Home / Urban / Bayangan Pengkhianatan / Bab 1: Pagi yang Berubah Jadi Malam

Share

Bayangan Pengkhianatan
Bayangan Pengkhianatan
Author: Sanada

Bab 1: Pagi yang Berubah Jadi Malam

Author: Sanada
last update Last Updated: 2025-01-02 16:15:17

Menteng, Jakarta, selalu menjadi simbol kehidupan mewah bagi mereka yang beruntung. Di kawasan elit ini berdiri vila megah keluarga Pratama, sebuah bangunan besar dengan pilar-pilar putih, halaman luas, dan keamanan tingkat tinggi. Vila ini adalah tempat tinggal Alvaro Adrian Pratama, seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun yang memiliki segalanya, setidaknya dari luar.

Alvaro adalah anak tunggal dari pasangan Gunawan Pratama dan Veronica. Sebagai pewaris tunggal dari kerajaan bisnis properti dan konstruksi keluarga, hidup Alvaro telah dirancang sejak lahir. Segala fasilitas terbaik diberikan kepadanya: sekolah internasional, pelayan pribadi, dan bahkan pengawalan keamanan. Namun, di balik segala kemewahan itu, ada kekosongan yang sulit ia abaikan—kurangnya kasih sayang ayahnya.

Tuan Gunawan Pratama adalah sosok yang dihormati, tetapi juga ditakuti. Sebagai kepala keluarga dan pemimpin bisnis, ia lebih sering terlihat di ruang rapat daripada di ruang makan bersama keluarga. Sementara itu, Nyonya Veronica, seorang wanita anggun dengan senyum hangat, selalu berusaha menutupi kekurangan itu dengan memberikan perhatian penuh pada Alvaro.

“Papa bilang dia akan datang ke acara sekolah hari ini, kan?” tanya Alvaro saat sarapan pagi. Matanya berbinar penuh harap.

“Ya, Nak. Papa sudah janji,” jawab Veronica sambil mengelus rambut anaknya.

Namun, dalam hati, Veronica meragukan janji itu. Gunawan sudah sering mengingkari kehadirannya di momen-momen penting Alvaro.

---

Di balik kehidupan glamor keluarga Pratama, ada bahaya yang mengintai. Gunawan memiliki banyak musuh—baik dari kalangan bisnis maupun keluarganya sendiri. Salah satu saingan terbesar Gunawan adalah keluarga Wiratmaja, yang dulu pernah bermitra dengan keluarga Pratama, tetapi berakhir dalam perpecahan karena perebutan aset.

Bara dendam itu tidak pernah padam, terutama bagi Harsono Wiratmaja, kepala keluarga yang merasa dikhianati. Bagi Harsono, kehancuran Gunawan bukan hanya soal bisnis, tetapi soal harga diri.

Di sebuah gudang tua di pinggiran Jakarta, Harsono berbicara kepada seorang pria berjas hitam, wajahnya penuh luka bekas sayatan. “Kita sudah cukup sabar, sekarang saatnya bertindak.”

“Anak itu?” tanya pria berjas hitam.

“Ya, ambil dia. Tapi jangan hanya sekadar menculik. Aku ingin dia merasakan penderitaan. Aku ingin Gunawan kehilangan segalanya,” ucap Harsono dengan nada dingin.

---

Hari itu, Alvaro bangun lebih awal dari biasanya. Ia sangat bersemangat untuk tampil sebagai ketua kelas dalam acara Hari Prestasi di sekolahnya. Dengan seragam rapi dan dasi kecil, ia memamerkan piala dari lomba matematika yang dimenangkannya minggu lalu.

“Lihat, Ma! Aku akan bawa piala ini ke panggung nanti,” katanya dengan senyum lebar.

Veronica tersenyum, meskipun bayangan kekhawatiran menyelimuti wajahnya. “Kamu akan tampil hebat, Nak. Mama yakin itu.”

Di sekolah, Alvaro tampil dengan percaya diri. Pidatonya sebagai ketua kelas mendapat tepuk tangan meriah. Ia merasa bangga dan berharap ayahnya melihat momen itu. Namun, saat menoleh ke arah kursi tamu, ia tidak menemukan sosok Gunawan. Hanya ibunya yang melambai dari kejauhan, memberikan dukungan penuh.

