Franco membukakan pintu kamar yang paling mewah di kastil itu. Semuanya sudah diperbarui sesuai keinginan Stella. Tapi sayangnya wanita itu belum puas. Seprai berwarna pink bermotif bunga-bunga itu membuatnya marah.
"Apa ini Franco? Apa aku memesan seprai bunga-bunga?" tanya Stella.
"Nona, hanya ini yang paling baru dan bagus." Franco tersenyum.
"Baiklah, selama ini mahal tidak masalah." Stella masuk ke dalam kamarnya. Ia memicingkan matanya ketika dia melihat debu jendelanya.
"Franco! Apa pelayan di sini tidak bisa membersihkan kamar? Apa ini?" gerutu Stella. Wanita itu menunjuk pada jendela kamarnya.
"Akan aku bereskan besok, selamat malam." Franco menutup pintu kamar Stella dan b
Sudah seminggu sejak kedatangan Stella. Wanita itu, merengek untuk dinikahi oleh Dominic. Pria itu memang sudah melamar Stella sejak lama tapi Dominic belum yakin untuk menikahi Stella. Seperti biasanya, wanita pirang itu meratapi cincin yang tersemat di jarinya itu dan mulai menatap Dominic yang tidur di sampingnya. Pria itu tertidur sangat lelap. Stella hanya bisa menghela napasnya dan beranjak dari ranjangnya.Dominic sudah terbangun sejak awal. Tapi dia tidak bisa membuka matanya sebelum Stella keluar dari kamar mereka. Pria itu sudah bosan karena Stella akan terus menanyakan kapan Dominic akan menikahinya. Suara shower membuat Dominic yakin kalau wanita itu sedang mandi. Tidak lama kemudian Stella masuk kembali ke kamar."Aku tahu kau sudah bangun." Stella melepaskan handuk yang melilit tubuhnya lalu melempar handuk basah itu pada Dominic. Mau tidak mau Dominic harus bangun dan menatap Stella yang kesal padanya."Kau ingin sarapan apa?" ta
Sudah jam empat pagi dan Louisa belum bisa tidur. Pikirannya masih berputar pada Stella. Dia tidak melihat wanita itu makan tapi kenapa Samuel bisa mengatakan kalau dia keracunan. Wanita pemberani itu turun dari ranjangnya dan mengambil mantel tebalnya. Semakin pagi, udara di Kastil ini semakin dingin dan menusuk tulang. Tapi tidak mengurungkan niat Louisa untuk menyelidiki apa yang terjadi pada Stella.Wanita itu menuju dapur. Semuanya bersih dan tertata rapi. Mata Louisa melihat setiap sudut ruangan tapi dia tidak menemukan apapun. Dia yakin Maria sudah membereskan dapur. Louisa bisa mendengar derap langkah kaki seseorang menuju dapur. Wanita itu berpura-pura mengambil minum."Louisa?" Maria berdiri di depan pintu dapur dan Louisa hanya bisa tersenyum sambil memegang gelas yang berisi air putih."Apa yang kau lakukan pagi buta di sini? Apa kau lapar?" tanya Maria."Maria, aku tidak bisa tidur. Kastil ini terlalu mengerikan.
Dominic menggendong Stella menuju rumah sakit. Wanita itu tidak sadarkan diri. Perawat yang melihat Dominic langsung memberikannya ranjang untuk meletakkan Stella dan langsung masuk ke ruang UGD. Tangan berotot Dominic merogoh saku celananya dan mendapatkan ponsel. Dia menghubungi Franco. Tidak lama kemudian dia datang."Apa yang terjadi?" tanya Franco."Aku tidak tahu, dia marah lalu ingin kembali ke New York. Mulutnya mengeluarkan busa dan ia tidak menutup matanya. Dia mengerikan Franco." Dominic mengusap wajahnya."Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu, singkirkan Stella. Kau sudah tidak membutuhkan dia lagi. Stella sudah tidak ada gunanya lagi untukmu." Franco menepuk bahu Dominic."Aku juga berusaha untuk menyingkirkannya Franco. Sedang aku lakukan." Dominic menggigit bibir bawahnya."Kau ingin menyingkirkannya? Apa yang kau lakukan?" tanya Franco."Aku berusaha membuatnya tidak nyaman bersamaku da
Mobil hitam Dominic berhenti tepat di depan kastil. Pria itu membawa obat-obatan. Dia harus cepat agar tidak ada seorangpun yang tahu. Pria kekar itu menuju lorong rahasia. Dia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya kemudian dia dengan leluasa masuk ke lorong dan menyusuri jalan-jalan gelap. Dominic menunggu Daphne.Yah, Daphne. Pria itu membawa obat untuk Daphne. Kenapa? Karena Daphne mempunyai kepribadian ganda. Di satu sisi dia wanita yang pintar dan berani. Disisi lain, dia bisa menjadi sosok yang kejam. Dominic sudah tahu Daphne membunuh banyak wanita tahanan kastil. Tapi mau bagaimana lagi, itu adalah gangguan dari dalam diri Daphne sendiri.Dominic tidak melihat tanda-tanda adanya Daphne. Tapi dia mendengar keributan. Pria itu mendengar barang-barang pecah dan suara-suara teriakan. Ia langsung mengikuti sumber suara itu. Lorong. Yah! Sumber suaranya ada di lorong. Dominic berlari mencari tahu apa yang
