Share

4. Bukan Wanita Bayaran

Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.

“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.

“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”

“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.

“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”

“A-apa?”

Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir deras di balik dadanya—sesak oleh kebencian.

“Aku akan membuatmu menderita, Leah. Kau harus membayar untuk perbuatan lancangmu.”

“Percayalah, Tuan Botticelli. Aku tidak pernah mencuri. Aku tidak pernah mengambil barang milikmu.”

“Katakan itu padaku setelah kita membuktikannya lewat permainan yang akan kau nikmati persis seperti tadi malam,” bisik Marco dengan nada parau.

Detik berikutnya, tubuh Rosetta langsung terangkat dari simpuhnya dan dibopong pada pundak kiri Marco yang mengangkut wanita itu keluar. Dia mencoba meloloskan diri, tetapi tetap gagal seperti yang sudah-sudah. Teriakan paniknya seketika menggaung menulikan indra pendengaran Marco.

“Diamlah atau akan kulempar kau ke dalam kandang singa sekarang juga!” ancam pria itu tanpa ragu.

“Turunkan aku! Aku bukan wanita bayaran—”

“Kubilang, diam!” hardik Marco yang kelewat jengkel dengan sikap Rosetta.

“Aku tidak akan diam! Aku hanya ingin kau membebaskanku! Turunkan! Turunkan aku!”

“Turunkan? Baiklah. Aku akan menurunkanmu di depan sana.”

Langkah Marco terayun dengan cepat. Mengentak dan mengantar mereka ke suatu tempat yang ditutup oleh sistem pengamanan berlapis—sebuah pintu dengan susunan jeruji yang dibangun kokoh, lengkap bersama induk kunci berukuran besar. Area khusus untuk menyimpan separuh dari sejumlah koleksi hewan buas yang eksotis miliknya.

Bunyi sayup-sayup auman sontak mengudara dari balik kaca. Suara yang serta-merta membuat jantung Rosetta mencelus ke rongga perutnya. Segenap keberanian yang semula berkobar lantang dalam dirinya pun mendadak lenyap tanpa bekas.

“Apa itu? Apa kau akan membunuhku?” pekik Rosetta yang sudah berhenti melawan dan memasrahkan tubuhnya ada dalam cengkeraman Marco.

“Itu tergantung.”

“Ter-tergantung?”

“Tergantung dari seberapa baik perilakumu padaku.”

“Apa maksudmu aku harus menerima tuduhan itu? Bagaimana caranya untuk membuatmu percaya? Namaku bukan Leah. Aku juga bukan—”

Sebelum Rosetta berhasil menyelesaikan semua kalimatnya, dia diturunkan dengan kasar dan membuat sebagian tubuhnya membentur terali. Aum penuh semangat itu pun kembali terdengar dari arah belakang. Sukses menciptakan jerit baru yang meluncur melalui bibir Rosetta.

Derap langkah lagi-lagi muncul melalui sisi lain. Rosetta yang masih terperangkap dalam kebutaan sementaranya berjuang untuk menjauhi sesuatu yang sedang mengintainya. Dia mencoba merangkak sambil berteriak memanggil Marco agar diampuni.

Sesuatu yang keras kemudian menghantam dari samping—mengenai kaca dengan intensitas pukulan yang luar biasa—meninggalkan jejak tapak dua kaki depannya di sana. Seekor singa putih jantan dewasa tersebut kembali melompat dengan tujuan untuk menerkam. Disusul oleh raung panjang yang refleks melonjakkan tubuh Rosetta.

“Tu-Tuan Botticelli, kumohon. Maafkan aku. Maafkan aku, tolong. Aku tidak ingin dimakan makhluk apa pun itu yang tengah menerjang dinding pelindungnya,” rengek Rosetta sambil memantapkan posisinya di bawah kaki Marco.

Siulan singkat menyela dan membuat serangan dari binatang karnivora itu otomatis terjeda. Marco mengumbar tawanya, lantas berujar, “Dia hewan yang cerdas. Dia juga akan mengikuti setiap perintahku.”

“Ba-baiklah. Aku bersumpah akan menutup mulutku.”

“Itu pilihan yang bijak,” komentar Marco yang kemudian membungkuk dan memandangi wajah Rosetta yang basah sekali lagi.

Tangan kanan Marco spontan terulur—jemarinya menyentuh pangkal hidung Rosetta—mengaitkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke sehelai kain yang menghalang di sana. Benda tersebut pun terlepas dalam sekejap. Sepasang mata indah milik wanita itu seketika terbebas untuk kembali melihat dengan leluasa.

Kepala Rosetta tertunduk menghindari cahaya yang menyilaukan di sekitar. Iris cokelat itu mengerjap-ngerjap selepas sinar terang dari lampu pijar di sekeliling membuatnya harus beradaptasi pada lingkungan baru. Dia mendongak dengan rasa gugup yang hebat, lantas menemukan sosok asing tersebut sedang menatapnya.

Figur Marco yang menawan itu mendadak menyita seluruh perhatian Rosetta untuk berpusat penuh hanya pada dirinya. Dia tampan—terlalu rupawan malah, pesonanya sukses menghapus segenap fantasi liar yang semula tertuang dalam kanvas imajiner di benak Rosetta. Paruh baya, berkumis tebal ala imperialis atau justru punya masalah dalam mengendalikan berat badannya.

Bayangan itu langsung terpatahkan oleh Marco. Dia punya sepasang iris memukau yang selaras dengan warna samudra—biru gelap yang pekat, seolah-olah sanggup menyeret siapa saja yang balas memandang ke dalam sana. Rahang tegas yang menjadi simbol unggul dari sifat maskulinnya hingga kumpulan rajah tato yang membungkus kulit cokelat menakjubkannya. 

Putra sulung keluarga Botticelli memang merupakan lawan jenis yang mengagumkan. Rambut pirang panjangnya yang setengah ikal dibiarkan tergerai menyentuh kedua pundak. Masih tergolong muda dengan rentang usia dua puluh tujuh tahun.

Rosetta kembali mengerjap-ngerjap—menjernihkan pandangan—berusaha menepis aura aneh yang muncul dari balik sorot mata Marco. Sesuatu yang mampu memberi kuasa untuk melepaskan serbuan hormon adrenalin itu melesat di setiap lapisan aortanya. Bukankah dia kelewat sempurna untuk ukuran seorang kriminal?

“Kau hanya punya dua pilihan, Leah. Kembalikan kalung warisan itu atau kau akan menjadi santapan makan malam mereka.”

“I-izinkan aku menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita, Tuan Botticelli. Pertama, aku bukan Leah. Namaku Rosetta. Rosetta Alighieri. Kedua, aku juga tidak mencuri barang milikmu. Ketiga, aku sama sekali tidak mengenalmu.” 

Marco menggertakkan gigi—kesal pada Rosetta yang dia anggap terlampau piawai untuk berkelit, kemudian mendesis, “Aku hanya ingin kau mengembalikan sesuatu yang bukan milikmu.”

“Kau boleh mengeceknya sendiri. Bongkar dan geledah saja flatku, kau akan tahu bahwa aku tidak pernah menyimpan kalung yang kau maksud.”

Seringai Marco pun terbit dan berhasil membuat sekujur tubuh Rosetta membeku tanpa sanggup mengalihkan tatapan dari sorot mata tajam pria di hadapannya. Pandangan mereka saling mengunci satu sama lain. Sarat dengan gentar yang menjejali setiap celah dalam dadanya.

“Akan kulakukan segera, tetapi sebelum itu terjadi kau harus melayaniku dahulu.”

“Apa maksudmu?”

“Bukankah itu cukup jelas?”

“Berhentilah untuk bertindak sesuka hatimu dan melecehkan harga diri seseorang!” bentak Rosetta yang merasa muak pada perilaku Marco.

“How dare you yell at me? I will definitely make you regret this day.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status