Home / Romansa / Belenggu Cinta Mafia DLuca / Bab 4 Menarik Perhatian

Share

Bab 4 Menarik Perhatian

Author: Mayasa
last update Last Updated: 2025-06-29 19:28:49

“Hahaha…”

Suara tawa Alessandro menggelegar, memantul di dinding ruang makan yang mewah namun dingin itu. Para pelayan tampak gelisah, Franco bahkan menoleh sedikit—jarang sekali sang Tuan tertawa seperti itu.

Livia hanya tersenyum tenang. Dia memotong sandwich kecil di piringnya dan menyantapnya perlahan, seolah tak ada ancaman yang sedang duduk di sampingnya.

“Benar-benar menarik…” ujar Alessandro sambil menatapnya dalam. “Kau wanita pertama yang tak takut mati.”

Livia mengangkat bahu kecilnya. “Mati atau menjadi budakmu, apa bedanya? Bunuh saja aku biar tidak merasa terbebani.”

Kata-kata itu menusuk seperti pisau.

Dalam sekejap, tangan Alessandro terulur—keras, cepat, dan tepat. Ia mencekik leher Livia dengan kekuatan yang cukup untuk membuat tubuh wanita itu terhentak ke belakang, kursinya bergeser sedikit akibat dorongan.

Semua orang yang melihatnya menahan napas. Franco bahkan tampak akan maju, tapi segera menghentikan dirinya. Ia tahu… tak ada yang bisa ikut campur saat pria itu kehilangan kendali.

Namun yang paling mengejutkan bukanlah kemarahan Alessandro.

Tapi ketenangan Livia.

Dia tidak memberontak.

Tidak memohon.

Matanya tetap menatap mata Alessandro—dalam, tenang, dan menusuk.

Bibirnya bahkan melengkungkan senyum samar.

“Kau ingin melihat ketakutan, kan?” bisiknya pelan dengan suara nyaris tak terdengar, meski lehernya masih dicekik. “Sayangnya… aku sudah kehabisan itu sejak kau menangkapku.”

Tangan Alessandro mulai bergetar.

Bukan karena ragu. Tapi karena marah… dan penasaran. Tak ada satu orang pun selama ini yang berani menatapnya seperti itu. Bahkan mereka yang berani melawan biasanya menangis sebelum napas terakhir mereka.

Tapi Livia?

Wanita ini duduk di hadapannya, tercekik, dan tetap tersenyum.

Akhirnya, Alessandro melepaskan cekikannya dengan kasar. Livia terbatuk pelan, namun tetap menegakkan tubuhnya. Ia menyeka lehernya dengan serbet, lalu kembali menatap pria di hadapannya.

“Kau benar-benar menantang maut,” gumam Alessandro dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan.

Livia membalas dengan lirih, “Atau mungkin… aku hanya tak menganggapmu cukup mengerikan untuk membuatku tunduk.”

Senyum Alessandro kembali muncul, tapi kali ini… ada kegilaan di dalamnya.

“Kalau begitu,” bisiknya, “aku akan menunjukkan sisi yang belum pernah kau lihat dari dunia ini. Kau akan menyesal… karena tidak memilih mati sejak awal.”

Livia mengangkat alis tipisnya. “Buktikan.”

Dan di situlah Alessandro tahu—

Dia bukan sedang menjinakkan seekor kelinci.

Tapi sedang mencoba menundukkan api.

*******

“Selamat datang, King!”

Suara serempak dan menggema itu mengguncang lorong panjang yang menjulang megah, diapit pilar-pilar granit hitam dan dinding baja yang terukir simbol keluarga De Luca. Para pria berbadan kekar dengan setelan formal hitam segera berdiri tegak, memberi hormat kepada sosok yang berjalan perlahan di tengah lorong itu.

Alessandro De Luca melangkah tenang, auranya mendominasi seluruh ruangan bahkan sebelum suara sepatunya menyentuh lantai marmer hitam. Di belakangnya, Franco berjalan dengan langkah tegap, ekspresi wajah tetap datar seperti biasa.

Namun kali ini... ada yang berbeda.

Livia.

Dia melangkah mengikuti keduanya. Meski bukan berjalan paling depan, sorot matanya tenang dan langkahnya tegap—terlalu tenang untuk seseorang yang belum lama ini dicekik oleh pria yang sekarang berjalan di hadapannya. Gaun sederhana berwarna navy yang dikenakannya berkibar ringan saat ia melangkah, kontras dengan dinding dingin markas besar itu.

