Beranda / Romansa / Beauty and The Mafia / 4. Bukan Wanita Bayaran

Share

4. Bukan Wanita Bayaran

Penulis: Laquisha Bay
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-10 18:45:40

Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.

“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.

“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”

“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.

“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”

“A-apa?”

Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir deras di balik dadanya—sesak oleh kebencian.

“Aku akan membuatmu menderita, Leah. Kau harus membayar untuk perbuatan lancangmu.”

“Percayalah, Tuan Botticelli. Aku tidak pernah mencuri. Aku tidak pernah mengambil barang milikmu.”

“Katakan itu padaku setelah kita membuktikannya lewat permainan yang akan kau nikmati persis seperti tadi malam,” bisik Marco dengan nada parau.

Detik berikutnya, tubuh Rosetta langsung terangkat dari simpuhnya dan dibopong pada pundak kiri Marco yang mengangkut wanita itu keluar. Dia mencoba meloloskan diri, tetapi tetap gagal seperti yang sudah-sudah. Teriakan paniknya seketika menggaung menulikan indra pendengaran Marco.

“Diamlah atau akan kulempar kau ke dalam kandang singa sekarang juga!” ancam pria itu tanpa ragu.

“Turunkan aku! Aku bukan wanita bayaran—”

“Kubilang, diam!” hardik Marco yang kelewat jengkel dengan sikap Rosetta.

“Aku tidak akan diam! Aku hanya ingin kau membebaskanku! Turunkan! Turunkan aku!”

“Turunkan? Baiklah. Aku akan menurunkanmu di depan sana.”

Langkah Marco terayun dengan cepat. Mengentak dan mengantar mereka ke suatu tempat yang ditutup oleh sistem pengamanan berlapis—sebuah pintu dengan susunan jeruji yang dibangun kokoh, lengkap bersama induk kunci berukuran besar. Area khusus untuk menyimpan separuh dari sejumlah koleksi hewan buas yang eksotis miliknya.

Bunyi sayup-sayup auman sontak mengudara dari balik kaca. Suara yang serta-merta membuat jantung Rosetta mencelus ke rongga perutnya. Segenap keberanian yang semula berkobar lantang dalam dirinya pun mendadak lenyap tanpa bekas.

“Apa itu? Apa kau akan membunuhku?” pekik Rosetta yang sudah berhenti melawan dan memasrahkan tubuhnya ada dalam cengkeraman Marco.

“Itu tergantung.”

“Ter-tergantung?”

“Tergantung dari seberapa baik perilakumu padaku.”

“Apa maksudmu aku harus menerima tuduhan itu? Bagaimana caranya untuk membuatmu percaya? Namaku bukan Leah. Aku juga bukan—”

Sebelum Rosetta berhasil menyelesaikan semua kalimatnya, dia diturunkan dengan kasar dan membuat sebagian tubuhnya membentur terali. Aum penuh semangat itu pun kembali terdengar dari arah belakang. Sukses menciptakan jerit baru yang meluncur melalui bibir Rosetta.

Derap langkah lagi-lagi muncul melalui sisi lain. Rosetta yang masih terperangkap dalam kebutaan sementaranya berjuang untuk menjauhi sesuatu yang sedang mengintainya. Dia mencoba merangkak sambil berteriak memanggil Marco agar diampuni.

Sesuatu yang keras kemudian menghantam dari samping—mengenai kaca dengan intensitas pukulan yang luar biasa—meninggalkan jejak tapak dua kaki depannya di sana. Seekor singa putih jantan dewasa tersebut kembali melompat dengan tujuan untuk menerkam. Disusul oleh raung panjang yang refleks melonjakkan tubuh Rosetta.

“Tu-Tuan Botticelli, kumohon. Maafkan aku. Maafkan aku, tolong. Aku tidak ingin dimakan makhluk apa pun itu yang tengah menerjang dinding pelindungnya,” rengek Rosetta sambil memantapkan posisinya di bawah kaki Marco.

Siulan singkat menyela dan membuat serangan dari binatang karnivora itu otomatis terjeda. Marco mengumbar tawanya, lantas berujar, “Dia hewan yang cerdas. Dia juga akan mengikuti setiap perintahku.”

“Ba-baiklah. Aku bersumpah akan menutup mulutku.”

“Itu pilihan yang bijak,” komentar Marco yang kemudian membungkuk dan memandangi wajah Rosetta yang basah sekali lagi.

Tangan kanan Marco spontan terulur—jemarinya menyentuh pangkal hidung Rosetta—mengaitkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke sehelai kain yang menghalang di sana. Benda tersebut pun terlepas dalam sekejap. Sepasang mata indah milik wanita itu seketika terbebas untuk kembali melihat dengan leluasa.

Kepala Rosetta tertunduk menghindari cahaya yang menyilaukan di sekitar. Iris cokelat itu mengerjap-ngerjap selepas sinar terang dari lampu pijar di sekeliling membuatnya harus beradaptasi pada lingkungan baru. Dia mendongak dengan rasa gugup yang hebat, lantas menemukan sosok asing tersebut sedang menatapnya.

Figur Marco yang menawan itu mendadak menyita seluruh perhatian Rosetta untuk berpusat penuh hanya pada dirinya. Dia tampan—terlalu rupawan malah, pesonanya sukses menghapus segenap fantasi liar yang semula tertuang dalam kanvas imajiner di benak Rosetta. Paruh baya, berkumis tebal ala imperialis atau justru punya masalah dalam mengendalikan berat badannya.

Bayangan itu langsung terpatahkan oleh Marco. Dia punya sepasang iris memukau yang selaras dengan warna samudra—biru gelap yang pekat, seolah-olah sanggup menyeret siapa saja yang balas memandang ke dalam sana. Rahang tegas yang menjadi simbol unggul dari sifat maskulinnya hingga kumpulan rajah tato yang membungkus kulit cokelat menakjubkannya. 

Putra sulung keluarga Botticelli memang merupakan lawan jenis yang mengagumkan. Rambut pirang panjangnya yang setengah ikal dibiarkan tergerai menyentuh kedua pundak. Masih tergolong muda dengan rentang usia dua puluh tujuh tahun.

Rosetta kembali mengerjap-ngerjap—menjernihkan pandangan—berusaha menepis aura aneh yang muncul dari balik sorot mata Marco. Sesuatu yang mampu memberi kuasa untuk melepaskan serbuan hormon adrenalin itu melesat di setiap lapisan aortanya. Bukankah dia kelewat sempurna untuk ukuran seorang kriminal?

“Kau hanya punya dua pilihan, Leah. Kembalikan kalung warisan itu atau kau akan menjadi santapan makan malam mereka.”

“I-izinkan aku menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita, Tuan Botticelli. Pertama, aku bukan Leah. Namaku Rosetta. Rosetta Alighieri. Kedua, aku juga tidak mencuri barang milikmu. Ketiga, aku sama sekali tidak mengenalmu.” 

Marco menggertakkan gigi—kesal pada Rosetta yang dia anggap terlampau piawai untuk berkelit, kemudian mendesis, “Aku hanya ingin kau mengembalikan sesuatu yang bukan milikmu.”

“Kau boleh mengeceknya sendiri. Bongkar dan geledah saja flatku, kau akan tahu bahwa aku tidak pernah menyimpan kalung yang kau maksud.”

Seringai Marco pun terbit dan berhasil membuat sekujur tubuh Rosetta membeku tanpa sanggup mengalihkan tatapan dari sorot mata tajam pria di hadapannya. Pandangan mereka saling mengunci satu sama lain. Sarat dengan gentar yang menjejali setiap celah dalam dadanya.

“Akan kulakukan segera, tetapi sebelum itu terjadi kau harus melayaniku dahulu.”

“Apa maksudmu?”

“Bukankah itu cukup jelas?”

“Berhentilah untuk bertindak sesuka hatimu dan melecehkan harga diri seseorang!” bentak Rosetta yang merasa muak pada perilaku Marco.

“How dare you yell at me? I will definitely make you regret this day.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Beauty and The Mafia   Bab Ekstra - Lembar Masa Depan

    Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun

  • Beauty and The Mafia   Bab Ekstra - "Aku merindukanmu sebanyak aku membencimu."

    Seorang wanita dalam balutan jumpsuit nuansa hitam dan sepatu berhak rendah model pointed-toe pump yang senada itu baru saja turun dari mobil. Benda yang ditentengnya adalah dua buket bunga forget me not. Diletakkan dengan hati-hati pada sebuah keranjang bambu yang dihadiahkan seseorang padanya kemarin sore.Punggungnya berbalik cepat, mengulurkan kedua tangannya ke arah jok, lantas menggendong tubuh bocah kecil yang sedang menggenggam sebuah bola plastik di tangan kirinya tersebut. Bibir menggemaskan itu tertawa sewaktu ibunya mengecup ringan salah satu pipinya selepas dia dirangkul erat dalam gendongan. Sepasang iris biru lautnya kemudian mengerjap-ngerjap melihat ke sekeliling yang terasa asing baginya.“Apa kau menyukainya, Sayang? Memang bukan pemandangan yang biasa kau lihat, tetapi Mom janji kau akan menikmatinya. Tempatnya sangat rindang dan nyaman untuk kau bertemu dengan Dad,” katanya sambil menyelipkan sehelai rambut cokelatnya yang berkibar ditiup angin ke daun telinga kan

  • Beauty and The Mafia   60. Permainan Ular Tangga

    “Segelas martini dingin di sore yang cerah merupakan sesuatu yang sempurna untuk menutup hari, bukan?” ucap Ludovic yang mengerling pada Taleo sambil mengangkat gelas miliknya ke atas.“Tentu saja, Tuan Muda.”“Bersulang?” tawar pria itu lagi dan mendekatkan bibir gelasnya pada bibir gelas Taleo.Taleo mengangguk mengiyakan dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Dia memajukan gelas dan bunyi denting sontak saling beradu di udara. Kedua alisnya terangkat membentuk ekspresi setuju.“Untuk hidup yang lebih baik ke depannya,” harap Ludovic yang kemudian terkekeh menertawakan kalimatnya sendiri.“Dan kebahagiaan bagi Tuan Muda,” tambah Taleo yang menelengkan kepalanya.Ludovic menyesap martininya dengan hati-hati. Dua butir buah zaitun yang mengendap di dasar gelas pun menggelinding naik ke permukaan. Berlomba-lomba mendekati mulut pria itu dan menyumpalnya lewat gravitasi yang berubah oleh sisi gelas yang condong.“Rasanya nikmat sekali seperti dosa,” desah Ludovic selepas menyeka b

  • Beauty and The Mafia   59. Janji yang Diingkari

    Sebelum Rosetta sempat mencerna maksud dari ucapan Marco, pria itu sudah membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar. Para bawahannya maju lebih dahulu, memasang benteng perlindungan bagi tuannya, lantas mengacungkan senjata laras panjang di tangan mereka pada kelompok Salvoni.Rosetta yang gemetar dan putus asa di dalam Mercedes-Benz berbodi tangguh itu menutup mulutnya sendiri. Membungkam kesiapnya sebelum berubah menjadi jerit ngeri yang akan melenyapkan pita suaranya. Berjuang menekan ketegangan yang menari di sekeliling mereka ke lapisan paling dasar.Ketenangan yang didambakan Rosetta kembali menjauh dari jangkauan. Segala sesuatunya mengabur dari pandangan dan memaksa Rosetta untuk bergerak atau dia akan terperangkap tanpa proteksi. Dia kemudian berlindung ke balik jok kemudi, menarik sebuah kotak kayu yang ada di bawahnya dan mengambil sebuah pistol bermetode dual action yang tersimpan di dalam sana.Jemari Rosetta meraih benda itu dengan hawa dingin yang seketika melun

  • Beauty and The Mafia   58. Identitas Mayat

    Langit terasa runtuh menimpa Rosetta selepas dia sadar siang itu. Pandangannya kemudian memindai ke seantero kamar. Ada seorang dokter pribadi yang sudah dia kenal dengan baik sedang merawatnya. Pria berkacamata minus kepercayaan Marco itu melemparkan senyum tipis pada Rosetta. Dia memeriksa tekanan darahnya yang kelewat rendah. Bercakap-cakap dengan Marco sebentar sebelum melanjutkan pengecekan lainnya.“Apa itu benar? Caritta? Dia... dia sudah... apa polisi tidak salah mengidentifikasi?” tanya Rosetta yang berjuang keras menahan bulir air matanya jatuh.Marco mengetatkan rahangnya dalam diam. Berharap dapat mentransfer kekuatan lebih untuk kekasihnya yang masih syok atas kabar buruk itu. Namun, satu-satunya yang mampu dia katakan hanya mengiyakan dengan ekspresi muram.Marco tahu Rosetta terpukul atas berita kematian saudari kembarnya. Siapa yang menyangka bahwa jasad Caritta akan ditemukan di tepi dermaga dengan kondisi setengah membusuk karena terseret gelombang? Hasil penyelidik

  • Beauty and The Mafia   57. Bunga Tidur

    Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi itu cuaca sedikit lebih cerah dan membuat Rosetta terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui sisi jendela. Dia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum memutuskan untuk bangkit dari balik selimut menuruni ranjang.Satu tangan Rosetta terulur ke depan. Kepalanya setengah menunduk sambil menyibak sebagian tirai dan mengintip suasana di luar. Cahaya itu pun langsung menembus indra penglihatannya dalam sekejap.Kening Rosetta otomatis mengernyit. Sepasang matanya menyipit sebagai reaksi silau yang tertangkap olehnya. Dia menoleh ke arah ranjang, memperhatikan Marco yang masih berkutat dengan mimpi-mimpinya di sana.“Salah satu pemandangan yang ingin selalu kulihat adalah pria itu ada di dekatku setiap hari,” bisik Rosetta yang berdiri di depan tirai dalam kondisi tersibak separuh.Kesadarannya akan sesuatu yang penting mendadak menyentak pikiran Rosetta. Langkahnya kemudian berlalu menuju ke nakas yang ditata persis di samping kiri ranjang

  • Beauty and The Mafia   56. Mayat yang Dilarung ke Laut

    “Rosetta? Siapa yang peduli? Bunuh saja sekalian.”Suara lain yang lebih rendah dari suara pertama menyahut, “Itu mudah untukku, tetapi bagaimana dengan Marco?”“Dia bagianku.”“Menghabisi satu tikus kecil lemah seperti kekasihnya akan jadi penggenapan rekorku yang ke seratus,” balasnya dengan nada puas.“Bagaimana dengan Ludovic?”“Siapa Ludovic?”“Putra kedua Botticelli. Kau tidak tahu dia?” tanya rekannya lagi.“Aku tidak pernah mendengar reputasinya di dunia bawah.”Pria dengan cerutu yang menyala di bibirnya itu mengembuskan asap tebal sambil mendongakkan kepalanya ke atas dan menjawab, “Dia memang tidak menggeluti dunia yang sama dengan kakaknya. Aku juga hanya melihatnya sesekali. Dia mengelola pabrik dan perkebunan anggur. Mereka mengambil jalan yang berbeda.”“Itu mengingatkanku pada sebuah lelucon tentang iblis dan malaikat yang pernah kudengar sewaktu kecil,” kekeh pria yang sedang memegangi sebotol bir di tangan kirinya itu. “Dia lebih terlihat seperti pengecut yang selal

  • Beauty and The Mafia   55. Ledakan Gairah

    “Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni

  • Beauty and The Mafia   54. Mengundang Bencana

    “Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status