Share

BAB 2

Author: Imelda Sahara
last update Last Updated: 2023-05-11 13:52:30

Setelah berlari cukup jauh dari rumah, aku pun segera melepaskan genggamanku dari tangan temanku, Iren.

Iren merupakan teman sekelasku. Dialah temanku yang mau menerimaku sebagai temannya tanpa melihat kejelekan dan kekuranganku.

Selain Iren, aku tidak mempunyai teman lagi. Karena kata teman-teman sekelasku yang lain, aku itu tidak selevel dengan mereka. Mereka berasal dari keluarga yang berada sedangkan aku hanya anak seorang petani yang tak mempunyai sebongkah harta.

Iren sebenarnya juga termasuk orang yang berada. Ayahnya saja seorang kepala desa di kampungku. Tapi aku salut sama Iren yang mau berteman denganku meskipun berbeda kasta.

Huftttt...

Iren menghela napas panjang. Dia sepertinya kelelahan setelah berlari cukup jauh. Setelah merasa tenang, Iren pun bertanya kepadaku.

"Nis... Btw, tadi kamu kok berjalan mengendap-endap gitu sih? Seperti seorang perampok saja," ujar Iren seraya tertawa.

Ternyata Iren memperhatikan gerak-gerikku saat mengintip Bibi tapi untungnya dia tidak tahu kalau aku sedang mengintip Bibi.

"Iya... Aku mau merampok Ren. Merampok uang ayahku yang sekarung itu lho," balasku sembari tertawa terbahak-bahak.

"Bercandalah... Apa pulalah yang mau dirampok di rumahku ren? Uang gak ada, barang-barang berharga gak ada, emas pun gak ada, hanya jiwa dan raga yang ada pada kami kok Ren," Imbuhku lagi seraya tertawa.

"Terus kenapa kamu berjalan mengendap-endap?" tanya Iren yang masih penasaran.

"Ohhhh... I-itu tadi aku lagi mastiin adikku udah tertidur apa belum? Makanya aku berjalan mengendap-endap supaya gak mengganggu," untungnya aku bisa berkilah.

"Jadi karena itu? Aku kira kenapa? Sampai berlari-lari segala... " ucap Iren.

"Iya Ren, karena itu kok. Jangan berpikir aku mau ngerampok lagi ya," jawabku seraya bercanda.

"Hehe... Gak."

Kami pun tertawa terbahak-bahak sembari terus berjalan menuju sekolah.

Di saat kami sedang asyik bercengkrama tiba-tiba saja Arini diam-diam datang menghampiri kami dari belakang. Sontak saja membuat aku dan Iren terkejut.

"Heh... " ucapnya sembari menepuk pundak kami dengan kedua tangannya.

"Astaga... Arini?" Aku dan Iren berteriak serentak seraya menoleh ke arahnya.

"Heheh... Maaf. Aku gak bermaksud mengagetkan kalian kok," pungkas Arini seraya tertawa kecil.

"Gak pa-pa... Lain kali jangan begitu lagi ya," ucapku.

"I-iya deh..."

Kini, Kami bertiga berjalan beriringan. Sepanjang perjalanan aku tidak menemukan suatu kejanggalan apapun, semua terlihat baik-baik saja. Bahkan kami saling bercerita antara satu dengan yang lainnya. Namun saat akan memasuki kelas tiba-tiba saja kaki Arini menendang kaki sebelah kananku. Entah apa alasannya? Hingga tubuhku terjatuh bahkan wajahku tersungkur ke lantai.

Semua orang menertawakanku. Tanpa kusadari air mataku pun jatuh berderaian.

"Ya ampun... Kalau jalan itu pakai mata bukan pakai dengkul," ucap Arini sembari tertawa terbahak-bahak.

"Mungkin dia belum makan, maklumlah kan orangtuanya hanya bekerja serabutan, darimana dia mendapatkan nasi?" sambung Ola, teman Arini.

"Hehe... " mereka tertawa terbahak-bahak tanpa memiliki rasa iba sedikitpun terhadapku.

Aku tak kuasa mendengar bualan mereka. Tapi percuma jika aku ikut bicara, karena mereka tidak akan mau mendengar apalagi menghiraukanku.

