Livia menguap lebar sambil merentangkan kedua tangannya, merasakan otot-ototnya yang kaku setelah tertidur di atas meja dingin. Ia mengucek matanya malas, lalu melirik ke sekeliling—kosong.
Ruang rapat yang sebelumnya penuh orang kini hanya berisi dirinya... dan pria paling berbahaya di Mercio.
“Apa sudah selesai rapatnya?” tanyanya sambil mengedip-ngedipkan mata, masih setengah sadar, seperti baru bangun dari tidur siang di perpustakaan umum.
Di seberang meja, Alessandro duduk tenang sambil membaca buku dengan sampul hitam berbahasa Italia. Cahaya lampu di atasnya menyorot rambut hitamnya yang tersisir rapi. Tanpa menoleh, ia menjawab pelan.
“Sudah.”
Livia mengangguk kecil, lalu mengusap sedikit air liur yang mengering di ujung bibirnya dengan punggung tangan. “Oh. Bagus.”
Alessandro menutup bukunya perlahan, lalu menatap Livia.
“Dua jam.”
“Hm?” “Kau tidur selama dua jam.” “Oh.” Livia mengedip. “Cepat juga.”“Dan aku menunda seluruh rapat demi kau bisa menyelesaikan tidur siangmu,” lanjut Alessandro, suaranya tetap datar.
Livia membeku sejenak, lalu menatap pria itu lurus-lurus. “…Serius?”
“Apakah aku terlihat seperti orang yang suka bercanda?” tanyanya sambil menaikkan satu alis.
Livia menunduk sebentar, lalu mengangguk pelan. “…Kalau begitu, terima kasih atas jam istirahatnya. Pelayanannya luar biasa.”
Alessandro menatapnya lama. Diam.
Alessandro menatapnya lama. Tak berkedip.
Lalu tanpa peringatan, BAM!
Buku tebal yang tadi ia baca melayang dan membentur dinding ruang rapat dengan bunyi keras, membuat Livia—untuk pertama kalinya—tersentak kaget.Franco yang berdiri di sudut ruangan langsung menegang, siap menerima perintah lanjutan.
Alessandro berdiri perlahan, tubuhnya tinggi dan bayangannya jatuh panjang ke meja rapat.
Suaranya dingin. Nyaris berbisik. Tapi mengandung ancaman yang lebih tajam dari pisau:“Tulis ulang semua yang ada di buku itu.”
Jarinya menunjuk ke arah dinding tempat buku itu jatuh.“Rapat akan dimulai lagi.”
Ia melangkah melewati Livia tanpa menoleh, lalu berhenti tepat di belakang kursinya.“Dan kalau kau tertidur lagi,” suaranya nyaris tanpa emosi, “aku akan menggantungmu di ruangan ini, sampai kau benar-benar tahu apa artinya jadi budakku.”
Livia menahan napas. Tangan mungilnya mengepal di bawah meja.
Tapi melawan sekarang? Mustahil. Dia tahu itu hanya akan mempercepat ajalnya.Dengan ekspresi malas seolah baru saja diberi pekerjaan rumah oleh guru paling menyebalkan di sekolah, Livia mengangguk pelan. Ia berdiri dan mengambil tumpukan kertas kosong serta pena yang telah disiapkan di sisi mejanya, lalu mulai menyalin isi buku yang sebelumnya dilempar Alessandro.
Tulisan tangannya rapi. Teratur.
Penuh tekanan, tapi stabil.Pintu ruang rapat terbuka kembali.
Satu per satu kepala divisi masuk dan mengambil tempat duduk masing-masing. Tak satu pun dari mereka berani bertanya kenapa rapat diulang. Semua sudah cukup cerdas untuk tidak menggali liang kubur mereka sendiri.
Franco berdiri di samping layar presentasi, melanjutkan laporan dengan tenang.
Namun, berbeda dari biasanya, fokus Alessandro tak lagi sepenuhnya pada pembahasan.
Tatapannya justru lebih sering beralih ke arah Livia—yang tengah menunduk, menyalin tulisan dengan gerakan konstan dan ritme yang mengganggu pikirannya.Setiap helai rambut yang jatuh ke pipi Livia…
Setiap kali dia menghela napas karena tangannya pegal… Setiap goresan pena yang meninggalkan jejak hitam di kertas putih…Semua menarik perhatian Alessandro lebih dari grafik keuntungan perdagangan gelap atau laporan tentang distribusi mesiu.
“...dan untuk wilayah utara, kita akan butuh jalur laut baru sebelum musim dingin memblokir dermaga,” suara Franco terdengar di kejauhan.
“King?”
Salah satu kepala divisi memberanikan diri bertanya.Pria itu akhirnya menoleh perlahan. “Ulangi dari awal.”
Kepala divisi itu langsung pucat. “T-tentu, King…”
Sementara yang lain mulai sadar:
Ruang rapat kali ini bukan lagi medan pembahasan logistik dan operasi. Ini telah berubah menjadi panggung tak terlihat—antara sang raja… dan budaknya yang belum tunduk.Livia terus menulis, seolah tak peduli.
Tapi satu detik… hanya satu detik, ia melirik ke samping dan menyadari sesuatu.
Alessandro mengamatinya.
Bukan dengan tatapan ancaman seperti sebelumnya.
Tapi dengan sorot mata yang lebih berbahaya:
Penasaran.Dan saat rapat selesai, Livia juga sudah menyelesaikan salinannya. Tumpukan kertas di tangannya rapi, tintanya masih segar, tak ada satu pun yang kotor atau tercoret.
Franco yang tengah merapikan dokumen di ujung meja menoleh, sedikit terkejut.
“Kau bisa menulis secepat itu?”
Livia mengangguk, ekspresinya penuh kemenangan seperti anak sekolah yang baru saja mengerjakan ujian sulit tanpa mencontek.
“Hanya bahasa Perancis? Bahkan menyalin tulisan Arab pun aku bisa.” Ia menyelipkan rambut ke belakang telinganya. “Jangan remehkan si genius ini.”
Franco tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Namun ia terlihat cukup terkesan.
Tapi tidak begitu dengan Alessandro.Pria itu berdiri perlahan dari kursinya, mengambil satu lembar salinan di tangan Livia, membaca sekilas.
Lalu tanpa ekspresi—dalam nada rendah dan tajam—dia berkata:
“Laide et stupide.”
Livia yang sedang meneguk air langsung menoleh cepat.
Dia mengenali kalimat itu.“Jelek dan bodoh.”
Itu ucapan dalam bahasa Perancis.Ruangan langsung sunyi kembali, seolah waktu berhenti hanya untuk memberi panggung pada kemarahan kecil yang perlahan membara.
Namun Livia hanya tersenyum.
Bibirnya melengkung pelan. Matanya menyipit, seperti sedang menimbang apakah akan menyerang balik… atau membiarkan.
Tapi tentu saja—dia tidak pernah membiarkan.
“Et pourtant, je suis celle que tu ne peux pas arrêter de regarder.”
Dan tetap saja, akulah yang tak bisa kau hentikan untuk terus kau tatap.Alessandro menegang.
Franco nyaris tertawa, tapi langsung menunduk dalam-dalam menahan ekspresinya.Livia melipat tangannya di dada, menyandarkan tubuh ke kursinya.
“Kalau mau menghinaku, cari bahasa yang belum kupelajari,” gumamnya sambil mengangkat alis.Alessandro menatapnya… lama.
Tatapan itu bukan lagi penasaran. Tapi campuran frustrasi, kagum, dan keinginan untuk menghancurkan… sekaligus….. ah entahlah.Dan itulah yang membuatnya berbahaya.
“Besok pagi. Kau ikut aku ke pelabuhan timur. Siapkan dirimu.”
Livia menatap Alessandro dengan malas, “Apa budak akan mendapatkan gaji? Oh ayolah, aku tak mungkin jadi budak sungguhan di jaman modern kan?”
Alessandro menaikkan alisnya, “Berapa yang kau butuhkan?”
“Apa? gajinya?” tanya Livia dengan semangat, dengan cepat dia berpikir. “Em… aku akan mengambil gajiku nanti. Tapi aku butuh satu hal.”
“Apa?”
“Jangan biarkan siapapun menyentuhku. Pokoknya sebagai tuanku, kau harus menjaga budakmu ini. Jangan sampai ada yang merebut budakmu ini dari tanganmu.” Ucap Livia dengan serius.
Alessandro menaikkan alisnya, seolah penasaran apa maksud dari wanita itu?
******
BRAK!!
Suara meja marmer yang ditendang bergema keras, memantul di dinding ruang kerja penuh ornamen emas itu.“Aku tak mau tahu! Temukan LIVIA—SEKARANG!!!”
Teriakan penuh amarah itu keluar dari tenggorokan Marco Sallambus, pria paruh baya dengan wajah penuh guratan keserakahan dan mata yang sudah terbiasa menilai wanita hanya sebagai aset.Para anak buahnya berbaris rapi, namun tubuh mereka sedikit bergetar. Tak seorang pun berani menyela. Bahkan kepala keamanan pribadi Marco menunduk dalam-dalam.
Marco berjalan mondar-mandir, keringat di pelipisnya menetes meski ruangan diselimuti pendingin. Jas hitam mahalnya tampak kusut akibat amarah.
“Wanita itu bukan hanya tunangan,” desisnya, “dia adalah investasi. Aku sudah menghapus setengah hutang keluarganya demi memastikan dia jadi milikku. Dan sekarang—dia kabur?!”
Salah satu bawahannya akhirnya bicara pelan, “Kami... menemukan jejak sepatu dan sobekan kain di dekat perbatasan De Luca, Tuan. Tapi—”
“Tapi APA?!” raung Marco.
“Tapi... tidak ada yang berani masuk ke sana. Itu wilayah De Luca.”
Diam.
Wajah Marco mengeras.
Lalu ia tersenyum... pelan. Penuh racun.“De Luca…” gumamnya. “Anak sialan itu lagi.”
Ia duduk perlahan, mengetukkan jemarinya ke meja. “Kalau benar dia yang menyembunyikan Livia, maka ini akan jadi lebih menyenangkan dari yang kuduga.”
Dia mengambil cerutunya dan menyalakannya perlahan, lalu menatap api kecil di ujungnya.
“Bersiap. Aku akan menemuinya sendiri.”
Para anak buahnya saling melirik panik.
“T-tuan, itu De Luca… maksud kami… hubungan bisnis anda dengannya bisa rusak—”
“Aku tidak peduli hubungan,” potong Marco. “Kau pikir aku sudah tua dan bodoh? Tidak. Aku hanya belum menunjukkan taringku.”
Ia berdiri kembali, matanya penuh amarah bercampur obsesi.
“Livia itu milikku. Tidak ada seorang pun—bahkan De Luca—yang bisa mengambil milik Marco Sallambus tanpa menyesal.”
Ruang rapat dipenuhi dengan deretan direktur dan manajer yang menatap layar proyektor, membicarakan angka-angka dan strategi bisnis. Namun, Alessandro duduk di kursi utamanya dengan sikap santai, satu tangan menopang dagu, sementara tangan lainnya sibuk menggulir ponselnya di bawah meja.Sesekali dia mengetik cepat, lalu bibirnya melengkung membentuk senyum samar yang membuat beberapa orang di ruangan itu saling pandang, bingung apakah bos mereka sedang puas dengan hasil presentasi atau justru memikirkan sesuatu yang lain.“Ehm, Tuan Alessandro, apakah Anda setuju dengan usulan penggabungan ini?” salah satu direktur memberanikan diri bertanya, mencoba menarik perhatiannya.Alessandro mengangkat pandangan sekilas, matanya tajam tapi tidak sepenuhnya hadir di ruangan. “Lanjutkan saja sesuai rancangan awal.” Ucapnya datar, lalu kembali menunduk menatap layar ponsel, jemarinya menari menuliskan pesan.Dan di layar itu, sebuah percakapan singkat dengan Livia muncul:Alessandro: Kirim foto
“Nona, apa anda sudah merasa baik? Apa perlu saya panggilkan dokter lagi?” tanya Rere khawatir saat melihat bibir Livia masih membengkak ditambah sekarang sariawan.Livia hanya diam, meskipun dalam hati dia mengutuk Alessandro yang membuat bibirnya seperti ini bahkan karena gigitan pria itu kini berubah menjadi sariawan yang menyakitkan.Rere tampak panik menatap wajah Livia yang pucat, apalagi saat melihat Livia berusaha minum air saja tampak kesakitan.“Aduh… nona, ini pasti sakit sekali,” ujar Rere sambil menggigit bibirnya sendiri, ikut merasa nyeri membayangkannya. “Saya belikan obat kumur atau salep bibir ya? Atau lebih baik kita ke dokter saja? Kalau dibiarkan nanti tambah parah.”Livia menarik napas panjang, menutup matanya sebentar, lalu menjawab dengan suara pelan, menahan rasa perih, “Tidak usah. Aku tidak mau keluar rumah sekarang.”“Tapi nona—”“Aku bilang tidak usah, Rere.” Livia akhirnya menatap lurus ke arah asistennya, matanya masih menyimpan sisa amarah yang dia pend
“Aku ingin ke toilet,” ucap Livia lirih saat acara lelang masih berlangsung. Alessandro hanya mengangguk, matanya tetap terpaku pada panggung.Livia berjalan keluar dengan tenang melalui pintu belakang, langkahnya sedikit cepat, ingin segera menjauh dari hiruk pikuk ruangan itu. Koridor terasa lebih sepi, hanya suara sepatunya yang bergaung. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu kamar mandi, tiba-tiba sebuah tangan kasar membekap mulutnya dari belakang.Jantungnya sontak melonjak. Musuh? pikirnya panik. Ia berusaha meronta, namun tubuh di belakangnya menahan erat. Livia nekat menoleh sedikit, dan seketika matanya membesar.“Fred?” bisiknya, terkejut sekaligus lega.Freddy mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Aku khawatir… maaf, aku tak bisa melindungimu.” Suaranya rendah, nyaris tak terdengar. Matanya menyorot kekhawatiran yang tulus. “Kau baik-baik saja di sana?”Livia mengangguk, “Seperti yang kau lihat.”Freddy mengangguk dengan perasaan lega, “syukurlah. Oh iya..” Tiba-tib
“Selamat datang di acara lelang tahunan! Sungguh sebuah kehormatan bertemu dengan tuan dan nyonya dari berbagai generasi yang hadir malam ini,” suara pembawa acara menggema, mengalun hingga ke bilik-bilik VIP yang tertutup rapat.Di dalam salah satu bilik, Livia duduk anggun dengan gaun yang Alessandro siapkan. Tatapannya lurus, tenang, dan sedikit dingin, seolah kehadirannya hanyalah formalitas belaka. Sesekali ia melirik layar kecil di depannya yang menampilkan barang-barang yang akan dilelang, namun tanpa raut kagum berlebihan.Alessandro yang duduk di sampingnya menegakkan tubuh, terlihat begitu terbiasa dengan atmosfer seperti ini. Ia melirik Livia sekilas, seolah menimbang sesuatu, sementara Livia hanya meraih gelas sampanye di hadapannya dan menyesapnya ringan.“Tuan, ini daftar barang yang akan dilelang hari ini.” Ucap Franco dengan sopan sambil menyerahkan ipadnya.Alessandro menerima iPad itu dengan tatapan tenang, menelusuri daftar barang yang terpampang di layar.“Hmm… cuk
“Apa tidak ada yang lain selain sup kambing tiap hari?” Ucap Livia yang mulai jenuh karena selama ua hari ini dijejali sup dan bubur kambing yang membuatnya ingin mual sekarang.Rere hanya tersenyum tipis, “ini untuk pemulihan anda, tuan. Bahkan tuan dengan sendirinya memotong satu kambing besar untuk anda makan sendiri.”Livia mendengus, mendorong mangkuk pelan dengan wajah masam. “Kalau begitu sekalian saja aku berubah jadi kambing karena tiap hari dicekoki beginian.”Rere menahan tawa, tapi ujung bibirnya terangkat geli. “Kalau nona berubah jadi kambing, tuan Alessandro pasti akan tetap menyuruhku menyuapi. Bedanya… mungkin kali ini dengan rumput segar.”Livia mendelik, menatap Rere dengan tatapan tak percaya. “Kau berani sekali bercanda begitu di depanku.”“Kalau tidak bercanda, nona pasti sudah melempar mangkuk ini ke kepala saya,” jawab Rere dengan nada ringan, tetap tersenyum.Livia menghela napas panjang, menutup wajahnya dengan tangan. “Astaga, aku benar-benar muak. Sup ka
“Lepaskan aku!!! Apa kalian tak tahu siapa ku sampi kalian menculikku?!” Suara Victoria menggema di ruangan gelap dan lembab itu.Matanya di tutup dengan kain hitam, tangannya diikat kuat di kursi.Victoria berontak sekuat tenaga, kursi yang terbuat dari besi itu berderit keras setiap kali tubuhnya menggeliat. Nafasnya memburu, keringat mulai membasahi pelipisnya meski udara di ruangan itu dingin menusuk.Suara langkah sepatu bergaung pelan di lantai semen yang basah. Semakin lama semakin dekat. Victoria menelan ludahnya, tubuhnya menegang.“Siapa pun kalian, kalian sudah cari mati dengan melakukan ini padaku!” teriaknya lantang, meski suara sedikit bergetar karena ketakutan yang coba ia sembunyikan.Sebuah tawa rendah terdengar dari arah depan. Lalu, suara seorang pria menyahut dengan nada tenang namun mengerikan, “Justru karena kami tahu siapa kau… itulah kenapa kau ada di sini.”Kain penutup matanya perlahan ditarik, cahaya lampu redup membuatnya harus menyipitkan mata. Saat panda