Ini kali kedua Rian mengetuk pintu rumah dinas Yudha dan kembali Kayla yang membuka pintu. Pagi ini, gadis itu tampak berpakaian lebih santai dibandingkan kemarin. Dress selutut berwarna kuning pastel membalut tubuhnya."Silakan duduk dulu! Mbak Tari lagi siap-siap," ucap Kayla membuka pintu lebar-lebar."Terima kasih. Saya di teras saja," sahut Rian.Tak ada basa-basi lagi. Kayla hanya mengangguk dan kembali ke dalam. Sama seperti Rian, Kayla juga sempat tertegun melihat penampilan Rian pagi ini. Laki-laki itu tidak mengenakan seragam loreng seperti biasanya, melainkan kaos putih berkerah dipadukan celana chino abu dan sepatu sport. "Kenapa Kayla?" tanya Tari karena adik iparnya itu masih celingak-celinguk menatap keluar."Itu yang didepan, beneran Sertu Rian?" tanya Kayla merasa bodoh. Jangan sampai ia salah orang atau berhalusinasi. Kejadian kemarin saat laki-laki itu mengantarnya ke kantor, membuat Kayla jadi salah tingkah. Tari menyibak tirai pembatas dapur. Ia mengangguk sem
"Kamu kenapa uring-uringan begitu?" tanya Rudi setelah beberapa staf kantornya pamit pulang. Mereka sengaja datang menjenguk putra kedua pewaris keluarga Giriandra itu. "Aku belum ingat sandi ponselku," Pa," jawab Yudha diiringi Hela napas panjang. Rudi terkekeh lalu berkata, "Kenapa kamu nggak Tari saja?""Kenapa harus dia?""Karena dia orang yang spesial bagi kamu.""Papa bisa nggak sih, nggak bertele-tele? Kemarin juga Letkol Guntur sama Letkol Pasha juga bilang begitu. Tapi mereka nggak bilang spesifik. Istrinya malah bilang kalau Yudha pandai pilih pendamping. Ngawur, kan?" pungkas Yudha kembali mencoba memasukkan sandi di ponselnya. Gagal. Sekali lagi Rudi mendengar hela napas frustasi putranya. "Jangan dipaksakan, Nak.""Mumpung Papa bahas soal dipaksakan. Tolong bawa Tari pergi dari sini. Aku nggak mau dekat-dekat dengan gadis pilihan mama," ujar Yudha dengan tatapan memohon.Rudi tersenyum dan beranjak duduk di hospital bed. Matanya menatap lekat putranya. Yudha bisa meras
Sejak berdebat dengan kakaknya kemarin sore, Yudha tidak bisa tenang. Kalau saja bukan karena pengaruh obat, mungkin semalaman ia tidak bisa tidur. Ini pertama kalinya Arbian menatapnya dengan raut kecewa. Kekecewaan yang hadir karena sikapnya pada sosok gadis berjilbab coklat kemarin. Tari. Lebih tepatnya, Andi Ayudia Batari. "Namanya memang menggambarkan sosoknya," puji Yudha tanpa sadar. Sejak membuka mata pagi ini, sosok ayu itu juga yang selalu terbayang. Jujur saja, ia sempat terpaku dengan keanggunan Tari saat pertama kali memenjarakan sosok gadis itu di matanya. Tadinya, Yudha sempat berpikir jika gadis itu adalah calon istri Arbian. Namun, mendengar kakaknya memanggil nama 'Tari' yang sejak awal selalu disebut oleh para komandan dan istrinya masing-masing, tiba-tiba membuat Yudha waspada. Jangan sampai Tari itu adalah gadis yang sengaja mamanya kirim untuk mendekatinya. Yudha meraih ponselnya. Namun, sejak kemarin benda itu tidak bisa ia buka. Karena kehilangan
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh, Bu Yudha!" Ceklek! Rian tersentak kaget. Ia tak menduga sosok yang akan membukakan pintu rumah dinas ini adalah orang lain. Gadis cantik mengenakan blush coklat muda dengan motif bunga kecil dipadukan dengan rok span putih selutut. Pinggangnya yang ramping dibalut belt rajut berwarna coklat tua. Di tangan kanannya ada sebuah tas hitam dengan logo brand yang cukup terkenal. Sementara di tangan kirinya ada sepasang alas kaki dengan hak setinggi 7 cm berwarna coklat mocca. Penampilannya khas seorang pekerja kantoran. "Waalaikumusalam salam," sahut Kayla singkat. Sertu Rian mengangguk lalu mundur selangkah. Sengaja memberi ruang untuk gadis itu lewat. ""Bu Yudha?" Rian menyebut nama panggilan Tari seakan menanyakan keberadaannya. "Udah siap, tapi masih dapur. Lagi packing makanan buat Kak Yudha," ujar Kayla. Sertu Rian mengangguk lalu memilih duduk di kursi beton yang mengelilingi tepi samping rumah dinas Yudha. Kayla diam-
Tari kembali mengusap air matanya sesaat setelah Arbian menekan saklar lampu. Setelah ruangan itu terang benderang, Tari dapat melihat Arbian dan Kayla menatapnya prihatin. "Duduk dulu, Mas, Kay! Aku ambilin minum dulu," ucap Tari. "Tidak perlu, Tari," sergah Arbian. Pria itu justru melirik kursi ruang tamu. Sementara Kayla yang memang haus, beranjak ke dapur. Tujuannya tidak lain adalah kulkas. Perasaan Kayla mencelos kala membuka kulkas. Yang ada hanya air botol mineral dan rempah dapur yang sudah mengering. Apa sejak kakaknya dibawa pulang dan dirawat di ICU, Tari tidak memperhatikan kondisi tubuhnya sendiri? Saat ia menoleh ke meja makan, ada beberapa kantong plastik berisi buah, cemilan ibu hamil dan beberapa kotak susu khusus ibu hamil. Kayla menebak jika semua itu, Sertu Rian yang menyiapkan. Setelah membawa tiga botol air mineral, Kayla ikut duduk di samping Arbian yang sedang bicara pada seseorang dengan ponselnya. Raut wajah kakaknya terlihat serius. Dari obrol
"Saya pamit ke barak, Bu. Kalau ada apa-apa, atau butuh sesuatu, hubungi saya kapan saja," ucap Sertu Rian. Tari mengangguk pelan dan turun dari mobil. Sertu Rian pun memarkir mobil putih itu di halaman samping rumah dinas Yudha. Sementara Tari masuk ke dalam tanpa mengatakan apa-apa lagi. Begitu pintu rumah tertutup dan terkunci rapat, tubuh Tari merosot. Tubuh kecilnya bersandar di pintu dan merasakan keheningan yang mencekam. Sekedar beranjak menekan saklar saja ia merasa tidak sanggup.Kata-kata Yudha tadi, seakan membuatnya seketika menjadi seperti orang asing. Harapan untuk memeluk dan menumpahkan tangis dalam dekapan pria itu sirna begitu saja. Flashback on"Dia siapa, Mas?" ulang Yudha karena kakaknya itu justru membisu dengan mata membelalak. "Kapten lagi mencoba melucu, ya?" tanya Rian mengambil kembali pisau yang baru saja ia jatuhkan.Yudha mengernyit. "Bercanda? Sejak kapan saya suka ada wanita yang dekat-dekat dan mau cari muka sama saya? Bukannya mencegah dia masuk,