Share

07. Nekat Terobos Pagar

Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali. 

Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya.

"Eh, aduh! Badan aku sakit banget." 

Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban. 

Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti saja keinginan Erisca. 

Gadis itu tidak membolehkan Guntur masuk rumah, bahkan untuk memapah tubuhnya sekali pun. Dia takut, sungguh. Ucapan Fendi dan Sarah tidak bisa disaring jika berhadapan dengan orang asing. Alhasil, Erisca berjalan sendiri dengan gontai. 

Untung saja Sarah serta Fendi mau percaya dengan segala uraian cerita dari Erisca. Mereka awalnya ingin melabrak Susi atau bahkan Guntur, tetapi Erisca tidak setuju. Akhirnya mereka luluh, apalagi saat melihat wajah Erisca yang dipenuhi luka lebam. 

Ting! 

Erisca mengambil ponsel di atas nakas. Ada pesan masuk dari Guntur setelah satu malam tak henti menelponnya. 

Guntur: Sayang, gimana kondisi kamu sekarang? Aku bener-bener enggak bisa fokus karena mikirin kamu terus. 

Awalnya ceria, tetapi membaca kalimat terakhir dari pria itu membuatnya merasa bersalah. Dia tidak boleh membebani pikiran orang lain! Guntur belum sepenuhnya menjadi milik Erisca, jadi dia harus bisa menjaga kenyamanan dalam hubungan yang mereka jalani. 

Erisca: Aku udah mendingan. Kamu jangan terlalu over mikirin aku, nanti pusing, lho. He he he. 

Berbohong demi melindungi perasaan Guntur. Jika dia terus terang akan keadaan saat ini, bisa-bisa Guntur lebih panik dan tidak sanggup bekerja dengan baik. Erisca akan menutupi kelemahannya di depan Guntur agar dia tidak selalu menyusahkan pria itu. 

Guntur: Serius? Coba kirim foto kamu sekarang, aku mau lihat! 

Huh ... ini lah salah satu hal yang terkadang tidak disukai cewek-cewek. Meski sering tatap muka, tetapi Erisca masih enggan memperlihatkan diri di depan kamera tanpa filter. Rata-rata cewek malu karena belum mandi. Ya, sesimpel itu, lho. 

Erisca: Serius, kok. Lagian ngapain mesti kirim-kirim foto segala? Kamu enggak percaya, ya? 

Guntur: Bukan gitu, tapi apa salahnya aku pengin lihat foto pacar sendiri? Wajar, 'kan? 

Erisca: Iya, aku tahu. Tapi sekarang aku belum mandi, jadi masih jelek. 

Guntur: Sejak kapan aku pandang fisik? Udah lah, cepetan kirim fotonya sekarang! 

Read! 

Erisca memejamkan mata. Walau tidak kelihatan langsung, tetapi dia merasa telah menggores hati Guntur. Dia bukan sengaja melakukan itu, hanya saja rasa percaya diri tidak bisa dijemput dengan mudah. 

Dia termasuk cewek tukang minder. Matanya selalu memandang buruk kepada diri sendiri. Menganggap orang lain lebih baik jauh di awang-awang, padahal itu belum tentu benar. Memang sulit meyakinkan cewek macam Erisca. 

Ponsel gadis itu kembali berbunyi. Dia membuka pesan masuk dari Guntur. 

Guntur: Kalau enggak bisa lihat lewat foto, kenapa enggak langsung aja?

Erisca: Maksud kamu? 

Guntur: Aku ada di bawah balkon kamar. Kamu keluar sekarang.

Eh? Kok? 

"Ya, ampun ... dia bener-bener nekat banget jadi orang." 

Menyingkirkan selimut, pelan-pelan Erisca bangun dari tidur. Turun perlahan menapak lantai, meraba benda di sekitar agar tidak goyah saat melangkah. 

Tirai jendela pintu kaca masih tertutup. Erisca membukanya, menilik Guntur ke luar sana, tetapi tidak ada. 

"Di mana dia?" gumam Erisca, kali ini membuka pintu lalu berjalan lebih maju. Angin sejuk langsung saja menyerang diri ketika dia keluar kamar, membuat tulang-tulang terasa ngilu bagai di Antartika. 

Erisca melongok ke bawah, tidak ada siapa-siapa di sana. Apa mungkin pria itu mempermainkannya? Tapi ... ia sendiri 'kan yang menyuruh Erisca untuk tidak bergerak lebih? 

