Napas Louisa semakin tersengal. Wanita itu berjuang untuk bernapas sementara itu Zac berusaha untuk menenggelamkan wajah wanita itu di bathtub. Louisa mencoba melawan. Tapi lama kelamaan wanita itu menjadi lemas. Wajahnya pucat karena tidak mendapatkan cukup oksigen.
"Zac, cukup," ucap Dominic. Pria itu bisa melihat wajah sakaratul maut Louisa.
"Kenapa harus berhenti, wanita ini belum mati." Zac mengangkat leher Louisa. Wanita itu langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dadanya sakit.
"Kalau dia mati, itu semakin menyulitkan kita, Jason sudah mati, kalau wanita ini mati juga maka pihak hotel bisa curiga padamu lalu aku." Dominic menatap bodoh Zac.
"Tenang saja, aku akan mengurus mayat Jason dengan benar," tutur Zac.
"Mau kau apakan mayatnya?" Dominic mengerutkan keningnya.
"Akan aku buang." Zac menyiapkan koper untuk memasukkan mayat Jason di sana.
"Bodoh! Kita harus bekerja tanpa jejak," sentak Dominic.
"Lalu kau mau apa dengan mayat ini?" Zac frustrasi.
"Bawa mayat ini ke Yunani, aku punya hewan peliharaan yang kelaparan di sana, sudah satu bulan harimau itu tidak makan." Zac menelan ludahnya. Dominic benar-benar tidak berperasaan.
"Baiklah, aku akan membawa mayat ini ke Yunani. Aku perlu pesawat pribadi untuk ini." Zac menaikkan satu alisnya.
"Ya, tentu saja." Dominic menatap Louisa yang terkulai lemas. Pria itu mengangkat Louisa ke sofa.
"Mau apa kau pada wanita ini?" tanya Zac.
"Aku juga tidak tahu, tapi yang jelas dia harus bersama kita kalau tidak wanita ini bisa buka mulut ke polisi. Aku sudah bosan berurusan dengan polisi. Mereka sudah banyak memerasku." Dominic mengerang rendah.
"Lalu sekarang kita akan ke mana?" tanya Zac.
"Ke Yunani. Aku sudah bosan di Mexico bersembunyi seperti pecundang." Pria kekar itu membenarkan pakaiannya.
"Baiklah, aku akan mengurus mayat ini terlebih dahulu." Zac menyingkirkan jasad Jason dengan bersih sampai tidak akan jejak. Pria itu bahkan membawa lari karpet yang ada bercak darah Jason.
Dominic menatap Louisa. Wanita itu hanya bisa menelan ludahnya. Pria itu ingat pada Louisa.
"Louisa gonzales? Kau wanita di apartemen itu kan?" tanya Dominic. Louisa hanya bisa menganggukkan kepalanya.
"Kenapa harus kau yang memergoki pembunuhan ini." Dominic mengerutkan keningnya.
"Kau membuatku tidak bisa berkata apapun." Louisa masih berusaha menenangkan dirinya. Jantungnya tidak stabil sekarang. Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Dominic menghabisi Jason dengan merobek mulut pria itu. Ini membuat Louisa ngeri.
"Apa aku bisa berjalan? Atau aku harus menyeretmu?" Louisa melebarkan matanya. Wanita itu menatap horor Dominic.
"Apa kau psikopat?" tanya Louisa. Dominic hanya menatap wanita itu.
"Mungkin." Dominic menggenggam tangan Louisa dan menarik wanita itu.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Aku bisa berjalan, kau tidak perlu menyeretku." Louisa tidak menyangka kalau Dominic akan menyeretnya.
"Kau bekerja di hotel ini. Jadi kau tidak boleh katakan apapun! Kalau lidahmu itu tidak bisa diam. Aku akan memotong lidahmu," ancam Dominic. Louisa menelan ludahnya. Semua yang Dominic ucapkan bukan hanya sekedar ancaman. Tapi pria itu juga melakukan pembuktian. Ini membuat Louisa semakin takut.
"Aku tidak akan katakan apapun! Sungguh! Aku bersumpah." Louisa menelan ludahnya sendiri. Dominic mengarahkan pisau kecilnya pada pipi wanita itu.
"Kemasi barangmu." Pria itu membuat Louisa ketakutan setengah mati.
"Untuk apa aku mengemasi barangku?" Louisa melebarkan matanya.
"Ikut bersamamu? Apa-apa ... an." Louisa menahan napasnya saat Dominic mencengkram rahangnya. Wanita itu hanya bisa memegangi tangan pria itu dan menganggukkan kepalanya.
Louisa keluar dari kamar hotel itu dengan pakaiannya yang basah. Mau tidak mau dia harus menuruti kemauan Dominic atau nyawanya akan melayang malam ini. Semua temannya bertanya bagaimana bisa dirinya basah kuyup. Jawaban konyol yang keluar dari mulut Louisa adalah, dia mengatakan kalau dirinya membenarkan shower dan air shower membuatnya basah kuyup. Sekarang wanita itu mengganti pakaiannya dan mengemasi barang-barangnya. Dominic sudah menunggunya dengan wajah tidak sabarannya.
"Kenapa kau mau berhenti bekerja?" tanya atasan Louisa.
"Berhenti bekerja?" Wanita itu terkejut dan menatap Dominic.
"Sialan!" Louisa menelan ludahnya sendiri.
Wanita itu mengambil gaji terakhirnya dan pergi menghampiri Dominic. Louisa sudah siap dengan semua sumpah serapahnya. Tapi saat dia dekat dengan Dominic rasa takut membuatnya bungkam. Wanita itu menyiapkan keberaniannya.
"Kenapa aku harus mengundurkan diri?" tanya Louisa.
"Agar kau bisa ikut bersamaku." Dominic melirik jam tangannya.
"Apa maksudmu ikut bersamamu? Apa aku akan tinggal bersamamu? Begitu?" Louisa menatap Dominic dengan penuh pertanyaan.
"Ya. Kau ikut denganku," ujar Dominic.
"Apa kau sudah gila! Aku tidak mau meninggalkan ibu dan adik-adikku, kalau aku ikut bersamamu lalu bagaimana aku bisa bekerja dan mengirim uang untuk mereka?" Louisa menyentuh kepalanya yang mulai pusing.
"Hidup selalu ada pilihan bukan?" Dominic tersenyum miring.
"Hanya ada dua pilihan untukmu Louisa, pertama ikut denganku atau kedua mati malam ini," ucap Dominic dengan tegas. Louisa meremas tangannya. Keringat dingin bercucuran di keningnya.
"Kenapa aku harus ikut bersamamu?" Louisa melotot pada Dominic.
"Itu karena kesalahanmu sendiri, kau membuka pintu yang seharusnya tidak kau buka, tidak seharusnya kau bertemu denganku," tutur Dominic.
"Sialan! Aku tidak akan mengatakan apapun kepada siapapun! Kau puas?" Kesabaran Louisa sudah habis sekarang.
"Siapa yang akan menjamin itu? Aku akan lebih puas kalau kau ikut bersamaku." Dominic menatapi Louisa dari bawah hingga atas. Membuat wanita itu kesal.
"Ya Tuhan! Pria ini," gerutu Louisa.
"Lagipula gaji kerjamu di hotel ini tidak bisa memuaskan ibumu yang tukang judi, benar kan?" Dominic menundukkan kepalanya agar dia sejajar dengan Louisa.
"Kalau tidak mau ikut denganku, kau mati saja, akan lebih baik." Louisa menelan ludahnya. Sekarang dia merasa seperti sedang bernegosiasi dengan malaikat pencabut nyawa.
"Keterlaluan!" Louisa melirik sekitarnya. Tidak ada orang yang akan membantunya sekarang.
"Ayo jalan!" pinta Dominic. Pria itu menendang tas Louisa yang tergeletak di lantai.
"Aku seperti buronan sekarang." Louisa menghentakkan kakinya.
"Kau bukan buronan, kau tahanan sekarang," jelas Dominic. Louisa mengepalkan tangannya di depan mata Dominic membuat pria itu menaikkan satu alisnya.
"Aku berharap kau adalah manusia limited edition agar orang sepertimu cepat musnah dari dunia ini!" cibir Louisa.
"Aku berharap kau adalah wanita terakhir yang akan mengacaukan hidupku." Dominic berjalan mendahului Louisa. Pria itu tidak pernah sanggup untuk berdebat. Tapi kemudian Dominic berbalik dan mengambil tas Louisa dan menarik wanita itu. Dia mendorong wanita itu agar dia masuk ke dalam mobil.
