Share

BAB 5 Livia Milikku

Penulis: Mayasa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-29 19:31:59

Livia menguap lebar sambil merentangkan kedua tangannya, merasakan otot-ototnya yang kaku setelah tertidur di atas meja dingin. Ia mengucek matanya malas, lalu melirik ke sekeliling—kosong.

Ruang rapat yang sebelumnya penuh orang kini hanya berisi dirinya... dan pria paling berbahaya di Mercio.

“Apa sudah selesai rapatnya?” tanyanya sambil mengedip-ngedipkan mata, masih setengah sadar, seperti baru bangun dari tidur siang di perpustakaan umum.

Di seberang meja, Alessandro duduk tenang sambil membaca buku dengan sampul hitam berbahasa Italia. Cahaya lampu di atasnya menyorot rambut hitamnya yang tersisir rapi. Tanpa menoleh, ia menjawab pelan.

“Sudah.”

Livia mengangguk kecil, lalu mengusap sedikit air liur yang mengering di ujung bibirnya dengan punggung tangan. “Oh. Bagus.”

Alessandro menutup bukunya perlahan, lalu menatap Livia.

“Dua jam.”

“Hm?”

“Kau tidur selama dua jam.”

“Oh.” Livia mengedip. “Cepat juga.”

“Dan aku menunda seluruh rapat demi kau bisa menyelesaikan tidur siangmu,” lanjut Alessandro, suaranya tetap datar.

Livia membeku sejenak, lalu menatap pria itu lurus-lurus. “…Serius?”

“Apakah aku terlihat seperti orang yang suka bercanda?” tanyanya sambil menaikkan satu alis.

Livia menunduk sebentar, lalu mengangguk pelan. “…Kalau begitu, terima kasih atas jam istirahatnya. Pelayanannya luar biasa.”

Alessandro menatapnya lama. Diam.

Alessandro menatapnya lama. Tak berkedip.

Lalu tanpa peringatan, BAM!

Buku tebal yang tadi ia baca melayang dan membentur dinding ruang rapat dengan bunyi keras, membuat Livia—untuk pertama kalinya—tersentak kaget.

Franco yang berdiri di sudut ruangan langsung menegang, siap menerima perintah lanjutan.

Alessandro berdiri perlahan, tubuhnya tinggi dan bayangannya jatuh panjang ke meja rapat.

Suaranya dingin. Nyaris berbisik. Tapi mengandung ancaman yang lebih tajam dari pisau:

“Tulis ulang semua yang ada di buku itu.”

Jarinya menunjuk ke arah dinding tempat buku itu jatuh.

“Rapat akan dimulai lagi.”

Ia melangkah melewati Livia tanpa menoleh, lalu berhenti tepat di belakang kursinya.

“Dan kalau kau tertidur lagi,” suaranya nyaris tanpa emosi, “aku akan menggantungmu di ruangan ini, sampai kau benar-benar tahu apa artinya jadi budakku.”

Livia menahan napas. Tangan mungilnya mengepal di bawah meja.

Tapi melawan sekarang? Mustahil.

Dia tahu itu hanya akan mempercepat ajalnya.

Dengan ekspresi malas seolah baru saja diberi pekerjaan rumah oleh guru paling menyebalkan di sekolah, Livia mengangguk pelan. Ia berdiri dan mengambil tumpukan kertas kosong serta pena yang telah disiapkan di sisi mejanya, lalu mulai menyalin isi buku yang sebelumnya dilempar Alessandro.

Tulisan tangannya rapi. Teratur.

Penuh tekanan, tapi stabil.

Pintu ruang rapat terbuka kembali.

Satu per satu kepala divisi masuk dan mengambil tempat duduk masing-masing. Tak satu pun dari mereka berani bertanya kenapa rapat diulang. Semua sudah cukup cerdas untuk tidak menggali liang kubur mereka sendiri.

Franco berdiri di samping layar presentasi, melanjutkan laporan dengan tenang.

Namun, berbeda dari biasanya, fokus Alessandro tak lagi sepenuhnya pada pembahasan.

Tatapannya justru lebih sering beralih ke arah Livia—yang tengah menunduk, menyalin tulisan dengan gerakan konstan dan ritme yang mengganggu pikirannya.

Setiap helai rambut yang jatuh ke pipi Livia…

Setiap kali dia menghela napas karena tangannya pegal…

Setiap goresan pena yang meninggalkan jejak hitam di kertas putih…

Semua menarik perhatian Alessandro lebih dari grafik keuntungan perdagangan gelap atau laporan tentang distribusi mesiu.

