Louisa membuka matanya. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak di sofa. Wanita itu melirik sekitarnya banyak wanita yang sudah bangun. Louisa tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini.
"Sampai kapan kau mau tidur?" tanya seorang wanita berambut pirang. Mata wanita itu menatap Louisa tidak suka.
"Cepat ganti bajumu." Tatapan sinis wanita itu membuat Louisa mual.
"Hei anak baru, siapa namamu?" tanya seorang wanita yang duduk tidak jauh dari Louisa.
"Aku Louisa, kamu?" Louisa mengulurkan tangannya.
"Katherine," ucap wanita itu.
"Si pirang itu memang sangat cerewet." Katherine menunjuk pada wanita pirang yang tadi mengoceh pada Louisa.
"Iya, dia menyebalkan dan kuno kurasa," bisik Louisa.
"Iya, Daphne yang malang. Dia berasal dari Keluarga yang sama dengan Raulo, tapi dia berkhianat pada Dominic. Dia hampir dibunuh tapi Raulo menyelamatkannya," terang Katherine.
"Wah, kau
Daphne berjalan sambil menundukkan kepalanya. Louisa tersenyum miring melihat wanita itu tertunduk malu. Daphne berlindung di belakang Raulo. Dia ketakutan. "Maafkan Daphne, aku berjanji, dia tidak akan membuat keributan lagi." Raulo membungkuk pada Dominic. "Raulo, aku juga bisa menggantungmu kalau kau terus melindunginya. Aku tidak percaya lagi dengan wanita dibelakangmu itu lagi. Bahkan setelah dia melakukan seribu kebaikan untukku, aku tidak akan percaya dia!" Louisa menelan ludahnya. Ia ingat bagaimana dia merampok uang Dominic waktu itu bersama dengan Jason. Seketika itu Louisa berharap Dominic lupa akan hal itu. "Dia hanya mengatakan kalau kau ada di Meksiko pada Marcus. Daphne tidak tahu kalau kau bermusiknya denganya." Raulo berusaha untuk meredam kemarahan Dominic. "Urus para wanita ini Raulo, aku tidak mau ada keributan, kurang saja mereka, aku muak!" Dominic pergi begitu saja. Pria itu tidak peduli lagi. Louisa hany
Louisa mendekap laptopnya. Tidak peduli dengan tubuhnya yang masih licin karena sabun. Dominic tidak boleh tahu kalau dirinya adalah peretas. Louisa tidak mau mati secepat ini. Apalagi mati di dalam kastil ini. Arwahnya bisa tidak tenang."Jangan sentuh barang-barangku." Louisa mencoba memperingati Dominic. Pria itu langsung mundur."Apa yang kau sembunyikan dariku?" tanya Dominic."Tidak ada!" jawab Louisa langsung. Dia tidak ingin pria itu mencurigainya."Tidak ada wanita yang diizinkan memakai laptop atau ponsel di sini." Louisa menelan ludahnya."Aku merindukan ibuku, aku hanya ingin meneleponnya. Aku hanya ingin tahu dia baik-baik saja atau tidak. Aku juga ingin tahu keadaan adik-adikku. Kenapa ka
Louisa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Wanita itu menyandarkan punggungnya di tembok. Ia menunggu kopi panasnya yang sedang dibuatkan Maria—istri Raulo. Louisa menggigit ibu jarinya. Ia berpikir dirinya harus bagaimana. Dia ingin mengaku pada Dominic kalau dirinya juga terlibat dalam proses membantu Marcus. Tapi wanita itu tidak sanggup mengatakannya. Louisa belum siap dengan reaksi Dominic."Louisa, ini kopimu." Maria memberikan wanita itu kopi tetapi Louisa yang sibuk berpikir sampai tidak dengar apa yang dikatakan Maria."Lou?" Kali ini Maria menyenggol lengan Louisa. Wanita itu langsung menoleh pada Maria dengan wajah bingungnya."Apa kau baik-baik saja?" tanya Maria."Ah, iya. Aku baik-baik saja. Aku hanya mengantuk." Louisa berpura-
Tengah malam saat semua orang-orang normal tidur untuk beristirahat, Dominic dan Franco berjalan menuju ruang rahasia tempat mereka bekerja. Tidak peduli walau mata pria itu mengantuk kokain yang Dominic konsumsi membuatnya segar kembali."Franco, siapkan saja anak buah kita yang ada di Meksiko." Dominic tidak ingin membawa anak buahnya yang ada di Yunani."Baiklah, aku akan menghubungi mereka dan juga Zac untuk bersiap." Franco langsung menghubungi anak buahnya.Dengan langkah yang tegas Dominic dan Franco berjalan memasuki pesawat pribadinya. Mereka langsung terbang ke Meksiko untuk menggerebek markas Jason. Setelah Dominic selidiki lebih lanjut, Jason memang bekerja untuk Marcus. Mereka berdua menginginkan Dominic untuk hancur.Sesampainya di Meksiko, Dominic langsung menuju tempat yang Zac sediakan. Gudang senjata. Senjata api berjajar di hadapan Dominic. Pria itu mengambil salah satu pistol kesukaannya dan mengelusnya penuh kasih sayang.