“Ayahmu sibuk, tapi dia pasti bangga padamu,” hibur Veronica saat mereka dalam perjalanan pulang.

---

Di tengah perjalanan pulang, mobil keluarga Pratama mengambil jalan pintas karena kemacetan. Sopir keluarga, Pak Budi, terlihat gelisah. Alvaro duduk di kursi belakang, memainkan pialanya sambil terus bercerita tentang penampilannya.

Namun, suasana tiba-tiba berubah. Sebuah van hitam memotong jalan mereka, memaksa mobil berhenti mendadak.

Dari van tersebut, tiga pria bertopeng keluar dengan cepat. Salah satu dari mereka menodongkan pistol kecil ke arah Pak Budi.

“Jangan bergerak!” bentak pria itu.

Alvaro menjerit saat salah satu pria membuka pintu belakang dan menariknya dengan kasar. “Lepaskan aku! Mama! Tolong!”

Pak Budi hanya bisa diam, wajahnya pucat dan penuh ketakutan.

Alvaro dibawa ke dalam van. Tangannya diikat dan matanya ditutup. Van itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan suara klakson dan kebingungan di belakang.

---

Van berhenti di sebuah tempat yang sunyi. Alvaro diseret keluar dan dibawa ke sebuah ruangan kecil yang gelap dan bau. Ia diikat ke kursi kayu yang usang, tanpa penjelasan.

“Kenapa kalian melakukan ini? Papa pasti akan menemukan kalian!” teriaknya.

Namun, para penculik hanya tertawa dingin. “Papa-mu? Kita lihat seberapa jauh dia akan pergi untuk menyelamatkanmu.”

Sementara itu, di vila keluarga Pratama, Nyonya Veronica histeris setelah menerima telepon dari Pak Budi. “Alvaro diculik, Bu,” kata Pak Budi dengan suara gemetar.

Gunawan langsung memanggil polisi dan detektif swasta. Dalam beberapa jam, sebuah amplop tiba di vila. Di dalamnya ada foto Alvaro yang terikat, bersama sebuah pesan singkat:

"Jangan coba cari kami. Ini balas dendam."

---

Setelah beberapa hari ditahan, para penculik membawa Alvaro ke kawasan kumuh di pinggiran kota. Mereka melepaskannya di sana, tanpa uang atau petunjuk.

“Mulai sekarang, kau hidup di sini. Nikmati kehidupan barumu,” ujar salah satu pria sebelum pergi.

Alvaro berjalan tanpa arah, mencoba mencari bantuan. Namun, di kawasan itu, semua orang sibuk bertahan hidup. Tidak ada yang peduli pada seorang anak kecil yang tampak tersesat.

Malam itu, ia tidur di bawah jembatan dengan perut kosong dan tubuh menggigil. Hatinya dipenuhi ketakutan dan kebencian.

---

Di balik semua ini, ada rencana yang lebih besar. Tidak hanya Harsono Wiratmaja yang terlibat, tetapi juga seorang anggota keluarga besar Pratama sendiri. Orang itu berdiri di balik layar, memastikan bahwa Alvaro tidak pernah kembali ke keluarganya.

“Jika dia kembali, dia akan mengambil semuanya dariku. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” gumamnya.

Di bawah langit malam yang penuh bintang, Alvaro duduk sendirian di antara tumpukan sampah. Ia menatap bulan dengan mata penuh kebencian dan harapan yang hampir pudar. Dalam hatinya, ia berjanji:

“Suatu hari nanti, aku akan kembali. Dan aku akan membalas semua ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 46: Bayangan yang Tersisa