“...dan untuk wilayah utara, kita akan butuh jalur laut baru sebelum musim dingin memblokir dermaga,” suara Franco terdengar di kejauhan.

“King?”

Salah satu kepala divisi memberanikan diri bertanya.

Pria itu akhirnya menoleh perlahan. “Ulangi dari awal.”

Kepala divisi itu langsung pucat. “T-tentu, King…”

Sementara yang lain mulai sadar:

Ruang rapat kali ini bukan lagi medan pembahasan logistik dan operasi.

Ini telah berubah menjadi panggung tak terlihat—antara sang raja… dan budaknya yang belum tunduk.

Livia terus menulis, seolah tak peduli.

Tapi satu detik… hanya satu detik, ia melirik ke samping dan menyadari sesuatu.

Alessandro mengamatinya.

Bukan dengan tatapan ancaman seperti sebelumnya.

Tapi dengan sorot mata yang lebih berbahaya:

Penasaran.

Dan saat rapat selesai, Livia juga sudah menyelesaikan salinannya. Tumpukan kertas di tangannya rapi, tintanya masih segar, tak ada satu pun yang kotor atau tercoret.

Franco yang tengah merapikan dokumen di ujung meja menoleh, sedikit terkejut.

“Kau bisa menulis secepat itu?”

Livia mengangguk, ekspresinya penuh kemenangan seperti anak sekolah yang baru saja mengerjakan ujian sulit tanpa mencontek.

“Hanya bahasa Perancis? Bahkan menyalin tulisan Arab pun aku bisa.” Ia menyelipkan rambut ke belakang telinganya. “Jangan remehkan si genius ini.”

Franco tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Namun ia terlihat cukup terkesan.

Tapi tidak begitu dengan Alessandro.

Pria itu berdiri perlahan dari kursinya, mengambil satu lembar salinan di tangan Livia, membaca sekilas.

Lalu tanpa ekspresi—dalam nada rendah dan tajam—dia berkata:

Laide et stupide.

Livia yang sedang meneguk air langsung menoleh cepat.

Dia mengenali kalimat itu.

“Jelek dan bodoh.”

Itu ucapan dalam bahasa Perancis.

Ruangan langsung sunyi kembali, seolah waktu berhenti hanya untuk memberi panggung pada kemarahan kecil yang perlahan membara.

Namun Livia hanya tersenyum.

Bibirnya melengkung pelan. Matanya menyipit, seperti sedang menimbang apakah akan menyerang balik… atau membiarkan.

Tapi tentu saja—dia tidak pernah membiarkan.

Et pourtant, je suis celle que tu ne peux pas arrêter de regarder.

Dan tetap saja, akulah yang tak bisa kau hentikan untuk terus kau tatap.

Alessandro menegang.

Franco nyaris tertawa, tapi langsung menunduk dalam-dalam menahan ekspresinya.

Livia melipat tangannya di dada, menyandarkan tubuh ke kursinya.

“Kalau mau menghinaku, cari bahasa yang belum kupelajari,” gumamnya sambil mengangkat alis.

Alessandro menatapnya… lama.

Tatapan itu bukan lagi penasaran. Tapi campuran frustrasi, kagum, dan keinginan untuk menghancurkan… sekaligus….. ah entahlah.

Dan itulah yang membuatnya berbahaya.

“Besok pagi. Kau ikut aku ke pelabuhan timur. Siapkan dirimu.”

Livia menatap Alessandro dengan malas, “Apa budak akan mendapatkan gaji? Oh ayolah, aku tak mungkin jadi budak sungguhan di jaman modern kan?”

Alessandro menaikkan alisnya, “Berapa yang kau butuhkan?”

“Apa? gajinya?” tanya Livia dengan semangat, dengan cepat dia berpikir. “Em… aku akan mengambil gajiku nanti. Tapi aku butuh satu hal.”

“Apa?”

“Jangan biarkan siapapun menyentuhku. Pokoknya sebagai tuanku, kau harus menjaga budakmu ini. Jangan sampai ada yang merebut budakmu ini dari tanganmu.” Ucap Livia dengan serius.

Alessandro menaikkan alisnya, seolah penasaran apa maksud dari wanita itu?

******

BRAK!!

Suara meja marmer yang ditendang bergema keras, memantul di dinding ruang kerja penuh ornamen emas itu.

“Aku tak mau tahu! Temukan LIVIASEKARANG!!!

Teriakan penuh amarah itu keluar dari tenggorokan Marco Sallambus, pria paruh baya dengan wajah penuh guratan keserakahan dan mata yang sudah terbiasa menilai wanita hanya sebagai aset.