Louisa terduduk ketakutan di hadapan Dominic. Pria itu memberikan Louisa sebotol alkohol sambil menyeringai. Wanita malang itu tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Bertemu dengan Dominic adalah kematian bagi Louisa."Cicipi lah, selagi kau masih bernapas." Dominic menarik tangan Louisa dan menaruh botol minuman di tangannya."Ayo minum, minum Louisa!" teriak Dominic. Louisa menganggukkan kepalanya takut-takut dan mulai meminum alkohol di tangannya itu."Minuman itu berkadar alkohol tinggi kau bisa mati, sedikit saja." Louisa yang sedang minum jadi tersedak. Wanita itu masih beruntung dia yang meminum satu teguk dan ditegukan ke dua dia tersedak karena perkataan Dominic."Jangan permainkan aku, Dominic!" teriak Louisa. Dia sudah tidak tahan lagi. Wajah Dominic langsung memerah. Pria itu membanting botol alkohol yang satunya tepat di samping Louisa. Wanita itu menjerit dan menutupi wajahnya."Aku mempermainkanmu
Tubuh Louisa lemas. Darah perlahan keluar dari punggungnya membasahi bajunya. Wanita itu sekarat dan Dominic masih setia memeluknya. Dia diam saja. Merasakan Louisa yang bergerak gelisah di pelukannya. Wanita itu juga mengerang kesakitan."Bagaimana rasanya?" tanya Dominic."Cukup sakit." Louisa menelan ludahnya. Napasnya sudah mulai berkurang."Apa dadamu terasa sesak?" Dominic menyeringai."Tentu saja. Rasanya tulang punggungku retak." Louisa mulai memejamkan matanya."Maafkan aku Dominic," ucap Louisa. Wanita itu langsung pingsan. Dia tertembak di bagian yang tidak akan membuatnya mati kalau segera di tangani oleh dokter. Tapi Dominic diam saja.
Sudah empat hari berlalu sejak Samuel ditangkap oleh Franco dan Dominic. Mereka mendapatkan makanan yang layak. Dominic masih setia frustrasi karena beberapa bisnis ilegalnya gagal. Franco semakin kesusahan menangani Dominic. Belum lagi dia juga harus memastikan keadaan Louisa.Dominic mengikuti Franco yang berjalan menuju kamar Louisa. Hari ini dokter memeriksanya lagi. Franco tahu Dominic sudah kesal pada Louisa. Pria itu sudah meneriaki Franco agar Louisa mati saja."Kenapa kau masih berjuang menyelamatkannya? Apa kau kurang pekerjaan?" tanya Dominic. Franco diam saja."Jawab aku! consigliere!" teriak Dominic pada Franco."Dominic! Aku tidak tahu ke mana akal sehatmu, kau terlalu banyak minum-minum." Franco tersenyum pada Dominic."Sepertinya di sini kau yang terlalu banyak minum! Aku sudah mengatakan biarkan saja wanita itu mati! Kau tidak mematuhi perkataanku consigliere!" tegas Dominic. Pria itu mencengkram lenga
Louisa menahan sakit di tangannya. Belum selesai luka di punggungnya tapi Dominic sudah menyiksanya lagi. Louisa benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya ada dipikiran Dominic. Pria itu sakit jiwa!"Mafia sialan!" jerit Samuel. Louisa membungkus tangannya dengan bajunya."Berikan kuncinya padaku," pinta Samuel. Louisa menendang kunci sel tahanan itu pada Samuel.Dengan cepat Samuel mengambil kuncinya. Dia mencoba untuk memasukkan kunci itu pada gemboknya. Samuel sudah berusaha untuk memutar kuncinya tapi tidak bisa. Dia semakin geram."Apa kau tidak bisa membuka kuncinya?" tanya Bernard. Pria itu hanya diam saja karena takut pada Dominic."Tutup mulutmu, kalau aku tidak bisa lalu kau juga tidak akan bisa!" geram Samuel. Ia menarik rambutnya."Biar aku yang coba." Louisa menatapi tangannya yang memerah. Tapi dia harus kuat. Perlahan dia mencoba memutar kuncinya. Agak susah karena gemboknya berkarat.