Erisca: Kamu di mana? Jangan main-main, deh:+ 

"Aku di sini." Sebuah bisikan halus memasuki telinga Erisca. Gadis itu terkejut, buru-buru dia berbalik badan dan langsung disuguhi dada bidang seseorang. 

"Kamu? G-gimana caranya bisa sampai ke atas?" tanya Erisca, dengan intonasi agak cepat. 

"Aku terbang," terang Guntur, tersenyum tipis, tetapi berpengaruh terhadap hati Erisca. 

"Jangan ngaco. Mana mungkin bisa kayak gitu?" Erisca menyanggah. Dia menatap mata pria itu walau jantung sudah sibuk dengan ketidaknormalan. 

"Apa pun bisa aku lakuin, asalkan semua buat kamu, Sayang." Guntur mengusap pipi Erisca lembut, cewek itu tanpa sadar memejamkan mata karena nyaman. 

"Iya," sahut Erisca, singkat dengan mata masih terpejam. 

"Gimana? Nikmat, gak?" 

"Hah? Nikmat apa?" 

"Belaiannya." 

Spontan membuka mata, wajah Erisca bersemu merah setelah mencerna perkataan Guntur. Apa-apaan dia ini? Bisa-bisanya tidak menyadari situasi menggelitik seperti sekarang! 

"E-enggak! T-tadi cuma kebawa suasana aja." Erisca menyanggah, la-gi. Padahal ... tahu sendiri lah bagaimana perasaan cewek ketika diperlakukan manis sepeti itu. 

"Kebawa suasana karena nyaman, 'kan?" Guntur mencolek dagu Erisca, lagi-lagi merasa senang melihat kegugupan cewek berwajah merah di hadapannya. 

"Ck! Kata siapa?" 

"Kata aku." 

Guntur lebih mendekatkan diri, tetapi Erisca malah menjauh. Cewek itu terus menghindar meski tubuh masih rentan terhadap pergerakkan. Apakah semua cewek di dunia serupa? Selalu menyembunyikan jedag-jedug dalam hati ketika diperlakukan manis oleh cowok? 

"Jangan manyun kayak gitu, nanti tambah cantik, terus aku susah buat tidur karena sibuk mikirin kamu." Guntur mengulas senyum kecil, ada sensasi menyenangkan saat mendapati wajah imut Erisca. Karena tidak ingin dimusuhi oleh sang kekasih, Guntur pun buka suara untuk menjelaskan kehadirannya, "Oke-oke, jadi aku bisa sampai ke atas sini karena naik tangga yang ada di bawah. Awalnya enggak ada niat kayak gitu, tapi aku penasaran sama keadaan kamu, dan bener, saat ini kamu belum sepenuhnya sehat." 

"Aku kira kamu beneran terbang." Senyum Erisca terbit sebagai klarifikasi atas tingkah lakunya barusan. Cewek itu lagi-lagi bersemu karena semakin malu. 

"Enggak, kok. Eh, iya, kamu udah makan belum?" tanya Guntur, Erisca menggeleng. "Tuh, 'kan, katanya mau cepet sembuh, tapi makan aja telat terus," komentar Guntur, sibuk grasak-grusuk dengan keresek putih berisi box makanan. 

"Bukan telat, tapi emang mama belum masak aja." Erisca menjelaskan, dia tidak mau dicap sebagai cewek manja yang mesti diingatkan dulu bila hendak makan. 

"Aku bawa makanan dari kafe spesial buat kamu. Ini masih anget, jadi harus cepet-cepet dimakan." Pria itu mengeluarkan tiga box merah, membukanya satu per satu lalu menyiapkan nasi untuk Erisca. "Mau aku suapi? Biar lebih nikmat." 

"Aku bisa makan sendiri." Erisca merebut salah satu box dari tangan Guntur. Gadis itu mengunyah makanan dengan pelan karena sudut bibirnya terasa perih.

"Abisin semua makanannya supaya kamu cepat sembuh. Kalau udah selesai, jangan lupa minum obat, oke?" perintah Guntur, tegas bagai seorang bapak kepada anak.

"Oke." Erisca mengacungkan jempol. Dia asik makan tanpa menghiraukan sekitar. Namun, begitu mendengar suara kenop pintu bergerak, dia jadi ketar-ketir karena takut ketahuan sedang berdua-duaan di balkon. "Eh, itu kayaknya mama masuk, deh. Aduh ... gimana, dong?" 

Guntur ikutan pucat. Apalagi ketika mendengar teriakan kencang dari Sarah, pria itu bingung mau bagaimana? Melompat? Sama saja menjemput ajal! 

"Erisca, kamu di balkon?" tebak Sarah, perlahan melangkah mendekat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status