mana harus mengalir.Mata itu mengecil. Batu di sekelilingnya bergetar pelan, lalu dinding membuka ke ruangan bundar yang dikelilingi lempeng-lempeng batu berukir, setiap ukiran menyerupai luka. Udara membawa bau logam basah.Harga, bisik sesuatu dari darahnya. Di tempat ini, setiap pintu memiliki lidah dan gigi.Kael mengangkat telapak tangan. Luka di dada masih menghitam. “Ambil,” katanya datar.Lantai bereaksi. Urat-urat hitam di batu menyala, menelan setetes darah yang jatuh dari ujung jarinya. Dalam sekejap, ukiran-ukiran di dinding menyala bergantian, membentuk kalimat yang tidak dibuat untuk diba
Hutan di luar gerbang sekte seharusnya penuh suara serangga, ranting patah, angin yang menyentuh daun. Tapi malam itu tidak ada apa pun, seolah dunia menahan napas saat Kael berjalan sendirian dalam hujan.Bayangan di bawah kakinya mengikuti langkahnya, bukan menempel seperti biasa, tapi bergerak, seolah hidup. Tanah menyerap jejaknya dan menutup kembali, menyembunyikan kehadirannya dari siapa pun yang mengejar.Tanah ini mengenal kita, bisik darah bayangan dari dalam tubuhnya. Sebelum dunia memberi nama pada kegelapan, tempat ini sudah mengakuinya.Kael tidak menanggapi. Ia hanya berjalan, tenang, seperti seseorang yang tidak lagi membutuhkan alasan untuk hidup, hanya arah.Jalan setapak menghilang. Pepohonan rapat, kabut turun, dan lembah gelap di depan tampak seperti mulut yang menunggu.Itulah Lembah Sunyi Bayangan. Tempat yang dibicarakan murid nakal, disembunyikan tetua, dan dilupakan sejarah. Tempat yang dikatakan menelan cahaya dan mengembalikan sesuatu yang tidak lagi sepenuh
Hujan masih turun saat suara bel darurat sekte berdentang tiga kali. Arena yang sebelumnya dipenuhi sorak dan cemooh kini berubah menjadi tempat di mana setiap orang memilih untuk diam, bukan karena hormat, tapi karena takut membuat suara yang salah.Lord Varyon Astaroth turun dari singgasananya. Dengan satu langkah saja, tribun yang kacau mulai kembali teratur. Para murid yang tadinya berseru ingin menyaksikan kematian Kael kini menunduk, seolah takut menyebut namanya dengan suara terlalu keras.Varyon menatap Kael lama, sebelum akhirnya mengucapkan satu kalimat yang mengubah segalanya.“Mulai detik ini, Kael Astaroth bukan lagi bagian dari keluarga Astaroth. Namanya dicabut dari silsilah, dan statusnya adalah pemberontak tingkat pertama.”Geger langsung pecah.Dicabut dari silsilah, artinya Kael bukan lagi putra, bukan pewaris, bukan keturunan. Bahkan anak budak masih memiliki nama di dalam sekte. Namun Kael? Sekarang ia adalah seseorang yang tidak pernah lahir.Darian melangkah maj
Gelap menutup dunia. Sorak, hujan, suara runtuhnya tubuh Kael, semua hilang seolah ditelan ruang lain.Kael berdiri di sebuah dimensi yang tidak memiliki warna selain hitam. Lantainya seperti kaca gelap yang memantulkan tubuhnya, wajah pucat, darah mengalir dari dada, mata setengah terpejam. Namun darah itu … hitam. Bukan darah biasa.“Pewaris ketujuh,” sebuah suara bergema. Bukan datang dari satu arah, tapi dari seluruh ruangan. Dalam, dingin, dan terdengar puas. “Akhirnya kau membuka celah itu.”Kael tidak bergerak, namun suaranya tetap tenang. “Kau siapa?”“Pertanyaanmu salah,” jawab suara itu. “Pertanyaannya bukan ‘siapa aku’, tapi ‘apa kau sebenarnya’.”Bayangan di lantai bergetar, seperti genangan air yang disentuh angin. “Selama ini, mereka bilang kau gagal. Bahwa darahmu tidak bereaksi. Bahwa kau terlahir lemah.”Kael menatap jarinya. Ujung kukunya berubah gelap, seolah kegelapan merayap dari dalam tubuhnya.“Padahal, kenyataannya kau hanya … belum mati.”Kael mengerut tipis a
“Lihat dia. Wajah tampan, tubuh bagus, tapi tetap saja sampah.”“Apa, darah iblis murni? Jangan bercanda. Yang mengalir di tubuhnya cuma kegagalan.”“Kalau bukan putra Pemimpin Sekte, dia sudah mati sejak lahir.”Ejekan datang dari segala arah, bergulung seperti badai yang menubruk satu titik, seorang pemuda berdiri sendirian di tengah arena eksekusi Sekte Iblis Suci Langit.Kael Astaroth. Putra ketujuh, pewaris darah ibli yang menurut seluruh sekte tidak layak disebut pewaris apa pun.Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya sudah babak belur. Jubah hitamnya robek, darah kering menodai tepi kain, namun wajahnya tetap tenang. Bukan kosong, melainkan tenang. Seolah semua hinaan yang ditujukan padanya hanya udara yang lewat.Kael tampan, terlalu tampan untuk tempat ini. Rahangnya tajam, kulitnya pucat bersih, sorot matanya gelap dan dalam, seperti malam yang tidak memantulkan bulan. Tubuhnya terlatih, ototnya terdefinisi jelas meski ia tak pernah diberi sumber daya pelatihan layak.Di mata o