Stella duduk di kursi rodanya. Tubuhnya masih lemas karena dia menjalani cuci lambung. Wanita itu bisa bertahan dari racun yang dibuat Daphne. Untungnya Stella hanya menghisap sedikit lipstik yang dia pakai. Karena lipstik itu terbuat dari tanaman beracun yang sudah diuji sendiri oleh Daphne. Bahkan bibir Stella sekarang sakit. Wanita itu tidak bisa makan, dia hanya mendapatkan cairan dari infus."Wah, racunya bukan main," gumam Louisa. Saat dia melihat Dominic yang mendorong Stella dengan kursi roda."Racun?" Samuel yang ada di sebelah Louisa bertanya-tanya."Soal Stella yang keracunan, itu benar. Apa kau tahu? Daphne yang membuat racun itu karena dia menyukai Stella." Louisa mencoba menjelaskannya pada Samuel."Daphne? Oh wanita pirang itu?" Samuel mencoba mengingat Daphne karena wanita itu sudah tidak terlihat, Dominic memasukkannya ke penjara bawah tanah."Iya. Benar. Diamlah, Stella dat
Louisa duduk termenung di bangku taman. Wanita itu berpikir keras apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia tidak mungkin menjadi tahanan Dominic dan melakukan hal-hal gila yang ia tidak tahu. Bukan hanya dirinya, Samuel juga terlibat sekarang. Ini membuat kepala Louisa mau pecah rasanya. Wanita itu berdiri dari duduknya dan menutup matanya. Dia mencoba bernapas dengan benar. Telinga Louisa menangkap gelombang suara. Seseorang sedang berjalan ke arahnya."Apa kau tidak sabar dengan rencanaku? Kau terlihat tidak sabar." Dominic menghampiri Louisa dan duduk di bangku."Tidak sabar? Aku frustrasi lebih tepatnya." Louisa menatap Dominic malas. Wanita itu duduk di bangkunya kembali."Kenapa kau harus frustrasi. Ikuti saja alur dari semua ini," ujar Dominic."Apa? Mengikuti alur semua ini?" Louisa mengambil napas lalu berkata, "Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan dengan Franco. Bagaimana jika aku mati? Bagaimana kalau aku kehilangan
Louisa tertidur begitu lelap karena kelelahan berpikir. Wanita itu sama sekali tidak mendengar ketukan pintu. Maria sudah berkali-kali mengetuk pintunya tapi Louisa sama sekali tidak bergerak sedangkan Dominic, Franco, Samuel dan teman-temannya sudah siap."Apa dia sudah bangun?" tanya Dominic."Belum." Maria menggelengkan kepalanya."Apa wanita itu kabur?" Dominic menatap Franco. Tanpa basa-basi lagi Dominic menuju kamar Louisa dan membuka pintunya.Louisa masih setia tidur dengan earphone di telinganya. Yah, mendengarkan musik pengantar tidur memang membantu bagi Louisa karena wanita itu tidak bisa tidur. Dominic tersenyum miring. Pria itu menatap Maria dan Franco bergantian.Dominic menarik selimut Louisa dan dia menarik pinggang wanita itu. Louisa yang semula tertidur pulas langsung tersentak. Refleks. Wanita itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Dominic dan pria itu menurunkan Louisa dari ranjangnya. Wanita
Louisa duduk di samping Dominic. Wanita itu menatap ke luar jendela. Ia tidak tahu rencana apa yang sudah disiapkan oleh Dominic. Louisa benar-benar tidak mengerti. Baik Dominic maupun Franco mereka sama-sama licik. Saat pesawat sudah sampai di Malta. Franco meminta pasukan khusus untuk berbaris. Dia memberikan mereka masing-masing senjata."Columbia, Berlin, Spanyol, Denmark, Jamaika. Ingat baik-baik, jangan sebut nama asli kalian." Franco mencoba memperingati. Mereka semua menganggukkan kepalanya lalu turun. Franco menahan Louisa dan Dominic."Louisa, bawa tas ini," pinta Franco."Aku bukan wanita yang gila barang branded." Louisa tidak melihat wajah Franco. Dia tidak sudi melihat wajah Franco atau Dominic sekarang.Dominic membawa tas branded itu dan menarik tangan Louisa untuk turun. Dari kejauhan dia bisa melihat Taixeira, dia mafia penguasa Malta. Dominic semakin merapatkan Louisa padanya."Mendekat