“Kau pikir bisa kabur, sayang?” Seringaian dingin pria itu membekukan darah Livia. Bukan senyum kekasih—melainkan milik raja iblis yang siap menelan dunianya. Kabur dari perjodohan yang membelenggu, Livia justru jatuh ke tangan Alessandro De Luca—bos mafia kejam yang namanya saja bisa membuat para penjahat kelas kakap gemetar. Bukan perlindungan yang ia dapatkan, tapi kurungan tak terlihat yang jauh lebih mencekam dari perjodohan mana pun. Di balik jas mahal dan mata tajamnya, Alessandro menyimpan rahasia kelam yang mengancam hidup siapa pun yang mencoba melarikan diri. Kini, hidup dan kebebasan Livia bergantung pada satu hal: apakah pria itu akan melepaskannya... atau justru menjadikannya miliknya selamanya?
Lihat lebih banyak“Cari wanita itu! Tuan Marco bisa marah besar jika tahu pengantinnya kabur!”
Seruan keras dan suara langkah kaki yang menapak ke jalan berlumpur membuat suasana semakin tegang.
“Cepat cari jejaknya, sebelum hujannya makin deras dan kita kehilangan jejak wanita itu!”
Petir menggelegar di langit gelap. Hujan turun semakin deras, membasahi tanah yang mulai berubah menjadi lumpur licin. Di balik rerimbunan pohon, nafas Livia memburu. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin, takut, atau keduanya.
Gaun satin yang sebelumnya indah kini robek di beberapa bagian, basah dan berat menempel di kulitnya. Kakinya penuh luka karena berjalan tanpa alas kaki, namun ia tak berhenti. Tak bisa berhenti.
"Aku harus keluar dari sini," desisnya pelan, nyaris seperti doa.
Tiba-tiba, langkah kaki semakin dekat. Suara ranting patah membuatnya membeku. Ia menahan napas, merapatkan tubuh ke batang pohon besar. Degup jantungnya nyaris menenggelamkan suara hujan.
"Ke arah sini! Aku melihat sesuatu bergerak!"
Tidak! Livia bangkit dan berlari lagi. Napasnya putus-putus, pandangannya kabur oleh air hujan. Tapi ia tak peduli. Lebih baik mati basah di hutan daripada menjadi boneka di tangan pria tua yang menganggapnya hanya alat negosiasi.
Dia terus berlari sekuat mungkin menuju ke arah tembok raksasa yang entah mengapa dibangun di tengah hutan seperti ini.
Tapi karena tak memiliki waktu berpikir, Livia dengan nekat memanjat tembok itu dengan gerakan lincah.
Namun sialnya tembok itu dialiri arus listrik yang membuatnya tersengat listrik dan tersungkur ke dalam bagian tembok itu.
Samar-samar dia mendengar suara dari balik tembok itu di tengah kesadarannya yang menipis.
“Sial, wanita itu masuk ke area terlarang. Kita tak bisa berbuat apa-apa, sepertinya dia juga akan mati dalam waktu dekat.”
“Benar, kita lapor ke tuan Marco jika pengantinnya jatuh ke jurang agar pria tua itu tak mengamuk karena kita gagal menangkapnya.”
Tubuh Livia tergeletak lemah di atas tanah basah. Kulitnya memar, ujung jarinya kesemutan, dan kepalanya berdenyut hebat. Pandangannya berputar, dunia tampak seperti kabut samar yang menelan segalanya.
Namun, di tengah kegelapan itu…
Langkah kaki berat mendekat. Suara sepatu kulit yang menapak tanah basah. Pelan, pasti, dan penuh ancaman.
Seseorang berdiri di atasnya.
Bayangan tinggi menjulang dengan jas hitam panjang dan kemeja putih yang tetap rapi meski rintik hujan mulai menodainya. Tangan pria itu menyelip ke dalam saku celana dengan tenang, seperti pemilik dunia. Matanya tajam mengamati tubuh asing yang masuk ke wilayahnya tanpa izin.
"Dia masih hidup?" tanya pria itu dingin.
Seseorang di sampingnya menunduk memeriksa. “Masih, Tuan. Tapi kemungkinan kehilangan kesadaran karena sengatan.”
Pria itu membungkuk sedikit, jemarinya yang dingin menyentuh dagu Livia, mengangkat wajahnya perlahan.
Basah. Pucat. Tapi cantik. Mata yang tertutup itu tampak menyimpan lebih banyak perlawanan daripada kebodohan.
"Hm," desahnya ringan, seakan sedang menilai barang antik yang menarik.
“Buang?” tanya si bawahan lagi.
“Tidak.” Pria itu berdiri tegak, membalikkan tubuh. “Bawa dia. Jadikan dia bahan eksperimenku.”
Bawahan pria itu mengangguk, lalu membawa tubuh Livia bak karung di pundaknya.
****
“Shhhh…”
Desisan samar keluar dari bibir mungil itu. Suara lirih yang tercampur antara rasa sakit dan ketakutan.
Livia yang baru sadar setelah sehari terkapar akhirnya membuka matanya, tapi hanya mendapati satu hal—kegelapan. Bukan gelap malam yang lembut, melainkan kegelapan pekat dan menekan, seolah cahaya pun enggan menyentuh tempat ini.
Tangannya terangkat... atau mencoba terangkat. Tapi bunyi rantai segera menjawab pertanyaannya.
Klik.
Tangan dan kaki Livia terikat kuat pada tiang dingin di belakang tubuhnya. Bukan tali biasa, tapi rantai besi yang menggigit pergelangan tangan dan membuatnya sulit bergerak.
Tubuhnya ngilu, seolah tulangnya dipelintir dan dibiarkan membusuk selama berjam-jam.
“Apa aku… tertangkap?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.
Pikiran Livia panik. Dia berusaha mengingat—hutan… tembok… sengatan listrik… lalu gelap.
“Dimana ini?!” jeritnya, suaranya menggema, tapi tak dijawab siapa pun. Hanya ada keheningan. Dinginnya ruangan bawah tanah menyelimuti kulitnya, dan bau lembab campur logam membuat perutnya mual.
Namun kemudian...
Sret.
Sebuah suara kecil seperti gesekan logam. Livia menahan napas.
Tiba-tiba, dari kejauhan, seberkas cahaya muncul. Sebuah pintu terbuka perlahan, menyisakan cahaya keemasan dari baliknya. Sosok pria tinggi berdiri di ambang, seperti bayangan kematian itu sendiri.
Sepatu kulitnya berbunyi tak-tak-tak menapaki lantai batu.
Livia membeku.
Pria itu berhenti tepat di depannya, lalu membungkuk sedikit, memperhatikan wajahnya dari balik cahaya.
“Jadi ini… wanita yang nekat menyusup ke wilayah De Luca,” suaranya dalam, berat, dan tak bernada.
"Siapa yang mengirimmu?" tanyanya dingin.
Livia menatap ke arahnya, matanya menyipit karena cahaya yang menyilaukan. Tapi ia tak menjawab. Sebaliknya, ia meludah ke arah pria itu, mengenai sepatu mahalnya.
Pria itu tak tersentak. Dia justru menyeringai pelan.
“Lucu,” gumamnya. “Kau masih punya keberanian. Aku suka.”
Livia menggigit bibirnya. “Kalau kau ingin membunuhku, lakukan saja. Aku tidak takut.”
Alessandro De Luca tertawa kecil. Bukan tawa bahagia—tapi tawa seseorang yang terbiasa melihat orang memohon-mohon untuk hidup.
Dia langsung mencekik leher Livia dengan kuat, bahkan jika dia menambah sedikit kekuatannya saja, leher di tangannya itu bisa remuk total.
Alessandro menatap mata Livia yang mulai memerah, melihat betapa keras wanita itu menggigit bibirnya sendiri agar tak mengeluarkan suara. Bahkan ketika air mata mulai membasahi pipinya, tidak ada kata ampun yang keluar.
Tangannya masih mencengkram leher Livia, seolah ingin menguji… seberapa jauh nyali wanita ini bisa bertahan.
Alessandro mengerutkan alis, lalu mendadak melepaskan cekikannya begitu saja.
Brak!
Livia terhuyung ke depan, terbatuk keras dengan tubuh masih tergantung di rantai. Oksigen kembali ke paru-parunya, tapi nyeri di leher membuatnya sesak.
“FRANCO! Bawa wanita ini keatas.” Teriakan menggema itu membuat Livia yang masih terbatuk-batuk langsung melirik ke arah pria itu.
Saat pria itu pergi, pria lain masuk dan membebaskan Livia dari rantai besi itu.
“Sungguh malang nasib Anda, nona. Seharusnya Anda langsung mati saja tadi.” Ucap pria yang LIvia ketahui bernama Franco itu dengan datar.
Namun Livia benar-benar tak bisa mengerti.
Apa maksud pria itu menyuruhnya mati?
