LOGINLouisa mengembuskan napasnya tidak tenang. Wanita itu memasukkan kartu ATM dan menekan nomor PIN. Ia mentransfer uang yang ia dapatkan semalam bersama Jason pada ibunya. Louisa tidak tenang kalau tas besar berisi uang itu terus ada padanya, wanita itu menyetor tunai uang itu dan mengirimkan uangnya pada ibunya.
Semalam Louisa tidak bisa tidur dengan tenang. Fuck you Jason! Ia terus mengumpat dalam hatinya dan pikirannya tertuju pada Dominic Theodoretti dan Marcus Theodoretti. Louisa terus berpikir kenapa Marcus mencuri uang Dominic. Louisa yakin kalau dua pria itu ada hubungan darah karena memiliki nama marga yang sama.
"Oh, God!" lirih Louisa. Ia membenturkan kepalanya di kaca mobilnya. Louisa benar-benar tidak bisa tenang. Wanita itu menarik rambutnya sendiri frustrasi.
Louisa mengarahkan mobilnya menuju hotel tempatnya bekerja. Wanita itu menahan napasnya. Rasanya ia ingin bersembunyi atau lari jauh-jauh dari Meksiko karena ia mendapatkan firasat yang tidak baik. Selama Louisa menjadi peretas, ia tidak pernah setakut ini karena saat ia takut, ayahnya akan menenangkan dirinya, tapi sekarang keadaannya berbeda. Dia sendirian, tidak ada orang bisa ia ajak berbagai.
Dengan tubuh yang bergetar Louisa masuk ke dalam hotel dan mengenakan pakaian pelayan seperti biasanya. Ia mencuci wajahnya dan mempertebal riasan wajahnya agar dia tidak terlihat pucat.
"Louisa, kau kemana kemarin malam?" tanya seorang wanita berpakaian rapi. Dia atasan Louisa.
"Maafkan saya, kemarin saya lelah dan tidak sempat menghubungi Anda, baterai gawai saya habis Nyonya," ujar Louisa. Ia menelan ludahnya sendiri dan meremas tangannya.
"Ya sudah, lanjutkan kerjamu," pinta wanita itu. Louisa hanya menganggukkan kepalanya. Louisa berkumpul dengan pegawai lainnya. Ia mencoba bersikap tenang meskipun dia bergetar.
"Louisa, tolong antar minuman ini ke kamar VVIP nomor 70," pinta seorang wanita berambut pirang. Dia teman kerja Louisa.
"Oke, Andrea! Aku akan mengantarnya, kau sudah lelah ya, istirahatlah," ucap Louisa ia tersenyum melihat wajah Andrea yang sudah lusuh.
"Kau memang yang terbaik," lirih Andrea sambil menunjukkan ibu jarinya pada Louisa.
Louisa mendorong food trolley untuk menuju lantai tiga. Ia tidak hanya membawa alkohol, tapi juga makanan. Dasar Andrea pembohong! Louisa menekan tombol lift untuk menuju lantai tiga.
Dengan cekatan ia mendorong food trolley dengan hati-hati tentunya. Wanita bertubuh seksi itu langsung mengedarkan pandangan matanya untuk melihat angka-angka yang tertera di pintu setiap kamar. Mata Louisa tertuju pada kamar nomor 70. Ia mendorong trolley itu tepat di depan kamar.
Tubuh Louisa langsung menghidik. Ia menoleh ke belakang saat mendengar suara jeritan. Tidak ada siapapun di lorong hotel. Sepi, hanya ada dirinya dan suara rintihan kesakitan. Kaki Louisa bergetar. Ia menelan ludahnya sendiri.
Louisa mencari sumber suara jeritan itu yang lebih tepatnya seperti cekikan. Wanita berambut hitam panjang itu menempelkan telinganya di kamar nomor 69. Suara cekikan terdengar jelas. Secara alamiah, wanita itu membuka paksa pintu kamar itu. Ia masuk ke dalam kamar.
Wajah babak belur Jason adalah yang pertama kali ia lihat. Wajah pria itu sudah tidak berbentuk. Louisa menahan napasnya. Ia menutup mulutnya. Ia tidak seharusnya melihat ini. Dia tidak seharusnya terlibat dalam hal ini. Dirinya hanya sebagai perantara. Louisa menggelengkan kepalanya.