Akhirnya aku mencoba untuk berdiri dan Irenpun yang berdiri di sampingku dengan cekatan menolongku.

"Terima kasih, Ren," ucapku.

"Sama-sama Nis, ayok kita duduk," ajak Irene seraya memberi sehelai tisu kepadaku.

Tak berselang lama, bel masukpun terdengar. Aku mengikuti pelajaran dengan baik. Karena aku ingin sekali menjadi orang pintar dan menjadi kebanggaan orangtuaku, kalau bukan aku siapa lagi?

Walaupun banyak yang menghinaku tapi aku akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.

Kini, jam pulang sekolahpun telah tiba.

Aku berjalan sendirian melewati panas teriknya matahari. Irene tidak seiring denganku lagi. Ia sudah di jemput oleh Ayahnya menggunakan mobil mewah. Sempat ditawar oleh Iren untuk pulang bersamanya tapi aku menolaknya. Rasanya aku tidak pantas untuk naik mobil seorang pejabat.

Di depan rumah.

Setelah cukup jauh kuberjalan, kini akhirnya aku tiba jua di rumah.

"Assalamualaikum," ucapku sembari mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam..." jawab Bibi dan Ibu serentak.

Kulihat wajah Ibu. Ada kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya melihat kedatanganku.

Aku berjalan mendekati Ibu. Kucium keningnya.

"Ibu..." sapaku.

Ibu pun menyeringai senyum indah di bibirnya.

"Ibu sudah makan?" tanyaku.

"Sudah, tadi Bibi sudah memberikan Ibumu dan Adikmu makan," sambung Bibi yang sedang menimang Adikku.

"Ohh... Terima kasih Bi," ucapku.

Bibi hanya manggut-manggut.

Bibi bersiap-siap ingin pulang. Bibi setiap hari selalu datang berkunjung ke sini. Baik itu untuk melihat keadaan Ibu atau untuk menjaga Ibu ketika aku sedang sekolah.

Bibiku bernama Heri. Dia adalah Adik dari Ibuku. Dia juga sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan yang bernama Arini. Arini merupakan sepupuku. Namun meski begitu, Arini sepertinya tidak menyukaiku. Entah apa alasannya? Entah karena aku miskin, aku tak tahu. Kalau dibilang karena miskin, dia juga tak jauh berbeda denganku cuma dia bergaya bak orang kaya jadi orang mengira dia berasal dari keluarga yang berada. Padahal Ayahnya hanya bekerja sebagai seorang dukun di kampungku tapi dia mengaku-ngaku sebagai anak pengusaha yang kaya raya.

"Nis... Bibi pulang dulu ya, kamu jaga Ibu dan Adikmu ya," ujar Bibi.

Aku memanggut-manggutkan kepalaku.

"Oh iya Nis, nanti kalau Ayahmu sudah pulang, tolong bilang kalau Bibi meminta uang Bibi yang kemarin dipinjam oleh Ayahmu ya," pesan Bibi padaku.

"Baik Bi," jawabku sembari memanggut-manggutkan kepalaku.

Bibi melangkah menuju pintu, sebuah kotak yang masih menjadi tanda tanya di kepalaku masih nampak di jinjing oleh Bibi.

Akupun memberanikan diri untuk bertanya.

"Bi... Apa sih isi kotak itu Bi?" tanyaku tanpa berpikir panjang.

Langkah kaki Bibi seketika terhenti, Perlahan ia menoleh kembali ke arahku.

Belum sempat Bibi menjawabnya tiba-tiba saja Ibu menyahut dari tempat tidurnya.

"Itu isinya nasi buat Ibu nak, tapi sekarang kotaknya sudah kosong karena nasinya sudah habis Ibu makan," cetus Ibu tiba-tiba.

Bibi hanya terdiam sembari menatap sinis ke arahku.

"Oh... Terima kasih Bi, Maaf sudah merepotkan Bibi," ucapku merasa bersalah.

Bibi tidak berkata apa-apa. Dia berlalu pergi menjauh meninggalkan kami.

Hari sudah hampir senja namun ayah tak jua kunjung pulang. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan ayah. Takutnya ayah kenapa-kenapa di ladang atau di jalan.

Aku mulai resah. Aku berjalan menuju jendela. Satu persatu jendela telah ku tutup. Namun saat aku ingin menutup jendela terakhir, aku tidak sengaja melihat seorang laki-laki yang menggunakan hodie berwarna hitam sedang menggali tanah di bawah pohon pisang yang ada di dekat jendela.

Aku sangat penasaran dengan apa yang dilakukan orang tersebut namun aku tak ingin gegabah. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Dan setelah selesai menanam sesuatu ke dalam tanah tersebut, ia pun berlari seperti orang ketakutan.

Setelah melihat kepergian orang tersebut, aku pun menutup jendela dengan cepat. Dengan bergegas kulangkah kaki menuju pintu utama.

"Mau kemana?" terdengar suara ayah dari balik pintu saat aku membuka pintunya, aku dikejutkan oleh ayah yang tiba-tiba muncul.

"Mau ke-ke?" Aku menunjuk ke arah pohon pisang namun ayah melarangku.

"Udah... Hari sudah senja. Nanti kamu kenapa-kenapa. Ayuk kita masuk! Kasihan ibu sendirian." Ayah bergegas mengajakku masuk untuk ke dalam rumah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 23

    "Ayah?" lirihku pada ayah dengan suara gemetaran. "Siapa disana? Sebaiknya kalian keluar sekarang! Jangan sampai aku yang ke sana menghampiri kalian!" Ucap kakek tua itu dengan suara lantang. Sepertinya kakek itu tahu bahwa aku dan ayah yang sedang mengintip mereka. Mendengar ucapan yang keluar dari mulut kakek tersebut membuat kedua bola mataku dan juga ayah membulat sempurna. Kedua kakiku serta bibirku ikut gemetaran. "Ayah?" lirihku dengan rasa yang semakin cemas. "Yah, bagaimana ini? Aku gak mau kalau kita ditahan lagi olehnya," imbuhku meminta pendapat ayah. "Lebih baik kita pergi dari sini!" Ayah menarik tangan kananku dan hendak membawaku lari menjauh dari tempat itu. Namun saat ayah membalikkan badan tiba-tiba saja tubuh ayah kembali lemah hingga ayah tersungkur ke atas dedaunan yang berserakan. "Ayah?" pekikku. "Ayah bangun!" ucapku kembali sembari mengulik-ulik tubuh ayah yang lemas. Ayah tak kunjung jua terbangun. Suara langkah kaki semakin terdengar mendeka

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 22

    Seminggu sudah berlalu, namun ayah tak kunjung jua sadarkan diri. "Ayah bangun! Ayok pulang yah! Kasihan ibu sama Geri di rumah gak ada yang menemani," gumamku sembari memeluk tubuh ayah yang terbaring lemah di atas sebuah tikar yang lusuh milik kakek tua yang sudah membuat ayahku seperti ini. Setiap hari, aku selalu menunggu kabar ayah berharap agar ayah cepat sadarkan diri. Setiap menit aku raba denyut nadi ayah. Aku khawatir jika ayah kenapa-kenapa. Sebenarnya aku ingin sekali pulang untuk menemui ibu dan adik tapi aku tidak tega meninggalkan ayah sendirian di tengah hutan ini. "Bagaimana caranya aku bisa membawa ayah keluar dari hutan ini?" Aku berencana akan membawa ayah keluar dari hutan itu dengan cara apa pun karena aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibu dan Geri. kedua bola mataku merayap ke segala sudut ruangan. Dan aku melihat ada sebuah benda yang dihinggapi sarang laba-laba, ternyata sebuah gerobak bekas yang sudah tersandar di sudut gubuk tua itu. "Itu sepertinya sebu

