Belum pernah Marco menari senyaman itu dengan seseorang selama hidupnya. Belum pernah dia menikmati momen kebersamaan yang begitu akrab dan intim satu sama lain dengan seorang lawan jenis. Hanya Rosetta yang membuatnya merasa ingin menggerakkan tubuh maskulinnya.Musik yang mengalun membuat mereka terus berputar mengitari ruang balkon, seolah-olah terhipnotis oleh melodi klasik yang mengalir. Bukan jenis dansa formal seperti dalam pesta. Hanya pelukan rapat yang membuat mereka saling mengisi dan menyatukan perasaan masing-masing.Marco bahagia, jelas. Dia merasa sesak oleh euforia yang menunggangi dirinya. Mereka saling memagut erat dan bertukar pandang untuk waktu yang lama dalam keheningan malam dan udara dingin awal bulan Oktober.“Kau menggigil. Apa kau ingin masuk ke dalam?”“Dan menyudahi dansa kita? Tidak. Aku tidak suka mengacaukan perasaan indah ini,” bisik Rosetta yang kemudian bergidik selepas merasakan angin berembus meniup punggungnya.“Kita akan melanjutkannya di dalam.”
“Kita harus bicara,” desak Rosetta keesokan paginya.Caritta membalikkan tubuhnya dengan malas. Ekspresinya datar tanpa emosi, lantas mengedikkan kedua bahunya. “Jika yang kau maksud bicara itu duduk mengobrol satu meja denganmu, maka terima kasih banyak. Aku tidak akan terlibat dalam percakapan apa pun bersamamu.”“Mengapa kau menjauhiku seperti wabah?”“Aku hanya berusaha menghindari konflik,” balasnya lagi.“Konflik? Aku ingin kita duduk dan bicara empat mata,” cetus Rosetta yang masih bersikeras menghalangi niat Caritta untuk ‘melarikan diri’ dari permasalahan yang berlarut-larut di antara mereka.“Menyingkirlah dari jalanku, Rosetta.”“Tidak. Aku tidak akan menjauh sebelum kau setuju untuk membahas persoalan yang seperti bom waktu ini.”Caritta mendesah dengan sorot mata yang menerawang ke arah ruang makan. Tempat itu dilengkapi meja panjang berseni ukir dan perabotan serba perak yang memberi kesan klasik di setiap sudutnya. “Kau tidak punya hak untuk mengontrolku. Jadi, berhenti
Rosetta melakukan perlawanan persis seperti sebelumnya. Namun, hasrat sekaligus keputusasaan yang menggeliat dalam sepasang iris Ludovic yang kelam membuatnya urung untuk melanjutkan. Pria itu menciumnya dengan kasar dan penuh paksaan yang begitu menuntut.Salah satu jemari Ludovic yang bebas kemudian naik. Merayap ke rahang Rosetta yang masih bersikeras mengatup, enggan mengizinkan lidah pria itu masuk mengetuk setiap celah di rongga mulutnya. Menolak segenap kenikmatan kecil yang ditawarkan di sana.Rosetta membeku. Mematung dalam serangan liar yang ingin menguasai dirinya, sementara Ludovic terikat ambisi untuk membuat Rosetta menyerah. “Buka mulutmu atau aku akan mematahkan rahangmu, Rosetta. Bukalah untukku.”Lidah Ludovic berjuang menerobos sisa-sisa pertahanan yang masih gigih dari Rosetta. Dia masih pasif tanpa emosi. Berharap pria itu akan segera sadar dengan perbuatannya yang kurang ajar.“Mengapa kau sangat keras kepala dan menolakku?” desisnya dengan kadar gairah yang mula
“Tuan Muda?”Ludovic menoleh sekilas, lantas mengizinkan salah satu bawahannya masuk ke dalam ruang whirlpool-nya. Pria itu sedang bersandar di pinggir kolam sambil menyesap segelas anggur. Sorot matanya mengarah pada diorama sore di kejauhan, sementara pikirannya masih tersita dengan sisa kenangan ‘rahasia’ bersama Rosetta tadi pagi.“Maaf, saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya hanya ingin mengembalikan pistol milik Anda yang ditemukan oleh Giuseppe di dekat tangga.”Benda dengan amunisi penuh itu dipegang oleh Taleo—orang kepercayaannya. Senjata api jenis revolver berinisial LB yang Ludovic tinggalkan sewaktu dia dan Rosetta bersembunyi ke lorong bawah tanah. Dia menjatuhkannya tanpa sengaja di sana.“Aku melupakannya,” aku Ludovic sambil terkekeh menertawakan kecerobohannya.“Itu seperti bukan Anda yang biasanya,” jawab pria yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dari Ludovic itu dengan senyum yang terkulum di ujung bibirnya.“Taruh saja di atas meja bar,” sahut Ludovic lagi. T
“Maaf, aku pulang terlambat. Ada sedikit masalah—”Marco mendadak terhenti di depan pintu selepas menyadari Rosetta telah terlelap dibuai oleh mimpinya. Langkah pria itu membeku. Sorot matanya tertuju pada makhluk cantik yang sedang mendengkur halus dari balik selimut tebalnya di sana.“Dia tidur,” bisiknya kemudian.Senyum Marco tersungging lebar tanpa dia sadari. Menonton Rosetta tengah berbaring damai di atas sofa berukuran besar itu seketika membuatnya merasa lega. Dia menungguku, pikirnya.Marco meneruskan langkah dengan hati-hati. Dia berjalan menuju ke arah wanita itu dan berjongkok di samping Rosetta. Memandanginya dengan tatapan memuja. “Bunga mawarku,” gumam Marco yang masih mengagumi keindahan di depannya.Marco mengulurkan satu tangannya—menyentuh puncak kepala Rosetta dengan gerakan lembut, lantas menonton wanita itu tidur selama beberapa waktu. Betah dalam kesunyian yang mengurung mereka pada dini hari. Pikirannya melayang ke sejumlah kenangan tentang insiden kesalahpah
“Di situ—oh, ya, itu.”“Aku suka seseorang yang memohon,” bisik Marco yang berniat menggoda Rosetta dan mengulur sensasi familier yang terasa nikmat itu dari pusat tubuhnya.“Sial, kumohon. Marco, aku menginginkannya.”“Memohonlah dengan benar,” desis pria itu lagi.“Aku—oh, kumohon. Marco, kumohon. Aku ingin meraihnya. Sangat amat ingin merasakannya.”Marco menelan air ludahnya dengan susah payah. Menyaksikan Rosetta dalam kondisi putus asa menjadi satu-satunya pemandangan terbaik yang dia lihat malam itu. Dia mengeratkan dekapan, lantas menambah intensitas kecepatan pinggulnya memompa dengan sempurna.Sedikit lagi. Marco tahu Rosetta akan mencapainya sedikit lagi. Sekujur tubuh wanita itu akan dihempas oleh tremor yang menguasai sepasang kakinya—gemetar tanpa henti, membulatkan bibirnya, sementara setiap kukunya mencakari punggung Marco dan meninggalkan sejumlah bekas luka gores di sana esok pagi.“Tidak, Sayangku. Belum. Belum waktunya untuk itu,” ucap Marco yang langsung menarik d
“Bukankah rasanya menyenangkan bisa melarikan diri sesekali dari rutinitas yang monoton dan memuakkan itu? Aku rela menukarnya dengan apa pun agar aku punya kesempatan untuk menemukan diriku lagi.”Rosetta langsung menurunkan senjata apinya dari papan target. Dia menoleh pada Marco yang tengah memperhatikan dirinya mengasah kemampuan menembaknya siang itu. Menaikkan kacamata berlensa polar tersebut ke atas kepala dan duduk bergabung bersama kekasihnya.Mereka memutuskan untuk pergi menembak selepas menuntaskan malam penuh gairah yang luar biasa itu. Melatih keahlian Rosetta agar lebih cakap dalam situasi yang mengharuskannya untuk melindungi dirinya sendiri. Alasan yang selalu Marco tekankan padanya.“Mengapa kau berhenti?”“Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?”“Aku hanya bicara pada diriku sendiri,” aku Marco kemudian.“Bicara dengan dirimu sendiri?”“Kadang-kadang aku memang bertingkah aneh.”Rosetta tergelak sebentar, lantas meletakkan pistolnya di atas meja. Dia menghela napas s
“Batalkan semua transaksi ke Damaskus,” perintah Marco melalui telepon selulernya dengan setengah berbisik sebab enggan membuat Rosetta bangun dari tidurnya.Seseorang dari seberang sana menyahut dan Marco kembali membalas, “Tidak, Bahar. Aku tidak peduli. Pulangkan saja para gadis itu ke tempat tinggal mereka. Aku yang akan bertanggung jawab atas kemarahan Syekh Zayed nanti.”Lawan bicaranya yang disebut-sebut bernama Bahar itu lagi-lagi menyahut dengan banyak kata tetapi. Marco berdecak kesal, lantas meminta pria keturunan Turki tersebut menutup mulutnya. Kepalanya terasa pening karena kurang tidur sekarang.Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga pagi. Waktu yang kelewat dini untuk memulai hari. Namun, Marco sudah terjaga lebih awal dan sulit untuk kembali terlelap seperti sebelumnya.“Urus saja gadis-gadis itu untukku. Aku akan meminta Matteo dan yang lainnya mengawal mereka lewat jalur udara,” lanjutnya lagi.Percakapan itu pun terputus dan menyisakan hening yang terasa ganjil bag