Share

Bab 8

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2024-02-21 16:08:35

Ponsel Rena terus bergetar dan sudah ada dua puluh enam panggilan tak terjawab, tapi Rena masih asik dengan mimpinya.

Pasalnya Rena baru bisa memejamkan mata pada pukul empat subuh, gadis cantik itu lupa mengubah mode bunyi dari mode getar di telepon genggam.

Sampai akhirnya telepon genggam itu jatuh dari nakas di samping ranjang tepat menimpa wajahnya.

Rena langsung terperanjat bangun, keningnya terasa nyeri tapi getaran telepon genggam mengambil alih perhatian.

Matamya memicing melihat layar telepon genggam, ada panggilan dari Amelia.

"Halo, De.” Rena menjawab panggilan tersebut dengan suara parau khas bangun tidur.

Tumben sekali adik perempuannya ini melakukan panggilan telepon, pasti ingin menagih uang kuliah, setidaknya itu yang Rena pikirkan.

"Kaaa ... Bapak masuk rumah sakit, jantungnya kumat harus di operasi secepatnya dan membutuhkan biaya seratus jutaan tapi lima puluh juta harus masuk sekarang juga ke Rumah Sakit." Amelia bicara sembari menangis.

Seketika Rena merasakan sakit dikepalanya semakin menjadi, bukan karena tertimpa ponsel melainkan karena informasi yang diberikan Amelia.

Pundak Rena melorot, perutnya mual lantaran stress memikirkan dari mana harus mendapatkan uang sebanyak lima puluh juta saat ini juga.

Tiba-tiba Rena merasa ingin lenyap saja dari muka bumi ini.

"Lalu bagaimana keadaan bapak sekarang, De? Apa bapak kritis?” cecar Rena khawatir

"Iya Kak, bapak udah masuk ICU dan butuh penanganan secepatnya.” Amelia menjawab sambil terisak.

"Ya Tuhan … harus cari ke mana uang lima puluh juta?" Rena membatin.

"De, apa mobil bapak bisa dijual dulu atau digadein gitu sambil nunggu Kaka cari uang?" Rena benar-benar bingung tidak tau apa yang harus dia lakukan, dan hanya asal bicara saja.

"Ka, mobil bapak udah di jual kemarin untuk bayar hutang-hutang bapak ke rentenir, hutang bekas berobat yang dulu," tukas Lia lirih, ia merasa bersalah karena ikut andil memberikan ide menjual mobil Bapak.

"Ya ampun De, kok Kakak sampe enggak tau?” Rena tak tahan membendung air matanya, ia tertunduk lemas tidak berdaya.

"Ya udah, Kakak cari uangnya dulu ya, De … nanti kalau uangnya udah ada, Kakak kabarin ade lagi!" Rena melirih.

"Kaka mau cari kemana? Jangan mikir yang nggak-nggak ya, Kak.”

Alih-alih memberitahu apa yang akan dia lakukan untuk mendapatkan uang sejumlah lima puluh juta, Rena malah memutus sambungan telepon.

Kini pikiran Rena benar-benar buntu, dia tak tau kemana harus mencari uang sebesar lima puluh juta.

Sebuah ide tercetus di benaknya, ide gila untuk menjual ginjalnya tapi tidak tau juga bagaimana cara menjual ginjal.

Rena tidak ingin caranya ilegal sampai berurusan dengan polisi.

"Apa aku harus datang ke Rumah Sakit? Di sana pasti banyak yang membutuhkan ginjal.” Rena menggumam.

Saat itu juga Rena mandi dan bergegas pergi ke Rumah Sakit Swasta Terbesar di Jakarta. Gadis itu memilih menggunakan Busway karena ongkosnya lebih murah tidak peduli harus berdesak-desakan di dalam busway, meski begitu Rena masih sempat melamun dengan mata sembab sehingga tanpa dia sadari ada pria yang sengaja menyentuh bokongnya.

"Apa ini jalan yang harus aku tempuh? Apa uang penjualan ginjal ini cukup untuk operasi bapak? Apa aku masih bisa hidup dan bekerja keras hanya dengan satu ginjal?" batinnya pilu, pikirannya melayang berusaha keras mencari solusi untuk masalahnya selain menjual ginjalnya.

Rena masih melamun saat pria mesum itu meraba tubuhnya, tak disangka ada pria berkacamata baik hati yang sedang duduk memperhatikan pria mesum tersebut lantas pria baik itu berdiri.

