Brisa duduk di tepi ranjang, matanya masih menatap kosong ke layar ponselnya. Foto yang dikirim Ivana masih terpampang jelas. Suara ketukan pintu membuatnya tersentak. “Sagara?” Brisa mengangkat wajahnya dengan cepat, terkejut melihat Brian berdiri di ambang pintu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dingin. “Aku datang untuk membawamu pulang,” jawab Brian tanpa basa-basi. Brisa tertawa sinis. “Pulang? Untuk apa? Supaya kamu bisa terus menyakitiku?” Brian menatapnya, rahangnya mengeras. “Brisa, kita perlu bicara.” “Kita tidak perlu bicara apa-apa lagi, Sagara.” Matanya berkaca-kaca. “Aku tidak mau tinggal bersama pria yang mencintai wanita lain.” Jantung Brian berdegup lebih kencang. Ia melihat emosi di mata Brisa—kesedihan, kemarahan, dan luka. Untuk sesaat, ia ingin menghapus semua itu, ingin mendekapnya dan berkata bahwa semua baik-baik saja, tapi ia tidak boleh goyah. “Brisa—” “Tidak ada lagi yang perlu dikatakan, Sagara.” Brisa bangkit, menatapnya deng
Mata Brisa bergetar. "Kau masih berpikir seperti itu? Aku sudah menjelaskan semuanya, Sagara. Aku tidak pernah mengkhianati siapa pun!" Brian tertawa sinis. "Oh ya? Lalu apa ini? Aku melihatmu menggoda pria lain begitu saja di depan kantor?" Brisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak menggoda siapa pun. Aku hanya berbicara dengan rekan kerjaku. Kenapa kau selalu berpikir buruk tentangku?" Karena aku takut kehilanganmu lagi. Kata-kata itu hampir saja keluar dari mulutnya, tetapi Brian menelannya kembali. Ia membenci perasaan ini. Ia benci bahwa ia mulai jatuh cinta lagi pada wanita yang seharusnya ia benci. Brisa menarik napas panjang, menahan amarah dan luka di hatinya. "Jika kau tidak percaya padaku, tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksamu. Aku sudah lelah." Brisa berbalik, tetapi Brian menahan lengannya lagi. "Jangan pernah berbicara seperti itu lagi denganku," ucapnya, suaranya nyaris bergetar karena kemarahan dan sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Bri
Brian diam, tidak bergerak, membiarkan Brisa menatapnya dalam kebingungan. "Kau sudah pulang." Brisa mengerjap, lalu menarik tangannya kembali. "Aku tertidur di sini, ya?" Brian mengangguk pelan. Brisa menghela napas, lalu berusaha bangkit. "Aku akan ke kamar." Tetapi Brian tiba-tiba berbicara, menghentikannya. "Brisa." Wanita itu berhenti, tetapi tidak menoleh. Brian menggenggam tangannya, kali ini tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Aku...." Aku apa? Apa yang sebenarnya ingin ia katakan? Brisa menunggu, tetapi saat Brian tidak juga melanjutkan, ia menarik tangannya pelan dan berjalan pergi ke kamarnya tanpa berkata apa pun lagi. Brian menutup mata dan mengutuk dirinya sendiri. Sejak malam itu, Brian semakin tidak bisa mengabaikan perasaannya. Setiap kali ia mencoba menjauh, sesuatu selalu menariknya kembali. Ia mulai mencari keberadaan Brisa di rumah, memastikan wanita itu baik-baik saja, tetapi tetap menjaga jarak seolah ia tidak peduli. Brisa juga tidak men
Brisa duduk di kursi pasien dengan gelisah, tangannya bertumpu di atas pangkuan. Ia bisa merasakan tatapan Brian di sampingnya setelah pria itu kembali dari membeli minum, tetapi ia memilih untuk tidak menoleh. Sejak tadi, pria itu belum mengatakan apa pun. Dokter Melati, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, memeriksa beberapa lembar rekam medis sebelum menatap Brisa. "Bagaimana kondisi Anda akhir-akhir ini, Bu Brisa? Ada keluhan tertentu?" tanyanya dengan nada lembut. Brisa menggeleng pelan. "Tidak ada yang terlalu mengganggu, Dok. Hanya sedikit mudah lelah." Dokter Melati mengangguk. "Itu wajar. Kehamilan Anda sudah memasuki trimester ketiga." Brisa hanya mengangguk kecil. Sementara itu, Brian masih berdiri kaku di sampingnya. "Baik, kalau begitu mari kita lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan kondisi janin," kata dokter itu, lalu menoleh ke Brian. "Bapak bisa berdiri di samping, kalau ingin melihat hasilnya." Brian tampak sedikit ragu, tetapi akhirnya ia m