"Katakan padaku, siapa wanita yang bersamamu?" tanya Dominic. Jason tetap diam. Ia menatap malas pada Dominic. Pria kekar itu semakin menonjok wajah Jason.
"Katakan padaku! Siapa wanita yang bersamamu!" teriak Dominic. Wajah Jason benar-benar sudah keunguan.
"Sampai aku mati, aku tidak akan mengatakannya," ujar Jason. Dominic menduduki dada Jason dan mencekik lehernya.
"Kalau kau tidak mau mengatakan padaku siapa wanita itu, saat kau mati, maka keluargamu akan aku bunuh juga," ancam Dominic. Ia semakin mencekik leher Jason.
"Lakukan saja! Kalau kau mampu membunuhku!" jerit Jason. Dominic menampar pipi Jason.
"Aku akan memberikanmu pada hewan peliharaanku, agar kau mati perlahan," bisik Dominic di telinga Jason. Dominic melepaskan cekikan tanganya di leher Jason.
Jason menyentuh lehernya yang sakit. Ia terbatuk-batuk. Ia menoleh pada Louisa. Mata Jason dan mata Louisa bertemu membuat wanita itu semakin bergetar.
"Pergi dari sini!" teriak Jason.
"Apa yang kau katakan? Hah?" sentak Dominic pada Jason. Ia menonjok wajah Jason lagi.
"Pergi dari sini bodoh! Pergi!" teriak Jason. Dada Louisa naik turun dengan cepat. Mencoba mencerna apa yang ia lihat.
"Aku akan merobek mulutmu agar kau tidak banyak bicara!" teriak Dominic. Ia mengambil pisau kecil yang ia bawa. Pisau kecil di tangan Dominic itu sudah berhasil mengantarkan beberapa nyawa kepada malaikat pencabut nyawa. Dominic adalah perantaranya. Dominic mengelap pisau itu terlebih dahulu dan mengarahkan pisau itu pada sudut bibir Jason. Dominic menatap Jason penuh kebencian.
Bagaikan memotong daging. Dominic tidak peduli dengan rintihan kesakitan Jason. Ia terus merobek mulut Jason agar menjadi sangat lebar seperti karakter Joker. Darah mengalir deras dari mulut Jason.
Louisa yang melihat itu, jatuh terduduk. Ia menangis melihat Jason yang tersiksa. Wajah Louisa memerah. Ia mau muntah melihat darah Jason yang berceceran.
"Pergi dari sini!" teriak Jason dengan susah payah.
"Fuck!" seru Zac. Ia melihat Louisa.
Dominic mengikuti tatapan mata Zac dan mendapati Louisa duduk diam di depan pintu kamar hotel itu. Wanita itu langsung berdiri dan berlari. Louisa dengan sengaja menjatuhkan alkohol dan makanan yang ada di food trolley berharap ada orang yang mendengar suara pecahannya dan menolongnya.
Secepat mungkin Louisa berlari. Dengan tubuh yang gemetar ia masuk ke dalam lift. Louisa memukuli tombol-tombol lift itu agar pintu lift tertutup. Louisa sangat takut sekarang.
"Kau tidak bisa lari dariku, jalang!" seru Zac. Ia masuk ke dalam lift dan menarik rambut Louisa. Zac membawa Louisa keluar dari lift. Wanita itu melawan dengan cara menendang perut Zac, membuat pria itu tersungkur.
"Sialan!" teriak Louisa. Pintu liftnya tertutup.
Zac mengepalkan tangannya dan menyerang Louisa, tapi wanita itu berhasil menangkis pukulan Zac. Louisa menyerang Zac dengan cara memukul dadanya.
"Wah, kau cukup kuat, Nona," ujar Zac.
Zac meraih tubuh Louisa. Wanita itu meronta. Zac mengangkat tubuh Louisa dan membantingnya ke lantai dengan kakinya di perut Louisa. Seketika itu Louisa merasakan tulang punggungnya retak. Kepalanya sakit. Louisa mengerang kesakitan. Zac menyeret Louisa dengan paksa. Wanita itu masih berusaha untuk bangkit dan mendorong Zac.
"Jangan melawan lagi, atau aku akan membenturkan kepalamu ke tembok!" seru Zac.
"Bajingan! Aku tidak tahu apapun!" ucap Louisa.
