Share

Di Balik Cermin

Penulis: Maybe Not
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-05 23:58:51

Setelah berhasil mengusir sosok-sosok kegelapan sementara, Rani dan teman-temannya berkumpul kembali di salah satu sudut ruangan. Rasa lega sebentar tadi kini berubah menjadi ketakutan baru saat mereka menyadari bahwa mereka masih belum keluar dari rumah mengerikan ini.

"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Mira dengan suara bergetar. Tangannya masih gemetar, dan dia memeluk dirinya sendiri seolah berusaha menenangkan diri.

“Kita harus menemukan ‘Refleksi Kegelapan’ itu,” jawab Rani. “Sepertinya itu satu-satunya jalan keluar kita.”

“Ya, tapi... di mana kita bisa menemukannya?” Andi menimpali, matanya menyapu sekeliling ruangan yang remang. “Tempat ini seperti labirin. Apa kita tahu ke mana harus pergi?”

Budi, yang masih memegang tongkat, melangkah ke depan. “Aku rasa, kita harus tetap bersama dan mencari ruangan lain. Jangan berpencar.”

Mereka semua mengangguk setuju, meski rasa takut masih jelas terlihat di wajah masing-masing.

Saat mereka melangkah keluar, koridor yang panjang dan gelap menanti. Dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan lama, namun satu di antaranya membuat Rani terhenti. Sebuah lukisan besar dengan latar hitam menggambarkan seorang pria misterius yang mengenakan topeng, memegang cermin hitam di tangannya.

“Lihat ini,” Rani menunjuk ke lukisan itu. “Aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan lukisan ini.”

Andi mendekat. “Kau benar… Ada sesuatu di balik mata pria itu. Seperti dia… mengawasi kita.”

Mira menggigil. “Jangan bilang ini juga salah satu pertanda. Kita tidak tahu apa yang terjadi kalau kita terlalu lama menatapnya.”

Rani mengalihkan pandangannya, tapi sesuatu menarik perhatiannya. “Tunggu, di bawah lukisan ini ada tulisan kecil.”

Mereka semua mendekat dan membaca tulisan itu: Refleksi Kegelapan hanya akan muncul di mana kegelapan dan keputusasaan bertemu.

“Keputusasaan?” Budi mengerutkan kening. “Apa itu maksudnya?”

“Aku rasa,” Rani bergumam, “tempat yang paling gelap dan menakutkan di rumah ini adalah jawabannya.”

Mira melangkah mundur, wajahnya pucat. “Jangan bilang... kita harus masuk ke ruang bawah tanah.”

Suasana semakin mencekam saat mereka menyadari bahwa ruang bawah tanah mungkin menjadi tujuan mereka berikutnya.

“Tidak ada pilihan lain,” Andi berbisik, seolah takut ada sesuatu yang mendengarnya. “Ayo, sebelum sesuatu yang lebih buruk datang.”

Dengan berat hati, mereka melanjutkan langkah mereka. Suara pintu yang berderit terdengar dari belakang, membuat mereka semakin waspada.

“Ada yang mengikuti kita?” Budi berbisik, menoleh ke belakang.

“Jangan lihat ke belakang,” Rani memperingatkan, meski dia sendiri tidak bisa menahan diri untuk melihat. “Fokus saja pada jalan ke depan.”

Akhirnya, mereka tiba di sebuah pintu kayu tua yang terletak di ujung koridor. Pintu itu setengah terbuka, memperlihatkan tangga yang menurun ke ruang bawah tanah yang gelap gulita.

“Kau yakin ini tempatnya?” Mira bertanya dengan suara lirih.

Rani menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. “Aku yakin… atau setidaknya berharap. Mari kita selesaikan ini.”

Satu per satu, mereka mulai menuruni tangga kayu yang berderit di setiap langkah. Suara kaki mereka menggema, sementara bayangan mereka melayang-layang di dinding yang dipenuhi lumut. Udara terasa semakin dingin, dan bau apek semakin menyengat saat mereka semakin mendekati dasar tangga.

“Kenapa perasaan ini semakin buruk?” Budi bergumam, memegangi tongkat dengan erat.

Rani hanya bisa menelan ludah. “Tetap tenang. Kita akan keluar dari sini bersama.”

Akhirnya, mereka tiba di ruang bawah tanah yang gelap. Sinar dari senter ponsel mereka tidak cukup untuk menerangi seluruh ruangan, tetapi cukup untuk menunjukkan cermin besar di tengah ruangan yang dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah padam.

“Itu… cerminnya?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.

Rani mendekati cermin itu dengan hati-hati. “Kurasa… ini ‘Refleksi Kegelapan’.”

Saat mereka semakin dekat, bayangan mereka sendiri mulai memantul di permukaan cermin yang hitam pekat. Namun, bayangan itu perlahan berubah, menampakkan wajah-wajah yang tampak lebih tua dan penuh penderitaan.

“Itu bukan kita,” Mira terisak, mundur ketakutan. “Siapa… siapa mereka?”

Rani menelan ludah dan menyentuh permukaan cermin. “Mungkin… ini arwah-arwah yang terperangkap di sini. Keputusasaan mereka…”

Tiba-tiba, dari cermin itu, muncul sosok berwajah suram yang menatap tajam ke arah mereka, seolah-olah dia bisa melihat ke dalam jiwa mereka.

“Siapa kalian?” suara dalam dari cermin itu bergema, membuat mereka merinding.

“Kami… kami hanya ingin keluar dari sini,” Budi berkata dengan gemetar. “Kami tidak bermaksud mengganggu kalian.”

Sosok itu hanya tertawa kecil, suara yang lebih mirip geraman. “Kalian telah masuk ke tempat yang terlarang. Kalian akan menjadi bagian dari kami.”

Rani mencoba tetap tenang. “Tidak! Kami akan keluar. Kami tidak mau terperangkap di sini.”

“Tetapi hanya mereka yang siap mengorbankan sesuatu yang berharga yang bisa keluar,” sosok itu berbisik dengan suara mengancam. “Apakah kalian siap membayar harga itu?”

Semua terdiam, tak tahu harus menjawab apa.

“Harga?” Andi berbisik, menoleh ke teman-temannya. “Apa maksudnya?”

Rani menghela napas, lalu berbicara kepada sosok itu. “Apa yang kau inginkan dari kami?”

Sosok itu tersenyum licik. “Ketakutan… kepedihan… satu pengorbanan terakhir.”

“Pengorbanan?!” Mira berteriak, semakin panik. “Tidak, aku tidak mau! Kita harus pergi sekarang!”

Saat Mira mundur, tiba-tiba salah satu lilin menyala dengan sendirinya. Satu demi satu, lilin-lilin lain mulai menyala, menyorotkan cahaya redup ke ruangan. Sosok itu kini berdiri lebih dekat, mengamati mereka dengan tatapan yang dingin.

“Kalian sudah datang jauh… terlalu jauh untuk berbalik,” sosok itu berkata.

Budi menelan ludah dan menggenggam tongkatnya lebih erat. “Apa yang harus kita lakukan?”

Rani mengambil napas dalam-dalam, lalu berbicara dengan suara yang lebih tegas. “Kalau pengorbanan itu adalah ketakutan, maka ambillah. Kami tidak takut lagi!”

Cermin itu tiba-tiba bergetar, seolah marah. “Kalian… kalian berani melawanku?”

Rani menggenggam tangan Mira dan Andi. “Kita harus menunjukkan keberanian kita. Ini satu-satunya cara.”

Semua mengangguk, dan bersama-sama mereka menghadap cermin itu, menatap ke arah sosok menakutkan yang terlihat semakin gelap dan memudar.

“Ayo! Kalian bukan penguasa kami!” Budi berseru dengan suara bergetar, tetapi penuh keberanian.

Dengan satu tarikan napas terakhir, mereka berempat meneriakkan ketakutan mereka, membiarkan semua rasa takut keluar. Cahaya dari lilin semakin terang, membuat bayangan sosok itu semakin memudar hingga akhirnya menghilang sepenuhnya dari cermin.

Setelah semua selesai, ruangan itu menjadi tenang. Cermin tersebut kini hanya menampilkan refleksi mereka yang normal. Mereka semua terengah-engah, saling memandang dengan lega.

“Kita berhasil…” Rani berbisik.

“Tapi ini belum selesai,” Andi memperingatkan. “Kita masih harus menemukan jalan keluar dari sini.”

Rani mengangguk. “Ayo. Kita cari jalan keluar sebelum sesuatu yang lain muncul.”

Dengan semangat baru dan keberanian yang lebih besar, mereka meninggalkan ruang bawah tanah, berharap ini adalah langkah terakhir mereka menuju kebebasan dari rumah yang penuh teror ini. Namun, mereka tahu, kegelapan bisa saja mengintai lagi kapan pun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayangan Dibalik Cermin   Terperangkap

    Malam itu, setelah peristiwa di perpustakaan, Andi dan Mira memutuskan untuk kembali ke apartemen Andi. Mereka merasa buku yang baru ditemukan itu mungkin adalah kunci untuk mengakhiri teror yang mereka alami. Namun, atmosfer di apartemen terasa semakin berat, seakan-akan mereka telah membawa sesuatu yang lebih gelap dari sebelumnya. “Andi, kita nggak bisa terus-terusan begini,” ujar Mira dengan suara serak. Ia duduk di sofa dengan tubuh gemetar, matanya terus mengawasi pintu depan. “Aku tahu, Mir. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak mencari tahu lebih banyak, mereka nggak akan pernah berhenti.” Andi meletakkan buku tua itu di meja, membukanya perlahan-lahan. Buku itu dipenuhi simbol-simbol dan tulisan yang hampir tidak terbaca. Beberapa halaman bahkan terlihat seperti terbakar di tepinya. Mira menatap halaman itu dengan ngeri. “Kamu yakin ini bakal membantu kita? Gimana kalau malah memperburuk keadaan?” Andi menghela napas. “Aku nggak tahu. Tapi aku rasa, s

  • Bayangan Dibalik Cermin   Bayangan

    Setelah satu bulan berlalu sejak peristiwa menyeramkan yang menimpa mereka, Andi dan Mira akhirnya merasa lega. Kehidupan mereka perlahan kembali normal, meskipun bayangan malam itu masih sesekali menghantui pikiran mereka. Buku hitam yang menjadi pusat dari semua masalah itu telah mereka kubur di tempat yang jauh dari pemukiman. Namun, ada rasa khawatir yang tak pernah benar-benar hilang dari hati mereka.Hari ini, adalah hari pertama semester baru di universitas. Andi duduk di kursi kantin kampus, menyesap kopi sambil membaca catatan kuliahnya. Mira duduk di hadapannya, sibuk menulis sesuatu di buku jurnal kecilnya.“Kamu nggak merasa aneh?” tanya Mira tiba-tiba, memutus keheningan di antara mereka. “Aneh gimana?” balas Andi, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan. “Kayak... semuanya terlalu tenang. Setelah apa yang kita alami, aku merasa seharusnya hidup kita nggak akan pernah normal lagi.” Andi mendesah, meletakkan catatannya di meja. “Mungkin ini pertanda baik. Kita berha

  • Bayangan Dibalik Cermin   Akhir dari Kegelapan

    Suara tawa anak kecil yang menggema di sekitar rumah kayu tua itu membuat bulu kuduk Andi dan Mira berdiri. Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, membuat napas mereka mengembun. Andi mencoba berpikir jernih, tetapi pikirannya terus-menerus terpecah oleh suara-suara aneh yang datang dari dinding dan lantai. “Dia masih di sini, Andi,” bisik Mira sambil bergetar, matanya terus memandang ke arah jendela. “Apa pun itu, dia nggak akan biarin kita pergi.”Andi menatap simbol-simbol bercahaya di dinding yang perlahan mulai redup. "Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan. Buku ini..." Ia membuka kembali buku hitam itu dan membalik halamannya dengan cepat, berharap menemukan jawaban.Mira menggenggam lengan Andi, suaranya penuh kepanikan. “Andi, kita nggak punya waktu! Lihat itu!” Dari luar jendela, sosok anak kecil itu berubah. Tubuhnya mulai memanjang, kulitnya merekah, memperlihatkan jaringan berdarah di bawahnya. Matanya menyala putih, sementara giginya yang tajam semakin