Hujan masih turun ketika Brian tiba di rumah. Dingin menusuk tulangnya, tetapi perasaannya jauh lebih kacau daripada cuaca malam itu. Tanpa ragu, ia membuka pintu."Brisa?" panggilnya, suaranya terdengar berat.Tidak ada jawaban.Brian melangkah ke ruang tamu, tetapi Brisa tidak ada di sana. Ia berjalan ke dapur—kosong. Napasnya sedikit memburu saat ia naik ke lantai dua. Ketika ia sampai di kamar Brisa, ia melihat pintu yang sedikit terbuka.Brisa ada di dalam, duduk di dekat jendela dengan tangan bertumpu di perutnya yang mulai membesar. Brian menatapnya lama sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar dan melangkah masuk.Brisa menoleh dengan terkejut. "Sagara? Apa yang kau lakukan di sini?"Brian menelan ludah, lalu berkata dengan suara pelan namun penuh ketegasan. "Aku ingin meminta maaf."Brisa mengernyit. "Maaf?"Brian berjalan lebih dekat, sampai akhirnya ia berdiri tepat di depannya. Matanya yang tajam kini dipenuhi ketulusan. "Aku menyesali semua yang sudah aku katakan dan la
Fajar baru saja merekah saat Brisa terbangun. Ruangan masih temaram, cahaya samar dari jendela tidak mampu mengusir bayangan yang mengisi sudut-sudut kamar. Brisa bangkit dengan kantuk yang masih melekat di matanya. Matanya bergerak ke arah jam digital di meja samping tempat tidur. Rasa tidak nyaman mulai menyelusup ke dalam dadanya. Dengan gerakan pelan, Brisa bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu kamar yang setengah terbuka. Saat ia melangkah keluar, samar-samar ia mendengar suara langkah kaki terburu-buru dari lantai bawah.Hatinya mencelos. Brisa segera turun ke lantai bawah, berhenti di tangga saat melihat Brian sudah berpakaian rapi mengenakan kemeja dan celana panjang. Ia tampak tergesa-gesa, satu tangannya meraih kunci mobil di atas meja, sementara tangan lainnya sibuk memasukkan ponselnya ke dalam saku."Brian?" suara Brisa serak karena baru bangun tidur, tetapi cukup untuk memanggilnya.Namun, Brian tidak menoleh. Ia hanya menghela napas panjang, lalu melang
Brisa berjalan menyusuri koridor rumah sakit, matanya terus mencari sosok yang sejak tadi ia ikuti. Ia sudah kehilangan jejak Brian sejak tadi. "Apa yang sebenarnya dia lakukan di sini?" gumamnya, semakin penasaran. Matanya menyapu sekitar. Ia melihat beberapa dokter dan perawat berlalu lalang, tetapi tidak ada tanda-tanda Brian. Brisa memutuskan untuk pulang ke rumah hingga akhirnya, matanya tertumbuk pada seseorang yang keluar dari ruang operasi—Brian. Brisa terkejut. Ia melihat pria itu mengenakan pakaian operasi lengkap. "Kenapa dia memakai pakaian itu?" gumamnya bingung. Langkahnya terhenti saat melihat seorang wanita datang menghampiri Brian. Jantungnya berdetak lebih cepat saat mengenali siapa wanita itu. Ivana. Brisa segera bergerak ke belakang dinding terdekat, bersembunyi agar tidak terlihat. Ia tahu tidak seharusnya menguping, tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa percakapan mereka akan penting. "Brian, aku ingin kau kembali padaku," suara Ivana terdengar li
"Aku butuh waktu," Brisa berkata lirih, suaranya nyaris patah. "Jangan cari aku!"Brian menatapnya putus asa. "Brisa, kumohon!"Tetapi Brisa sudah menarik tangannya dengan paksa dan melangkah pergi tanpa menoleh. Dan kali ini, Brian tidak bisa berbuat apa-apa selain menatap punggungnya yang menghilang di balik keramaian.***Brisa menekan bel rumah orang tuanya dengan tangan gemetar. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya, tetapi yang lebih membuatnya menggigil adalah guncangan emosional yang baru saja ia alami. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, menampilkan sosok ibunya, Bu Tara, yang mengenakan daster dan cardigan tipis."Brisa?" suara ibunya terdengar penuh keheranan. "Kamu datang malam-malam begini? Ada apa, Nak?"Brisa tidak langsung menjawab. Bibirnya bergetar, matanya terasa panas. Sejak tadi ia berusaha menahan air mata, tetapi begitu melihat wajah ibunya, pertahanannya runtuh.Bu Tara segera meraih tangan putrinya, menariknya masuk ke dalam rumah. "Astaga, tanganmu din
Langit Jakarta sore itu ditaburi semburat jingga keemasan. Dari apartemen lantai 12 bergaya minimalis di kawasan Senopati, angin membawa aroma hujan yang belum lama reda. Brisa berdiri di balik jendela besar ruang tamu, memandangi lalu lintas yang bergerak perlahan seperti semut-semut bercahaya. Di tangannya, secangkir teh melati mengepul, menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Lima tahun telah berlalu, namun setiap sore seperti ini masih memberinya waktu untuk merenung. Suara tawa kecil terdengar dari ruang keluarga yang hangat, diselingi denting gelas dan suara lagu anak-anak yang mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan.Brisa duduk di atas sofa empuk berwarna krem, memangku seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang tengah tertawa geli karena digelitik. Wajah anak itu adalah perpaduan manis dari keduanya—mata biru penuh rasa ingin tahu milik Brian, dengan senyum lembut yang mirip Brisa.“Sayang, pelan-pelan ya, mama capek dikejar terus,” ucap Brisa sambil mencium pi
Malam telah larut, namun suasana di rumah Bibi Rika justru semakin hangat. Di ruang keluarga, pelukan, air mata, dan senyum bercampur jadi satu setelah Arsaka kembali dengan selamat ke pelukan Brisa dan Brian. Bu Arini dan Bu Tara tak berhenti berucap syukur dan memastikan bahwa ini bukan mimpi.Pak Raditya, meski masih diliputi rasa bersalah karena pernah memberi alamat kepada Ivana tanpa curiga, kini hanya bisa bersyukur bahwa semuanya berakhir tanpa tragedi. Di sudut ruangan, Brisa duduk bersandar di sofa, memeluk Arsaka yang sudah mulai tertidur dalam dekapannya. Brian duduk di karpet, tepat di depan mereka, memandangi putra kecilnya dengan tatapan tak henti-henti dipenuhi rasa syukur.Namun ada yang belum tuntas. Ada beban yang selama ini Brian simpan, luka dan rasa yang terkunci sejak bertahun-tahun lalu. Dan malam ini, saat semua orang sudah mulai masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Brian tahu—ia harus berkata jujur.“Brisa.”Brisa membuka mata, masih duduk dengan
“Ivana?” ulang Bu Arini pelan, seakan tak percaya dengan yang baru didengarnya.Pak Raditya menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. “Ivana sempat datang ke rumah beberapa minggu lalu. Dia menanyakan Brian, katanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Kami... kami bilang kamu ada di Osaka, bahkan kami memberinya alamat rumah ini.”“Apa?!” seru Brian, suaranya naik beberapa oktaf. “Kalian memberinya alamat?!”“Kami tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Kami tak menduga—” Bu Arini menutup mulutnya, air matanya mulai mengalir. “Maafkan kami!"Brisa menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Yang penting sekarang, kita temukan Arsaka.”Mereka semua duduk di ruang keluarga, masing-masing terdiam dalam pikiran masing-masing. Telepon genggam Brian diletakkan di atas meja, menanti panggilan dari pihak kepolisian. Suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, menciptakan tekanan yang tak kasat mata.Brian berdiri, menghela napas panjang. “Aku keluar sebentar, butuh udara.”Ia m
Suara burung-burung kecil bersahutan di ranting sakura, angin berembus lembut mengibaskan tirai. Brisa baru saja menyuapi Brian sepotong onigiri buatan ibunya ketika suara tangis kecil Arsaka pecah, lalu berubah menjadi gerutuan halus. “Dia sudah bangun?” tanya Brian sambil bangkit dari duduknya. “Sepertinya belum. Mungkin hanya gelisah.” Brisa tersenyum, mengusap tangannya dengan tisu sebelum bangkit berdiri. Stroller Arsaka berada di pekarangan depan, tepat di bawah pohon sakura. Mereka sengaja meletakkannya di sana agar bayi itu bisa tidur dengan nyaman di bawah semilir angin. Brisa menoleh sebentar dari jendela, melihat tubuh kecil Arsaka masih meringkuk di dalam stroller dengan selimut yang menyelimuti hingga dagu. Ia berpaling sebentar ke dapur, berniat mengambil termos air panas untuk membuat susu cadangan. Dalam waktu yang sama, diam-diam sesosok wanita menyelinap masuk dari gerbang samping rumah—Ivana. Dengan langkah pelan, penuh perhitungan, Ivana mendekati stroller. Ha
