Home / Pendekar / Beauty Lies in the Eyes / Kehebohan di Paviliun Sedayu

Share

Kehebohan di Paviliun Sedayu

Author: Diah Kusuma
last update Last Updated: 2024-10-28 20:03:39

Sesampainya di Paviliun Sedayu, Shangguan Mai dengan cepat melumpuhkan puluhan prajurit yang berjaga di sana. Bahkan wanita kasar itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Su Yan Li untuk membantunya. Jika tidak diingatkan oleh Su Yan Li, mungkin saja dia sudah menewaskan para prajurit itu karena dia sudah kehilangan kendali. Shangguan Mai lupa bahwa dia bukan sedang dalam pertempuran.

"Berhati-hatilah jangan sampai kamu membunuh mereka semua. Kalau tidak, kamu akan merepotkanku nanti," teriak Su Yan Li yang memperingatkan Shangguan Mai untuk tidak terlalu ganas pada mereka.

"Diamlah, jangan mengangguku yang sedang bersenang-senang. Kalau tidak, aku akan melempar pisau ini ke arahmu lagi," ucap Shangguan Mai yang justru mengancam Su Yan Li dan tetap menyerang mereka dengan ganas agar cepat bisa masuk ke Paviliun Sedayu.

Sementara Pangeran Xiao Zhi yang sudah masuk duluan ke Paviliun Sedayu untuk mencari surat yang ditinggalkan oleh Pangeran kedelapan sebelum kematiannya, segera keluarsetelah mendengar keributan di luar paviliun. Namun, dia meminta Jia Yue untuk tetap di dalam dan mencari surat yang ditinggalkan oleh kakaknya.

Dari puncak paviliun, Pangeran Xiao Zhi mengawasi kejadian yang terjadi di bawah. Dengan cepat, dia dapat mengenali bahwa wanita bercadar yang menciptakan keributanadalah Shangguan Mai. Dari postur tubuhnya dan sorotan matanya yang tajam, tetapi terlihat lembut. Pangeran Xiao Zhi yakin selain istrinya tidak ada wanita lain yang memiliki mata seindah itu.

Senyum miring terukir di bibirnya saat melihat Shangguan Mai mampu melumpuhkan puluhan prajurit hanya dengan satu serangan. Ternyata, rumor tentang keganasan dan kekuatannya benar adanya. Namun, mengapa dia tidak bertindak saat dibius dan membiarkannya pergi? Mengapa Shangguan Mai tidak mengungkapkan kebohongannya? Apa motif di balik tindakannya tersebut?

"Jadi, seperti inilah saat kamu bertarung, istriku. Pantas saja semua anggotaku bisa mati di tanganmu. Kamu memang wanita yang menarik dan sulit untuk ditebak," ucap Pangeran Xiao Zhi sambil tersenyum miring dan menatap Shangguan Mai dari kejauhan.

"Kurang ajar! Berani-beraninya penyusup rendah sepertimu membuat kekacauan di Paviliun Sedayu," ucap Kasim Du yang akhirnya keluar untuk menghadapi Shangguan Mai yang sudah kesetanan.

Shangguan Mai langsung tersenyum sinis karena orang inilah yang dia cari. Tanpa bicara apapun lagi, wanita kasar itu langsung melempar sisa bius dari pakaiannya tadi ke arahnya. Tentu saja serangannya yang tidak terduga ini langsung membuat Kasim Du tumbang dan tertidur.

"Cepat bantu aku menggotong pria tua ini!" perintah Shangguan Mai pada Su Yan Li yang sejak tadi hanya menonton.

"Baiklah, kita juga harus cepat pergi dari sini karena sebentar lagi prajurit utama akan datang ke sini," ucap Su Yan Li sambil menggendong Kasim Du di punggungnya.

Namun, alih-alih meninggalkan tempat itu, Shangguan Mai malah menunda kepergiannya. Terlihat jelas bahwa dia sengaja ingin menunggu prajurit utama datang. Tindakannya ini sungguh membuat Su Yan Li kesal karena dia tidak mengetahui sebenarnya apa yang diinginkan oleh Shangguan Mai.

Apakah dia tidak takut ditangkap oleh mereka? Ah, Shangguan Mai mana kenal takut. Siapa juga yang bisa menangkapnya. Jadi tidak ada gunanya bagi Su Yan Li untuk mengkhawatirkannya seperti ini.

Setelah mendengar suara langkah mereka. Shangguan Mai langsung memilih salah satu dari prajurit yang telah tumbang untuk digores dahinya. Wanita gila itu menulis pesan di dahi prajurit itu dengan darahnya.