Livia menguap lebar sambil merentangkan kedua tangannya, merasakan otot-ototnya yang kaku setelah tertidur di atas meja dingin. Ia mengucek matanya malas, lalu melirik ke sekeliling—kosong.Ruang rapat yang sebelumnya penuh orang kini hanya berisi dirinya... dan pria paling berbahaya di Mercio.“Apa sudah selesai rapatnya?” tanyanya sambil mengedip-ngedipkan mata, masih setengah sadar, seperti baru bangun dari tidur siang di perpustakaan umum.Di seberang meja, Alessandro duduk tenang sambil membaca buku dengan sampul hitam berbahasa Italia. Cahaya lampu di atasnya menyorot rambut hitamnya yang tersisir rapi. Tanpa menoleh, ia menjawab pelan.“Sudah.”Livia mengangguk kecil, lalu mengusap sedikit air liur yang mengering di ujung bibirnya dengan punggung tangan. “Oh. Bagus.”Alessandro menutup bukunya perlahan, lalu menatap Livia.“Dua jam.” “Hm?” “Kau tidur selama dua jam.” “Oh.” Livia mengedip. “Cepat juga.”“Dan aku menunda seluruh rapat demi kau bisa menyelesaikan tidur siangmu,
“Hahaha…”Suara tawa Alessandro menggelegar, memantul di dinding ruang makan yang mewah namun dingin itu. Para pelayan tampak gelisah, Franco bahkan menoleh sedikit—jarang sekali sang Tuan tertawa seperti itu.Livia hanya tersenyum tenang. Dia memotong sandwich kecil di piringnya dan menyantapnya perlahan, seolah tak ada ancaman yang sedang duduk di sampingnya.“Benar-benar menarik…” ujar Alessandro sambil menatapnya dalam. “Kau wanita pertama yang tak takut mati.”Livia mengangkat bahu kecilnya. “Mati atau menjadi budakmu, apa bedanya? Bunuh saja aku biar tidak merasa terbebani.”Kata-kata itu menusuk seperti pisau.Dalam sekejap, tangan Alessandro terulur—keras, cepat, dan tepat. Ia mencekik leher Livia dengan kekuatan yang cukup untuk membuat tubuh wanita itu terhentak ke belakang, kursinya bergeser sedikit akibat dorongan.Semua orang yang melihatnya menahan napas. Franco bahkan tampak akan maju, tapi segera menghentikan dirinya. Ia tahu… tak ada yang bisa ikut campur saat pria it
“Selamat pagi, Nona muda…”Suara lembut namun serempak itu membangunkan Livia dari tidurnya.Matanya langsung terbelalak saat melihat sekitar tujuh pelayan wanita, berdiri rapi mengelilingi tempat tidurnya dengan senyum tipis di wajah masing-masing. Mereka mengenakan seragam hitam-putih bergaya klasik, rambut tersanggul rapi, dan setiap gerak-geriknya terlihat terlatih.Livia terduduk kaget. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari—ini bukan mimpi. Ini nyata. Dia masih di mansion De Luca.Tempat di mana setiap sudut terasa seperti panggung kematian berselimut kemewahan.“Maaf mengejutkan Anda, Nona,” ucap salah satu pelayan yang tampak paling senior sambil menunduk sopan. “Kami ditugaskan untuk melayani Anda mulai hari ini.”Livia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Tirai telah dibuka, cahaya matahari pagi menembus kaca jendela besar. Aroma bunga segar memenuhi udara. Meja riasnya sudah tertata, dan pakaian baru tergantung di dekat lemari besar.“Seolah-olah aku benar-benar t
Pakaian satin yang sudah lusuh tampak kontras dengan bangunan mewah ala Eropa klasik dengan lantai marmer yang dingin itu.Livia tampak menelan ludahnya, ingatannya langsung mengarah ke ucapan pria tadi yang mengatakan jika dia masuk ke wilayah De Luca.Tangannya yang kurus tampak mulai menggigil, akhirnya dia tahu kenapa Franco mengatakan jika dia lebih baik mati tadi.Langkah Franco terdengar berat saat menyeret Livia melewati lorong panjang berlapis karpet merah darah. Lukisan-lukisan klasik berbingkai emas menatapnya dengan dingin, seperti tahu bahwa tempat ini bukan untuk orang lemah.“Anda seharusnya tak pernah memanjat tembok itu,” gumam Franco tanpa menatapnya. “Tidak ada yang keluar hidup-hidup setelah masuk tanpa izin.”Livia menelan ludahnya. “Kenapa tidak membiarkanku mati saja di hutan?”Franco menoleh singkat, dan untuk pertama kalinya, ekspresinya sedikit melunak. “Karena Anda sudah dilihat oleh tuan. Dan jika dia sudah menatap sesuatu—itu artinya, Anda miliknya sekaran
“Cari wanita itu! Tuan Marco bisa marah besar jika tahu pengantinnya kabur!”Seruan keras dan suara langkah kaki yang menapak ke jalan berlumpur membuat suasana semakin tegang.“Cepat cari jejaknya, sebelum hujannya makin deras dan kita kehilangan jejak wanita itu!”Petir menggelegar di langit gelap. Hujan turun semakin deras, membasahi tanah yang mulai berubah menjadi lumpur licin. Di balik rerimbunan pohon, nafas Livia memburu. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin, takut, atau keduanya.Gaun satin yang sebelumnya indah kini robek di beberapa bagian, basah dan berat menempel di kulitnya. Kakinya penuh luka karena berjalan tanpa alas kaki, namun ia tak berhenti. Tak bisa berhenti."Aku harus keluar dari sini," desisnya pelan, nyaris seperti doa.Tiba-tiba, langkah kaki semakin dekat. Suara ranting patah membuatnya membeku. Ia menahan napas, merapatkan tubuh ke batang pohon besar. Degup jantungnya nyaris menenggelamkan suara hujan."Ke arah sini! Aku melihat sesuatu bergerak!"Tidak!
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen