Part 18. Rahasia di Balik Sikap RiriTerkadang kita perlu mundur untuk meloncat lebih jauh. Ada kalanya kita perlu melepas pedal gas untuk berganti gigi, dan mempercepat laju kendaraan. Acap kali kita harus diam untuk memulihkan tenaga. Semua fase dalam hidup ini tidak ada yang percuma. Semuanya membawa kebaikan. Pun saat dihina orang lain. Bisa menjadi cambuk dan memaksa kita berlari melewati batasan-batasan.Pernah dililit masalah, sampai merasa benar-benar pasrah. Mencoba segala hal sebagai jalan keluar. Saat itu terasa percuma karena tidak lantas berdampak apa-apa. Tapi sekarang semua ikhtiar yang kujalani malah menjadi sumber rezeki baru.Saat toko sedang sepi karena ulah Daryata, aku mempelajari banyak hal. Yang awalnya tidak pernah bergelut dengan dunia maya, terpaksa harus ikut berkecimpung di sana, satu benteng otakku terbuka, ternyata medsos bisa dijadikan ladang usaha. Aku jadi mengenal FB, IG, tokopedia. Ketika tidak ada pekerjaan sama sekali, aku terpaksa bekerja pada Tom
Karena pendapatan terbilang besar aku mengajak semua karyawan makan-makan. Malam ini toko tutup lebih sore. Kami memilih salah satu restoran jepang. Di sana terkenal dengan dagingnya yang enak. Karena dibakar mendadak. Begitu kurang lebih yang kutahu.Semua menyambut senang. Kami mengisi satu meja panjang hidangan daging sapi mentah dan dua pembakaran disediakan. Mengobrol ini-itu sambil membakar daging bersama-sama, baunya membuat perut berontak. Kami makan dengan lahap.Anton dan Yan-yan, dua pemuda yang senang melucu di sini. Mereka melontakan anekdot-anekdot mengocok perut.“Gini, tahu kan kalau link URL itu ada www-nya.” Anton melontarkan lelucon. Kami mengangguk penasaran, anekdot apa yang akan dia lontarkan kali ini?“Ada seorang anak yang bertanya pada temannya 'kenapa buka FB harus pake www', katanya.” Anton menjeda.“Dijawab sama temannya, www itu singkatan, kalau kita mau berkunjung ke rumah orang kan harus pake salam, jadi www itu singkatan dari Wassalamu’alaikum Warahmatu
Part 19. UndanganAku mengambil amplop yang tergeletak di atas meja. Mengira-ngira apa isinya. Tak ingin berlama-lama segera aku bergegas ke atap hendak membukanya.Amplop putih berisi selembar surat dengan jejak tinta hitam dua paragraf saja. Untaian kata itu tidak kurang mengatakan kalau Riri menyukaiku sejak pertama kali bertemu, dan dia merasa sakit hati tiap kali aku berbicara dengan Sari.Aku menarik napas panjang, membuangnya perlahan. Melihat pemandangan di sana yang merupakan jajaran gedung-gedung. Teringat pertama kali bertemu dengan Riri, saat tidak sengaja berpapasan di pintu kamar, juga tingkahnya yang kadang lucu, kadang membuat geram.Kupikir dia suka sama Anton. Ternyata suka padaku. Suka padaku? Apa tidak salah? Perbedaan usia kami dua belas tahun. Apa tidak bisa dia mencari pria yang lebih muda? Seperti Anton, atau Yan-yan. Mereka lebih muda, juga tampan.Ini tidak bisa dibiarkan. Karena akan mengganggu kinerja. Cepat kupanggil anak itu, lewat pesan WA pada kakaknya.
Jujur, sebenarnya tak tega. Melihat anak itu menenteng ransel hendak pergi dari rumah ini. Riri menutup pintu kamar, pelan. Irisnya tampak berkaca.“Ri, benar kamu mau pindah? Kalau masih betah di sini tidak perlu pergi.” Aku menghampiri Riri yang masih ada di depan kamar.Supri yang berdiri tidak jauh dari adiknya melihatku. “Tidak apa-apa, Mas. Pindah juga dekat ke belakang. Aku, kan, sudah janji kalau sudah punya uang mau ngontrak, di sini pria semua tidak baik bagi dia.” Supri memasang ransel Riri di pundaknya. Aku tahu ucapannya itu hanya basa-basi. Kalau masalahnya uang, sudah dari gajian pertama Riri pindah.Kalau kakaknya sudah bilang begitu aku bisa apa. “Yasudah, di mana kosannya?”“Di rumah bedeng belakang. Deket, kok, di situ.” Supri menunjuk arah dinding. Di belakang ruko, memang banyak rumah penduduk yang punya kos-kosan.“Oke, lah, kalau dekat. Jangan gara-gara pindah kamu jadi kesiangan.” Aku mengacak rambut Riri. Dia menepis tanganku seperti kesal. Lalu mereka pergi.
Part 20. Bertemu Calon IstriMalas. Kalau harus bertemu dengan keluarga bapak. Undangan Bulik mungkin bisa kutolak tapi kalau undangan Desi rasanya aku tidak enak. Kulihat lagi undangan warna hitam bertinta gold itu. Sepertinya calon suami Desi dari kalangan berada juga, terlihat dari foto prewedding-nya. Juga tempat akad yang dilaksanakan di salah satu gedung.Kalau seperti ini berarti mereka tidak membutuhkan tenaga keluarga, pastinya semua pekerjaan dibebankan pada WO. Pertanyaannya apakah Mamak diundang?Kumainkan ponsel, melakukan panggilan ke luar. Sedikit basa-basi dengan Mamak. Tidak kubicarakan tentang undangan itu. Tapi Mamak mendadak loncat topik.“Desi mau menikah, Pras,” seru Mamak memberi tahu. Sejenak aku merasa lega. Benar ternyata Bulik Retno juga mengundang Mamak. “Iya, Mak. Mamak tahu dari mana? Apa Bulik Retno mengundang?” Aku memastikan.“Tidak. Mamak tahu dari Bulik Hasma. Mereka sedang siap-siap buat olahan mau pergi ke Jakarta,” jelas Mamak seriang biasanya. S
Aku mendekat, mengawasi mereka satu-per satu. Terlihat Mamak sedang turun di tangga bis. Seseorang yang masih di dalam memegang tangannya."Mak." Aku mengulurkan tangan untuk memegangi Mamak. Satu tangan meraih tas yang dibawanya."Pras, kamu sudah dari tadi?" seru Mamak."Baru."Aku melepaskan tangan Mamak setelah bundaku itu berdiri tegap menginjak aspal. Lalu beralih pada Sari yang masih menuruni bis."Bawa barang lain, Dek.""Di bagasi, Mas.""Yang mana?"Kemudian kami sibuk mencari tas Sari dan Mamak.Menit kemudian kami sudah ada di atas kendaraan. Sari dan Mamak duduk di kursi belakang. Aku sendiri di depan, persis sopir."Mamak mau beli apa dulu? Atau mau ke mana dulu. Apa mau langsung ke ruko?" Aku mencerca. Takut mereka kecewa jauh-jauh datang ke sini."Mamak ingin istirahat, Pras. Cape.Liat Sari! Kasihan sudah kecapean.""Oke.""Inggih Mas, sudah bau keringat loh kita. Inggih, Mak?" tandas Sari. Mereka terdengar akrab."Kok, keringatan, bukannya mobilnya AC?""Kita matikan
Part 21. Jangan Cari MasalahDi depan, Sari bertemu Riri. Mereka saling mengamati satu sama lain. Pun Mamak seperti bertanya kenapa ada perempuan di sini.Riri mengangguk hormat, Sari tersenyum simpul. Mamak melihat padaku menuntut jawab.“Ini siapa?” seru Mamak. Kali pertamanya beliau mempertanyakan salah satu karyawanku, hari kemarin saat Mamak dan Sari datang, aku memperkenalkan mereka pada Anton dan Supri. Tapi Riri sudah pulang jadi belum kukenalkan.“Itu karyawan Pras juga. Adiknya Priyana.”Riri mengulurkan tangan pada Mamak. Dia menciumnya hormat. Lalu bersalaman dengan Sari, dua perempuan ini terlihat kaku. Sari melirik padaku, lalu irisnya berpindah pada Riri. Setelah perkenalan singkat tanpa saling menyebutkan nama, Sari melanjutkan langkah ke lantai dua.“Memang tidak bisa Pras, kalau karyawan laki-laki semua?” tanya Mamak ketika kami menaiki tangga. Mamak berbicara pelan, tapi kalimatnya masih bisa didengar oleh Sari, terbukti ia ikut menoleh.“Aku butuh admin, Mak. Lagia
Kami bertiga berjalan melewati lorong menuju tempat berlangsungnya acara. Mamak dan Sari jalan di depan, aku mengikuti di belakang. Sudah kupastikan dari atas sampai bawah penampilan mereka sempurna. Di pintu masuk kami disambut para petugas. Ada juga Doni--pihak keluarga, dia anaknya Bulik Retno yang pertama. Usianya sama denganku. Terakhir kabar yang kudengar kalau dia sudah duda. Pernikahannya memang tidak lama, dulu menikah pun karena accident. “Bude, dengan siapa ini, cantik.” Doni menyambut kedatangan ibuku. Pria berambut kelimis itu sering membasahi bibirnya dengan lidah. “Calonnya, Pras,” jelas Mamak. Dan sekarang aku tidak suka bagaimana cara Doni memandang Sari. Aku menarik tangan Sari, menautkan jari-jari tangan kami. Aku dan Doni pernah tinggal satu atap. Pun begitu, jangan bertanya bagaimana hubungan kami. Bayangkan saja dua pemuda yang tinggal dalam satu rumah. Doni, si pemilik rumah, betingkah semaunya. Keluyuran, hura-hura, happy-happy. Sedangkan aku yang menumpan