"Mbak, duduk di sini aja! Saya sebentar lagi turun.” Pria baik hati berkacamata itu mempersilahkan Rena duduk dikursinya.

"Terimakasih, Mas..., " balas Rena memaksakan senyum.

Beberapa menit kemudian Rena tiba di Rumah Sakit kemudian menuju bagian informasi menanyakan tempat donor, setelah mendapatkan informasi yang dibutuhkann, dia bergegas ke lantai lima sesuai arahan petugas informasi.

Saat sampai di ruangan donor, ternyata di sana sepi semua petugas sedang istirahat makan siang.

Rena menghela napas panjang, tubuhnya gemetar tapi tak hilang akal, dia bertanya kepada perawat yang kebetulan lewat.

"Suster, apakah saya bisa bertemu petugas donor?”

"Sebentar ya bu, petugasnya baru keluar … beberapa menit lagi kembali, Ibu tunggu saja di taman rooftop gedung ini, di sana juga ada café jika ibu beruntung bisa bertemu petugas donor di sana, namanya Pak Imam." Suster memberi keterangan yang sangat dibutuhkan Rena.

Setelah mengucapkan terimakasih kepada suster ramah yang dia temui, Rena langsung masuk ke dalam lift dan memencet tombol rooftop dia tidak sabar ingin segera bertemu pak Imam, tubuhnya masih gemetar dan jantungnya berdetak lebih kencang.

"Apakab prosesnya nanti akan sakit? Apakah aku akan mati setelah menjual ginjal?" Banyak sekali pertanyaan menggaung dalam benak Rena menimbulkan kekhawatiran membuat lututnya lemas sampai dia berusaha menopang tubuhnya dengan berpegangan pada dinding lift.

Ting....

Pintu Lift terbuka, di sana memang ada taman yang indah dan teduh, ingin sekali Rena duduk-duduk menikmati pepohonan rindang dan udara sejuk ditengah-tengah kota Jakarta dengan tingkat polusi yang tinggi ini tapi keinginan tersebut Rena urungkan karena harus secepatnya bertemu dengan Pak Imam.

Rena berlari kearah Cafe, bertanya pada setiap orang yang memakai name tag Rumah Sakit tentang keberadaan Pak Imam, tapi semua menjawab tidak tahu sampai telepon genggamnya kembali berbunyi.

"Kaaak, udah dapet uangnya? Ini bapak harus segera di operasi! Bapak sudah kritis!!" teriak Lia sambil menangis.

"Sebentar De, sebentar lagi.... " jawab Rena berusaha tenang.

Lalu entah kenapa suara Amelia tidak terdengar lagi, ternyata sambungan telepon telah terputus.

Tubuh Rena seakan tak bertulang, ia hampir terjatuh bila tak berpegangan pada pagar yang membatasi tanaman indah di sebelahnya.

Di siang hari Kota Jakarta yang panas, ia harus berlari mengejar Busway dan sesampainya di Rumah Sakit harus mencari-cari Petugas Donor.

Tubuh dan pikirannya sangat lelah, akhirnya duduk di kursi depan Lift sambil melamun kemudian memejamkan mata berdoa.

"Tuhan, berikan mukzizat Mu ... berikan pentunjuk Mu!” gumamnya lirih, setetes air mata mengalir dipipinya.

Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka, Ricko dan Andra keluar dari lift. Mereka terkejut sekaligus heran melihat Rena duduk di kursi taman sedang melamun, kedua matanya sembab dengan wajah pucat pasi, terlihat peluh membasahi pelipisnya, mereka berpikir mungkin ada keluarga yang sakit atau meninggal.

"Nona Rena..., " sapa Ricko sambil menepuk pundak Rena lembut.

Seketika Rena menoleh ke arah suara. "Pak Ricko...," ucap Rena lirih dengan ekpresi terkejut.

"Siapa yang sakit? " tanya Ricko Khawatir.

Mendengar pertanyaan Ricko, Rena jadinya ingin mengungkapkan semua beban yang dia tanggung di pundak.

Gadis cantik itu menutup wajah menggunakan ke dua tangan lalu menangis tersedu. Rena tidak kuat menahan semua beban ini sendirian, biasanya Rena tidak secengeng ini, tapi mengingat nyawa bapak ada di tangannya, Rena tidak sanggup lagi.

Tangis pilu Rena membuat kedua pria kekar tersebut tak bergeming.

