Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Part 1. Gara-Gara Kotoran Ayam“Tiap bulan bulikmu itu ngoceh terus kerjaannya. Mentang-mentang KWH masih ikut dia. Padahal Mamak tuh tiap bulan ngasih uang lima puluh ribu. Enggak gratis,” keluh Mamak sambil memasak. Berkali-kali bundaku itu meniup kompor kayu tradisional, entah kenapa nyala-mati terus.“Inggih, Ma. Entar Pras bayarin. Sekalian kita pasang KWH baru. Mamak tidak perlu terlalu ambil hati. Wong dari dulu juga kayak begitu,” seruku seraya membereskan bambu untuk membuat kandang ayam di samping rumah. Kandang ayam sudah bobrok dimakan rayap. Mumpung aku sedang ada di kampung dari pada tiduran mendingan buat kegiatan.“Mana bisa, Ragil (bungsu) wong tiap hari, nguoceh terus di halaman rumah. Gimana Mamak tidak sakit hati. Yo kalo jarang-jarang, Mamak wes tak peduli. Lah ini tiap hari. Udah panas kuping Mama.” Wanita lewat paruh baya yang kulitnya sudah dipenuhi keriput itu melanjutkan curhatnya. Aku hanya tersenyum mengingatnya.Sakit hati memang kalau diingat bagaimana ke
Part 2. Pagar Tinggi“Mbok, ya, kalau punya ayam itu dimasuki kandang, bukannya suruh berkeliaran di mana-mana. Mbak, yu, woi, mbak yu, ayammu lho iki, buang kotoran sembuarangan. Pagi-pagi wes merusak pemandangan rumah orang.”Aku mengusap wajah, Mamak terbelalak.“Gil, ayam-ayam ke luar?” Mamak memukul pundakku.“Tadi Pras keluarin, Mak, orang kandangnya mau Pras perbaiki.”“Walah kamu teledor.” Mamak beranjak, menghampiri Bulik Hasma. Aku diam mendengarkan. Bulik Hasma belum tahu kalau aku ada di rumah. Karena baru semalam aku datang. Coba ingin kudengarkan, masih sama enggak kelakuannya seperti dulu.“Maaf, Le, kandangnya lagi diperbaiki.” Mamak terdengar menyesal, kenapa juga Mamak harus seperti itu. Biarkan dia sarapan kotoran ayam. Toh mulutnya lebih menjijikkan dari pada pantat ayam.Lah gue juga ikut emosi ternyata. Padahal tadi bilang sama Mamak jangan ambil hati.“Masukkin kamarmu apa gimana, kek, yu, halamanku sudah kinclong begini dirusak ayam, mana banyak lagi.”Orang i
Part 3 Kalau Masih Punya Hutang Tidak Perlu SombongSatu kebiasaan unik di sini, orang-orang terbiasa menggunakan sepeda untuk bepergian. Termasuk Mamak. Meskipun sudah nenek-nenek, Mamak lihai pergi dengan sepeda ontelnya, tapi sekarang sepeda itu hanya teronggok di belakang rumah dengan bannya yang kempes.Tidak kupikirkan apa kata Paklik tadi. Mana tahu nanti malam dia mau ngajak makan-makan. Dinner berdua, misal. Sekarang lebih baik kuperbaiki sepeda Mamak. Kalau pekerjaan per-bambuan aku tidak begitu lihai.“Beli motor, kek, Mak.” Aku menarik ontel dari belakang rumah, mau kubawa ke jalan raya tempat bengkel sepeda.“Mamak ora punya duit.”“Lah bohong, kirimanku numpuk di bawah bantal.” Ini aku berlebihan, hanya bercanda saja menghibur para pekerja, dan disambut tawa Mas Galuh dan teman-temannya.“Hebat tenan, uang numpuk di bawah bantal. Pinjami aku lah, Mbah,” kata Mas Galuh.“Ngarang, mana ada. Bukan di bawah bantal di kolong ranjang,” balas Mamak, selanjutnya aku tidak mende
Part 4.Kembang DesaDulu Mamak pernah menyimpan uang di lemari. Tidak terpakai karena dimakan rayap. Sekarang aku jadi kepikiran di mana Mamak menyimpan uang?"Mak .... Mamak.""Opo, Pras," seru Mamak dari dalam kamar."Mamak simpan uang di mana? Apa di ATM?" tanyaku setelah Mamak menghampiri."Di ...." Mamak menggantung jawabannya."Di mana Mak, ada berapa di ATM?"Mamak diam saja, terlihat serba salah."Itu, Pras. Sebenarnya ...."“Sebenarnya apa, Mak.”Mamak menjeda. “Sebenarnya dipinjam Pakde Karyo.”Aku mengangguk pelan. Pakde Karyo adalah kakak ibuku yang paling besar, rumahnya sekitar satu kilo meter dari sini. Wajar kalau Pakde Karyo pinjam uang, keluarga dari pihak Mamak memang tidak ada yang mapan. Semuanya menengah ke bawah. Rumahnya juga sama, memiliki dinding kayu. Yang rumahnya kekinian hanya milik anak-anaknya saja.Mamak anak terakhir dari empat bersaudara. Dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka memang miskin tapi tidak miskin hati. Kalau aku pelajari, beberapa hal y
Part 5Ketika Mas Pras NgapelJam delapan malam aku sudah berpakaian rapi mau ngapel. Celana jeans dan kaus polos dibalut sweter. Dompet dan ponsel kumasukkan ke dalam kantung celana. Terlihat Mamak masih mengaji saat aku keluar kamar.“Pergi, Pras?” tanya Mamak menghentikan lantunannya sesaat, Mamak yang sudah rabun dekat itu menurunkan kaca matanya saat melihatku.“Inggih, Mak. Eh tapi, Mak. Emang Mbah Pur, punya anak gadis?” Setahuku Mbah Purwanti itu sudah sepuh, mana mungkin punya anak gadis, jangan-jangan bukan perempuan yang hampir kutabrak tadi. Mana tahu salah paham. Takutnya anak Mbah Pur yang janda.Mamak menutup Al-Quran, dan melihat padaku lagi. “Bukan anaknya, Gil. Tapi cucu. Cuma sudah dianggap anak, wong diurus dari kecil sama mbahnya,” kata Mamak.“Tapi bapaknya ada?”“Sekarang ada. Dulu jarang, merantau.”Aku mengangguk. “Ya sudah, aku pergi, Mak.” Aku meneruskan langkah.“Nah gitu, bujang harus ke luar rumah. Jangan seperti dipingit, sembunyi terus di rumah.”Aku me
Part 6 Jangan Hina Ibuku! “Masnya masih lama di sini?” “Besok Mas berangkat.” Sari terlihat kecewa, dia menunduk tidak mau menunjukkan wajah. “Aku banyak kerjaan soalnya.” Aku menjeda. “Ayo masuk, takut keburu dicari,” lanjutku. Lalu Sari memasuki rumahnya kembali. *** Di pagi yang hening. Suhu dingin dan basah. Aku baru saja selesai shalat subuh ketika tiba-tiba terdengar jeritan yang terdengar samar. Kupasang telinga lekat-lekat, tidak mungkin itu teriakan kunti mengingat ini lewat adzan subuh. Teriakan tadi hilang. Setelah tidak ada suara lagi aku jadi bertanya-tanya siapa yang menjerit tadi. “Pras, Pras dengar yang berteriak, tidak?” Mamak tergopoh berjalan rusuh dari dapur menghampiriku yang masih di kamar. Dapur tungku berada di bagian paling belakang rumah, dengan dinding geribik, saat Mamak sedang di dapur pasti mendengarkan teriakan itu lebih jelas dari pada aku. “Iya, Mamak dengar?” “Sepertinya, bulikmu,” ucap Mamak lalu melangkahkan kaki ke luar rumah. Saat kuikut