"Matamu sudah melihat yang seharusnya tidak kau lihat," bisik Zac.
"Aku bersumpah, aku tidak akan mengatakan apapun," ucap Louisa.
"Hanya kau satu-satunya wanita yang bisa melawanku, aku tidak akan percaya apa yang kau katakan!" seru Zac.
"Keparat! Lepaskan aku!" Jerit Louisa.
Zac menarik kuat rambut Louisa. Ia mendorong kepala Louisa ke tembok. Hingga kening Louisa mengeluarkan darah. Louisa memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Ia sudah lemas sekarang. Ia tidak sanggup melawan Zac.
Zac membawa Louisa pada Dominic. Louisa bisa melihat rahang Dominic mengeras. Ia menatap malang Louisa. Ia tidak menyangka kalau Louisa melihatnya membunuh Jason malam ini.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Dominic.
"Aku pelayan di hotel ini! Lepaskan aku!" lirih Louisa.
"Aku tidak punya pengalaman membunuh seorang wanita," ucap Dominic. Dia menatap Zac.
"Aku hanya punya punya pengalaman meniduri wanita hingga ia mati," bisik Zac di telinga Louisa.
"Aku punya saran yang lebih bagus Dominic," jelas Zac.
"Terserah padamu," ujar Dominic.
Zac mengikat Louisa di samping mayat Jason. Ya, mayat. Nyawa Jason kini sudah melayang karena Dominic sudah membantu tugas malaikat pencabut nyawa. Zac mengisi bathup penuh dengan air lalu mengangkat Louisa dan menenggelamkan Louisa di sana.
Dominic menatap tajam peta yang terbentang di meja bundar itu. Setiap garis merah yang tergambar di sana seperti urat nadinya sendiri. Sisilia, Malta, Ragusa—tiga kota yang seharusnya sudah menjadi miliknya jika bukan karena pengkhianatan dan kebodohan."Antonio harus mati," ucapnya pelan tapi pasti, seperti menyampaikan keputusan takdir.Louisa hanya diam. Wajahnya masih menyimpan amarah dan letih. Samuel terbaring di kamar sebelah, mungkin nyawanya sedang bernegosiasi dengan maut, dan kini Dominic membicarakan perang lagi seolah semuanya bisa berjalan normal."Aku butuh semua orang yang bisa bertarung. Termasuk Cornan, Jack, Daniel... dan kau juga, Bernard," Dominic menatap tajam satu per satu wajah yang ada di hadapannya.Bernard tak berkata apa-apa. Tangannya masih bergetar, memikirkan Samuel yang bisa mati kapan saja. Tapi dia tahu, melawan perintah Dominic sama saja bunuh diri."Bagaimana dengan Stella?" tanya Louisa dengan suara dingin. "Kalau kau mau menyerang, kita butuh tena
Samuel keluar dari bar. Hatinya terasa sangat puas sudah mengerjai Marcus dengan memberikan nomor ponsel Dominic. Hanya karena dua bersaudara itu saling membenci membuat hidup Samuel, Louisa, Bernad, dan Cornan jadi sebercanda ini. Para mafia ini tidak bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Mereka lebih suka saling menghajar, membunuh, dan menang sendiri. Mata Samuel bisa melihat anak buah Franco sudah mengepungnya. Pria itu tidak punya pilihan lain. Dia berlari sekencang-kencangnya, menghabiskan sisa energinya sebelum dia tertangkap dan di seret masuk ke dalam kapal lagi. Tidak sampai di sana saja. Samuel dihajar habis-habisan lagi. Pria itu tidak bisa lagi merasakan kenikmatan dunia semenjak Dominic datang ke dunianya. Ombak laut yang semakin besar menerpa kapal, Samuel muntah darah di sana, sementara Franco dan Bernard menontonnya. Hati kecil Bernard ingin sekali berlari dan membantu Samuel, tetapi itu sama saja seperti meminta dirinya dihajar juga seperti Samuel. "S