Andra mengernyit kan dahi.

"Cewek setegar dia bisa menangis juga? Apa memang ada keluarganya yang meninggal.” Andra bertanya di dalam hati.

"Sudah ... Sudah, jangan menangis, malu dilihat orang, nanti mereka pikir aku sedang menyakitimu Nona Rena," bujuk Ricko sambil menepuk pundak Rena pelan, berusaha menenangkan gadis cantik itu.

Tapi Rena belum puas mengeluarkan kesedihan yang ia rasakan, selama beberapa saat Rena masih terus menangis menutup wajah menggunakan kedua tangan.

Dia tak peduli, sudah sedari tadi ingin menangis. Tapi menangis sendiri di tempat umum seperti ini akan membuat orang bertanya-tanya atau bahkan mereka mungkin berpikir kalau dia gila. Tapi menangis ditemani dua pria tampan sepertinya bukan hal yang buruk.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 438

    Kepala Rena mendongak, ingin menatap wajah suami tampannya. Beberapa detik keduanya hanya saling menatap bersama senyum tipis. Kemudian kepala Andra menunduk untuk mengecup bibir Rena. “Jangan kaya gitu mukanya.” Andra yang kembali memeluk Rena pun memprotes dengan gumaman. “Gitu gimana?” Re

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 437

    “Mamaaaaa ….” Zeline yang berteriak paling kencang, merentangkan kedua tangan berlari memburu sang mama yang baru pulang dari Singapura. “Sayang.” Rena melirih dengan mata berkaca-kaca, dia berlutut menggunakan kedua tangan terentang menunggu Zeline masuk ke dalam pelukan. Narendra juga bergerak

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 436

    Malam itu mereka berkumpul di rumah Andra karena Edward memiliki sebuah informasi yang mungkin bisa membuat Rena kembali seperti dulu. Ibu dan Bapak pun ada di sana juga Aras dan Saras-istrinya. “Jadi gini, gue kenal seorang dokter Hipnoterapis yang bagus … gue udah ceritakan kondisi Rena sama d

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 435

    Dari semenjak mimpi buruk dalam hidup Rena yang menyatakan bahwa dia harus kehilangan Nadine, Rena berjuang untuk tetap waras dan tidak terpuruk demi Nadhif. Merelakan itu tidak mudah, apalagi sesuatu yang sangat diinginkan dan dicintai. Anak-anaknya terutama Nadhif lah yang menguatkan Rena. S

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 434

    “Kak … tolong selamatin Nadhif Kak, please … gunakan segala cara, aku mohon.” Rena berlinang air mata memohon kepada Edward. “Ren … aku enggak bisa janji apa-apa ya, tapi petugas medis di sini akan melakukan yang terbaik,” kata Edward menenangkan. Para petugas medis keluar masuk ruang operasi me

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 433

    Andra dan Rena pernah mendapat cobaan dari segi materi yaitu ketika Andra harus menikahi Cynthia atas dasar wasiat sang ayah atau kehilangan perusahaan dan Andra memilih kehilangan perusahaan dari pada memadu istri yang sangat dia cintai, dia rela memberikan semua kerja kerasnya kepada Cynthia lalu

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 432

    “Mama kapan pulang, Pa?” Zeline bertanya saat sang papa mengantarnya tidur. Sebenarnya Rena sudah diperbolehkan pulang dan bisa melakukan pemulihan di rumah tapi dia tidak ingin meninggalkan rumah sakit bila tidak membawa Nadhif sementara Nadhif belum bisa keluar dari NICU. “Sebentar lagi sayang

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 431

    Meski salah satu anaknya tidak selamat, tapi Rena masih tetap bersyukur karena satu anaknya lagi masih bisa bertahan meski harus dirawat sementara waktu di NICU. Rena juga menyesal karena tidak bisa ikut memakamkan putrinya yang diberi nama Nadine Alysandra Gunadhya lantaran kondisinya belum stabi

  • Berawal Dari Kontrak, Berakhir Menetap   Bab 430

    “Mama … adik kangen.” Zeline yang naik ke ranjang hidrolik di mana sang mama tengah berbaring, memberikan pelukan erat. Sudah seminggu tidak bertemu sang mama yang dirawat di rumah sakit membuat Zeline bersedih. “Mama juga kangen sama adik.” Dan mendengar suara mama yang lirih, seketika Zeline

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status