Ivana tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan sosok Brisa dalam hidupnya. Ia pikir, kepergiannya ke Jepang sudah cukup untuk menghapus luka dan rasa tidak adil yang selama ini menggerogoti dirinya, tapi nyatanya, semua itu kembali menyeruak, jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Ia berdiri di seberang rumah itu sambil menggenggam sebuah surat yang sudah kusut di tangannya—surat dari Brian untuk Brisa yang tak pernah sampai ke tangan Brisa. Rasa bersalah sempat menghantui, tapi rasa bersalah itu ditelan oleh kebencian yang lama terpendam. Dalam matanya, Brisa adalah wanita yang selalu mendapatkan segalanya. Wajah cantik, keluarga harmonis, karir cemerlang, dan sekarang, dua pria yang sama-sama rela mengorbankan segalanya untuknya—Sagara dan Brian. Ivana menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. “Aku juga cantik. Aku juga pintar, tapi kenapa mereka tak pernah melihatku?” Kilasan masa lalu menyapu pikirannya. Waktu-waktu saat ia diam-diam memendam rasa pada Sagara,
Bu Tara menggenggam tangan putrinya. “Mama mengerti, Nak. Mama cuma ingin kamu bahagia.”Pak Aryan mengangguk pelan. “Kalian sudah jadi orang tua sekarang. Kami percaya, kalian akan tahu kapan waktu yang tepat.”Setelah suasana kembali mencair, Bu Tara tiba-tiba bertanya, “Oh iya, Brian. Orang tuamu nggak datang ke Osaka?”Brian mengangguk. “Sudah aku kabari. Mereka akan ke sini dalam satu minggu. Mereka senang sekali waktu tahu Arsaka lahir. Ayah malah bilang mau jadi guru bahasa Jawa buat cucunya.”Semua tertawa. Udara kembali hangat.***Beberapa hari kemudian, jam menunjukkan pukul delapan pagi. Brian tengah berada di ruang kerja kecil di rumah Brisa, satu tangan mengayun-ayun bouncer tempat Arsaka tidur, tangan lainnya mengetik cepat di laptop. Beberapa berkas terbuka di sekelilingnya—rencana ekspansi perusahaan dan laporan harian dari Deborah.Sejak meninggalkan Indonesia beberapa bulan lalu, Brian mengatur semua pekerjaannya dari Osaka. Sebagai CEO sebuah perusahaan, ia tidak b
Tiga minggu sebelum hari perkiraan lahir, Brisa mengalami kontraksi palsu. Brian panik luar biasa. Ia membawa Brisa ke rumah sakit padahal ternyata hanya Braxton Hicks.“Aku kira dia mau lahir,” gumamnya di mobil sambil menyeka keringat.Brisa tertawa kecil. “Tenang, Brian. Masih ada waktu.”“Kalau kamu tahu rasanya jantungku waktu kamu bilang ‘sakitnya beda’ tadi rasanya kayak disetrum.”Brisa tertawa lagi, tapi kali ini lebih hangat. “Kamu panik tapi lucu.”Brian meliriknya. “Tuh, akhirnya kamu bilang aku lucu juga.”Brisa menutup mulutnya, malu, tapi senyum itu tak bisa disembunyikan.***Hari kelahiran pun tiba. Pagi hari, air ketuban Brisa pecah. Brian yang mengantar ke rumah sakit dengan tangan gemetar. Ia menelepon bibi Brisa, mengurus administrasi, menenangkan Brisa, bahkan menyempatkan diri memotret momen-momen penting.Saat Brisa berteriak kesakitan dalam proses persalinan, Brian memegang tangannya erat. “Kamu bisa, Brisa. Kamu kuat. Aku di sini.”Empat jam kemudian, tangisa
Beberapa minggu kemudian, suasana di rumah kecil Brisa di Osaka terasa jauh lebih hangat. Brian memutuskan tinggal di Jepang untuk sementara waktu. Ia membantu Brisa ke rumah sakit, ikut senam kehamilan, bahkan mulai belajar memasak masakan Jepang sederhana dari bibinya Brisa. Suatu sore, ketika matahari hampir terbenam dan sakura berguguran pelan, Brian duduk di beranda rumah dengan Brisa bersandar di bahunya. "Kurasa kita akan baik-baik saja," bisik Brisa. "Aku tahu kita akan baik-baik saja," jawab Brian. "Karena sekarang, aku punya segalanya. Kamu. Anak kita." Brisa menutup mata, tersenyum pelan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa damai.***Minggu-minggu berikutnya menjadi perjalanan yang tak mudah bagi Brian. Meskipun Brisa telah memaafkannya dan memberinya tempat dalam hidup sebagai ayah dari anak yang mereka kandung bersama, bukan berarti hatinya langsung terbuka untuk cinta yang baru. Brian mengerti itu, tapi bukan berarti ia menyerah.Ia bangun le
Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan