Tanpa kata. Juga dua tatapan yang berbeda. Adalah ketika Vander dan Louis berhadapan. Setelah sekian lamanya tak bertemu sapa, akhirnya keduanya dipertemukan juga dalam waktu yang tak terduga.
Berbeda dengan Louis. Air wajahnya kini tampak tenang. Tidak seperti awal yang terlihat agak emosional. Sosoknya berubah menjadi tak terbaca dengan sikap berdiam dirinya yang membuat Vander jengah.
"Maaf," ucap Louis lebih dulu sebelum Vander membuka mulutnya, "maaf untuk kejadian yang lalu."
"Percayalah, bukan maafmu yang ingin kudengar," kekeh Vander seraya memasukkan kedua tangannya ke saku jaket dan mengalihkan pandangannya pada gedung pencakar la
Kesal. Tidak ada yang lebih membuat Vander frustrasi dikala dirinya saat ini tengah terkurung. Di balik jeruji besi, dia harus merasakan dinginnya lantai penjara dan juga rasa hampa. Semua kesialan itu harus dirinya dapatkan lantaran sudah berbuar onar di sebuah fasilitas kesehatan, hingga membuat seorang terluka parah dalam insiden penyerangan itu.Apapun yang membuat dia kesal, tak lebih karena saat ini dirinya tak bisa menemui sosok perempuan yang selalu ada di pikirannya—Chloe. Gadis itu sukses membuatnya gila dengan pikiran semrawut. Membuatnya tak bisa memikirkan hal lain selain keadaan terakhir Chloe yang berhasil ia tangkap sebelum akhirnya gadis itu jatuh pingsan.Langkah cepat dari sebuah sepatu terdengar dan menggema di lantai dingin yang Vander duduki. Tak tahu sudah berapa lama ia harus meringkuk di dalam sel itu. Satu hal yang pasti, ia sedang menunggu informasi dari Billy
Sepanjang Daniel Green -sang pengacara- yang menangani kasus Vander berbicara, Vander kehilangan fokusnya. Tak sama sekali berada disana, pikirannya melanglang buana ke hutan belantara yang membuatnya semakin tersesat.Itu semua karena ucapan ayah Chloe sebelum pergi meninggalkannya.Jangan temui Chloe. Dia berhak bahagia dengan Louis. Disisinya ....Vander sungguh merasa otaknya berpikir sangat lambat hanya untuk memahami. Seolah pikirannya menolak sebuah kenyataan, seperti itu pula hatinya yang mencoba membela diri, tapi lagi-lagi logika seolah membuat alaram tanda penolakan.Jelas semuanya tidak sejalan. Beradu dalam penuh kecamuk yang hampir membuatnya hilang kewarasan.Vander sungguh tidak tahu dari mana dia akan memulai menyelesaikan semua kepingan puzzle i
Tidak terhitung sudah berapa kali Vander dibawa ke klinik penjara karena ketidak sadaran dirinya yang sering terjadi tiba-tiba. Membuat para sipir yang berjaga selalu panik dan membopongnya setiap waktu. Bahkan dokter Albert sendiri bosan menangani pasiennya yang satu itu— yang tetap bebal tak ingin makan juga minum, serta membuang obat yang telah diresepkannya. Vander sungguh ingin mati konyol sepertinya."Ha! Ini yang terakhir kau boleh kesini, anak muda," berang dokter Albert yang sedang dinas sendiri harus memasang infus di tangan Vander lagi, "kau menyebalkan dengan sikapmu itu. Bila ingin mati, katakan! Aku akan memotong urat nadimu sekarang juga.""Lakukan," jawab Vander yang akhirnya mengeluarkan suara setelah sekian lama. Tubuhnya sekarang di ikat dibagian sisi kanan dan kirinya agar tidak kembali berulah.Dokter Albert tampak kage
Baru kali ini Vander merasa dirinya sangat cemas juga tak sabar dengan pacu jantung tak menentu dalam satu waktu. Sudah lama rasanya dirinya tak menggebu seperti sekarang. Kali ini, sudah dipastikan bulir keringat sebesar jagung keluar dari pelipisnya. Apalagi laju kendaraan yang membawanya sangat kencang membelah kota. Tak menyangka bahwa pria paruh baya di sampingnyalah yang membawa salah satu mobil klasik tercepat di dunia itu.Dari kejauhan bisa dirinya lihat jembatan Brooklyn berdiri megah. Rasanya sudah lama dia tak menginjakkan kaki sekedar berdiri terpaku seperti yang biasa dilakukan. Bangunan kuno itu masih baik-baik saja tanpanya. Tidak sama sepertinya yang selalu kacau dari hari ke hari. Apakah dia bisa menjadi sekuat Brooklyn? Setegar Washington yang menembus batasnya?Melintasi jembatan panjang itu, kenangan Vander muncul akan Chloe yang dulu bersamanya di dalam mobil. Rasanya Va
Merangkak pelan di atas ranjang miliknya, Vander bersusah payah agar tak membangunkan Chloe yang sedang tertidur lelap.Demi Tuhan, Vander sangat merindukan sosok yang berada dalam dekapannya kini. Bahkan dia tak henti-henti menciumi wangi rambut dari kepala Chloe, jari jemarinya, semuanya. Vander sangat teramat merindukan gadis nakalnya yang biasanya sangat ceria.Mendengar kabar bila Chloe kembali tertekan karena ulahnya, dan juga sang ayah yang tak mengizinkannya keluar serta selalu di bawah dalam pengawasan, hati Vander pilu. Apalagi usaha Chloe yang kembali ingin menemuinya hingga nekat kabur dengan bantuan psikiaternya –dokter Elena– membuat Vander luluh dan merasa bersalah, karena tiada membandingi dengan usaha sang kekasih yang terlampau luar biasa."Lulu, maafkan aku untuk semuanya. Maafkan aku ...." Tangis Vander pecah dengan deka
Rasa tak nyaman tiba-tiba mengganggu tidur Vander. Seperti sesuatu yang basah dan lembap di ranjangnya kini. Seluruh tubuhnya merasa dingin dan agak risih. Sehingga dengan susah dia perlahan membuka kedua kelopak matanya. Mencoba menahan kantuk agar tak kembali terlelap. Hanya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.Gelap.Ya memang biasanya kamar miliknya selalu gelap saat tidur. Sepertinya masih larut malam. Lalu ingatan soal Chloe menyeruak di pikirannya. Tentang yang baru saja terjadi dan dia lakukan bersama gadis cantik itu. Semuanya."Chloe?"Vander meraba samping ranjangnya. Kosong. Hanya kelembapan yang dia rasakan di selimut putih tebal itu."Chloe?" Dengan suara parau khas bangun tidurnya Vander memanggil sekali lagi, tetapi tak ada yang menyahut. Sangat h
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat Vander akhirnya turun untuk mengecek mobil miliknya yang akan diperlombakan nanti di Las Vegas. Sudah lama dia tak menjamah mobil antik itu, dan keadaan kendaraan tersebut masih sama saat dia meninggalkannya. Hanya saja kaki-kakinya sudah berubah. Sepertinya Polo atau Robert sudah mengganti sesuai permintaannya. Dimana velg celong antik sudah terpasang bersamaan dengan roda.Soal para montir-montir berbakat itu, mereka semua telah pulang lebih awal. Termasuk ayahnya yang telah balik ke rumah. Meninggalkan Vander dan Chloe yang masih mengamankan diri disana berdua."Wow, ini bukankah .... " Chloe datang dari arah belakang Vander berjalan menuju kap mesin mobil. "Paul?"Mata Vander menyipit tatkala melihat kaos baju hitam kebesaran yang dkenakan Chloe. Itu miliknya."Ya," jawab Vander me
"Oh, sh*t!"Vander mengumpat kecil disaat motor yang dia kendarai akhirnya bergerak pelan dan kemudian berhenti bersamaan mobil lainnya yang terjebak macet di antara gedung-gedung Times Square.Seperti biasanya, Manhattan selalu seperti ini di jam-jam pulang kantor. Sangat mengesalkan.Vander melirik layar besar di sampingnya. Papan iklan itu menunjukkan waktu kini pukul delapan malam lewat. Memasuki akhir senja di New York. Tampak langit sudah mulai menggelap, tetapi ada yang berbeda sepertinya hari ini.Banyak orang yang melongokkan kepalanya menghadap ke depan— ke arah barat dimana matahari akan tenggelam.Vander mengikuti arah pandang orang-orang ke seberang jalan. Melihat ke arah matahari yang tampak segaris dengan jalan. Sangat indah.