    Alvaro berdiri diam di tengah gudang tua yang kini sunyi mencekam. Tubuh Harsono tergeletak tak berdaya di lantai beton yang dingin, darah mengalir dari luka di wajahnya yang memar dan bengkak. Napasnya lemah, nyaris tak terdengar. Di sekitar mereka, sisa-sisa pertarungan berserakan: pecahan kaca, senjata yang terjatuh, dan bayangan masa lalu yang menghantui Alvaro tanpa henti. Ricardo, Selena, dan Carlos berdiri tak jauh dari sana, wajah mereka dipenuhi kepedihan dan kekecewaan. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Alvaro, teman yang dulu mereka kenal, telah berubah menjadi seseorang yang begitu asing—penuh kebencian dan dendam. Mereka tak lagi mengenali sosok yang berdiri di hadapan mereka. “Sudah cukup, Alvaro,” suara Ricardo pecah dalam keheningan, suaranya penuh rasa sakit. “Kau sudah membalas dendammu. Harsono sudah hancur... Apa lagi yang kau inginkan?” Alvaro menoleh perlahan, menatap Ricardo dengan mata tajam yang dipenuhi kekosongan. “Keadilan... untuk

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 45: Pertarungan Tanpa Ampun

    Gudang tua itu berdiri sunyi di tengah kawasan industri yang ditinggalkan, dikelilingi oleh puing-puing bangunan yang runtuh dan jalanan berdebu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma karat dan kelembaban yang menusuk hidung. Di dalam gedung yang gelap dan dingin itu, Alvaro berdiri tegak, menatap Harsono yang terpojok di sudut ruangan. Wajah Harsono memucat. Tubuh tuanya bergetar dalam ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Mata Alvaro menyala dengan api kebencian yang begitu dalam, mencerminkan amarah yang telah terpendam sejak masa kecilnya yang hancur. Malam ini adalah akhir dari semua dendam yang telah membayangi hidupnya. Malam ini, semuanya akan berakhir. “A-Alvaro...” Suara Harsono gemetar, penuh rasa takut. “K-kita bisa bicarakan ini...” “Bicara?” Alvaro menyeringai sinis, langkah kakinya mantap mendekat. “Apa kau pernah membiarkanku bicara saat kau menculikku? Saat kau membuangku seperti sampah tanpa peduli apa yang terjadi padaku?” Harsono menelan ludah, keringat

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 44: Topeng yang Terkoyak

    Hujan mengguyur kota dengan deras, menambah kelam suasana malam itu. Petir menyambar, menampakkan bayangan gedung megah milik Harsono yang berdiri kokoh di puncak bukit. Dari kejauhan, Alvaro memandangi tempat itu dengan tatapan tajam, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. “Aku sudah sampai di sini... Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayangan, saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya,” gumam Alvaro pelan. Langkah kakinya mantap saat dia mendekati gerbang utama. Dengan gerakan cepat, ia melumpuhkan penjaga tanpa suara. Tubuh-tubuh tak berdaya jatuh ke tanah sementara Alvaro terus melangkah, tatapannya lurus ke arah pintu masuk utama. Suara alarm berbunyi nyaring. Harsono sudah menunggunya. Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Harsono berdiri menghadap jendela besar. Dia tahu bahwa orang yang menyerang jaringannya selama ini akhirnya datang untuk menemuinya. Dengan tenang, ia menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya. Langkah kaki terdengar mendekat. Harsono berb

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 43: Jejak Pengkhianatan

    Alvaro berdiri di atas atap gedung tua, menatap hiruk-pikuk kota di bawahnya. Lampu-lampu kota bersinar terang, namun hatinya dipenuhi kegelapan yang pekat. Udara malam berhembus dingin, menggoyangkan ujung jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Dia tahu betul bahwa langkah pertama dalam rencananya adalah menghancurkan jaringan bisnis Harsono. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Untuk itu, dia membutuhkan informasi yang akurat dan bantuan dari orang-orang yang tahu betul kelemahan lawannya. Alvaro mengingat wajah-wajah yang dulu pernah berdiri di sisinya—Ricardo, Selena, dan Carlos. Mereka bertiga pernah menjadi sahabatnya, rekan yang dia percayai sepenuh hati. Namun ketika dia kembali sebagai Alvaro yang berbeda, mereka menolaknya, menganggapnya sebagai musuh. “Itu bukan salah mereka,” pikir Alvaro dalam hati. “Mereka tidak tahu apa yang sudah kulalui... apa yang harus kualami sendirian.” Namun, Alvaro juga tahu bahwa untuk mencapai tujuannya

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 42: Bayangan Balas Dendam

    Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 41: Kebenaran yang Tersembunyi

    Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status