Louisa duduk di dalam mobil Dominic tidak tenang. Ia menundukkan kepalanya dan menarik kuat-kuat rambutnya. Dia frustrasi. Kenapa keadaan semakin memburuk. Netra Louisa melirik Dominic yang duduk tenang seakan tidak terjadi apapun sedangkan bagi Louisa bernapas saja sulit.
"Kita akan ke mana?" tanya Louisa. Wanita malang itu menatap Dominic.
"Yunani." Louisa melebarkan matanya.
"Kau gila! Mau apa ke sana!" Kepanikan yang dirasakan Louisa bukalah hal yang penting bagi Dominic.
"Kenapa kau sangat banyak bicara." Tatapan menusuk dari Dominic membuat Louisa semakin takut. Wanita malang itu hanya bisa menghela napasnya.
"Kenapa hidupku semakin rumit di saat aku ingin hidup tenang!" gerutu Louisa. Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Itu karena kesalahanmu sendiri. Kau sendiri yang membuka pintu kamar hotelku. Matamu sendiri yang melihat kematian Jason. Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja." Louisa menelan ludahnya.
"Terserah!" Louisa memutuskan untuk menutup matanya. Ia benar-benar sangat lelah dengan dunia ini. Louisa lelah berdebat dengan Dominic, dia juga lelah memikirkan cara untuk mengirim uang pada ibu dan adik-adiknya nanti. Pikiran wanita malang itu jadi sangat rumit. Yang dia mau sekarang adalah tidur.
Dominic menghela napasnya saat sampai private airport miliknya. Louisa yang tertidur membuatnya geram. Pria itu turun dari mobil dan memutari mobilnya. Tangan kekar berototnya membuka pintu mobil untuk Louisa. Sesaat Dominic menatapi wanita itu. Ia menghela napas lagi dan menarik tangan Louisa hingga wanita itu membuka matanya. Wanita malang itu belum sepenuhnya sadar dan Dominic langsung menarik kuat tangan Louisa, wanita itu kehilangan keseimbangannya. Dia berpegangan pada pintu mobil tapi tarikan Dominic terlalu kuat dan itu membuat tubuh mungil Louisa berhasil tersungkur.
"Shit!" Tangan Louisa bergesekan dengan aspal yang berhasil membuat tangannya lecet.
"AW!" pekik Louisa. Dia kesulitan berdiri karena heels yang dia pakai patah.
"Kau benar-benar keterlaluan!" Jari-jari lentik Louisa meraih heels kerja kesukaannya itu.
"Aku tidak menyuruhmu untuk tidur di mobilku." Mata Louisa mencoba untuk menangkap keadaan sekitarnya. Sedetik kemudian, wanita itu menyadari kalau dirinya benar-benar ada di bandara.
"Wah! Kau benar-benar gila! Ini gila!" Louisa memegangi kepalanya.
"Kau benar-benar mafia? Sekelas apa dirimu?" Menghirup oksigen semakin susah bagi wanita malang itu.
"Aku mafia kelas atas yang belum pernah ada, jadi berhentilah menggerutu dan tidak perlu banyak melawanku kalau kau ingin selamat." Dominic menunjuk Louisa dengan jari telunjuknya. Pria itu semakin seram saja dengan memperingati seperti itu.
"Berandal sialan! Kau tidak tahu aku yang sebenarnya!" teriak Louisa. Ia melotot pada Dominic. Dia tidak terima dipermainkan seperti ini. Sudah cukup dirinya dihina oleh Dominic.
"Kau membunuh orang! Kau menyingkirkan aku dari pekerjaanku! Kau menarik paksa aku ke sini! Dasar berandal!" Louisa mengepalkan tangannya. Dia mengarahkan semua kekuatan dalam dirinya untuk menghabisi Dominic. Ia langsung menghantam wajah Dominicakan tetapi anehnya adalah tubuh pria itu tidak bergerak. Louisa sudah mengeluarkan semua tenaganya dan menghantam wajah Dominic, tapi tubuh pria itu seperti batu. Bahkan wajahnya saja tidak bergerak saat dipukul.
"Lumayan kuat juga kau ini, Nona." Dominic menganggukkan kepalanya. Tangan kekar pria itu meraih tangan Louisa yang berani menamparnya. Dominic membalikkan tubuh Louisa dan menempelkan tubuh wanita itu ke mobil dan kedua tangan wanita itu terkunci oleh satu tangan Dominic.