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 21

    "Lepaskan anakku!" Lengkingan suara seorang laki-laki menggelegar meneriaki kakek tua genit itu. Di kala suasana makin mencekam dan perasaanku bercampur aduk tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang membuat kakek tua itu menghentikan aksinya. Suara itu tidak asing di telingaku. Suara seorang laki-laki yang biasa ku panggil dengan sebutan ayah. "Ayah?" Dengan tatapan penuh harap aku melihat cahaya dari sebuah senter sebagai penerangan oleh ayah. Cahaya itu bersinar dari balik pohon yang begitu rimbun. Sekali lagi ayah meneriaki kakek tua yang masih melingkarkan jari tangannya di pergelangan tanganku."Aku bilang lepaskan anakku!" Ayah benar-benar sudah geram pada kakek tua itu. "Kurang ajar! Siapa kau?" tanya kakek itu tanpa melepaskan pegangannya dari pergelangan tanganku. "Aku ayahnya Nisa. Sebaiknya kamu lepaskan anakku sekarang sebelum parang ini melayang ke arahmu," ancam ayah dengan mata merah sepertinya ayah benar-benar sedang marah pada kakek genit itu bahkan sepe

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 20

    Sudah lebih dari lima menit aku berlari-lari mengitari hutan yang dipenuhi semak belukar ini. Rasanya aku sudah berlari cukup jauh dari posisi kakek tua yang baru saja aku dorong itu. "Sepertinya kakek tua itu sudah tidak akan menemukan aku lagi," gumamku dengan wajah sedikit sumringah. "Tapi kenapa aku tidak menemukan jalan keluar?" batinku berkata dengan perasaan sedikit cemas. Aku belum melihat celah-celah cahaya yang akan mengantarkan aku keluar dari sunyinya hutan ini. Suara siulan burung hingga sahutan burung kadang masih terdengar di telinga. Bahkan sesekali suara rauangan binatang buaspun terdengar jelas olehku. Tentu saja hal itu membuat jantungku berdebar semakin kencang dan badanku pun seketika menggigil ketakukan. "Ya Tuhan... Suara apa itu?" Kedua bola mataku tertuju pada bayangan pohon yang nampak bergoyang di tengah hutan belantara itu.Dalam kesunyian dan ketakukan aku memutuskan untuk menghentikan langkah kakiku sejenak. Sesaat kemudian aku merasa ada hal yang jangg

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 19

    Di sepanjang jalan bulu roma ku merinding. Meskipun hari masih siang dan cahaya matahari masih menyingsing tapi rasa seram jalan yang ku lewati saat ini terasa. Sesekali kedua bola mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Untungnya aku hanya melihat pepohonan yang sedang melambai-lambaikan dedaunannya. Semakin jauh ke dalam hutan Bibi pun semakin mempercepat langkah kakinya. "Kenapa Bibi tergesa-gesa begitu?" gumamku sembari berlari agar tidak ketinggalan oleh Bibi. Dan setelah jauh berjalan menyusuri semak belukar tersebut, tiba-tiba Bibi mampir di sebuah gubuk yang terlihat reot di tengah hutan itu. "Kok Bibi singgah di gubuk itu sih?"Aku pun memperhatikan sekeliling dan tidak terlihat orang lain ataupun gubuk lainnya di sana. Aku terus memperhatikan gerak-gerik Bibi dari balik pohon yang memiliki batang cukup besar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gubuk reot itu. Kini Bibi berdiri di ambang pintu. Sebelum melangkah masuk, kedua bola mata Bibi nampak celangak-celinguk meliha

  • Bekal Santet Dari Bibiku    BAB 18

    Semakin lama aku mendengar cerita ibuk-ibuk itu semakin menakutkan saja dan suasana pun semakin menegangkan. Dan yang lebih mengejutkan dari cerita mereka itu aku mendengar kejadian seperti ini bukanlah kejadian yang pertama kali tapi kejadian yang ke sembilan puluh sembilan kalinya nya. Sontak saja bulu romaku merinding dan teringat dengan kejadian yang terjadi ditengah malam tadi. "Buk-Ibuk kalian benar-benar harus menjaga anak kalian dengan ketat karena bisa jadi anak kalian akan jadi korban selanjutnya. Aku bukan ingin menakut-nakuti kalian tapi aku pernah mendengar cerita dari orang-orang bahwa anak-anak yang meninggal itu berhubungan dengan tumbal yang dilakukan oleh seseorang demi menyempurnakan ilmu hitam yang sedang ia tuntut. Dan para pencari tumbal ini akan terus mencari anak kecil yang sehat dan bugar hingga mencapai seratus orang sesuai dengan target tumbal yang mereka inginkan," jelas seorang ibuk paruh baya yang cukup berperan di kampung tersebut. Seketika semua pasan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status