“Punya, uang?” Ia menatapku seperti menantang.“Ada.”“Bagus. Buat yang bagus biar tidak merusak pemandangan.”Pria tua itu kembali mengayunkan kaki. Berjalan kembali ke rumahnya. Sudah tua bukannya tobat. Masih saja begitu.***Aku pulang ke Gunungkidul menggunakan pesawat bukan untuk gaya-gayaan, tapi karena alasan waktu. Biar bisa pulang-pergi dengan cepat. Mengingat begitu banyak pekerjaan di toko. Ke sini pun aku sengaja menyelesaikan masalah Sari. Kasihan kalau dia dibohongi terlalu lama.Rencananya sore ini langsung pulang lagi. Tetapi karena ditahan Mamak jadinya aku menginap, semalam saja. Paginya aku sudah bergegas untuk pergi lagi.Aku tak membawa banyak bawaan. Hanya satu tas kecil. Jam tujuh pagi aku sudah siap. Cucunya Pakde Karyo sudah ada di depan rumah, mau mengantarkanku ke bandara.Baru dua langkah aku ke luar dari rumah, seseorang datang dengan ontelnya. Mamaknya Sari.“Loh, Pras. Mau ke mana?” tanya wanita ber-daster itu.Kami salaman. “Mau berangkat lagi, Bulik.”
Part 26. Lupa Pakai Celana❤❤❤Selalu ada hal yang terasa bersangkutan. Aku menggelontorkan uang banyak untuk pembangunan rumah Mamak. Dan Tuhan ganti dengan yang lebih besar. Besarnya bahkan tidak pernah kubayangkan.❤❤❤Aku berbaring. Sebelah tangan berada di antara bantal dan kepala, sedangkan tangan yang lain memainkan ponsel.Foto-foto wanita cantik ini masih memenuhi galeri ponselku. Senyumnya, manjanya, kekanak-kanakannya, polosnya, dan malu-malunya. Karakter itu yang sekarang kurindukan. Dan kini semua itu hilang.Kugeser foto satu demi satu. Memutarkan angan kembali pada kenangan. Membawa rasa manis yang dibalut kepahitan.Aku masih mencintainya. Sulit mematikan rasa yang sedang tumbuh. Tiba-tiba, dipaksa kandas. Aku menghela napas, lalu membuang napas, berlama-lama berenang dalam kenangan.Masih teringat jelas, bagaimana cara kami bercanda, tiap hari teleponan, candaan garing, dan semua kenangan itu. Lalu bayangan saat dia menangisi Doni, membuatku merasa terjatuh ke dasar b
Lagi-lagi aku disibukkan dengan pekerjaan baru. Usaha melejit lebih tinggi. Kesibukanku berubah, sekarang bukan mengurusi barang-barang rusak. Tapi mengontrol semuanya agar berjalan sesuai rencana.Ruko bahkan sudah tidak sanggup menampung peralatan CCTV yang datang dan pergi.Tentu saja ini tak mudah. Harus mempercayai orang-orang baru. Mengelola banyak uang. Mengatur pekerja. Setiap hari masalah pasti ada. Tapi sejauh ini semuanya bisa diselesaikan.Selalu ada hal yang terasa bersangkutan. Aku menggelontorkan uang banyak untuk pembangunan rumah Mamak. Dan Tuhan ganti dengan yang lebih besar. Besarnya bahkan tidak pernah kubayangkan.***Jam delapan malam, saat aku mendengar suara perempuan yang kurang enak di telinga. Ia seperti sedang marah-marah di lantai satu. Biasanya kalau seperti ini ada pelanggan yang komplain. Suaranya serak, berat dan nyaring. Sampai terdengar ke kamar mandi--tempat aku berada sekarang.Aku mengambil handuk, melilitkannya cepat di pinggang. Lalu menarik kau
Part 27. Si Gadis Miris❤❤❤Pasang rasa percaya diri level tak tahu diri.❤❤❤Anjir. Parah. Gue lupa pake celana.Langsung balik badan. Baru sadar ternyata orang-orang yang ada di jembatan penyebrangan semua memperhatikan dengan tatapan aneh, antara benci dan ingin tertawa. Dikiranya aku pasangan mesum yang baru nganu-nganu.Kalau sudah begini, pasang sikap percaya diri level tak tahu diri. Kugulung handuk agar lebih ketat. Lalu berjalan melewati mereka, cuek.“Abis nganu-nganu langsung ngejar ceweknya itu.”“Dasar gak tahu diri.”“Pede aja lagi.”“Astarghfirullah, anak muda sekarang.”Kuhiraukan semua perkataan itu, berjalan cepat ke ruko. Dalam hati bersyukur, untung handuknya ketat, kalau tidak. Entah bagaimana nasib barangku.Padahal aku mengambil langkah lebar-lebar, kenapa bisa tidak terasa? Apa mungkin otakku sudah bergeser gara-gara belakangan terus diforsir? Sepertinya memang sudah beralih fungsi, hanya menampung yang penting-penting saja.Aku menggeleng, menghempaskan pikira
Aku mengambil skripsi. Lumayan tebal juga. Masih banyak coretan. Terlepas dari itu ada beberapa typo yang mungkin belum ditemukan dosennya.Aku mengetik. Vivian mendikte. Hingga dua poin dari bab satu selesai.Terdengar ada beberapa orang di depan rumah. Mereka membuka pintu tanpa permisi. Ada tiga orang yang datang.Seorang ibu, wanita usia remaja, dan laki-laki usia SD atau SMP.“Siapa ini, Vi?” tanya wanita paruh baya itu.“Pemilik servis komputer dekat jembatan penyebrangan itu, Bu. Lagi bantuin Vivi buat skripsi.” Vivian bangun, meraih tangan ibunya. Lalu membantu membawakan barang-barang yang entah apa. Gadis songong itu ternyata sopan juga pada orang tua.“Oh, Maaf, ya, di sini kumuh,” tandas si ibu membuatku tak enak hati.“Eh, tidak apa-apa, Buk. Di sini bagus, tidak kumuh.”“Bagus bagaimana orang berantakan begini.”“Eh, iya, tapi … tak apa-apa, saya tak enak sudah menghilangkan file Vivian.” Aku menggaruk kepala, bicara serba salah. Lalu berdiri, meraih tangannya, salaman.
Part 28. Debaran tak BiasaSeseorang berjalan menghampiri, mengayunkan kaki di sepanjang jalan berpaving sampai berdiri tepat di hadapanku. Dia memakai rok pink muda, sweter kebesaran, dan kerudung seperti biasa. Tidak membawa tas bagai mahasiswa lainnya.Tanpa diperintah, Vivian duduk di sampingku.“Lu gak jadi sidang hari ini?”“Syarat buat sidang harus lunas tunggakan. Gue gak bisa ikut.”Seketika aku menengok pada gadis di sampingku. Ucapannya barusan berhasil membuatku menahan napas. Sungguh miris untuk seorang gadis. Vivian berjuang sendiri tanpa uluran tangan ayahnya.Sering kubanggakan perjuangan yang pernah dilalui dulu. Aku pun sama, harus kuliah dari uang sendiri. Tapi melihat gadis di sampingku ini ... sungguh perjuanganku tak ada apa-apanya.Aku mengamati setiap garis wajah itu. Tidak ada sedikit pun sedih yang kubaca. Iya tersenyum seakan tak ada masalah. Irisnya jauh memandang ke jalan yang sisinya dihiasi Cemara berjajar. Netranya pindah ke langit cerah. Lalu melirik p
“Vivian!” Aku teriak.Dia yang sedang menunduk langsung tengok kanan-kiri.“Vivian!” teriakku lagi.Dia melihat ke sini. Itu benar Vivian.Vivian melempar pandang, lalu gegas pergi membawa alat-alat kebersihannya.Aku turun dari mobil. Mengejar.“Vi, Vivian!”“Tin! Tin! Tin!”Ah, sial! Suara klakson mobil di belakangku sudah berisik. Lampu berubah kuning lalu hijau. Aku cepat balik badan, kembali ke arah mobil. Putar arah. Menyusuri jalan ke mana arah Vivian. Sayangnya dia sudah menghilang entah ke mana.Apa pekerjaan dia jadi tukang bersih-bersih? Tak adakah pekerjaan yang lain? Ini semakin mengganggu pikiranku.***Di jalanan sepi dan gelap ini aku diam. Menunggu gadis itu pulang. Untuk apa? Entahlah aku pun tak tahu. Yang jelas aku tak suka hal semacam ini terjadi di depan mata.Jam delapan orang yang aku tunggu sudah datang. Terlihat dari spion mobil. Langkahnya semakin mendekat. Ini saatnya aku membuka pintu.“Vi!”Dia berhenti, kaget. Lalu tangannya memainkan tas yang menyilang
Part 29. Gubuk yang Disulap Jadi Kraton*POV AuthorKembali ke Gunungkidul.Para pekerja cekatan itu membangun rumah Mamak dengan cepat. Sebulan waktu yang mereka butuhkan. Rumah usang berdinding batu bata itu disulap menjadi rumah joglo modern.Perpaduan antara bangunan khas Jogja yang memiliki atap tinggi, dipadukan dengan gaya modern yang memiliki kaca-kaca lebar di bagian depannya.Ubinnya terang mengkilat, Cat cokelat terang di tiang-tiang dan bilik kayu bagian depan. Rumah itu dibuat lebih tinggi dari dasar yang sebelumnya. Perlu melewati tiga tangga untuk menginjak lantai itu.Gorden tebal membentang, lampu-lampu kristal tertempel di dinding sekitar rumah. Tak menunjukkan kemewahan, tapi dari perpaduan antara klasik dan modern yang pas, membawa nuansa seni yang indah. Semua mengakui, biaya pembangunan rumah itu pasti tak murah.Memasuki dalam rumah. Ruangan depan terbentang luas. Kursi-kursi jati berukiran indah menyambut. Ada tiga kamar dan satu dapur, juga dapur tungku di bag