Beberapa menit sebelumnya...Max, Valerie dan Jerry tengah menikmati hidangan yang tersaji dalam pesta tersebut. Sambil mengobrol dengan rekan bisnisnya yang ternyata pemilik pesta tersebut. Sesekali sang pemilik pesta tersebut meledek Jerry lantaran belum juga mau menikah, padahal Max saja sudah menemukan belahan jiwanya.“Banyak perempuan cantik di sini, Jerry. Cobalah kamu pilih lalu kenalan barangkali ada yang cocok.”Jerry hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang disertai rasa malas. Ah, entahlah sejauh ini ia masih merasa nyaman dengan kesendiriannya. Padahal usianya memang sudah cukup matang. Entah karena dirinya yang tidak bisa mendekati perempuan, atau memang ia yang memang tidak ingin memiliki pasangan. Padahal memang benar, seharusnya ia mulai bisa mengatur kehidupan pribadinya. Tidak selamanya ia sendiri, jika dulu ia harus memperhatikan dan menemani Max. Tapi, sekarang Max sudah memiliki seorang istri. “Tunggu saja, Pak. Asisten saya ini memang misterius tapi bisa ju
Valerie tersentak melihat Zenata tangannya ditarik paksa oleh Jerry membawanya keluar dari pesta. Ia berniat menyusulnya, tapi cekalan tangan sang suami mengurungkan niatnya. “Biarkan saja mereka berdua."“Tapi, Max. Kau tidak lihat bagaimana Jerry menghajar pria itu? Lalu bagaimana jika ia akan berlaku yang sama pada Zenata." Wajah Valerie memucat ketakutan dan kecemasan terlihat jelas di sana. Masih ia ingat bagaimana Jerry benar-benar menghajar habis pria tadi tanpa ampun. Baru ia sadari jika Jerry juga tidak kalah mengerikannya seperti Max. “Tidak mungkin Jerry seperti itu. Bagaimanapun dia seorang pria yang dapat berpikir secara benar.”“Ishh, kau ini mentang-mentang dia asistenmu. Kau bela saja dia terus!" gerutu Valerie merebut jus jeruk di tangan suaminya lalu meneguk hingga tandas, membuat Max melongo. “Kamu haus?" “Tidak! Tapi aku lapar.” Valerie merenggut kesal. “Sudah tahu minum ya hauslah, pakai nanya,” lanjutnya menggerutu jengkel.Max menarik napas panjang. Dalam ha
Melihat suaminya masuk ke dalam kamarnya dan berniat untuk merebahkan tubuhnya di ranjang. Valerie langsung mengambil bantal dan gulingnya. “Mau kemana?” “Aku tidak mau ngomong sama kamu, Max.” Valerie menghentakkan kakinya dengan kesal. “Dan aku juga tidak mau tidur sama kamu,” lanjutnya berniat beranjak dari tempatnya kemudian berlalu ingin keluar kamar. Tapi, Max langsung mencegahnya. “Alasannya apa?” “Kamu masih nanya, Max?!” Valerie mendelik, matanya melotot membuat Max melongo. Semakin usia kehamilannya bertambah Valerie justru semakin galak terhadapnya. “Dasar tidak peka!!” lanjutnya menepis tangan suaminya melanjutkan niatnya keluar kamar meninggalkan Max seorang diri. Dengan membawa satu toples keripik kentang serta satu botol air mineral, ia pun menuju taman belakang rumah tepatnya di sebelah kolam berenang. Duduk di kursi ayunan ia asyik mengemil sesekali menggerutu kesal, karena keinginannya mendapatkan penolakan yang besar dari sang suami. Sungguh teramat membosa
Dan di sinilah akhirnya Valerie dan Max berada. Di depan rumah dengan motor sport yang terparkir di depannya. Demi istrinya Max rela membeli motor baru. Sebenarnya Valerie merasa tidak masalah jika haru meminjam ke Jerry. Tapi, Max tidak mau. ‘Hei, dia anakku. Bisa-bisanya kamu ngidam dia yang nurutin!!' Ucap Max semalam. Makanya pada akhirnya Max jadi beli. Setelah semuanya siap Max sudah berada di atas motor, Valerie dengan susah payah pun ikut naik di belakangnya. Motor pun meluncur. Tapi, Valerie merasa aneh karena motornya jalan seperti siput. “Max kenapa pelan sekali?” protesnya. “Yang penting kan jalan ini biar aman buat anak kita,” sahut Max tenang. “Tidak enak sensasinya, Max. Membosankan! Ayolah yang kencang!!” “Udah diam. Yang penting udah naik!!” Valerie mendengus tidak mengira jika Max bisa bersikap semenyebalkan ini. Ia berharap putranya nanti tidak menuruni sifatnya itu. “Semoga saja putraku tidak mewarisi sifatmu ini." “Lho kenapa? Kan aku ayahnya?”
“Saya itu bingung, Nyonya. Kenapa Zenata selalu menolak lamaran saya ya?” ujar Jerry dengan heran. Sudah dua kali ia ditolak dengan gadis yang sama. Membuat ia nyaris frustasi apa yang salah darinya.“Emang kamu melamarnya bagaimana?”“Ya langsung saja saya ajak nikah begitu. Dia bilang nikah itu bukan mainan, tidak asal main paksa." Jerry mendengus. “Apanya yang maksa saya kan hanya mengajak menikah. Pas samakan Nyonya dan Tuan Max menikah karena terpaksa saja sekarang terlihat bahagia.”“Terus?”“Dia marah lalu bilang. Ya karena Valerie itu terpaksa menikah dengan Max karena sudah hamil.”Mendengarnya membuat Valerie merasa susah menelan ludahnya. “Terus kamu gimana?"“Ya saya bilang, berarti aku harus menghamili kamu dulu biar kamu mau menikah sama aku, begitu."“Ya ampun Jerry!!” pekik Valerie sangking terkejutnya akan kelakuan asisten suaminya itu. Bisa-bisanya punya pemikiran konyol di luar nalar.“Ada apa ini ada apa?" Max yang baru tiba pun terkejut dan ikut bergabung. Ia ter
“Ini ada apa?” Tiba-tiba Max datang menghampiri keduanya. Membuat Valerie menoleh dan pelayan toko itupun menunduk menyapa Max dengan hormat. “Ini lho, Tuan. Kakaknya ini dari tadi cuma mutar-mutar tapi tidak ada satupun yang dibeli. Mana pakai bilang kalau harganya mahal. Saya bilang kalau tidak punya uang kenapa kemari.” Pelayan toko itu menjelaskan sambil memasang wajah kesal. Max menatap istrinya. “Kenapa?” tanyanya tapi Valerie hanya mengedikkan bahunya acuh. “Lihatlah Tuan. Cuma gayanya saja sosialita tas branded, tapi tidak punya uang. Bikin saya capek saja.” Max menarik napas berat, tanpa di sangka ia menarik tangan istrinya kemudian merangkulnya mesra. “Dengarkan aku sayang. Seharusnya kalau ada yang ingin kamu beli langsung kamu ambil saja. Atau kalau memang tidak, kamu jangan mengatakan kalau barang di sini mahal. Bilang saja kalau barang di sini jelek-jelek tidak berkualitas!!” ujar Max membuat pelayan toko itu terkejut. Bagaimana tidak perempuan yang tadi ia hina t
Max benar-benar dibuat lelah dan pusing dengan tingkah istrinya. Seandainya diminta memilih, ia lebih baik menghadapi sepuluh kliennya dibandingkan menemani istrinya belanja. Atau justru lebih baik ia diminta membunuh puluhan orang dengan tangannya. Demi apapun ia nyaris kehabisan kesabarannya.Bagaimana tidak selain telah berjam-jam memilih di supermarket. Valerie juga memilih-milih buku begitu lama. Belum lagi saat memasuki outlet pakaian. Istrinya itu belum tentu membelinya, kadang hanya ingin melihatnya saja. Beruntung orang-orang pemilik toko tersebut sangat mengenal dirinya. Sampai di rumah karyawan dibuat melongo dengan isi mobil majikannya. Karena tidak biasanya sang majikan belanja keperluan rumah. “Aku capek banget, Max.” Valerie menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Max mengendurkan dasi kemejanya dan duduk di sisi istrinya. “Pijitin kaki aku dong, Max.” Ah, lihatlah. Bahkan kini Valerie dengan berani memerintah dirinya dengan cara meletakkan kakinya di atas pahanya, bahkan
Jerry baru saja turun dari mobilnya saat tiba di apartemennya. Saat itu kurir yang tadi ia perintahkan untuk mengirimkan bunga pada Zenata datang. Ia terkejut, pasalnya ia sudah mewanti-wanti jika kabar bahagia itu bisa disampaikan lewat telpon. Tapi, kenapa kurir itu datang padanya, tiba-tiba firasatnya menjadi tidak enak.“Kenapa kau kemari kan sudah ku katakan cukup kau kirim pesan atau telpon. Mengganggu saya mau istirahat saja!!” omel Jerry dengan dinginnya.“Tapi ini penting, Tuan. Dan tidak bisa saya sampaikan di telpon ataupun pesan.”Wajah dingin itu tiba-tiba berubah menjadi bersinar. Ia berpikir jika kabar yang akan kurir itu bawa pasti kabar baik. Ia yakin Zenata pasti akan menerima dan tergila-gila padanya. Tentu saja, bagaimana tidak seorang pria langka seperti dirinya itu tiba-tiba punya pemikiran seperti itu, pasti Zenata terkagum-kagum. “Bagaimana? Dia menerimanya kan?”Terlihat wajah kurir itupun meringis, lalu menggeleng. “Tidak, Tuan.”“Apa?! Saya ditolak lagi. Be