"Jika ingin kasim tua ini selamat, berikan aku uang sebanyak 100.000 tahil emas dan temui aku di hutan persik satu bulan lagi. Aku pastikan kasim tua ini pulang dalam keadaan utuh," tulisnya sambil menggantung tubuh prajurit malang itu di pohon.

Aksi Shangguan Mai ini bukan gila lagi, tetapi sudah sangat gila. Dia benar-benar menantang orang-orang istana.

Setelah Shangguan Mai meninggalkan Paviliun Sedayu, kehebohan yang ada di sana semakin besar. Pasalnya, setelah menemukan surat peninggalan kakaknya, Pangeran Xiao Zhi langsung membakar arsip-arsip dan catatan penting di dalam gudang agar bisa menghapus jejaknya.

Sebelum meninggalkan Paviliun Sedayu, Pangeran kesembilan memainkan lagu kematian dengan seruling iblisnya. Untuk menyiksa para prajurit yang menurutnya sangat bodoh dan tidak berguna. Alunan musik dari lagu kematian itu terdengar sangat menyedihkan dan mendayu. Sehingga tanpa sadar membuat pendengarnya menangis darah.

Para prajurit utama yang baru datang langsung dibuat menjerit kesakitan dengan lagu kematiannya. Mereka menutupi telinganya yang sudah berdarah karena tidak kuat mendengarkan alunan musik yang menyiksa telinga dan mata mereka. Setelah cukup puas menyiksa mereka, Pangeran Xiao Zhi langsung menghentikan permainan serulingnya lalu terbang di tengah kobaran api.

"Mereka benar-benar sangat lemah. Bagaimana bisa mereka tumbang hanya karena wanita dan seruling. Beginikah prajurit yang diandalkan Ayahanda untuk menjaga istana?" gumam Pangeran Xiao Zhi dengan menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. Setelah mengetahui fakta bahwa prajurit utama kekaisaran ternyata cukup lemah. Sebenarnya bukan lemah, tetapi musuhnya saja yang terlalu kuat.

"Lihatlah di atas sana! Itu Bocah Iblis dari Gunung Shu, si murid terkenal dari petapa gila," ucap seseorang prajurit muda sambil menunjuk ke arah Pangeran Xiao Zhi.

Saat prajurit muda itu hendak mengejarnya, dia langsung ditahan oleh rekannya. "Jika sudah tahu itu Bocah Iblis, jangan dikejar karena kita bukan tandingannya. Berpura-puralah tidak melihat apa-apa jika kamu masih ingin selamat," ucap rekannya yang memilih untuk memadamkan api daripada mengejar Pangeran Xiao Zhi.

Prajurit lainnya juga tidak mengejar Jia Yue yang ikut kabur bersama Pangeran Xiao Zhi karena mereka menyadari bahwa Jia Yue masih bagian dari komplotan. Mereka juga tidak mengejar Shangguan Mai dan Su Yan Li yang terlihat belum jauh karena menganggap bahwa mereka juga masih satu komplotan.

Di dunia persilatan, siapa yang tidak mengenal Bocah Iblis. Identitas lain dari Pangeran Xiao Zhi ini dikenal sebagai petarung yang sangat kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Belum ada pendekar dari sekte bela diri manapun yang berani menantangnya karena ilmu bela dirinya dianggap sangat tinggi dan tidak dapat ditandingi. Bahkan,dia dijuluki sebagai si Jenius dari Gunung Shu.

Konon, Bocah Iblis selalu mengenakan topeng karena wajahnya dikatakan menyerupai monster. Kabar lain menyebutkan bahwa dia masih berasal dari keluarga bandit di perbatasan utara yang katanya seorang kanibal. Itulah alasan mengapa semua orang merasa takut jika harus berhadapan dengannya.

"Tapi jika tidak dikejar, kita akan disalahkan karena tidak berhasil menangkap si pembuat onar yang sudah mengacak-acak Paviliun Sedayu. Aku lebih takut dengan kemurkaan Selir Agung daripada Bocah Iblis yang tidak tertandingi," ucap prajurit muda itu yang tetap mengejar Pangeran Xiao Zhi.

Karena tidak mampu mengejar qing gong Pangeran Xiao Zhi yang cepat dan lincah. Prajurit muda itu terpaksa mengeluarkan anak panahnya untuk membuat Pangeran kesembilan berhenti. "Cepat berhenti atau aku akan melepaskan anak panahku ini ke arahmu," ancamnya yang langsung melepaskan anak panahnya ke arah Pangeran Xiao Zhi. Ah, pemuda ini terlalu berani untuk mencari gara-gara dengan Pangeran Xiao Zhi.