"Shit! Kau tidak perlu mendorongku!" gerutu Louisa.
"Tahanan macam apa aku ini." Louisa mengacak-acak rambutnya. Iya benar-benar merasa sial sekarang. Wanita itu tidak pernah hidup dengan tenang
Louisa duduk di dalam mobil Dominic tidak tenang. Ia menundukkan kepalanya dan menarik kuat-kuat rambutnya. Dia frustrasi. Kenapa keadaan semakin memburuk. Netra Louisa melirik Dominic yang duduk tenang seakan tidak terjadi apapun sedangkan bagi Louisa bernapas saja sulit."Kita akan ke mana?" tanya Louisa. Wanita malang itu menatap Dominic."Yunani." Louisa melebarkan matanya."Kau gila! Mau apa ke sana!" Kepanikan yang dirasakan Louisa bukalah hal yang penting bagi Dominic."Kenapa kau sangat banyak bicara." Tatapan menusuk dari Dominic membuat Louisa semakin takut. Wanita malang itu hanya bisa menghela napasnya."Kenapa hidupku semakin rumit di saat aku ingin hidup tenang!" gerutu Louisa. Wanita itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya."Itu karena kesalahanmu sendiri. Kau sendiri yang membuka pintu kamar hotelku. Matamu sendiri yang melihat kematian Jason. Aku tidak bisa
Louisa menelan ludahnya. Dia berjalan bersama Raulo yang sudah tua dengan sangat pelan. Pria paruh baya itu mengantar Louisa ke ruangan khusus. Sepanjang perjalanan mata wanita itu melirik ke sana dan kemari. Dia benar-benar masuk ke dalam kastil kuno yang menyeramkan. Tidak ada penerangan selain dari obor yang dibawa Raulo."Wah! Kenapa di sini sangat seram." Louisa menyentuh lehernya yang kaku."Kalau sudah terbiasa kau pasti berani." Raulo tersenyum pada Louisa."Aku heran kenapa kau tidak menangis dan berteriak seperti gadis-gadis yang sebelumnya." Kaki Louisa terpaku. Dia menatap Raulo serius."Apa maksudmu gadis-gadis sebelumnya?" Louisa melotot pada Raulo."Ada seratus orang wanita di kastil ini. Mereka dikurung di ruangan bawah tanah," terang Raulo."Apa sekarang kau juga ikut-ikutan menakuti aku?" Raulo menggelengkan kepalanya."Jadi ada seratus wanita di kastil ini? Lalu aku yang ke berapa
Louisa membuka matanya. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak di sofa. Wanita itu melirik sekitarnya banyak wanita yang sudah bangun. Louisa tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini."Sampai kapan kau mau tidur?" tanya seorang wanita berambut pirang. Mata wanita itu menatap Louisa tidak suka."Cepat ganti bajumu." Tatapan sinis wanita itu membuat Louisa mual."Hei anak baru, siapa namamu?" tanya seorang wanita yang duduk tidak jauh dari Louisa."Aku Louisa, kamu?" Louisa mengulurkan tangannya."Katherine," ucap wanita itu."Si pirang itu memang sangat cerewet." Katherine menunjuk pada wanita pirang yang tadi mengoceh pada Louisa."Iya, dia menyebalkan dan kuno kurasa," bisik Louisa."Iya, Daphne yang malang. Dia berasal dari Keluarga yang sama dengan Raulo, tapi dia berkhianat pada Dominic. Dia hampir dibunuh tapi Raulo menyelamatkannya," terang Katherine."Wah, kau
Daphne berjalan sambil menundukkan kepalanya. Louisa tersenyum miring melihat wanita itu tertunduk malu. Daphne berlindung di belakang Raulo. Dia ketakutan. "Maafkan Daphne, aku berjanji, dia tidak akan membuat keributan lagi." Raulo membungkuk pada Dominic. "Raulo, aku juga bisa menggantungmu kalau kau terus melindunginya. Aku tidak percaya lagi dengan wanita dibelakangmu itu lagi. Bahkan setelah dia melakukan seribu kebaikan untukku, aku tidak akan percaya dia!" Louisa menelan ludahnya. Ia ingat bagaimana dia merampok uang Dominic waktu itu bersama dengan Jason. Seketika itu Louisa berharap Dominic lupa akan hal itu. "Dia hanya mengatakan kalau kau ada di Meksiko pada Marcus. Daphne tidak tahu kalau kau bermusiknya denganya." Raulo berusaha untuk meredam kemarahan Dominic. "Urus para wanita ini Raulo, aku tidak mau ada keributan, kurang saja mereka, aku muak!" Dominic pergi begitu saja. Pria itu tidak peduli lagi. Louisa hany
