Share

Bab 2. Tes

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-02-14 07:23:55

Brisa menatap layar ponselnya, jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggilan. Akhirnya, dengan mengumpulkan keberanian, ia menekan tombol hijau.

"Halo, Van?" sapa Brisa dengan suara lirih.

"Brisa, kamu kenapa sih?" tanya Ivana khawatir.

Brisa menarik napas dalam-dalam. "Van, aku... aku hamil."

Seketika terdengar suara teriak dari ujung telepon. "Apa? Kamu hamil? Seriusan, Brisa?"

Brisa mengangguk, meskipun Ivana tidak bisa melihatnya. "Iya, Van. Aku beneran hamil."

"Tapi siapa ayahnya, Brisa? Kamu harus jujur sama aku," desak Ivana.

Brisa terdiam sejenak. "Aku nggak tahu, Van. Aku beneran nggak tahu siapa ayahnya."

"Hah? Kamu nggak tahu? Maksudnya gimana?" tanya Ivana tak percaya.

"Aku belum pernah tidur sama siapapun, Van," jawab Brisa dengan suara bergetar.

"Brisa, kamu jangan bohong. Masa iya kamu nggak tahu siapa ayahnya?"

"Aku beneran nggak bohong, Van. Aku nggak pernah melakukan hal yang macam-macam. Aku masih perawan."

Ivana terdiam sejenak. Ia mengenal Brisa dengan sangat baik. Brisa memang bukan tipe cewek yang suka gonta-ganti pacar atau suka bergaul dengan orang-orang yang tidak jelas.

"Oke, aku percaya sama kamu, Brisa," ujar Ivana akhirnya. "Tapi, gimana sama orang tuamu? Mereka pasti marah banget."

"Iya, mereka marah banget. Papa nggak percaya kalau aku belum pernah berhubungan intim," jawab Brisa sedih.

"Tenang aja, Brisa. Aku akan bantu kamu," kata Ivana. "Gimana kalau kita coba tes keperawanan? Biar Papa kamu percaya kalau kamu masih perawan."

"Tes keperawanan?" tanya Brisa ragu-ragu.

"Iya, itu satu-satunya cara untuk membuktikan kalau kamu nggak bohong," jawab Ivana. "Lagian, kalau kamu masih perawan, itu artinya ada yang aneh kenapa kamu bisa hamil."

Brisa berpikir sejenak. Ia merasa ide Ivana cukup masuk akal.

"Oke, aku akan coba," ujar Brisa akhirnya.

"Bagus. Nanti aku carikan dokter kandungan yang terpercaya," kata Ivana.

"Makasih banyak, Van. Aku nggak tahu harus gimana tanpa kamu," ucap Brisa terharu.

"Sama-sama, Brisa. Kita kan sahabat," jawab Ivana.

Setelah menutup telepon, Brisa merasa sedikit lebih tenang. Ia masih merasa sangat bingung dan sedih, tapi setidaknya ia punya Ivana yang selalu ada untuknya.

***

Cahaya senja merembes lembut menembus jendela kamar Brisa, membingkai siluet gadis itu yang duduk termenung di tepi ranjang. Angin malam menerpa wajahnya, membawa serta embun sejuk yang tak mampu mendinginkan bara kecemasan yang berkobar di dalam hatinya.

Brisa menatap ke luar jendela, matanya menerawang jauh. Kota London yang selama ini menjadi mimpi indahnya kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Gambar-gambar tentang dirinya yang sedang berjalan-jalan di tepi Sungai Thames, menikmati secangkir teh hangat di kedai kecil, atau berkeliling di British Museum kini hanya menjadi bayangan samar. Kuliah ke Inggris dan masa depan yang cerah bersama Ivana kini juga terasa begitu jauh.

"Kenapa harus aku, Van?" gumamnya lirih pada Ivana yang tiba-tiba datang sejam kemudian setelah panggilan telepon mereka berakhir, suaranya teredam oleh isak tangis.

Ivana, sahabatnya, hanya bisa memeluk Brisa erat. Air mata mereka mengalir bersamaan, membasahi bahu satu sama lain. Ivana yang sedang duduk di samping ranjang Brisa hanya bisa mengelus lembut rambut sahabatnya. Ia tahu betul betapa hancur hati Brisa saat ini.

"Aku nggak nyangka hidupku bisa berubah drastis seperti ini," lanjut Brisa, suaranya bergetar. "Semua rencanaku hancur berantakan. Dulu, kita selalu bermimpi untuk kuliah di Inggris bersama. Kita sudah merencanakan semuanya."

"Aku tahu, Brisa," sahut Ivana, suaranya juga bergetar. "Aku juga nggak nyangka ini akan terjadi sama kamu. Kita berdua udah kerja keras banget buat nyiapin semuanya."

Brisa teringat akan semua perjuangannya selama ini dan bahkan rela mengurangi waktu istirahatnya demi meraih mimpinya. Namun, semua itu kini terasa sia-sia.

"Aku merasa seperti hidupku sudah berakhir, Van," ucap Brisa dengan nada putus asa. "Aku nggak tahu harus gimana lagi."

Ivana berusaha menenangkan sahabatnya. "Jangan ngomong gitu, Brisa. Kamu masih punya banyak waktu untuk mengejar mimpimu. Mungkin ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari babak baru dalam hidupmu."

Brisa menggelengkan kepala. "Aku nggak bisa melanjutkan kuliah sekarang, Van. Aku harus mengurus anakku."

"Kamu bisa kuliah meskipun sedang hamil."

"Tapi Papa tidak mengizinkan aku kuliah, Papaku malu kalau aku hamil di luar nikah. Selain itu Papa juga bersikeras menjodohkan aku dengan salah satu putra dari keluarga Hendratama."

"Papamu ternyata belum menyerah menjodohkanmu dengan pria yang bahkan tidak kamu kenal. Papamu terlalu kolot, tapi kamu nggak harus menyerah pada mimpimu sepenuhnya," bujuk Ivana.

"Aku nggak tahu harus gimana, Van," ulang Brisa lagi. "Aku bingung, aku takut."

***

Cahaya matahari pagi membangunkan Ivana dari mimpi. Pikirannya langsung tertuju pada Brisa, sahabatnya yang sedang dilanda masalah berat. Sejak kemarin, ia tidak berhenti memikirkan bagaimana cara membantu Brisa keluar dari situasi sulit ini.

Ivana segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajarnya. Ia meraih ponselnya dan menghubungi dokter kandungan. Setelah menjelaskan situasi Brisa, dokter itu menyarankan agar Brisa segera melakukan pemeriksaan lengkap, termasuk tes keperawanan.

Ivana kemudian menelepon Brisa.

"Brisa, kamu harus segera periksa ke dokter," ujar Ivana saat menelepon Brisa. "Aku sudah dapat rekomendasi dokter kandungan yang bagus. Beliau sangat berpengalaman dan bisa dipercaya."

Brisa terdengar ragu-ragu. "Tapi, Van, bagaimana dengan Papa? Aku tidak yakin dia akan mengizinkanku keluar selain pergi bekerja."

"Tenang saja, Brisa. Aku akan bicara sama Papa kamu. Aku akan bilang kalau kamu sakit dan perlu diperiksa oleh dokter," bujuk Ivana.

"Tapi, kalau Papa tahu kalau aku mau tes keperawanan, dia pasti marah besar," ucap Brisa cemas.

"Aku tahu kamu takut, tapi ini satu-satunya cara untuk membuktikan kalau kamu tidak berbohong. Lagipula, kalau memang ada yang tidak beres dengan tubuhmu, kan lebih baik kalau segera diketahui," ujar Ivana lembut.

Brisa terdiam sejenak, menimbang-nimbang perkataan Ivana. Akhirnya, ia mengangguk setuju. "Baiklah, aku akan melakukan apa saja asalkan masalah ini bisa selesai."

"Bagus sekali, Brisa," puji Ivana. "Pagi ini kita ke rumah sakit ya."

Setelah menutup telepon, Ivana kembali berpikir keras. Ia masih penasaran dengan bagaimana Brisa bisa hamil. Selama ini, Brisa dikenal sebagai gadis yang baik dan penurut. Mustahil baginya untuk melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri.

***

Sinar matahari pagi menari-nari di atas permukaan meja makan, menerangi wajah tegang Pak Aryan. Di hadapannya, Brisa duduk dengan kepala menunduk, jari-jarinya bertaut erat. Di sampingnya, Ivana berusaha memberikan senyuman yang menenangkan. Ivana datang ke rumah Brisa beberapa menit yang lalu sebelum sarapan pagi dimulai.

"Jadi, kamu mau ke dokter?" tanya Pak Aryan, suaranya datar.

Brisa mengangguk pelan. "Iya, Pa. Aku merasa tidak enak badan."

"Apa kamu juga akan periksa kehamilanmu itu?"

"Tidak," jawab Brisa ragu-ragu.

Pak Aryan menatap Brisa curiga. "Jangan bohong, Brisa. Ada apa sebenarnya?"

Brisa menghela napas panjang. "Sebenarnya, Pa, aku ingin melakukan tes keperawanan."

Kalimat Brisa bagaikan petir menyambar. Pak Aryan terbelalak kaget. "Apa katamu? Tes keperawanan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 111. Epilog. TAMAT.

    Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 110. Angin malam yang menyusup di antara dedaunan

    Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 109. Buku harian

    “Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 108. Penculikan

    Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 107. Tidak ada tempat untukku

    Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 106. Mama ingin kamu bahagia

    Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 105. Hari kelahiran

    Tiga minggu sebelum hari perkiraan lahir, Brisa mengalami kontraksi palsu. Brian panik luar biasa. Ia membawa Brisa ke rumah sakit padahal ternyata hanya Braxton Hicks.“Aku kira dia mau lahir,” gumamnya di mobil sambil menyeka keringat.Brisa tertawa kecil. “Tenang, Brian. Masih ada waktu.”“Kalau kamu tahu rasanya jantungku waktu kamu bilang ‘sakitnya beda’ tadi rasanya kayak disetrum.”Brisa tertawa lagi, tapi kali ini lebih hangat. “Kamu panik tapi lucu.”Brian meliriknya. “Tuh, akhirnya kamu bilang aku lucu juga.”Brisa menutup mulutnya, malu, tapi senyum itu tak bisa disembunyikan.***Hari kelahiran pun tiba. Pagi hari, air ketuban Brisa pecah. Brian yang mengantar ke rumah sakit dengan tangan gemetar. Ia menelepon bibi Brisa, mengurus administrasi, menenangkan Brisa, bahkan menyempatkan diri memotret momen-momen penting.Saat Brisa berteriak kesakitan dalam proses persalinan, Brian memegang tangannya erat. “Kamu bisa, Brisa. Kamu kuat. Aku di sini.”Empat jam kemudian, tangisa

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 104. Arsaka

    Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah kecil Brisa di Osaka terasa jauh lebih hangat. Brian memutuskan tinggal di Jepang untuk sementara waktu. Ia membantu Brisa ke rumah sakit, ikut senam kehamilan, bahkan mulai belajar memasak masakan Jepang sederhana dari bibinya Brisa. Suatu sore, ketika matahari hampir terbenam dan sakura berguguran pelan, Brian duduk di beranda rumah dengan Brisa bersandar di bahunya. "Kurasa kita akan baik-baik saja," bisik Brisa. "Aku tahu kita akan baik-baik saja," jawab Brian. "Karena sekarang, aku punya segalanya. Kamu. Anak kita." Brisa menutup mata, tersenyum pelan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa damai.***Minggu-minggu berikutnya menjadi perjalanan yang tak mudah bagi Brian. Meskipun Brisa telah memaafkannya dan memberinya tempat dalam hidup sebagai ayah dari anak yang mereka kandung bersama, bukan berarti hatinya langsung terbuka untuk cinta yang baru. Brian mengerti itu, tapi bukan berarti ia menyerah.Ia bangun le

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 103. Hatiku masih di masa lalu

    Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status