Nasya berjalan dengan begitu lunglai menuju rumahnya, keringat sudah membasahi baju putih abu yang di pakai. Di depan sana Nasya dapat melihat sebuah mobil berwarna hitam terparkir indah di depan rumah.
"Mobil siapa itu? Apa salah satu pelanggan Ayah?" tanya Nasya lirih. Ia memasuki restoran yang tampak begitu sepi. Hanya ada sang Ayah dan juga pria dewasa yang sepertinya seumur dengan Ayahnya, dengan langkah ringan Nasya berjalan mendekati tangga menuju lantai dua.
"Apa sudah pulang sekolahnya?" tanya Carel membuat Nasya menghentikan langkah kakinya.
"Iya. Aku baru saja pulang Ayah," jawab wanita itu dengan pelan. Ia mengernyit ketika sang Ayah melambaikan tangan ke arahnya.
Carel memandang orang yang duduk didepannya, kemudian menyuruh Nasya untuk memberi salam, "Kenalkan dia sahabat Ayah sewaktu kecil dulu, namanya Dimas."
"Halo Paman, aku Nasya." Wanita mungil tersebut membungkukkan badan memberi salam pada sahabat Ayahnya. Pria dewasa itu tampak tersenyum dan mengusap rambut Nasya gemas.
"Gantilah pakaian mu, itu terlihat kotor," ujar Carel yang langsung saja di angguki oleh wanita manis itu. Dia berjalan pelan menaiki tangga, tangannya terulur membuka pintu kamar kemudian mata Nasya menangkap sosok sang Ibu yang terdiam sambil membelakangi.
Wanita pendek nan mungil tersebut berjalan mendekat dan memeluk tubuh sang Ibu erat.
"Ibu, Nasya sudah pulang!" ujarnya senang. Akan tetapi Keina tak bergeming membuat Nasya heran, ia melepaskan pelukan tadi kemudian berjalan untuk berdiri di hadapan Ibunya. Mata wanita itu membelalak kaget ketika melihat benda apa yang dipegangnya oleh Ibunya sejak tadi.
"I-ibu ...," lirih Nasya terputus-putus. Ia menatap mata sang Ibu yang tampak begitu sedih dan juga kecewa.
"Apa ini Nasya?" tanya Keina datar, ia memandang putri tunggalnya meminta untuk diberi penjelasan. Tangannya membuang testpack tersebut ke lantai, "Kenapa ada benda ini di atas meja belajar mu?!"
Tubuh Nasya langsung bergetar, rasa bersalah langsung menyelimuti hatinya. Tak lama kemudian air mata menetes dari kedua pelupuk matanya, "Ibu ... Maafkan Nasya, i-ini kesalahan Nasya Ibu ...."
"Ibu kecewa pada diri Ibu sendiri, tak bisa menjaga dirimu dengan baik," tukas Keina cepat sambil meluruhkan badannya kelantai, suara debuman keras terdengar begitu jelas. Bahkan Carel dan Dimas yang berada di lantai bawah langsung menatap heran.
"Ibu! Jangan bilang begitu, ini bukan salah Ibu!" teriak Nasya keras, ia akan saja memeluk tubuh sang Ibu akan tetapi terhenti ketika tangan Keina menahan pergerakannya.
"Diam di sana! Jangan mendekat!" Wanita paruh baya itu menundukkan kepala, ia tak tahu harus berbuat apa sekarang.
"Apa yang terjadi?" tanya Carel yang tiba-tiba datang bersama Dimas. Wajah keduanya tampak begitu khawatir, "Keina? Apa yang terjadi?"
Suara tangisan Nasya semakin menjadi-jadi, ketika Keina memungut testpack tadi kemudian memberikan benda itu pada suaminya, "Lihat saja."
"Apa maksudnya ini?" geram Carel menatap kedua wanita yang berada di depannya, "Jawab?!"
Nasya tersentak ketika mendengar bentakan sang Ayah, ia hanya menundukkan kepala. Tak berani menjawab.
"Tanyakan pada putrimu itu, aku ... Menemukan benda ini di atas meja belajarnya," jawab Keina membuat Carel langsung tak percaya.
"Apa itu benar Nasya? Kenapa bisa terjadi?" tanya Ayah Nasya yang tampak begitu kecewa, dari suaranya yang tadi begitu lantang sekarang menjadi lemah tak berdaya, "Katakan pada Ayah."
"Kejadian itu ... terjadi saat hari terakhir ... studi tour," jawab Nasya terputus-putus. Kemudian mengalirlah cerita Nasya yang bisa membuat ia seperti ini sekarang, perlahan tangan Carel mengepal begitu kuat mendengar penjelasan putrinya.
"Katakan padaku siapa laki-laki itu, dia harus bertanggung jawab!" tekan Carel sambil menatap dalam pada Nasya.
Putri tunggalnya itu menggelengkan kepala, "Aku ... sudah mengatakan itu padanya Ayah. Akan tetapi, ia tak ... mau bertanggung jawab."
"Siapa dia? Apa perlu kita menuntutnya?!" tanya Ayah Nasya begitu emosi, Dimas yang sedari tadi menyimak mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak akan hilang kendali.
Nasya menundukkan kepala, "Namanya ... Galen Pradipta." Wanita mungil itu menangis ketika harus menyebut nama lelaki itu kembali.
"A-apa?" Dimas menurunkan tangannya ketika mendengar sebuah nama yang begitu ia kenal. Rasa marah langsung memuncak di kepala pria dewasa itu.
****
Dimas memasuki rumahnya dengan tergesa, wajahnya memerah karena amarah yang ia tahan sejak tadi. Matanya menatap pada sang istri yang duduk di atas sofa.
"Apa kau sudah pulang?" tanya Stelle, akan tetapi Dimas mengabaikan pertanyaan istrinya itu, ia menaiki tangga dengan cepat.
"Dimas, apa yang terjadi?" tanya Stelle mengikuti langkah kaki suaminya menuju lantai atas, atau lebih tepatnya ke kamar Galen. Di dalam sana tampak Galen yang sedang sibuk bermain play station, Dimas menarik kerah baju Galen kemudian memberikan bogeman mentah.
"Apa yang kamu lakukan Dimas?!" pekik Ibu Galen tak percaya, ia langsung saja mendekati putranya yang tersungkur akibat pukulan telak sang Ayah.
Galen memegangi bibinya yang sedikit terluka, "Ada apa ini? Kenapa Ayah memukulku tiba-tiba?"
"Kau harus bertanggungjawab dengan apa yang sudah kau perbuat Galen!" teriak Dimas keras. Ia kembali menarik Galen agar berdiri tegak, "Jangan menjadi orang brengsek."
"Apa maksudnya?" tanya Galen masih tidak mengerti, begitupun dengan Stelle yang bersiap-siap menghalangi jika Dimas kembali memukul wajah Galen.
"Kau menghamili seorang gadis bukan? Dan aku ingin kau bertanggungjawab!" ujar Dimas membuat Stelle dan Galen begitu terkejut, wanita paruh baya itu langsung saja membalikkan badan putranya.
"Apa itu benar?" tanya Stelle meminta penjelasan dari Galen, lelaki itu menggelengkan kepalanya keras. Entah kenapa tubuhnya bergetar begitu hebat.
"Aku tidak menghamili siapapun Ayah! Jangan mengada-ada," jawab Galen mencoba santai dengan perkataan Ayahnya tadi.
"Kau berbohong! Aku tahu semuanya Galen. Gadis itu yang mengatakan nya tadi, Kau tahu? Bahwa gadis yang kau hamili itu adalah putri sahabat Ayah, Carel. Kau membuat ayah malu Galen!" teriak Dimas lantang. Lagi-lagi Stelle terkejut dengan semuanya.
Dimas kembali membalikkan tubuh Galen, "Katakan yang sebenarnya sekarang Galen, kau tidak bisa mengelak lagi."
Lelaki tersebut tampak menelan ludahnya kasar, ia menundukkan kepala tak berani melihat wajah kedua orangtuanya.
"Cepat katakan! Semua perkataan Ayah tadi benar bukan?!" tanya Dimas lagi, ia begitu menahan emosinya agar tidak memukul Galen hingga babak belur.
"Iya. Aku melakukannya, tapi ... Saat itu aku sedang mabuk Ayah, jadi jangan salahkan aku," ucap Galen membela diri.
"Walaupun dalam keadaan mabuk, kau tahu bukan kalau kalian sudah melakukan kesalahan? Dan bahkan sekarang gadis itu sudah hamil anakmu! Dia juga mengatakan pada Ayah bahwa ia sudah mengatakan itu padamu. Tapi, kenapa kau tak mau bertanggungjawab, ha?" tanya Dimas panjang lebar.
Wajah Galen berpaling ke samping ketika tangan Stelle menempel indah di pipinya, "Kau membuat Ibu kecewa Galen!" Kemudian wanita paruh baya itu pergi meninggalkan sang suami untuk menyelesaikan semuanya.
"Sekarang hanya ada satu pilihan untukmu, bertanggungjawab dan nikahi gadis itu," ucap Dimas yang langsung saja membuat Galen membulatkan mata.
Dia menggelengkan kepala, "Tidak! Aku masih sekolah Ayah. Bagaimana mungkin aku menikahinya, itu sama saja kau menghancurkan masa depanku Ayah!"
"Dan apa kau tahu, bahwa masa depan gadis itu juga hancur karena dirimu?! Jangan menjadi brengsek begini Galen!" geram Dimas tak tahan lagi, ia mencoba menahan emosi yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, "Nikahi dia dan jalankan tanggung jawabmu."
Setelah mengatakan hal tersebut Dimas langsung keluar dari kamar Galen, meninggalkan lelaki itu yang masih berdiri menatap pintu kamar yang tertutup.
"Sialan kau Nasya!" umpat Galen menendang stick play station yang sedari tadi ia mainkan, hingga stick tersebut hancur mengenai tembok kamar.
Pagi ini Nasya terlambat datang ke sekolah, karena tadi malam dirinya tak bisa tidur. Dan sekarang dia harus menjalankan hukuman yang diberikan oleh Pak Kusuma sebagai guru piket yang bertanggung jawab, dia memberikan hukuman yaitu membersihkan lapangan olahraga.Matanya menangkap teman sekelasnya sedang pemanasan yang dipimpin oleh ketua Abian. Beberapa anak perempuan menertawakan Nasya yang sibuk memungut sampah, "Hei! Lihat di sana. Ada anak beasiswa yang terlambat!"Gelak tawa berderai keras, Nasya menulikan telinga dengan apa yang mereka katakan. Wanita tersebut tetap menjalankan hukumannya."Mungkin dia kelelahan setelah melayani pelanggan semalam," ucap Rihanna membuat yang lainnya tertawa, Ratu yang mendengar hal itu menjadi geram. Gadis itu baru saja akan meremas mulut Rihanna, akan tetapi terhenti ketika guru olahraga datang bersama beberapa siswa laki-laki."Baiklah, pagi ini kita semua akan m
Keputusan telah dibuat, Nasya dan juga Galen sudah rersmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing ketika para tamu yang berasal dari kenalan Ayah dan Ibu Galen berpamitan pergi.Pernikahan mereka tidak dibuka secara publik, mengingat bahwa keduanya masih sekolah. Dimas dan Carlos sudah memperhitungkan itu matang-matang, jadi hanya orang-orang terdekat saja yang menghadiri pernikahan mereka.Nasya berdiri ketika Stelle dan Keina melambaikan tangan agar ia segera mendekat pada mereka. Wanita hamil itu tampak menampilkan wajah sendu, Keina membawa tubuh putrinya ke dalam kamar dan memeluk Nasya erat."Jaga dirimu Nak, Ibu tidak akan berada di dekatmu lagi. Kamu ingat bukan kalau sekarang dirimu sudah menikah," ujar Keina menatap kedua bola mata Nasya yang berkaca-ksca, "Tapi jangan khawatir, Kapan-kapan Ibu akan datang bersama Ayah."Nasya mengangguk paham, ia kembali memeluk tu
Nasya merapatkan selimut yang ia pakai, ketika di rasa angin segar menusuk kulitnya. Akan tetapi ia tersadar bahwa semalam dirinya tidur di sofa dan tak memakai selimut.Manik matanya terbuka lebar, ia langsung duduk dan berlari ke kamar mandi ketika perutnya begitu bergejolak. Tubuhnya terasa lemas, akan tetapi ada tangan kekar yang menopang tubuh Nasya."Galen?" tanya wanita itu lirih, ia dapat mencium aroma maskulin dari tubuh Galen dan itu membuat dirinya tenang.Lelaki itu kembali membawa tubuh istrinya ke atas ranjang, memberikan selimut dan juga minyak angin yang tersimpan di dalam laci lemari kecil di samping ranjang, "Pakai.""Terima kasih," ucap Nasya mengambil benda itu dari tangan suaminya, ia mencium aroma minyak kayu putih dan menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Tak ada lagi pembicaraan dari mereka, Galen yang duduk di tepi ranjang hanya diam."Hm ... Apa kamu yan
Nasya menerima pakaian kotor miliknya yang diulurkan oleh pemuda di depannya, wanita itu menganggukkan kepala dan tersenyum, "Terima kasih Reyhan."Ya, memang Reyhan yang tadi datang membantu Nasya. Karena merasa khawatir wanita itu tak kunjung kembali, padahal bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, dan juga Reyhan sempat mendengar pembicaraan Rihanna bersama kedua temannya. Bergegas saja Reyhan menyusul Nasya.Pintu UKS dibuka dengan kasar, membuat keduanya menoleh. Di sana Ratu datang dengan wajah yang begitu khawatir, "Apa kau baik-baik saja?"Dia berlari mendekati Nasya, memeriksa tubuh sahabatnya itu dengan teliti. Takut saja ada yang lecet, maka ia tak segan-segan memukul wajah Rihanna. Helaan napas lega keluar dari mulut Ratu."Untung saja kau tak apa Nasya. Aku baru saja membaca pesanmu, dan bergegas menuju toilet. Akan tetapi aku tak menemukanmu di sana, bergegas saja aku ke sini," ujar R
Nasya memuntahkan isi perutnya ke wastafel, tubuhnya terasa lemas sekarang. Setelah mencuci mulut dan wajah wanita itu kembali berjalan menuju ranjang, dan melihat sosok Galen masih tertidur tenang.Nasya menghirup aroma kayu putih yang ia simpan di bawah bantal, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Bibirnya bergetar hebat, belum lagi dengan rasa pusing yang mendera kepalanya.Dia tersentak ketika merasakan pergerakan dari kasur sebelahnya, yang menandakan bahwa Galen sudah bangun. Dengan perlahan Nasya melirik suaminya yang duduk di tepi ranjang, lelaki tampan tersebut mengacak-acak rambutnya kasar kemudian berjalan menuju kamar mandi.Tak lama kemudian Galen sudah siap dengan pakaian sekolahnya, lelaki itu menatap Nasya sebentar kemudian melenggang pergi."Aku harus pergi sekolah, jika tidak aku akan ketinggalan pelajaran." Nasya bangkit dari ranjang, berjalan sambil berpegangan pada dinding. Tubuhnya terasa b
Wanita berbadan dua itu membuka pintu rumah dengan pelan, matanya melihat sosok Galen yang sudah duduk di atas sofa ruang tengah dengan mata yang fokus pada laptop. Wajahnya terlihat begitu serius membuat Nasya merasakan debaran aneh, ia memegangi dadanya yang berdegup kencang."Sudah puas melihatku?" tanya Galen mengangkat kepala. Matanya terlihat begitu sayu, mungkin ia kelelahan."Maaf, aku tidak bermaksud." Wanita itu menundukkan kepala, ia membalikkan badan dan berniat pergi dari sana. Langkahnya terhenti ketika mengingat sesuatu, mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.Galen menatap istri mungilnya itu tajam, "Apa lagi? Tak bisakah kau pergi dan tidak mengangguk konsentrasi ku lagi?""Ba-baiklah, aku minta maaf." Nasya menaiki tangga dengan terburu-buru, mendengar ucapa Galen barusan membuat ia jatuh kembali. Padahal tadi dirinya begitu bahagia ketika tahu bahwa pemuda itu merangkul tubuhnya erat, b
Pagi ini semua siswa dihebohkan karena berita yang tertulis di mading sekolah, bahkan ada beberapa foto juga di sana sebagai bukti. Nasya baru saja datang dengan buku tebal di tangannya, wanita itu berniat akan mengembalikan buku tersebut ke perpustakaan sekolah.Ujian pertama akan di mulai beberapa menit lagi, akan tetapi ia merasa heran ketika melihat tatapan sinis yang ditujukan padanya."Ada apa dengan mereka?" tanya Nasya tak mengerti, langkah kakinya terhenti ketika melihat sudah banyak orang yang berdiri di depan kelasnya. Dengan rasa percaya diri Nasya berjalan pelan melewati mereka akan tetapi tubuhnya malah terdorong keras ketembok membuat ia meringis kesakitan."Masih bisa bersikap normal, padahal dirinya sedang viral. Benar-benar perempuan tak tahu malu sekali," ujar seorang gadis yang tampaknya adalah ketua dari mereka."Apa maksudmu?" tanya Nasya tidak mengerti. Ia memegang tangan san
Nasya terbangun dari tidurnya, ia menggeliat dan melihat ranjang di sebelahnya kosong, pikirannya langsung tertuju pada Galen. Setelah kejadian itu Nasya mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak berharap lagi pada Galen.Perutnya berbunyi meminta untuk di isi, bergegas saja Nasya berjalan keluar kamar. Dia memasuki ruang tengah yang langsung menuju dapur, matanya menatap kosong pada ruangan itu."Apa Galen tidak pulang?" tanya wanita tersebut di dalam hati, dengan cepat ia menggelengkan kepala mengusir pemikiran yang masih bersangkutan dengan Galen.Setelah selesai dengan sarapannya, Nasya memutuskan untuk segera pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, hitung-hitung menghemat biaya karena uang bulanan yang sempat di berikan oleh kedua orangtuanya hampir habis. Dia tidak mau meminta uang pada Galen Walaupun itu sudah tanggungjawab lelaki tersebut.Baginya akan lebih baik diberi oleh lelaki itu sendiri daripada haru