Beranda / Urban / Bayangan Pengkhianatan / Bab 2: Cahaya di Tengah Gelap

Share

Bab 2: Cahaya di Tengah Gelap

Penulis: Sanada
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-02 16:15:43

Pagi pertama Alvaro di kawasan kumuh dimulai dengan dinginnya angin yang menyapu kulitnya. Ia terbangun di bawah jembatan, dengan tubuh yang masih gemetar karena tidur tanpa selimut. Perutnya kosong, dan rasa lapar mulai menguasai pikirannya.

“Aku di mana? Bagaimana aku bisa pulang?” pikirnya, mencoba menenangkan diri meskipun air matanya terus mengalir.

Lingkungan di sekitarnya tampak seperti dunia yang berbeda. Bangunan-bangunan reyot berdiri miring, dengan dinding penuh coretan dan jalanan yang dipenuhi sampah. Bau anyir dan busuk menusuk hidung, membuat Alvaro mual.

Ia berjalan tanpa tujuan, melewati gang-gang sempit yang penuh dengan suara berisik. Beberapa anak kecil dengan pakaian compang-camping memandangnya dengan tatapan penasaran, sementara orang dewasa di sekitar hanya melirik tanpa peduli.

Di sebuah sudut pasar, ia melihat seorang wanita tua menjual pisang goreng. Perutnya yang kosong berontak, dan tanpa berpikir panjang, ia mendekati wanita itu. “Bu... bolehkah aku minta satu?” tanyanya dengan suara kecil.

Wanita itu menatapnya dengan curiga. “Bayar dulu, Nak. Tidak ada yang gratis di sini,” jawabnya dingin.

Alvaro hanya terdiam, merasa malu dan putus asa. Ia tahu bahwa kehidupannya yang dulu—di mana segala sesuatu mudah didapat—sudah tidak ada lagi.

Di tengah keputusasaan, Alvaro bertemu dengan seorang anak lelaki yang tampak seumuran dengannya. Anak itu memakai kaos lusuh dan celana pendek yang robek, tetapi wajahnya penuh percaya diri.

“Eh, anak baru? Kau tersesat, ya?” tanya anak itu dengan nada santai.

“Aku... aku tidak tahu di mana aku berada,” jawab Alvaro ragu-ragu.

Anak itu tertawa kecil. “Namaku Dika. Kalau kau tidak punya tempat tinggal, ikut saja denganku.”

Meskipun awalnya ragu, Alvaro akhirnya mengikuti Dika. Mereka berjalan melewati gang-gang hingga tiba di sebuah tempat yang tampak seperti markas anak-anak jalanan. Beberapa anak lain sedang bermain kartu, sementara yang lain mengutak-atik barang-barang bekas.

“Ini tempat kami. Tidak mewah, tapi cukup untuk bertahan hidup,” ujar Dika sambil duduk di sebuah kursi kayu yang hampir patah.

Alvaro merasa canggung. Ia tidak pernah membayangkan hidup seperti ini. Namun, Dika dan teman-temannya tampak menerima kehadirannya tanpa banyak pertanyaan.

---

Hari-hari berikutnya, Alvaro mulai belajar bagaimana bertahan hidup. Dika mengajarinya cara mencari makanan dari sisa-sisa pasar dan cara menghindari preman yang sering memalak anak-anak jalanan.

“Kalau kau tidak cepat belajar, kau tidak akan bertahan lama di sini,” kata Dika suatu hari.

Meskipun berat, Alvaro mencoba menyesuaikan diri. Ia mulai memahami bahwa dunia ini tidak mengenal belas kasihan. Namun, di tengah kerasnya kehidupan, ia menemukan persahabatan dengan Dika dan anak-anak lain.

Suatu malam, saat mereka duduk di sekitar api kecil, Dika bertanya, “Kau dari mana sebenarnya? Cara bicaramu tidak seperti kami.”

Alvaro terdiam sejenak. Ia tidak ingin menceritakan tentang kehidupannya yang dulu, takut dianggap sombong atau diasingkan. “Aku... aku tidak punya rumah. Itu saja,” jawabnya singkat.

Meskipun mulai beradaptasi, Alvaro tidak bisa melupakan keluarganya. Setiap malam, ia memikirkan ibunya yang mungkin sedang menangis mencarinya, dan ayahnya yang pasti marah besar pada para penculik.

“Aku akan menemukan mereka. Aku akan membuat mereka membayar,” gumamnya dalam hati.

Dika yang mendengarnya hanya menatap dengan bingung. “Apa maksudmu?”

“Tidak ada,” jawab Alvaro cepat, menyembunyikan kemarahan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Di sisi lain, kehidupan di vila keluarga Pratama penuh dengan ketegangan. Veronica tidak berhenti menangis, sementara Gunawan sibuk mengoordinasikan penyelidikan dengan polisi dan detektif swasta. Namun, setiap upaya yang mereka lakukan selalu berujung buntu.

“Apa mungkin ini ulah Harsono?” tanya Veronica dengan suara bergetar.

“Mungkin saja. Tapi aku curiga ada seseorang di dalam keluarga kita yang membantu mereka,” jawab Gunawan dengan nada penuh kecurigaan.

---

Suatu hari, saat Alvaro sedang membantu Dika mencari barang bekas di tumpukan sampah, seorang preman besar tiba-tiba datang dan meminta uang perlindungan.

“Kalian pikir bisa tinggal di sini gratis? Bayar, atau kalian tidak aman!” bentak preman itu.

Dika mencoba melawan, tetapi satu pukulan dari preman itu membuatnya terjatuh. Alvaro, yang tidak terbiasa dengan kekerasan, hanya bisa berdiri membeku.

“Kau juga! Beri aku apa yang kau punya!” Preman itu menarik kerah baju Alvaro.

Namun, untuk pertama kalinya, Alvaro merasa kemarahannya lebih besar daripada rasa takutnya. Ia menggenggam batu kecil di tangannya dan memukul kepala preman itu sekuat tenaga. Preman itu terhuyung, tetapi tidak jatuh. Sebaliknya, ia semakin marah.

Dika dengan cepat menarik Alvaro dan berlari secepat mungkin. Mereka berdua bersembunyi di balik tumpukan barang bekas, napas mereka terengah-engah.

“Kau gila! Kau tidak tahu siapa dia?” seru Dika setelah mereka merasa aman.

“Aku tidak peduli. Aku tidak akan biarkan dia memperlakukan kita seperti itu,” jawab Alvaro dengan nada tegas.

Malam itu, Alvaro merasakan perubahan dalam dirinya. Ia tidak lagi hanya anak yang lemah dan takut. Ia mulai belajar untuk melawan.

---

Beberapa minggu kemudian, Alvaro mulai mendapatkan rasa hormat dari anak-anak jalanan. Mereka melihatnya sebagai seseorang yang berani, meskipun berasal dari tempat yang berbeda. Bahkan Dika mulai mengakui keberaniannya.

Namun, di tengah proses adaptasinya, Alvaro tetap menyimpan rahasia tentang identitas aslinya. Ia tahu bahwa jika kebenaran terungkap, hidupnya bisa menjadi lebih berbahaya.

Di sisi lain, Harsono Wiratmaja dan komplotannya mulai merasa puas dengan kehancuran yang mereka timbulkan. Namun, mereka tidak tahu bahwa salah satu anggota mereka, pria berjas hitam, mulai meragukan tujuan rencana tersebut.

“Anak itu hanya anak kecil. Mengapa kita harus menyeretnya ke dalam dendam ini?” tanyanya kepada Harsono.

“Karena dia adalah kunci untuk menghancurkan Gunawan. Jika anak itu hancur, Gunawan juga akan hancur,” jawab Harsono dengan nada dingin.

Di tengah kekacauan itu, Alvaro mulai melihat harapan kecil. Ia bertemu dengan seorang wanita muda bernama Lila, yang bekerja sebagai relawan untuk anak-anak jalanan. Lila adalah sosok yang lembut dan penuh kasih, sesuatu yang sangat dirindukan Alvaro.

“Apa yang kau lakukan di sini, Nak?” tanya Lila suatu hari saat ia memberikan makanan kepada Alvaro.

“Aku tidak punya tempat lain,” jawab Alvaro.

Lila menatapnya dengan penuh perhatian. Meskipun Alvaro tidak mengatakan apa-apa, Lila bisa merasakan bahwa anak ini memiliki cerita yang jauh lebih dalam.

Perlahan, hubungan antara Alvaro dan Lila menjadi semakin dekat. Lila mulai mengajarinya membaca dan menulis, sesuatu yang membantu Alvaro mengingat kembali kehidupannya yang dulu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 46: Bayangan yang Tersisa

    Alvaro berdiri diam di tengah gudang tua yang kini sunyi mencekam. Tubuh Harsono tergeletak tak berdaya di lantai beton yang dingin, darah mengalir dari luka di wajahnya yang memar dan bengkak. Napasnya lemah, nyaris tak terdengar. Di sekitar mereka, sisa-sisa pertarungan berserakan: pecahan kaca, senjata yang terjatuh, dan bayangan masa lalu yang menghantui Alvaro tanpa henti. Ricardo, Selena, dan Carlos berdiri tak jauh dari sana, wajah mereka dipenuhi kepedihan dan kekecewaan. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Alvaro, teman yang dulu mereka kenal, telah berubah menjadi seseorang yang begitu asing—penuh kebencian dan dendam. Mereka tak lagi mengenali sosok yang berdiri di hadapan mereka. “Sudah cukup, Alvaro,” suara Ricardo pecah dalam keheningan, suaranya penuh rasa sakit. “Kau sudah membalas dendammu. Harsono sudah hancur... Apa lagi yang kau inginkan?” Alvaro menoleh perlahan, menatap Ricardo dengan mata tajam yang dipenuhi kekosongan. “Keadilan... untuk

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 45: Pertarungan Tanpa Ampun

    Gudang tua itu berdiri sunyi di tengah kawasan industri yang ditinggalkan, dikelilingi oleh puing-puing bangunan yang runtuh dan jalanan berdebu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma karat dan kelembaban yang menusuk hidung. Di dalam gedung yang gelap dan dingin itu, Alvaro berdiri tegak, menatap Harsono yang terpojok di sudut ruangan. Wajah Harsono memucat. Tubuh tuanya bergetar dalam ketakutan yang tak mampu ia sembunyikan. Mata Alvaro menyala dengan api kebencian yang begitu dalam, mencerminkan amarah yang telah terpendam sejak masa kecilnya yang hancur. Malam ini adalah akhir dari semua dendam yang telah membayangi hidupnya. Malam ini, semuanya akan berakhir. “A-Alvaro...” Suara Harsono gemetar, penuh rasa takut. “K-kita bisa bicarakan ini...” “Bicara?” Alvaro menyeringai sinis, langkah kakinya mantap mendekat. “Apa kau pernah membiarkanku bicara saat kau menculikku? Saat kau membuangku seperti sampah tanpa peduli apa yang terjadi padaku?” Harsono menelan ludah, keringat

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 44: Topeng yang Terkoyak

    Hujan mengguyur kota dengan deras, menambah kelam suasana malam itu. Petir menyambar, menampakkan bayangan gedung megah milik Harsono yang berdiri kokoh di puncak bukit. Dari kejauhan, Alvaro memandangi tempat itu dengan tatapan tajam, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. “Aku sudah sampai di sini... Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayangan, saatnya menunjukkan siapa aku sebenarnya,” gumam Alvaro pelan. Langkah kakinya mantap saat dia mendekati gerbang utama. Dengan gerakan cepat, ia melumpuhkan penjaga tanpa suara. Tubuh-tubuh tak berdaya jatuh ke tanah sementara Alvaro terus melangkah, tatapannya lurus ke arah pintu masuk utama. Suara alarm berbunyi nyaring. Harsono sudah menunggunya. Di dalam ruang kerjanya yang mewah, Harsono berdiri menghadap jendela besar. Dia tahu bahwa orang yang menyerang jaringannya selama ini akhirnya datang untuk menemuinya. Dengan tenang, ia menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya. Langkah kaki terdengar mendekat. Harsono berb

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 43: Jejak Pengkhianatan

    Alvaro berdiri di atas atap gedung tua, menatap hiruk-pikuk kota di bawahnya. Lampu-lampu kota bersinar terang, namun hatinya dipenuhi kegelapan yang pekat. Udara malam berhembus dingin, menggoyangkan ujung jaket hitam yang dikenakannya. Tatapannya tajam dan penuh perhitungan. Dia tahu betul bahwa langkah pertama dalam rencananya adalah menghancurkan jaringan bisnis Harsono. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Untuk itu, dia membutuhkan informasi yang akurat dan bantuan dari orang-orang yang tahu betul kelemahan lawannya. Alvaro mengingat wajah-wajah yang dulu pernah berdiri di sisinya—Ricardo, Selena, dan Carlos. Mereka bertiga pernah menjadi sahabatnya, rekan yang dia percayai sepenuh hati. Namun ketika dia kembali sebagai Alvaro yang berbeda, mereka menolaknya, menganggapnya sebagai musuh. “Itu bukan salah mereka,” pikir Alvaro dalam hati. “Mereka tidak tahu apa yang sudah kulalui... apa yang harus kualami sendirian.” Namun, Alvaro juga tahu bahwa untuk mencapai tujuannya

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 42: Bayangan Balas Dendam

    Alvaro berlari menembus gelapnya malam, nafasnya memburu. Suara langkah kaki terdengar memburu dari arah belakang, menggema di sepanjang lorong sempit yang berliku. Ricardo, Selena, dan Carlos masih mengejarnya dengan gigih, tidak rela melepaskannya begitu saja. Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gedung tua yang reyot. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Di balik matanya, pikiran bergerak cepat, mencari cara untuk menghilang dari kejaran mereka. “Aku tidak akan berhenti sampai kau tertangkap, Alvaro!” teriak Ricardo dengan napas tersengal. Selena dan Carlos berusaha mengepungnya dari dua arah. Mereka tahu betul kemampuan Alvaro dalam melarikan diri, dan tidak ingin memberinya celah sedikit pun. Namun Alvaro sudah memperhitungkan semuanya. Dengan gesit, dia melompat ke atas tumpukan kotak kayu dan naik ke atap bangunan rendah di sampingnya. Dari sana, dia melompat ke ata

  • Bayangan Pengkhianatan    Bab 41: Kebenaran yang Tersembunyi

    Sunyi yang mencekam masih menggantung di udara setelah Ricardo, Selena, dan Carlos menyadari kenyataan pahit itu—ada pengkhianat di antara mereka.Mata mereka saling bertautan, masing-masing mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencari tanda-tanda kebohongan.Carlos, yang masih berlumuran darah dan lemah karena luka-lukanya, menarik napas berat. “Kita tidak bisa membiarkan paranoia menghancurkan kita dari dalam.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan pengkhianat tetap bersama kita,” kata Selena tajam.Ricardo menghela napas. “Tidak ada gunanya saling menuduh tanpa bukti. Yang terpenting sekarang, kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak orang Konstantin datang.”Namun, sebe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status