"Don't play with me, Louisa." Dominic mencengkram kepala Louisa dari belakang membuat wanita itu menjerit kesakitan.
"Ini adalah peringatan terakhirku padamu, kalau kau masih ingin hidup, maka menurutlah," bisik Dominic. Louisa hanya bisa menelan ludahnya sambil kesakitan. Pria itu melepaskan Louisa dan menyeretnya untuk masuk ke dalam pesawat.
Louisa berjalan di depan Dominic. Ia masih bersyukur kalau mulutnya ini tidak mengatakan kalau dia seorang peretas. Setidaknya dia masih punya senjata untuk melawan Dominic dengan keahliannya itu. Louisa menghirup udara banyak-banyak saat akan memasuki pesawat. Sekarang dia akan masuk ke neraka Dominic. Jadi dia harus menurut pada mafia berbahaya yang satu ini dan mendengarkan ocehan pria itu. Sekarang yang harus Louisa lakukan hanyalah bersikap natural selayaknya wanita biasa tanpa kemampuan bela diri maupun peretas agar dia aman dari Dominic.
Rahasia terbesar Louisa adalah dia meretas semua keamanan Dominic dan membantu Jason yang ternyata bekerja sama dengan Marcus—musuh Dominic. Ini semua diluar kendali Louisa. Keadaan semakin runyam bagi dirinya. Seharusnya dia tidak membantu Jason dan tidak perlu membuka kamar hotel yang dihuni oleh Dominic. Rasa simpati dan keingintahuan berlebihan yang dimiliki Louisa terkadang sangat merugikannya.
Sekarang wanita malang itu hanya bisa duduk di samping Dominic dan sibuk meratapi setiap sudut pesawat. Louisa belum pernah menaiki pesawat sebagus dan canggih milik Dominic. Otak wanita itu terus berpikir untuk mencari pencerahan tingkatan mafia yang dipegang oleh Dominic.
"Berikan hormat, Don kita akan segera masuk," bisik salah satu pelayan pesawat. Louisa tidak bisa mengelak lagi. Posisi 'DON' yang dimiliki Dominic adalah posisi tertinggi di tingkatan mafia.
"Louisa kau berurusan dengan pria yang salah!" gumam Louisa. Ia mengusap wajahnya. Wanita malang itu hanya bisa menatapi Dominic. Dia tidak akan berpikir panjang untuk menghabisinya.
"Do ... Don Dominic," ucap Louisa. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Kau tahu ibuku seorang penjudi dan gaji bekerja di hotel tidak memuaskannya, aku juga punya adik dan dia masih bersekolah, ampunilah aku!" mohon Louisa pada Dominic.
"Akan aku urus keluargamu, tapi sudah dapat dipastikan kau tidak akan bertemu mereka lagi." Louisa melebarkan matanya. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya bisa diam saja.
"Aku mungkin tidak bisa bertemu mereka setelah ini, tapi setidaknya kau menjamin hidup mereka aku akan tenangakan tetapi aku masih bisa menelepon mereka kan?" tanya Louisa. Dominic menggelengkan kepalanya.
"Tidak, karena itu berpotensi kau akan mengadu pada ibumu," jawab Dominic. Sekarang Louisa benar-benar tamat.
Tubuh Louisa seakan remuk. Setelah perjalanan pesawat yang pajang ditambah lagi dengan menaiki mobil selama berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan Dominic. Ini membuatnya kelelahan. Wanita malang itu masih harus berjalan beberapa kilometer untuk sampai di pintu depan kastil. Ya! Di depannya ini benar-benar sebuah kastil kuno.
"Apa ini rumahmu?" tanya Louisa.
"Ya, kastil kuno milik kerajaan mendiang leluhurku." Leher Louisa tercekat saat mendengar penjelasan Dominic.
"Sudah berapa lama kastil ini kosong?" Louisa menatap horor Dominic.
"Seratus tahun yang lalu? Seribu tahun yang lalu? Aku tidak ingat." Dominic menyeringai.
"Lima tahun yang lalu Marcus ada di sini," ujar penjaga kastil. Louisa bernapas lega karena masih ada orang yang berkunjung di kastil tua berabad-abad itu. Ini benar-benar seperti akan masuk ke rumah hantu.
"Jangan bicarakan Marcus atau aku akan memotong lidahmu!" Dominic memperingati Raulo—si penjaga kastil yang sudah tua. Dominic masuk begitu saja dan Louisa masih enggan untuk mengikuti pria itu. Ia menatap sendu Raulo dan tersenyum kecil padanya.