Beberapa mata anak buah Alessandro melirik Livia dengan pandangan bingung, tak percaya.

Siapa wanita itu?

Kenapa dia dibawa ke Mercio?

Kenapa dia bisa berjalan begitu dekat dengan sang King?

Tak ada yang berani bertanya.

Hanya Franco yang kadang menoleh sekilas, memastikan gadis itu tidak terpeleset, tidak ragu, tidak goyah. Tapi sejauh ini… Livia benar-benar tahu bagaimana cara menjaga posisi dirinya.

Saat mereka tiba di depan pintu baja besar berukir lambang singa bertanduk, dua penjaga langsung membukanya dari dalam.

“Semua kepala divisi sudah berkumpul di ruang utama, Tuan,” ucap salah satu penjaga.

Alessandro hanya mengangguk pelan.

Namun sebelum masuk, Alessandro berhenti sejenak di ambang pintu. Sorot matanya tajam saat menoleh ke belakang, tepat ke arah Livia.

“Kau akan duduk di sebelahku.”

Suaranya datar, nyaris seperti perintah kepada peliharaan.

Livia menatapnya sebentar—sejenak saja—lalu mengangguk pelan. Satu anggukan tenang, penuh kesadaran... dan kepatuhan yang dibuat-buat.

Tentu saja.

Bak anjing penurut.

Setidaknya, itu yang orang-orang ingin lihat.

Padahal di balik langkah anggunnya menuju ruang rapat, Livia tengah menyusun strategi. Ia tahu betul, menjadi “anjing penurut” untuk pria seperti Alessandro bukan bentuk kelemahan.

Tapi penyamaran.

Begitu masuk, suasana langsung berubah. Semua kepala divisi yang duduk di kursi panjang di kedua sisi ruangan langsung berdiri memberi penghormatan.

“Selamat datang, Tuan De Luca,” ucap mereka serempak.

Namun perhatian mereka langsung terpecah saat melihat Livia berjalan di belakangnya... lalu menarik kursi dan duduk di sebelah sang King—tanpa diperintah ulang.

Beberapa dari mereka saling melirik. Beberapa yang lain menatap Livia lekat-lekat, mencoba memahami siapa dia. Mata-mata curiga, sinis, dan bahkan geli bertebaran, tapi tak satu pun berani bersuara.

Karena tak seorang pun ingin leher mereka benar-benar dipatahkan hari itu.

Alessandro duduk, menyandarkan tubuh dengan tenang.

Franco mengambil tempat di sisi kanan ruangan, berdiri tegak seperti bayangan abadi.

Alessandro menyapu pandangan ke seluruh ruangan, lalu berkata dengan nada datar namun penuh dominasi, “Mulai sekarang, kalian akan lihat wanita ini dalam setiap rapat pentingku.”

Hening.

Namun Franco segera memecah keheningan, membuka map di tangannya dan memulai pembahasan dengan nada formal, “Untuk proyek distribusi senjata ke selatan, pengiriman terakhir berhasil lolos dari pantauan militer lokal. Namun ada laporan mengenai satu titik lemah di pelabuhan ketiga…”

Suara Franco terus menggema di ruangan luas itu. Kepala-kepala divisi mulai mencatat, beberapa menyela dengan analisis, grafik dibuka di layar besar di ujung ruangan.

Namun satu orang terlihat sama sekali tidak tertarik.

Livia.

Ia menyangga dagunya dengan satu tangan, duduk miring, matanya mulai mengantuk. Kelopak matanya turun pelan-pelan, dan bibirnya mengerucut kecil… seperti anak kecil yang sedang dipaksa mendengarkan ceramah keagamaan.

Sesekali kepalanya nyaris terjatuh ke depan karena tertidur.

Beberapa kepala divisi melirik penuh tanda tanya. Satu-dua terlihat menahan tawa geli, sisanya tampak risih—karena tak seorang pun pernah berani menunjukkan sikap seperti itu di hadapan Alessandro.

Namun Alessandro tidak langsung bicara. Ia hanya menatap Livia dari samping. Diam. Menunggu.

Livia, yang sejak tadi tampak bosan setengah mati, akhirnya benar-benar menyerah pada rasa kantuknya. Kepala mungilnya perlahan jatuh ke depan, lalu bersandar pada lengannya yang terlipat di meja.

Dan kemudian—dengkur kecil keluar dari mulutnya.

Lembut. Nyaris imut.

Tapi cukup untuk terdengar di ruangan yang penuh pria bertato dan berdarah dingin.

Franco segera bergerak, satu langkah maju hendak membangunkannya. Tapi gerakan tangannya terhenti begitu Alessandro mengangkat satu jarinya pelan—sinyal diam yang tak pernah diabaikan.

Lalu, dengan tenang seolah tak terjadi apa-apa, Alessandro melirik ke arah jam tangannya yang mahal.

“Rapat selesai,” ucapnya datar.

Semua kepala divisi membeku.

“Waktunya tidur siang,” lanjutnya pelan sambil merapikan jasnya. “Kita rapat lagi dua jam nanti… setelah budakku bangun.”

Diam.

Semua orang saling menatap. Ekspresi mereka antara apa-aku-tadi-salah-dengar?

Bahkan Franco, yang telah terbiasa dengan keeksentrikan sang bos, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sudah bertahun-tahun mereka menghadiri rapat—dan tak pernah ada yang diakhiri karena… seseorang tertidur.

Terlebih lagi, seseorang itu bukan siapa-siapa.

Tapi tak satu pun berani protes. Karena semua tahu:

Jika Alessandro sudah menetapkan sesuatu, maka itu hukum.

“Keluar,” ucap Alessandro sambil berdiri. “Dan tutup pintunya pelan. Aku tidak suka suara gaduh saat budakku tidur.”

Satu per satu para kepala divisi meninggalkan ruang rapat. Ada yang masih linglung, ada yang menghela napas panjang. Beberapa bahkan menatap Livia dengan campuran heran, iri, dan takut.

Livia sendiri masih tertidur pulas. Dengkurnya pelan. Wajahnya tenang, tanpa sadar bahwa seluruh markas mafia terbesar di Mercio… sedang berhenti bekerja hanya karena dirinya.

Dan Alessandro?

Dia duduk kembali. Menatap wanita itu diam-diam.

Sorot matanya tak bisa dibaca.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 35

    Ruang rapat dipenuhi dengan deretan direktur dan manajer yang menatap layar proyektor, membicarakan angka-angka dan strategi bisnis. Namun, Alessandro duduk di kursi utamanya dengan sikap santai, satu tangan menopang dagu, sementara tangan lainnya sibuk menggulir ponselnya di bawah meja.Sesekali dia mengetik cepat, lalu bibirnya melengkung membentuk senyum samar yang membuat beberapa orang di ruangan itu saling pandang, bingung apakah bos mereka sedang puas dengan hasil presentasi atau justru memikirkan sesuatu yang lain.“Ehm, Tuan Alessandro, apakah Anda setuju dengan usulan penggabungan ini?” salah satu direktur memberanikan diri bertanya, mencoba menarik perhatiannya.Alessandro mengangkat pandangan sekilas, matanya tajam tapi tidak sepenuhnya hadir di ruangan. “Lanjutkan saja sesuai rancangan awal.” Ucapnya datar, lalu kembali menunduk menatap layar ponsel, jemarinya menari menuliskan pesan.Dan di layar itu, sebuah percakapan singkat dengan Livia muncul:Alessandro: Kirim foto

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 34

    “Nona, apa anda sudah merasa baik? Apa perlu saya panggilkan dokter lagi?” tanya Rere khawatir saat melihat bibir Livia masih membengkak ditambah sekarang sariawan.Livia hanya diam, meskipun dalam hati dia mengutuk Alessandro yang membuat bibirnya seperti ini bahkan karena gigitan pria itu kini berubah menjadi sariawan yang menyakitkan.Rere tampak panik menatap wajah Livia yang pucat, apalagi saat melihat Livia berusaha minum air saja tampak kesakitan.“Aduh… nona, ini pasti sakit sekali,” ujar Rere sambil menggigit bibirnya sendiri, ikut merasa nyeri membayangkannya. “Saya belikan obat kumur atau salep bibir ya? Atau lebih baik kita ke dokter saja? Kalau dibiarkan nanti tambah parah.”Livia menarik napas panjang, menutup matanya sebentar, lalu menjawab dengan suara pelan, menahan rasa perih, “Tidak usah. Aku tidak mau keluar rumah sekarang.”“Tapi nona—”“Aku bilang tidak usah, Rere.” Livia akhirnya menatap lurus ke arah asistennya, matanya masih menyimpan sisa amarah yang dia pend