Para anak buahnya berbaris rapi, namun tubuh mereka sedikit bergetar. Tak seorang pun berani menyela. Bahkan kepala keamanan pribadi Marco menunduk dalam-dalam.

Marco berjalan mondar-mandir, keringat di pelipisnya menetes meski ruangan diselimuti pendingin. Jas hitam mahalnya tampak kusut akibat amarah.

“Wanita itu bukan hanya tunangan,” desisnya, “dia adalah investasi. Aku sudah menghapus setengah hutang keluarganya demi memastikan dia jadi milikku. Dan sekarang—dia kabur?!

Salah satu bawahannya akhirnya bicara pelan, “Kami... menemukan jejak sepatu dan sobekan kain di dekat perbatasan De Luca, Tuan. Tapi—”

Tapi APA?!” raung Marco.

“Tapi... tidak ada yang berani masuk ke sana. Itu wilayah De Luca.”

Diam.

Wajah Marco mengeras.

Lalu ia tersenyum... pelan. Penuh racun.

“De Luca…” gumamnya. “Anak sialan itu lagi.”

Ia duduk perlahan, mengetukkan jemarinya ke meja. “Kalau benar dia yang menyembunyikan Livia, maka ini akan jadi lebih menyenangkan dari yang kuduga.”

Dia mengambil cerutunya dan menyalakannya perlahan, lalu menatap api kecil di ujungnya.

“Bersiap. Aku akan menemuinya sendiri.”

Para anak buahnya saling melirik panik.

“T-tuan, itu De Luca… maksud kami… hubungan bisnis anda dengannya bisa rusak—”

“Aku tidak peduli hubungan,” potong Marco. “Kau pikir aku sudah tua dan bodoh? Tidak. Aku hanya belum menunjukkan taringku.”

Ia berdiri kembali, matanya penuh amarah bercampur obsesi.

“Livia itu milikku. Tidak ada seorang pun—bahkan De Luca—yang bisa mengambil milik Marco Sallambus tanpa menyesal.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 41

    “Akhirnya kau bebas juga, Livia.” Ucap Freedy dengan senyum bahagia saat menemui Livia di apartemen kecilnya itu.Livia hanya mengangguk lalu menatap serius ke arah pria itu, “Kau tahu bagaimana keadaan Alessandro? Aku ingin melihat berita tapi hp ku sudah ku buang dan disini tak ada televisi.” tanya Livia yang terlihat khawatir.Hal itu membuat Freddy menaikkan alisnya, “Kau masih peduli dengan dia? Apa kau juga mulai menyukainya?” tanya dengan tak suka.Livia menggeleng, “Bagaimana pun dia tak pernah membuatku kesusahan.”Freddy yang mendengar itu terkekeh, “Dia orang yang kejam Livia, bukankah kau selalu bilang jika hidupmu terancam jika di dekatnya?”Freddy mendekat, menaruh sekantong belanjaan di meja kecil apartemen itu, lalu menatap Livia dengan sorot tajam. “Jangan bilang kau lupa siapa dia sebenarnya. Darah di tangannya sudah tak terhitung. Kau seharusnya bersyukur bisa keluar hidup-hidup dari rumah itu.”Livia menggenggam kedua tangannya di pangkuan, wajahnya menegang. “Aku

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 40

    “Bagaimana keadaan tuan Alessandro?” tanya Franco pada dokter itu dengan serius.Dokter itu menghela nafas, “Sudah stabil,tapi saya sarankan beliau tidak banyak bergerak lebih dulu.”Dokter menutup kotak medisnya dengan wajah tegang. “Racun itu masih bekerja pelan-pelan di dalam tubuhnya. Saya sudah memberikan penawar sementara, tapi kalau beliau memaksa diri lagi… bisa fatal.”Franco mengangguk tegas, lalu melirik ke arah Alessandro yang terbaring pucat di ranjang. Pria itu tampak tertidur, nafasnya berat namun teratur. Luka-lukanya sudah diperban, namun tubuhnya masih dipenuhi lebam dan darah kering.“Aku akan pastikan tidak ada seorang pun yang mengganggu beliau.” suara Franco rendah, penuh tekad. Ia lalu menoleh tajam pada para pengawal yang berjaga di luar kamar. “Dengar baik-baik. Siapa pun yang mencoba mendekat tanpa izinku—bunuh di tempat.”Semua pengawal menunduk dalam-dalam. “Baik, Tuan Franco.”Franco lalu kembali duduk di kursi samping ranjang. Pandangannya tak lepas dari

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 39

    “Ini kartu dari tuan Franco, kata beliau uang di dalamnya cukup untuk anda hidup nyaman selama sebulan. Pin-nya adalah ulang tahun anda.” Ucap pria itu dengan dopan.“Karena saya harus membantu di manor, maka saya akan pergi sekarang. Jaga diri anda baik-baik, nona Livia.” ucap pria itu lalu meninggalkan Livia di pinggir jalan jauh dari kawasan manor.Livia hanya menatap mobil jeep itu pergi menjauh dengan perasaan tak nyaman.“Apa dia akan baik-baik saja?” gumam Livia.Dia tahu apa efek racunnya, jika Alessandro terlalu memforsir tenaganya dia akan lumpuh.“Huh, sudahlah. Bukan urusanku, lebih baik aku segera mencari tempat tinggal untuk menjadi warga sipil biasa dan merubah penampilan.” gumam Livia yang kemudian berjalan mencari tempat tinggal dengan uang yang diberikan oleh Franco.Sedangkan di manor,Puing-puing bangunan hancur berserakan.Asap pekat membumbung tinggi, menutupi cahaya bulan di langit malam. Api masih menyala di beberapa sisi bangunan, sementara suara teriakan berc

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 38

    Seperti apa yang Livia katakan, dia setiap hari pagi dan malam selalu datang membawa tehnya dengan senyum yang cerah.Franco yang melihat Livia selalu datang di jam yang sama hanya diam saja dan terus melanjutkan tugasnya.Dengan ketukan khasnya dia mengetuk pintu besar itu sebelum masuk ke dalam ruang kerja Alessandro.“Apa kau masih sibuk?” tanyanya dengan suara yang manis.Alessandro yang tengah berdiri di balik meja kerjanya, menutup berkas yang baru saja ia baca. Tatapannya beralih ke arah pintu, menatap Livia yang melangkah masuk sambil membawa nampan berisi teh hangat. Senyum lembutnya nyaris membuat ruangan itu terasa berbeda, seakan semua ketegangan mencair hanya karena kehadirannya.“Untukmu,” ucap Livia pelan, meletakkan cangkir porselen di meja Alessandro. Uap hangat dari teh itu perlahan naik, memenuhi udara dengan aroma menenangkan.“Tehmu semakin harum, seperinya aku akan kecanduan dengan teh buatanmu,” ucap Alessandro dengan penuh arti.Namun Livia tak menangkapnya, di

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 37

    “T-tunggu… kau minum teh itu dulu. Aku membuatnya dengan tanganku. Kau ingin menunggu teh itu dingin?” ucap Livia mencegah pria itu berbuat jauh dan dia juga sudah meberikan sedikit racun di dalam cangkir teh itu.Alessandro berhenti tepat di samping telinga Livia. Senyumannya masih terpahat licik, namun tatapannya bergerak menuruni meja tempat cangkir teh terletak.“Oh?” gumamnya pelan, menatap wajah Livia yang berusaha terlihat tenang. “Kau membuat teh ini sendiri?”Livia mengangguk cepat, menahan degup jantungnya yang kencang. “Ya. Kau pikir aku hanya duduk diam seharian di kamar? Cobalah. Aku ingin tahu pendapatmu.”Alessandro menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi pikirannya. Lalu perlahan, ia meraih cangkir itu. Uap hangatnya naik, aroma teh melayang tipis di udara. Livia menahan napas—ia tahu racunnya tidak berbahaya dalam sekali tegukan, tapi jika Alessandro mulai mempercayainya dan meminumnya setiap hari, kekuatan pria itu pasti akan terkikis perlahan.Tanpa melepaskan

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 36

    Tak! Tak! Tak!Suara high hells menggema di lorong, dengan nampan berisi teh hangat Livia mulai berjalan di ruang kerja Alessandro yang tampak sangat suram itu.“Apa dia di dalam?” tanya ivia dengan tenang pada Franco yang berjaga di luar.Franco mengangguk, “lebih baik jangan menganggu. tuan sedang banyak kerjaan.” ucap pria itu dengan datar.Karena bagi Franco, Livia hanya pengganggu kecil yang bisa membuatnya lembur seharian karena tuan nya yang sekarang lebih suka bermain dengan wanita itu.Livia tersenyum, “Jangan sinis begitu. Aku hanya ingin menjadi dekat sehingga dia cepat bosan. Bukankah ini rencanamu juga biar aku bisa pergi?”Mendengar itu Franco tampak menimbang sesuatu, hingga akhirnya dia mengangguk dan membukakan pintu.Begitu pintu terbuka, aroma tembakau bercampur wangi kayu tua langsung menyergap hidung Livia. Ruangan itu temaram, hanya diterangi cahaya lampu meja yang memantul di atas tumpukan dokumen dan peta yang bertebaran.Alessandro duduk membelakangi pintu, ja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status