Louisa mendekap laptopnya. Tidak peduli dengan tubuhnya yang masih licin karena sabun. Dominic tidak boleh tahu kalau dirinya adalah peretas. Louisa tidak mau mati secepat ini. Apalagi mati di dalam kastil ini. Arwahnya bisa tidak tenang."Jangan sentuh barang-barangku." Louisa mencoba memperingati Dominic. Pria itu langsung mundur."Apa yang kau sembunyikan dariku?" tanya Dominic."Tidak ada!" jawab Louisa langsung. Dia tidak ingin pria itu mencurigainya."Tidak ada wanita yang diizinkan memakai laptop atau ponsel di sini." Louisa menelan ludahnya."Aku merindukan ibuku, aku hanya ingin meneleponnya. Aku hanya ingin tahu dia baik-baik saja atau tidak. Aku juga ingin tahu keadaan adik-adikku. Kenapa ka
Louisa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Wanita itu menyandarkan punggungnya di tembok. Ia menunggu kopi panasnya yang sedang dibuatkan Maria—istri Raulo. Louisa menggigit ibu jarinya. Ia berpikir dirinya harus bagaimana. Dia ingin mengaku pada Dominic kalau dirinya juga terlibat dalam proses membantu Marcus. Tapi wanita itu tidak sanggup mengatakannya. Louisa belum siap dengan reaksi Dominic."Louisa, ini kopimu." Maria memberikan wanita itu kopi tetapi Louisa yang sibuk berpikir sampai tidak dengar apa yang dikatakan Maria."Lou?" Kali ini Maria menyenggol lengan Louisa. Wanita itu langsung menoleh pada Maria dengan wajah bingungnya."Apa kau baik-baik saja?" tanya Maria."Ah, iya. Aku baik-baik saja. Aku hanya mengantuk." Louisa berpura-
Tengah malam saat semua orang-orang normal tidur untuk beristirahat, Dominic dan Franco berjalan menuju ruang rahasia tempat mereka bekerja. Tidak peduli walau mata pria itu mengantuk kokain yang Dominic konsumsi membuatnya segar kembali."Franco, siapkan saja anak buah kita yang ada di Meksiko." Dominic tidak ingin membawa anak buahnya yang ada di Yunani."Baiklah, aku akan menghubungi mereka dan juga Zac untuk bersiap." Franco langsung menghubungi anak buahnya.Dengan langkah yang tegas Dominic dan Franco berjalan memasuki pesawat pribadinya. Mereka langsung terbang ke Meksiko untuk menggerebek markas Jason. Setelah Dominic selidiki lebih lanjut, Jason memang bekerja untuk Marcus. Mereka berdua menginginkan Dominic untuk hancur.Sesampainya di Meksiko, Dominic langsung menuju tempat yang Zac sediakan. Gudang senjata. Senjata api berjajar di hadapan Dominic. Pria itu mengambil salah satu pistol kesukaannya dan mengelusnya penuh kasih sayang.
Louisa terduduk ketakutan di hadapan Dominic. Pria itu memberikan Louisa sebotol alkohol sambil menyeringai. Wanita malang itu tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Bertemu dengan Dominic adalah kematian bagi Louisa."Cicipi lah, selagi kau masih bernapas." Dominic menarik tangan Louisa dan menaruh botol minuman di tangannya."Ayo minum, minum Louisa!" teriak Dominic. Louisa menganggukkan kepalanya takut-takut dan mulai meminum alkohol di tangannya itu."Minuman itu berkadar alkohol tinggi kau bisa mati, sedikit saja." Louisa yang sedang minum jadi tersedak. Wanita itu masih beruntung dia yang meminum satu teguk dan ditegukan ke dua dia tersedak karena perkataan Dominic."Jangan permainkan aku, Dominic!" teriak Louisa. Dia sudah tidak tahan lagi. Wajah Dominic langsung memerah. Pria itu membanting botol alkohol yang satunya tepat di samping Louisa. Wanita itu menjerit dan menutupi wajahnya."Aku mempermainkanmu