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 33

    “Aku ingin ke toilet,” ucap Livia lirih saat acara lelang masih berlangsung. Alessandro hanya mengangguk, matanya tetap terpaku pada panggung.Livia berjalan keluar dengan tenang melalui pintu belakang, langkahnya sedikit cepat, ingin segera menjauh dari hiruk pikuk ruangan itu. Koridor terasa lebih sepi, hanya suara sepatunya yang bergaung. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu kamar mandi, tiba-tiba sebuah tangan kasar membekap mulutnya dari belakang.Jantungnya sontak melonjak. Musuh? pikirnya panik. Ia berusaha meronta, namun tubuh di belakangnya menahan erat. Livia nekat menoleh sedikit, dan seketika matanya membesar.“Fred?” bisiknya, terkejut sekaligus lega.Freddy mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Aku khawatir… maaf, aku tak bisa melindungimu.” Suaranya rendah, nyaris tak terdengar. Matanya menyorot kekhawatiran yang tulus. “Kau baik-baik saja di sana?”Livia mengangguk, “Seperti yang kau lihat.”Freddy mengangguk dengan perasaan lega, “syukurlah. Oh iya..” Tiba-tib

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 32

    “Selamat datang di acara lelang tahunan! Sungguh sebuah kehormatan bertemu dengan tuan dan nyonya dari berbagai generasi yang hadir malam ini,” suara pembawa acara menggema, mengalun hingga ke bilik-bilik VIP yang tertutup rapat.Di dalam salah satu bilik, Livia duduk anggun dengan gaun yang Alessandro siapkan. Tatapannya lurus, tenang, dan sedikit dingin, seolah kehadirannya hanyalah formalitas belaka. Sesekali ia melirik layar kecil di depannya yang menampilkan barang-barang yang akan dilelang, namun tanpa raut kagum berlebihan.Alessandro yang duduk di sampingnya menegakkan tubuh, terlihat begitu terbiasa dengan atmosfer seperti ini. Ia melirik Livia sekilas, seolah menimbang sesuatu, sementara Livia hanya meraih gelas sampanye di hadapannya dan menyesapnya ringan.“Tuan, ini daftar barang yang akan dilelang hari ini.” Ucap Franco dengan sopan sambil menyerahkan ipadnya.Alessandro menerima iPad itu dengan tatapan tenang, menelusuri daftar barang yang terpampang di layar.“Hmm… cuk

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   31

    “Apa tidak ada yang lain selain sup kambing tiap hari?” Ucap Livia yang mulai jenuh karena selama ua hari ini dijejali sup dan bubur kambing yang membuatnya ingin mual sekarang.Rere hanya tersenyum tipis, “ini untuk pemulihan anda, tuan. Bahkan tuan dengan sendirinya memotong satu kambing besar untuk anda makan sendiri.”Livia mendengus, mendorong mangkuk pelan dengan wajah masam. “Kalau begitu sekalian saja aku berubah jadi kambing karena tiap hari dicekoki beginian.”Rere menahan tawa, tapi ujung bibirnya terangkat geli. “Kalau nona berubah jadi kambing, tuan Alessandro pasti akan tetap menyuruhku menyuapi. Bedanya… mungkin kali ini dengan rumput segar.”Livia mendelik, menatap Rere dengan tatapan tak percaya. “Kau berani sekali bercanda begitu di depanku.”“Kalau tidak bercanda, nona pasti sudah melempar mangkuk ini ke kepala saya,” jawab Rere dengan nada ringan, tetap tersenyum.Livia menghela napas panjang, menutup wajahnya dengan tangan. “Astaga, aku benar-benar muak. Sup ka

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 30 Peringatan

    “Lepaskan aku!!! Apa kalian tak tahu siapa ku sampi kalian menculikku?!” Suara Victoria menggema di ruangan gelap dan lembab itu.Matanya di tutup dengan kain hitam, tangannya diikat kuat di kursi.Victoria berontak sekuat tenaga, kursi yang terbuat dari besi itu berderit keras setiap kali tubuhnya menggeliat. Nafasnya memburu, keringat mulai membasahi pelipisnya meski udara di ruangan itu dingin menusuk.Suara langkah sepatu bergaung pelan di lantai semen yang basah. Semakin lama semakin dekat. Victoria menelan ludahnya, tubuhnya menegang.“Siapa pun kalian, kalian sudah cari mati dengan melakukan ini padaku!” teriaknya lantang, meski suara sedikit bergetar karena ketakutan yang coba ia sembunyikan.Sebuah tawa rendah terdengar dari arah depan. Lalu, suara seorang pria menyahut dengan nada tenang namun mengerikan, “Justru karena kami tahu siapa kau… itulah kenapa kau ada di sini.”Kain penutup matanya perlahan ditarik, cahaya lampu redup membuatnya harus menyipitkan mata. Saat panda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status