  • Bayangan Dibalik Cermin   Kebenaran

    Andi dan Mira berjalan dengan langkah berat, menggenggam satu sama lain seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuat mereka tetap hidup. Hutan di sekitar mereka berubah semakin aneh—pohon-pohon seakan bergerak, bayangan gelap melintas di sudut mata mereka, dan suara langkah-langkah berat terdengar mengikuti mereka dari kejauhan.“Andi, apa ini akan pernah berakhir?” suara Mira bergetar. “Aku nggak yakin kita bisa keluar dari sini hidup-hidup.”Andi menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menguasainya. “Kita harus bisa, Mira. Aku nggak akan biarin sesuatu menyakitimu. Kita sudah sejauh ini, dan kita nggak boleh berhenti.”Namun, langkah mereka terhenti tiba-tiba saat sebuah suara mendesing keras memenuhi udara. Suara itu menyerupai jeritan manusia, tetapi terlalu melengking untuk dianggap normal. Dari balik kabut, sesosok makhluk tinggi dengan tubuh kurus dan wajah memanjang muncul perlahan. Matanya menyala merah, dan tubuhnya bergerak dengan cara yang tidak

  • Bayangan Dibalik Cermin   Dia datang!

    Andi dan Mira mengikuti wanita tua itu tanpa banyak bertanya, meskipun hati mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Suara langkah kaki mereka menggema di antara keheningan hutan, dan hanya sesekali terdengar suara lonceng kecil yang menggantung di tongkat wanita tersebut.“Andi,” bisik Mira, menatap punggung wanita tua di depan mereka. “Kita yakin mau ikut dia? Gimana kalau dia juga bagian dari semua ini?”Andi menoleh, berbisik pelan. “Kita nggak punya pilihan, Mira. Kalau kita tetap di sini tanpa petunjuk, kita pasti mati.”Mira tidak menjawab, hanya menggenggam lengan Andi lebih erat. Langkah mereka terus maju, melewati akar-akar pohon yang melilit seperti tangan yang ingin menjangkau mereka. Kabut di sekitar mulai menipis, tetapi itu justru membuat suasana semakin mencekam. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang menyerupai tangan mencakar langit berdiri angkuh di sekitar mereka.Wanita tua itu tiba-tiba berhenti. Ia mengangkat tongkatnya dan menancapkannya ke tanah. “Kita berhenti

  • Bayangan Dibalik Cermin   Persekutuan Gelap

    Andi dan Mira berjalan perlahan di tengah kabut yang semakin pekat. Hawa dingin menyelimut, dan suara-suara aneh terus terdengar di sekitar mereka. Langkah kaki mereka terasa berat, seolah tanah tempat mereka berpijak menyedot energi mereka. Suara geraman halus mulai terdengar dari kejauhan, membuat mereka berdua saling pandang dengan ketakutan.“Andi... aku nggak bisa. Rasanya... rasanya kakiku berat banget,” ujar Mira, tubuhnya gemetar hebat.Andi berhenti dan menoleh ke Mira. “Aku tahu ini sulit, tapi kita harus terus bergerak. Kalau kita berhenti, mereka akan menemukan kita.”Tiba-tiba terdengar suara tawa pelan, seperti suara anak kecil yang sedang bermain. Suara itu bergema, datang dari berbagai arah. Mira langsung mencengkeram lengan Andi dengan kuat.“Andi... itu suara apa?” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.Andi memandangi sekeliling, berusaha mencari asal suara. Namun, kabut terlalu tebal. “Aku nggak tahu, tapi kita nggak boleh berhenti. Ayo, Mira. Berdiri. Kita harus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status