Louisa membuka matanya tepat pukul enam pagi. Dia masih sangat malas untuk bangun dari kasurnya akan tetapi ketukan di pintu kamarnya membuatnya harus bangun meskipun malas. Di tambah lagi suara teriakan Cornan. "Louisa! Buka pintunya! Louisa!" teriak Cornan. Tangan Louisa meraih gagang pintu dan langsung membukanya menunjukkan wajah bangun tidurnya. Louisa langsung mengerutkan keningnya saat melihat Cornan kebingungan. "Kenapa?" Cornan kesulitan berbicara karena dia sudah sangat panik. "Samuel ... Samuel." "Ada apa dengan Samuel?" Louisa menggelengkan kepalanya. "Samuel dan Bernard hilang!" Mata Louisa seketika langsung melebar. Apa maksudnya Samuel dan Bernard hilang? "Hilang?" Louisa masih bertanya-tanya. "Aku sudah mencari Samuel dan Bernard di seluruh mansion ini dan mereka tidak ada. Franco juga tidak ada." Kecemasan di wajah Cornan membuat Louisa ikut cemas. "Apa Dominic ada?" tanya Louisa. "Ada, pria itu ada di kamarnya." Tanpa basa basi lagi Louisa berlari me
Udara malam yang dingin menyusup masuk ke dalam pakaian tebal Franco. Pria paruh baya itu sekarang sudah ada di kapal bersama dengan Samuel dan Bernard. Franco mengganggu tidur nyenyak dua pria itu dah menyeret mereka ke kapal."Kita mau kemana?" tanya Samuel."Ragusa." Franco menghela napasnya."Kita hanya pergi bertiga? Yang lain?" Samuel menaikkan satu alisnya."Kita pergi bersama seratus orang yang lain." Mata Samuel langsung melebar dan berkata, "Apa kita akan menyerang Ragusa?""Jangan bodoh, kita ke sini untuk menemui sahabat Dominic. Jangan pakai nama asli kalian, mengerti." Franco memperingati Samuel dan Bernard. Dua orang pria itu hanya bisa diam saja.Samuel keluar dari badan kapal. Pria itu menyipitkan matanya tidak ada yang bisa dia lihat. Untung saja cuaca sangat bersahabat untuk berlayar. Bernard berjalan mendekati Samuel sambil memberikan pria itu rokoknya."Aku tidak merasa baik-baik saja," ucap Bernard."Aku juga. Ini kacau, Aku jauh dari Louisa." Samuel menggelengka
Sinar matahari menyusup masuk ke dalam kamar dan mengenai wajah Louisa. Tidur nyenyak wanita itu jadi terganggu akan tetapi dia langsung membuka matanya saat ia ingat kalau dirinya tidur di kamar Dominic. Louisa tidak mendapati pria itu ada di sampingnya. Mata Louisa melihat pada jam yang terpajang di dinding. masih pukul enam pagi."Dominic?" teriak Louisa. Wanita itu tidak mendengar ada yang menjawabnya. Ia bangun dari ranjang dan melihat-lihat sekitar kamar tetapi dia tidak menemukan pria itu.Louisa keluar dari kamar Dominic. Dia langsung menuju ruang tengah. Benar saja, Dominic sedang berbicara dengan Franco. mereka berbicara dengan sangat serius. Louisa memilih untuk tidak mendekat pada mereka dan dia kembali masuk ke dalam mansion. Wanita itu melangkahkan kakinya menuju kamar Samuel, akan tetapi Samuel sedang berdiri di depan pintu kamarnya."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Louisa."Dia sedang ganti baju." Louisa menger
Franco menyeret dua orang wanita untuk keluar dari rumah sakit. Pria itu langsung memasukkan mereka di ke mobil bersama Jack. Franco membawa dua orang wanita itu ke mansion untuk diinterogasi. Saat sampai di mansion, Bernard sudah ada di depan halaman. Franco mengodekan agar mereka semua ikut ke area halaman tengah mansion. Jack mendudukkan dua orang wanita tahanan itu di depan Franco."Wanita seperti kalian pasti bekerja dengan orang yang penting," ucap Franco. Wanita-wanita itu hanya diam saja."Sekarang katakan padaku, siapa yang menyuruh kalian?" Tak kunjung mendapatkan jawaban. Jack dan Bernard merogoh saku baju dua orang wanita itu. Ponsel, senjata paling ampuh untuk mengetahui siapa penyuruhnya."Banyak sekali nomor tidak dikenal." Franco tersenyum miring. Dia langsung menghubungi nomor yang baru dua orang wanita itu hubungi semalam. Panggilan telepon Franco tidak kunjung dijawab."Halo? Apa tugas kalian sudah selesai?" Mata