Dengan kecepatan yang mengagumkan, Pangeran Xiao Zhi berhasil menghindari anak panah yang ditembakkan ke arahnya, lalu mengubah arah anak panah tersebut. Ia mendekati prajurit muda itu dan dengan kasar untuk mencekik lehernya. Pemuda itu tidak mampu melawan karena Pangeran Xiao Zhi telah menghambat gerakannya, bahkan membuat pemuda angkuh itu berada dalam kendali penuhnya.

"Kenapa kamu malah mengejarku? Bukankah seharusnya kamu mengejar wanita bercadar itu? Karena dia sudah menculik kasim penjaga kalian." Pangeran Xiao Zhi mencekik leher pemuda itu dengan sangat kuat. Sampai-sampai membuatnya kesulitan bernapas dan hampir mati.

"Wanita itu tidak penting karena dia hanya komplotanmu saja. Jika aku berhasil menangkapmu, maka aku juga akan berhasil menangkapnya," ucap pemuda itu sambil menatap Pangeran Xiao Zhi dengan sangat tajam dan tidak takut jika akan dihabisi olehnya.

Keberanian yang ditunjukkan oleh pemuda itu mendorong Pangeran Xiao Zhi untuk melepaskan cengkeramannya dan memberikan pengampunan karena ia sangat menghargai orang-orang yang berani seperti pemuda ini.

"Wanita itu bukan komplotanku jika aku punya komplotan sehebat dirinya maka aku tidak perlu turun tangan sendiri seperti ini," ucapnya sambil menepuk-nepuk pipi prajurit muda itu dengan kasar.

"Ah, sayang sekali jika pemuda pemberani sepertimu ini harus menjadi anjing istana. Bagaimana kalau kamu menjadi anggotaku saja? Kalau orang keras kepala dan tidak takut mati sepertimu ini dilatih dengan sungguh-sungguh, pasti bisa menjadi pembunuh andalan. Jadi temui aku kapan-kapan jika kamu sudah merasa lelah dengan istana ini," bisik Pangeran Xiao Zhi sebelum menghilang dari pandangannya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Beauty Lies in the Eyes   Perjalanan Zhaoyang Menuju Huanxi

    Sementara itu, Zhaoyang dan Cui Xing melakukan perjalanan menuju Huanxi, melintasi pedesaan kecil dan sungai yang berkelok-kelok. Setelah perjalanan panjang dari Dacang, mereka akhirnya tiba di Desa Linhua, sebuah desa terpencil yang seakan-akan terputus dari dunia luar. Jarak ribuan kilometer memisahkan mereka dari Kota Jianghu. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa berat—Zhaoyang tetap membisu, meskipun Cui Xing beberapa kali mencoba membuka percakapan. Keheningan itu menegaskan jarak emosional di antara mereka.Sikap dingin Zhaoyang terasa hampir tak terjangkau, seolah-olah ia menarik diri ke dalam benteng pertahanan yang sulit dihancurkan. Cui Xing bisa merasakan ketegangan itu, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Kekesalan Zhaoyang terhadap dirinya mungkin sudah cukup jelas. Dia tahu Zhaoyang tak pernah setuju dirinya ikut dalam misi ini. Baginya, perjalanan ke Huanxi penuh bahaya, dan Cui Xing mungkin hanyalah tambahan beban yang tidak p

  • Beauty Lies in the Eyes   Shen Ying Mendapatkan Status

    Di Paviliun Mingyue Mudan, Selir Agung terbenam dalam keputusasaan. Wajahnya yang cantik tampak lesu, dan matanya penuh lingkaran hitam menandakan bahwa ia tidak tidur semalaman. Air matanya tak tertahankan. Jeritan putrinya, Shen Ling Long, mengisi setiap sudut ruangan, menggema seperti melodi duka yang tak kunjung berhenti. Aroma bunga peony layu dan obat-obatan menyelimuti udara, menciptakan suasana yang menyesakkan, sementara rasa sakitnya semakin menguat. Dalam pikirannya yang kacau, Selir Agung berharap bisa menggantikan penderitaan putrinya.Ketika suasana semakin mencekam, suara Kaisar tiba-tiba memecah keheningan. "Tenanglah, selirku. Aku telah menemukan tabib yang andal untuk putri kita," katanya, menggenggam tangan Selir Agung dengan lembut. Sentuhan hangatnya menciptakan ilusi harapan dalam kegelapan, meskipun ketegangan masih menyelimuti mereka. "Aku yakin Ling Long kita pasti bisa bangun," lanjutnya, tatapannya beralih ke Wu Yan yang berdiri dengan tenang di sampingnya.

  • Beauty Lies in the Eyes   Pengumpulan Para Tabib di Kerajaan Huanxi

    Kondisi di Huanxi kini terasa seperti medan pertempuran sunyi, bukan dengan senjata tajam, melainkan dengan pikiran dan ketegangan yang tak nampak. Setiap tabib yang melangkah maju untuk mencoba mengobati Putri Ling Long menghadapi ujian yang lebih dari sekadar keahlian—nyawa mereka dipertaruhkan. Di sekitar istana, angin dingin semakin berdesir, membawa serpihan salju yang menari di udara, namun tak mampu menyelimuti suasana mengerikan. Aroma herba yang tajam dan asap dupa samar-samar menyusup ke udara, bercampur dengan bau darah segar dari mereka yang dihukum. Puluhan tabib telah gagal. Wu Yan tetap berdiri diam di tengah aula istana yang beku, tubuhnya tegak meski kaki lainnya gemetar. Ia menyaksikan tangan-tangan yang dulu piawai meracik ramuan kini tergeletak di tanah, beku oleh salju dan kehilangan fungsi. Rasa takut dan panik merambat dalam kerumunan, tetapi Wu Yan tetap tenang. Dia menutup matanya, membiarkan hawa dingin merambat di kulit wajahnya, salju yang lembut menyentu

  • Beauty Lies in the Eyes   Misi Zhaoyang ke Huanxi

    Keesokan paginya, ibukota Huanxi diselimuti musim dingin yang menggigit. Langit kelabu menekan rendah di atas kota, seakan-akan mendekatkan berat musim dingin kepada setiap orang di bawahnya. Udara dingin yang begitu tajam seakan menampar wajah siapa saja yang berani keluar. Setiap napas yang dihembuskan berubah menjadi kabut tipis yang melayang sejenak sebelum hilang di udara beku. Butiran salju turun perlahan, tapi pasti, menumpuk seperti selimut putih tebal di jalanan ibukota yang kasar, berderit di bawah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru.Sisa-sisa perayaan beberapa hari lalu terlihat suram. Lentera-lentera merah yang dulu menyala terang kini tergantung lemas di rumah-rumah warga, terbungkus salju dan angin, cahayanya padam. Jejak-jejak dekorasi dan kertas perayaan yang tersisa terkubur di bawah lapisan salju, mengaburkan kenangan kegembiraan yang kini terasa seperti kenangan jauh yang dingin. Di pasar raya yang biasanya ramai, derit roda gerobak yang ditarik pelan terdenga

  • Beauty Lies in the Eyes   Kisah Kelam Kelahiran Shen Ying

    Dua hari kemudian, di Kerajaan Huanxi... Di dalam Istana Jinhe, Kaisar Shengzong duduk terpaku di kursinya, terjebak dalam kenangan pahit yang menyelimuti ruangan dalam kabut kelabu. Lampu-lampu lentera bergetar lembut, memantulkan cahaya samar yang menari di dinding batu marmer putih. Aroma dupa cendana yang terbakar bercampur dengan wewangian bunga kering, menghidupkan kembali memori akan cinta yang telah hilang. Di hadapannya, sebuah lukisan besar menggantung, memancarkan kesedihan yang mendalam—potret Wei Yong Luo, wanita yang ia anugerahi gelar Rengsheng karena telah menerangi relung hatinya dengan kelembutan dan cinta. Kecantikannya benar-benar abadi dalam warna-warna lembut, seolah senyum manisnya masih dapat terasa meski ia telah lama pergi. Kaisar memejamkan mata sejenak, membiarkan bayangan suara lembut Ratu Rengsheng berbisik di telinganya, seolah menenangkan jiwanya yang resah. Namun, angan-angan itu segera sirna, tergantikan oleh dentingan keras arak saat gelas yang ia

  • Beauty Lies in the Eyes   Yuwen: Pangeran yang Terbuang

    Sementara di tempat yang jauh, Yu Wen terhuyung, setiap langkahnya terasa berat. Telinganya berdengung, ribuan jeritan terus bergaung. Melodi seruling Zhaoyang masih merasuki, siap menelan kesadarannya. Racun menggerogoti tubuhnya, menimbulkan rasa sakit tajam di perut dan bahunya. Setiap detik terasa seperti belati, menusuk lebih dalam. Luka yang menganga, bekas belati Cui Xing, berdetak seirama dengan denyut nadi yang semakin lemah. Dengan napas yang tersengal, Yu Wen terjatuh di atas ranjang, punggungnya terasa dingin, seolah kasur yang seharusnya memberi kenyamanan malah menjadi batu dingin yang menusuk tulang-tulangnya.Cahaya rembulan menembus jendela jeruji Paviliun Fengyu, menorehkan garis perak di lantai yang gelap. Sinarnya begitu redup, terasa dingin dan jauh, seakan hanya menambah kekosongan hatinya. Di dalam ruang sunyi itu, hanya desahan napasnya yang terdengar, begitu berat dan terputus-putus. Hatinya tercekam oleh ketakutan yang merayap, dingin seperti es yang menembu

  • Beauty Lies in the Eyes   Kaisar Tiba di Dacang

    Di bawah cahaya rembulan yang semakin meredup, bayang-bayang gelap menyelimuti reruntuhan Kota Dacang. Udara malam terasa tebal, Cui Xing memangku tubuh Zhaoyang, tangannya gemetar tiap kali ia membenarkan posisinya, hatinya dipenuhi oleh kecemasan. Ia terus mengisap dan mengeluarkan racun dari punggung Zhaoyang, merasakan rasa asam dan pahit yang menusuk di tenggorokannya, seolah ludah beracun yang membara. Cui Xing terjebak dalam ketegangan yang menakutkan. Setiap kali ia mengisap racun dari tubuh Zhaoyang, waktu seolah terhenti, namun pikirannya melesat cepat. “Apa yang akan kulakukan jika aku gagal?” Sebuah suara kecil berbisik dalam hatinya, merayap ke dalam jiwanya. “Apa aku sanggup untuk melihatmu tiada?” Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya semakin cepat. Perasaan takut yang mencekam mengalahkan keteguhan hatinya. Cui Xing tahu saat-saat terakhir itu semakin mendekat—racun yang diserapnya kini menggerogoti tubuhnya, seperti ular berbisa yang menyusup ke dalam

  • Beauty Lies in the Eyes   Balas Dendam Shen Ying

    "Berhenti menyesalinya, Paman. Wanita itu memang pantas mati," ucap Shen Ying dengan dingin, tatapan matanya yang tajam tak beranjak dari kepala Bibi Ling yang tergeletak di lantai batu yang basah oleh darah.Bau anyir darah memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembap penjara bawah tanah Paviliun Bayangan. Kepala Bibi Ling yang tergolek itu tampak mengerikan, dengan mata yang masih terbuka lebar, seolah kematian datang terlalu cepat sebelum ia sempat merasakan penderitaan yang seutuhnya. Mu Qing Cheng duduk di sampingnya, tangan yang menggenggam pedang masih sedikit gemetar, meskipun darah di bilah pedangnya sudah mulai mengering. Cahaya obor yang temaram memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, menciptakan ilusi bayang-bayang gelap yang terus bergetar. Tatapan Mu Qing Cheng gelisah, menyadari bahwa perkataan Wu Yan mungkin benar, dengan kematian Bibi Ling, mereka mungkin telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak.Shen Ying melangkah maju, merasakan

  • Beauty Lies in the Eyes   Terungkapnya Kematian Ibu Shen Ying dan Asal Usul Racun Iblis

    Di saat yang sama, di sudut lain dunia, Shen Ying berdiri di bawah bayangan penjara bawah tanah Paviliun Bayangan yang suram. Udara di sekelilingnya terasa tebal, dipenuhi kelembaban dari dinding-dinding lembab yang mulai ditumbuhi lumut. Sorotan matanya masih sama seperti biasanya; dingin dan hampa, namun gejolak hatinya berbeda. Shen Ying mulai merasakan kebencian yang mendalam, meski ia tak tahu perasaan pahit apa yang telah muncul dalam hatinya sekarang. Di hadapannya, pelayan tua yang dulu melayani ibunya gemetar, kulitnya yang keriput seakan semakin pucat di bawah tekanan tangan dingin Shen Ying. Aroma pil kejujuran yang ia genggam memenuhi udara, bercampur dengan aroma debu dan kesedihan yang sudah lama menetap di tempat itu.Shen Ying menggenggam rahang wanita tua itu dengan kasar, suaranya dingin namun penuh amarah yang tertahan, "Kau akan bicara, entah kau mau atau tidak." Napasnya terasa panas di udara yang lembap, dan gemetar di tangannya terasa jelas, bukan karena kera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status