Share

3. Antara Belenggu dan Hasrat

“Kembaliannya, Nona Alighieri.”

“Terima kasih, Nyonya Moretti.”

Rosetta menyunggingkan senyumnya sesaat sebelum menerima beberapa lembar pecahan euro dari si kasir dan memasukkannya ke dalam dompet. Dia beranjak ke samping—membiarkan pengunjung selanjutnya maju, lantas bergegas melangkah keluar. Wanita itu menenteng tiga kantong belanjaan yang berisi stok bahan makanan untuk dua minggu berikutnya. 

Senandung lagu lawas pun mengalun dari mulut Rosetta di perjalanan pulang. Dia mendendangkan nyanyian salah satu grup musik favoritnya dan mengambil rute melalui jalan pintas. Sesuatu yang biasa wanita itu lakukan untuk membunuh rasa takut di antara minimnya pencahayaan pada gang sempit yang akan dia lalui.

Rosetta melenggang tanpa memedulikan suasana yang kian lama kian redup di sekitarnya. Situasi temaram itu menyambutnya di tengah-tengah lorong dan membuat Rosetta berhenti sejenak untuk mendongakkan kepala—menatap langit, kemudian menyadari sore sudah hadir. Sapuan warna oranye lembut yang mencair di ujung horizon seketika turun menggerus hatinya. 

“Mengapa waktu cepat sekali berlalu?” bisik Rosetta sambil menyoroti gradasi yang familier di atas sana.

Sebelum Rosetta mampu meneruskan perjalanan lagi, sesuatu dari arah berlawanan datang mengepungnya. Gerombolan para pria dengan model pakaian yang sama—jas serba hitam dan topi fedora, lengkap bersama cerutu yang menyala pada dua dari lima sosok. Mereka berdiri rapat menghalangi akses untuk lewat.

“Si-siapa kalian?” desis Rosetta yang tanpa sengaja menjatuhkan benda yang sedang dijinjingnya.

Semua barang itu sontak terhambur keluar—tercecer di antara tanah lembap sisa hujan tadi malam, sebagiannya bahkan ikut terinjak oleh Rosetta yang bermaksud mundur memperlebar jarak. Kedua lututnya mendadak gemetar, sementara degup jantung wanita itu memburu. Dia berbalik—berniat untuk lari, tetapi terlambat. 

Dua orang lainnya sudah muncul di belakang Rosetta. Mereka menutup seluruh celah agar dia terkurung tanpa kesempatan sedikit pun untuk lolos dari perangkap. Sukses membawa ‘buruan’ itu ke hadapan Marco atau kehilangan satu-dua jari sebab gagal menyelesaikan misi menjadi konsekuensi yang mustahil boleh ditawar. 

“Ringkus dia!” seru salah satu dari mereka.

Sejumlah pria asing itu langsung merangsek maju—menangkap Rosetta yang meronta-ronta dengan kuat, demi kebebasan. Perlawanannya terhenti dua menit kemudian sesaat setelah seseorang memukul tengkuknya dan membuat Rosetta jatuh pingsan. Dia diboyong ke  suatu tempat yang jauh dari kawasan pusat kota.

Rosetta mulai sadar selepas hari berganti menjadi larut dan bulan tergelincir penuh di balik bukit yang menjorok ke selatan. Sekujur tubuhnya terasa kaku. Sepasang pergelangan tangannya dikekang oleh seutas tali yang otomatis membatasi ruang gerak wanita itu untuk bangkit.

Pandangan Rosetta pun ditutup dengan sehelai kain yang terpasang di matanya. Dia menoleh ke samping—mencoba menajamkan indra pendengaran, beradaptasi pada kebutaan sementaranya. Terpenjara dalam ketidakberdayaan yang membelenggu cukup lama hingga bunyi decit itu muncul melalui sisi kiri.

Nada yang hanya dapat dihasilkan dari gesekan antara lantai dan tumit sepatu. Derap langkah tersebut mendekat pada Rosetta yang menjengit—bertanya-tanya dalam ketidakpastian, siapa orang yang tega menculik dan menyekapnya? Pikiran buruk menghantui wanita itu dengan segera.

‘Apa aku akan dibunuh?’ batin Rosetta. Habislah, sesalnya. Dia akan kehilangan kesempatan untuk bernapas dan berakhir tragis di tangan orang asing—mengutuki nasib pun tiada gunanya lagi, kecuali pada takdir yang memang selalu ingin melihat dirinya celaka.

“Si-siapa itu? Siapa kau?”

Gerakan kaki yang semula mengentak kaku itu serta-merta terhenti dan menciptakan kesunyian panjang yang mengerikan. Rosetta membeku di posisinya—gagal menelan habis segenap kecemasan yang menggantungi punggungnya, dia lagi-lagi menggigil. Tremor itu berpindah ke sekujur tubuhnya yang mengejang oleh rasa gugup.

“Mengapa kau menangkapku? Apa salahku?”

Tawa hambar itu spontan berderai di udara. Suara maskulin. Berat dan dalam—lambang dari mimpi buruk, fenomena yang selalu Rosetta alami dalam tidurnya. Apa sesuatu itu mampu menjelma sebagai sosok yang nyata di depannya sekarang?

“Me-mengapa kau justru menertawakanku?”

Keheningan kembali membentang di antara mereka. Rosetta menjilat bibir—berjuang untuk menghalau seribu kegelisahan yang terbit memeluknya, diam-diam menyimpan harap agar dapat melarikan diri. Dia harus tetap tenang, bukan?

“Apa itu lelucon, Leah?”

“Leah?” ulang Rosetta yang keningnya seketika mengernyit bingung.

“Berhentilah berlagak bodoh dan kembalikan benda yang sudah kau curi!” bentak Marco yang kelewat jengkel pada sikap sok polos wanita itu.

“Mengapa kau menuduh—”

“Kubilang, berhentilah berpura-pura dan katakan di mana kau menyimpannya.”

“Teta—”

“Jika kau masih sayang dengan nyawamu, maka akan lebih bijak untuk mengembalikannya padaku sekarang.”

“Tung-tunggu, aku tidak pernah mengambil barang milik orang lain.”

“Benarkah? Jadi, kau lebih suka mengakuinya dengan caraku?”

Kepala Rosetta lagi-lagi terteleng ke samping. Dia berusaha untuk duduk dengan nyaman. Namun, kondisi itu membuatnya sulit bergerak dan hanya sanggup berbaring miring di sana. Menunggu Marco mendampratnya lagi.

“A-aku tidak mengerti maksudmu.”

“Cukup main-mainnya, Leah. Aku memberimu satu kesempatan terakhir. Kembalikan kalungku atau akan kubuat kau menyesal karena pernah berurusan dengan Marco Botticelli.”

“Mar-Marco Botticelli?” eja Rosetta yang masih terbata-bata.

Keluarga Botticelli.

Sang mafia.

Berdarah dingin.

Kejam.

Tanpa belas kasih.

Terkenal di seantero Puglia oleh reputasi kotornya. Spesialis kriminal dengan sindikat kejahatan terorganisasi dalam bisnis narkotika, penyeludupan senjata, penyuapan para politisi sampai perdagangan manusia ke negara-negara Timur Tengah. Tiada satu pun orang waras yang sudi mengenal pria seperti Marco.

Namun, di sana lah Rosetta berada sekarang. Terjebak dalam kesalahpahaman yang membuatnya terancam untuk dilenyapkan tanpa mampu melakukan pembelaan bagi dirinya. Apa dia juga harus menghitung sisa usianya sendiri atas keputusasaan yang menderanya?

“Demi Tuhan, aku tidak pernah mencuri—”

“Nyalimu cukup besar, eh? Kau berani menyangkalku.”

Tremor di punggung Rosetta sontak kembali—jauh lebih hebat dari sebelumnya, tanpa sanggup dikendalikan lagi. Dia mendadak kehilangan kontrol atas tubuhnya. Isak tangis wanita itu pun pecah dan membasahi kain yang membungkus alat penglihatannya.

“Aku bukan Leah. Aku juga bukan pencuri,” gumam Rosetta dengan artikulasi yang kurang tepat karena guncangan syok di dadanya.

“Aku benci penipu licik sepertimu!” hardik Marco yang kemudian menarik leher Rosetta ke atas agar mendongak selaras ke wajahnya.

Teriakan Rosetta refleks menggema dan membangkitkan emosi lain pada Marco yang masih mengunci tatapan dengan sorot mata kejinya. Dia menggertakkan gigi, lantas mengumpat dalam rasio desibel yang lebih tinggi. Berhasil menciptakan kekacauan lain di sepasang kaki jenjang wanita itu.

Rok pias milik Rosetta mendadak tersingkap naik seiring dengan gerakan acak yang dia buat untuk melepaskan diri dari cengkeraman Marco. Tanpa sadar mengundang hasrat liar sekaligus sumber bencana baru bagi dirinya sendiri. Sesuatu yang membuat Rosetta ingin menyumpahi pria laknat di hadapannya.

“Aku akan melelangmu ke Syria lusa, tetapi sebelum itu terwujud kau harus menjadi pelacurku sekali lagi.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status