"Dia memang sangat kasar." Louisa merasa sangat kasihan pada Raulo.
"Aku mengenalnya sejak kecil," jelas Raulo. Wanita itu hanya bisa tersenyum lagi dan berlari mengejar Dominic.
Raulo membuka pintu kastil. Tidak ada yang bisa dilihat oleh mereka. Kastilnya sangat gelap. Para pelayan bergegas berbaris.
"Bersihkan tempat ini dan siapkan kamar untukku," ucap Dominic. Raulo menyalakan lilin untuk penerangan.
"Apa tidak ada listrik di dalam?" Louisa menatap Dominic dengan serius.
"Welcome to the hell, Louisa. Kita para penjahat tidak perlu cahaya penerangan," bisik Dominic.
Louisa menelan ludahnya. Dia berjalan bersama Raulo yang sudah tua dengan sangat pelan. Pria paruh baya itu mengantar Louisa ke ruangan khusus. Sepanjang perjalanan mata wanita itu melirik ke sana dan kemari. Dia benar-benar masuk ke dalam kastil kuno yang menyeramkan. Tidak ada penerangan selain dari obor yang dibawa Raulo."Wah! Kenapa di sini sangat seram." Louisa menyentuh lehernya yang kaku."Kalau sudah terbiasa kau pasti berani." Raulo tersenyum pada Louisa."Aku heran kenapa kau tidak menangis dan berteriak seperti gadis-gadis yang sebelumnya." Kaki Louisa terpaku. Dia menatap Raulo serius."Apa maksudmu gadis-gadis sebelumnya?" Louisa melotot pada Raulo."Ada seratus orang wanita di kastil ini. Mereka dikurung di ruangan bawah tanah," terang Raulo."Apa sekarang kau juga ikut-ikutan menakuti aku?" Raulo menggelengkan kepalanya."Jadi ada seratus wanita di kastil ini? Lalu aku yang ke berapa
Louisa membuka matanya. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak di sofa. Wanita itu melirik sekitarnya banyak wanita yang sudah bangun. Louisa tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini."Sampai kapan kau mau tidur?" tanya seorang wanita berambut pirang. Mata wanita itu menatap Louisa tidak suka."Cepat ganti bajumu." Tatapan sinis wanita itu membuat Louisa mual."Hei anak baru, siapa namamu?" tanya seorang wanita yang duduk tidak jauh dari Louisa."Aku Louisa, kamu?" Louisa mengulurkan tangannya."Katherine," ucap wanita itu."Si pirang itu memang sangat cerewet." Katherine menunjuk pada wanita pirang yang tadi mengoceh pada Louisa."Iya, dia menyebalkan dan kuno kurasa," bisik Louisa."Iya, Daphne yang malang. Dia berasal dari Keluarga yang sama dengan Raulo, tapi dia berkhianat pada Dominic. Dia hampir dibunuh tapi Raulo menyelamatkannya," terang Katherine."Wah, kau
Daphne berjalan sambil menundukkan kepalanya. Louisa tersenyum miring melihat wanita itu tertunduk malu. Daphne berlindung di belakang Raulo. Dia ketakutan. "Maafkan Daphne, aku berjanji, dia tidak akan membuat keributan lagi." Raulo membungkuk pada Dominic. "Raulo, aku juga bisa menggantungmu kalau kau terus melindunginya. Aku tidak percaya lagi dengan wanita dibelakangmu itu lagi. Bahkan setelah dia melakukan seribu kebaikan untukku, aku tidak akan percaya dia!" Louisa menelan ludahnya. Ia ingat bagaimana dia merampok uang Dominic waktu itu bersama dengan Jason. Seketika itu Louisa berharap Dominic lupa akan hal itu. "Dia hanya mengatakan kalau kau ada di Meksiko pada Marcus. Daphne tidak tahu kalau kau bermusiknya denganya." Raulo berusaha untuk meredam kemarahan Dominic. "Urus para wanita ini Raulo, aku tidak mau ada keributan, kurang saja mereka, aku muak!" Dominic pergi begitu saja. Pria itu tidak peduli lagi. Louisa hany
Louisa mendekap laptopnya. Tidak peduli dengan tubuhnya yang masih licin karena sabun. Dominic tidak boleh tahu kalau dirinya adalah peretas. Louisa tidak mau mati secepat ini. Apalagi mati di dalam kastil ini. Arwahnya bisa tidak tenang."Jangan sentuh barang-barangku." Louisa mencoba memperingati Dominic. Pria itu langsung mundur."Apa yang kau sembunyikan dariku?" tanya Dominic."Tidak ada!" jawab Louisa langsung. Dia tidak ingin pria itu mencurigainya."Tidak ada wanita yang diizinkan memakai laptop atau ponsel di sini." Louisa menelan ludahnya."Aku merindukan ibuku, aku hanya ingin meneleponnya. Aku hanya ingin tahu dia baik-baik saja atau tidak. Aku juga ingin tahu keadaan adik-adikku. Kenapa ka
Louisa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Wanita itu menyandarkan punggungnya di tembok. Ia menunggu kopi panasnya yang sedang dibuatkan Maria—istri Raulo. Louisa menggigit ibu jarinya. Ia berpikir dirinya harus bagaimana. Dia ingin mengaku pada Dominic kalau dirinya juga terlibat dalam proses membantu Marcus. Tapi wanita itu tidak sanggup mengatakannya. Louisa belum siap dengan reaksi Dominic."Louisa, ini kopimu." Maria memberikan wanita itu kopi tetapi Louisa yang sibuk berpikir sampai tidak dengar apa yang dikatakan Maria."Lou?" Kali ini Maria menyenggol lengan Louisa. Wanita itu langsung menoleh pada Maria dengan wajah bingungnya."Apa kau baik-baik saja?" tanya Maria."Ah, iya. Aku baik-baik saja. Aku hanya mengantuk." Louisa berpura-
Tengah malam saat semua orang-orang normal tidur untuk beristirahat, Dominic dan Franco berjalan menuju ruang rahasia tempat mereka bekerja. Tidak peduli walau mata pria itu mengantuk kokain yang Dominic konsumsi membuatnya segar kembali."Franco, siapkan saja anak buah kita yang ada di Meksiko." Dominic tidak ingin membawa anak buahnya yang ada di Yunani."Baiklah, aku akan menghubungi mereka dan juga Zac untuk bersiap." Franco langsung menghubungi anak buahnya.Dengan langkah yang tegas Dominic dan Franco berjalan memasuki pesawat pribadinya. Mereka langsung terbang ke Meksiko untuk menggerebek markas Jason. Setelah Dominic selidiki lebih lanjut, Jason memang bekerja untuk Marcus. Mereka berdua menginginkan Dominic untuk hancur.Sesampainya di Meksiko, Dominic langsung menuju tempat yang Zac sediakan. Gudang senjata. Senjata api berjajar di hadapan Dominic. Pria itu mengambil salah satu pistol kesukaannya dan mengelusnya penuh kasih sayang.
Louisa terduduk ketakutan di hadapan Dominic. Pria itu memberikan Louisa sebotol alkohol sambil menyeringai. Wanita malang itu tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Bertemu dengan Dominic adalah kematian bagi Louisa."Cicipi lah, selagi kau masih bernapas." Dominic menarik tangan Louisa dan menaruh botol minuman di tangannya."Ayo minum, minum Louisa!" teriak Dominic. Louisa menganggukkan kepalanya takut-takut dan mulai meminum alkohol di tangannya itu."Minuman itu berkadar alkohol tinggi kau bisa mati, sedikit saja." Louisa yang sedang minum jadi tersedak. Wanita itu masih beruntung dia yang meminum satu teguk dan ditegukan ke dua dia tersedak karena perkataan Dominic."Jangan permainkan aku, Dominic!" teriak Louisa. Dia sudah tidak tahan lagi. Wajah Dominic langsung memerah. Pria itu membanting botol alkohol yang satunya tepat di samping Louisa. Wanita itu menjerit dan menutupi wajahnya."Aku mempermainkanmu
Tubuh Louisa lemas. Darah perlahan keluar dari punggungnya membasahi bajunya. Wanita itu sekarat dan Dominic masih setia memeluknya. Dia diam saja. Merasakan Louisa yang bergerak gelisah di pelukannya. Wanita itu juga mengerang kesakitan."Bagaimana rasanya?" tanya Dominic."Cukup sakit." Louisa menelan ludahnya. Napasnya sudah mulai berkurang."Apa dadamu terasa sesak?" Dominic menyeringai."Tentu saja. Rasanya tulang punggungku retak." Louisa mulai memejamkan matanya."Maafkan aku Dominic," ucap Louisa. Wanita itu langsung pingsan. Dia tertembak di bagian yang tidak akan membuatnya mati kalau segera di tangani oleh dokter. Tapi Dominic diam saja.