Hidup Brisa berubah drastis setelah sebuah kesalahan medis membawanya hamil meskipun masih perawan. Demi nama baik keluarga, ia pun dipaksa menikah dengan pria pilihan orang tuanya, seorang miliarder, pemilik perusahaan Hendratama Grup. Lantas, bagaimana nasib Brisa? Lalu, apa tanggapan sang miliarder jika tahu ini semua?
View MoreRuangan itu terasa sesak oleh keheningan yang mencekam. Tatapan tajam Pak Aryan menusuk Brisa, membuat gadis itu semakin menunduk. Wajah Bu Tara yang biasanya lembut kini tampak murung, matanya berkaca-kaca.
"Brisa, siapa laki-laki itu?" Suara Pak Aryan menggelegar, memecah keheningan. Brisa terisak, tubuhnya gemetar hebat. "Pa... Papa, aku nggak tahu." "Tidak tahu? Bagaimana bisa tidak tahu, Brisa?" Pak Aryan semakin marah. "Kamu sudah melakukan hal memalukan seperti ini, tapi masih berani bohong!" "Papa, aku beneran nggak tahu. Aku belum pernah... belum pernah tidur sama siapa-siapa." Suara Brisa teredam oleh isakannya. Pak Aryan tertawa sinis. "Jangan berbohong lagi, Brisa! Kamu hamil? Kamu pikir Papa bodoh? Hasil medical check up menyatakan kamu hamil." "Papa, aku... aku nggak bohong!" Brisa memohon, air matanya mengalir deras. Bu Tara mendekat, mengelus bahu Brisa. "Brisa, coba ingat-ingat lagi. Mungkin kamu lupa?" Brisa menggelengkan kepala putus asa. "Bu, aku udah berusaha ingat, tapi aku beneran nggak tahu. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa kayak gini." "Sudahlah, Bu. Percuma kita tanya lagi. Dia jelas-jelas sudah mempermalukan kita!" Pak Aryan memotong ucapan istrinya. "Papa, jangan marah sama Brisa. Mungkin ada penjelasan lain," Bu Tara membela anaknya. "Penjelasan apa lagi? Dia hamil di luar nikah! Ini sudah jelas-jelas aib bagi keluarga kita!" Pak Aryan membentak. Brisa semakin terisak. Hatinya hancur melihat ayahnya yang biasanya penyayang kini begitu marah padanya. "Brisa, kalau kamu tidak mau mengaku, jangan salahkan Papa kalau Papa bertindak keras!" ancam Pak Aryan. Brisa semakin ketakutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir. "Brisa, coba kamu ingat-ingat lagi. Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan. Jangan sampai kamu menutup-nutupi kebenaran," bujuk Bu Tara. Brisa menghela napas panjang. Ia memejamkan mata, berusaha mengingat-ingat semua kejadian yang pernah dialaminya. Namun, otaknya terasa kosong. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apapun kalau ia pernah tidur dengan seorang pria, karena ia memang tidak pernah melakukannya. "Sudah, Bu. Percuma kita bicara dengannya. Dia tidak akan pernah jujur!" Pak Aryan memotong ucapan istrinya lagi. "Papa, aku mohon, jangan marah sama Brisa." Bu Tara memohon. Brisa semakin merasa terpuruk. Ia merasa dirinya tidak berguna dan sudah mengecewakan semua orang yang menyayanginya. Bunga rampai yang biasa menghiasi ruang keluarga kini tampak layu. Aroma harum yang dulu menenangkan, kini terasa mencekik. Brisa masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Tatapan Pak Aryan semakin tajam, bagai elang yang siap menerkam mangsanya. "Brisa, masuk ke kamarmu sekarang juga!" perintah Pak Aryan dengan suara bergetar menahan amarah. Brisa menggeleng lemah, air matanya semakin deras. "Jangan bantah, Brisa!" Pak Aryan menunjuk pintu kamar. Dengan langkah gontai, Brisa berjalan menuju kamarnya. Pintu dibanting keras dari dalam. Brisa memeluk lututnya, tubuhnya terkulai lemas di atas ranjang. Bu Tara menghampiri suaminya, berusaha menenangkan. "Aryan, jangan terlalu keras pada Brisa." Pak Aryan menghela napas kasar. "Bagaimana aku tidak marah, Bu? Dia sudah mempermalukan kita!" "Tapi, Aryan, kita harus mencari solusi yang terbaik. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan Brisa." "Solusi apa yang bisa kita ambil? Perjodohan dengan keluarga Hendratama sudah di depan mata. Bagaimana kalau mereka tahu tentang ini? Brisa akan menjadi bahan tertawaan!" Bu Tara terdiam. Ia tahu suaminya sangat gengsi. Nama baik keluarga adalah segalanya baginya. "Aku akan bicara dengan keluarga Hendratama," ujar Bu Tara pelan. Pak Aryan menggeleng tegas. "Tidak! Jangan pernah!" Bu Tara merasa putus asa. Ia tidak tega melihat anaknya menderita. Beberapa hari kemudian, Brisa tetap dikurung di kamarnya. Ia hanya keluar untuk makan, kerja, dan mandi, itupun sambil diawasi oleh pembantunya. Sementara itu, Pak Aryan terus memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Ia tidak ingin perjodohan dengan keluarga Hendratama batal, namun di sisi lain, ia juga tidak tega melihat anaknya menderita. "Aryan, aku sudah memikirkannya matang-matang," ujar Bu Tara suatu siang. "Kita harus jujur pada keluarga Hendratama." Pak Aryan menatap istrinya dengan tajam. "Apa maksudmu?" "Kita harus memberitahu mereka tentang keadaan Brisa. Kita tidak bisa terus-menerus menyembunyikan kebenaran." Pak Aryan menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Aku tidak mau nama baik keluarga kita tercemar." "Tapi Aryan, kita tidak bisa terus-menerus berbohong. Kebenaran akan terungkap juga." Pak Aryan terdiam. Ia tahu istrinya benar. Namun, egonya masih sangat besar. Ia tidak ingin kehilangan muka di hadapan masyarakat. Bu Tara menghela napas panjang. Ia tahu suaminya akan sulit untuk menerima kenyataan ini. *** Cahaya matahari sore menyinari kamar Brisa, menembus celah tirai. Brisa terbangun dengan perasaan berat. Pikirannya berkecamuk memikirkan masa depannya yang tak menentu. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dan Pak Aryan masuk. "Ada apa lagi, Pa." "Ada yang ingin Papa bicarakan denganmu," ujar Pak Aryan dengan nada serius. Brisa terduduk di tepi ranjang, matanya menatap ayahnya dengan penuh tanya. "Tentang perjodohanmu dengan keluarga Hendratama, Papa sudah memutuskan...." Hati Brisa berdebar kencang. Ia sudah menduga pembicaraan mereka akan mengarah ke sana. "...Papa tetap akan melanjutkan perjodohan ini, meskipun sekarang kamu sedang hamil," sambung Pak Aryan tegas. Brisa tertegun. "Tapi, Pa, aku...." "Dengar, Brisa," potong Pak Aryan. "Ini demi kebaikan kita semua. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat baik. Anaknya juga orang yang sukses dan bertanggung jawab. Dia akan menjadi suami yang baik untukmu dan akan menyelamatkan rasa malu kita, karena kamu hamil di luar nikah." "Tapi, Pa, aku tidak mencintainya," ucap Brisa lirih. "Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Brisa," jawab Pak Aryan. "Lagipula, kamu akan memiliki segalanya. Kehidupan yang nyaman, keluarga yang baik, dan masa depan yang cerah." "Mereka akan tahu kalau aku hamil," ucap Brisa dengan suara bergetar. "Selama perutmu belum membesar, mereka tidak akan tahu. Itu sebabnya kamu harus cepat menikah." "Aku tidak ingin membohongi siapapun, Pa," jawab Brisa. "Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak kucintai, apalagi dalam keadaan seperti ini." "Ini jalan satu-satunya agar kita tidak malu. Ini salahmu tak bisa jaga diri." Seberapa pun usaha Brisa untuk memberitahu ayahnya, bahwa ia belum ada satu pun pria yang menyentuhnya, ayahnya tak akan pernah percaya, bahkan kehamilannya masih jadi misteri. "Kamu pikir dengan memberitahu mereka tentang kehamilanmu, masalah akan selesai?" bentak Pak Aryan. "Kamu akan menjadi bahan tertawaan orang! Nama baik keluarga kita akan hancur!" "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pa?" tanya Brisa putus asa. "Kamu akan tetap menikah dengan salah satu putra keluarga Hendratama," tegas Pak Aryan. "Dan kamu akan merahasiakan kehamilanmu. Anak itu akan menjadi anak suamimu. Tidak ada yang akan tahu tentang ini." "Tidak, Pa! Aku tidak mau berbohong!" bantah Brisa. "Kamu tidak punya pilihan lain, Brisa," ucap Pak Aryan. "Ini demi kebaikanmu dan anak yang sedang kamu kandung. Apa kamu ingin anakmu nanti tak punya ayah?" "Bagaimana dengan masa depanku, Pa? Aku ingin melanjutkan kuliah di Inggris," ucap Brisa dengan suara bergetar. "Luar negeri? Lupakan saja! Kamu sudah tidak bisa kuliah lagi dalam keadaan hamil di luar nikah," tegas Pak Aryan. Brisa merasa dunianya runtuh. Semua mimpinya hancur dalam sekejap. Pak Aryan menatap Brisa dengan tatapan tajam. "Kamu sudah tidak punya pilihan lain, Brisa." Brisa menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur berkeping-keping dan terjebak dalam situasi yang sulit.Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi
Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan
“Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m
Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments