LOGIN“Kau hanya perlu mendengar dan patuh dengan semua kata-kataku, maka hidupmu tidak akan berada dalam kesulitan!” geram Lelaki bertubuh semampai itu sambil menatap tajam kearah gadis kecil dihadapannya. Akankah gadis itu mampu bertahan untuk menjalani hidup nya dengan Pria itu? Atau ia menyerah dan memilih merintis karirnya sendiri demi melunasi hutang keluarganya?
View More“Tuan aku mohon ini adalah harta terakhir kami,” isak wanita paruh baya sembari bersimpuh dihadapan Pria muda yang sedang duduk sembari menyisap sebatang rokoknya.
“Aku akan mengembalikan rumahmu jika kau mampu melunasi hutang Suamimu,” ujar Pria Muda itu. “Ibu,” isak Gadis Muda yang juga ikut bersimpuh bersama Sang Ibu. “Tuan, beri kami waktu untuk melunasi hutang Ayah,” ujar Gadis Muda itu dengan tatapan memohon. Pria itu kemudian melirik kearah Gadis itu. Gadis kecil yang masih menjadi Siswi Sekolah menengah atas. Pria itu kemudian menghela nafasnya kasar. Ia kemudian memanggil Gadis Muda itu dengan gerakan tangannya. “Kemari,” ucap Pria itu. Gadis itu tanpa ragu langsung maju menuju Pria itu. “Siapa namamu?” tanya Pria itu. “Ashley Cecilia Bailey,” jawab Ashley pelan. Pria itu kemudian menatap dengan seksama wajah Ashley. “Henry.” Asisten Pria itu kemudian mendekat. Pria itu kemudian membisikkan sesuatu pada Asistennya. “Baik Tuan Glen,” ujar Sang Asisten yang bernama Henry. Pria muda itu kemudian bangkit dari duduknya dan melenggang pergi tanpa sepatah kata pun diikuti oleh Sang Asisten Henry. Melihat itu, Sang Wanita paruh baya langsung berteriak histeris memohon agar mereka tak mengusir keluarganya dari rumah itu. “Ibu, Hiks. Bagaimana nasib kita,” isak Ashley sembari memeluk Sang Ibu. Beberapa jam kemudian, saat suasana rumah sudah sedikit tenang, Henry kembali membawa beberapa berkas ditangannya. Ia kemudian menjelaskan maksud dan tujuannya mengapa ia kembali. “Tuan memberi penawaran. Ia akan membiarkan kalian tinggal di rumah ini, dengan satu syarat. Yaitu, Nona Ashley menjadi Istri Tuan Glen,” ujar Henry. Ashley dan Sang Ibu terkejut. Bagaimana bisa mereka memberi penawaran itu pada gadis yang bahkan belum tamat sekolah. Sang Ibu langsung menolak mentah-mentah tawaran Henry. Sementara Ashley, ia mematung dan tak berkata apapun. “Silahkan dibaca terlebih dahulu kontrak perjanjian dan benefit yang akan kalian terima,” ujar Henry sembari menyodorkan sebuah berkas pada Ashley dan Ibunya. Keduanya kemudian membaca dengan seksama apa yang tertulis didalam berkas itu. “Tidak Tuan. Anakku lebih berharga daripada apapun. Aku tidak mungkin menjualnya dan menghancurkan masa depannya,” tegas Sang Ibu. “Baiklah kalau Anda menolak. Kalau begitu saya permisi,” ujar Henry kemudian meninggalkan rumah keluarga Bailey. Sang Ibu langsung memeluk putrinya itu dengan erat. Ia menangis karena tak tahu harus berbuat apa. Hari demi hari berlalu. Mereka masih belum mampu membayar hutang peninggalan Ayah Ashley. Kerja keras mereka sehari-hari hanya cukup untuk makan dan untuk kebutuhan pribadi. “Bu, apa tidak apa kalau kutinggal?” tanya Ashley saat melihat ibunya yang terbaring lemah di ranjang. “Iya. Ibu tak apa. Hanya masuk angin saja,” ucap Sang Ibu. Ashley kemudian berpamitan dan pergi menuju kesekolahnya. “Yatuhan, beri kami kemudahan,” batin Ashley. Disepanjang perjalanan menuju sekolahnya, ia hanya diam dan melamun. Gadis yang seharusnya hanya memikirkan pelajaran malah harus ikut menanggung beban keluarga. Sore pun tiba. Ashley kembali dari sekolah menuju rumahnya. Sesampainya dirumah, ia langsung menuju kamar Sang Ibu untuk melihat kondisinya. Tapi sebelum masuk, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Gadis itu langsung berjalan kearah pintu dan membukanya. “Siapa?” Saat pintu terbuka, Ashley terkejut melihat Glen sudah berdiri diikuti beberapa orang dibelakangnya. “S-silahkan masuk Tuan,” ucap Ashley mempersilahkan Glen. Glen dan beberapa pengawalnya pun masuk. “Dimana Ibumu?” tanya Glen. “Sebentar Tuan.” Ashley langsung berlari menuju kamar Ibunya dan membukanya. “Bu, Ibu. Ada Tuan Glen. Kita harus bagaimana Bu?” ujar Ashley cemas. Sang Ibu tak merespons. Tubuhnya pucat dan seluruh badannya kaku. Ashley pun mendekat dan langsung memeriksa Ibunya. “Bu! Bu! Bangunlah Bu!” ujar Ashley dengan suara yang mulai gemetar. Gadis itu dengan cepat memeriksa bagian pergelangan tangan ibunya serta bagian lehernya. Ia terduduk lemas. Seluruh tubuhnya bergetar. Air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya. “IBUUUUU!” jerit Ashley. Mendengar itu, beberapa ajudan Glen langsung menghampiri Ashley dan melihat situasi yang terjadi. “Ibu! Jangan tinggalkan aku Bu! Aku mohon!” isak Ashley sembari terus menggoncangkan tubuh Ibunya. Glen pun langsung menghampiri Ashley. Ia tak berkata sepatah katapun. “Tuan, tolong aku tuan! Bantu aku membawa Ibu kerumah sakit!” Melihat itu, Glen pun tak tinggal diam. Ia memerintahkan beberapa pengawalnya untuk membopong tubuh Ibu Ashley dan membawanya kerumah sakit. Ibu Ashley berada di mobil pengawal Glen. Sementara Ashley, diminta untuk naik bersama Glen. “Pikirkan tawaran kemarin. Itu adalah satu-satunya pilihan untuk melanjutkan hidup,” ujar Glen membuka suara. Ashley tak menjawab. Ia hanya bisa menangis sepanjang perjalanan. Sesampainya dirumah sakit, Ibu Ashley langsung dibawa ke IGD. Dan beberapa menit kemudian, Sang Ibu dinyatakan meninggal dunia akibat serangan jantung. Gadis itu tak bergeming. Air matanya mengalir deras dari pelupuk matanya. Ia kemudian mendekat kearah Sang Ibu dan menangis sejadi jadinya. “Kenapa kau meninggalkanku Bu?” jerit Ashley. “Aku harus bagaimana jika tidak ada Ibu?” “Aku hanya punya Ibu. Dan sekarang aku tidak punya siapa-siapa lagi Bu,” isak Ashley. Glen pun merasa Iba. Ia ingin menenangkan gadis kecil dihadapannya itu tapi tidak tahu bagaimana caranya. Pria itu kemudian keluar dan menuju bagian administrasi untuk melunasi semua biaya perawatan Ibu Ashley. Beberapa jam berlalu. Sang Ibu kemudian dimakamkan di pemakaman umum tepat disebelah Ayahnya. Ashley hanya bisa meratapi kepergian Ibunya dan meratapi nasibnya yang sangat memprihatinkan. “Nona, Tuan ingin bicara denganmu,” ucap Henry yang sedari tadi menemani Ashley mengurus pemakaman Sang Ibu. Ashley kemudian mengangguk dan beranjak dari makam Ibunya dan menuju mobil Glen. “Ada apa Tuan?” tanya Ashley to the point. “Baca ini,” ujar Glen sembari menyodorkan berkas pada Ashley. Ashley kemudian membuka dan membacanya dengan perlahan. “Apa aku tidak salah baca? Kau akan menanggung semua biayaku hingga aku mati?” tanya Ashley memastikan. “Ya. Kenapa? Tidak percaya?” tanya Glen dengan tatapan mengintimidasi. Ashley menelan ludahnya kasar. Ini adalah kesempatan bagus untuknya. Lagipula dia tidak punya siapa-siapa lagi didunia ini. Belum lagi ia masih sekolah. Ia berfikir biaya sekolahnya yang cukup besar. Gadis itu kemudian menoleh kearah Glen. “Dengan satu syarat. Pernikahan ini harus disembunyikan,” ujar Ashley. Glen menoleh. “Ck. Gadis kecil sepertimu tau apa?” “Aku tidak ingin terekspos dan hanya ingin hidup damai,” ujar Ashley. “Kalau kau setuju aku akan tanda tangan sekarang ,” lanjut Ashley. “Oke. Deal,” ujar Glen. Dengan cepat, Ashley menanda tangani kontrak perjanjian pernikahan itu. Ia kemudian menyerahkan pada Glen dan langsung menyenderkan tubuhnya dikursi mobil sembari menarik nafas panjang. “Semoga aku tidak salah mengambil keputusan,” batinnya.Pagi di mansion berjalan rapi seperti biasa. Glen sudah berpakaian formal, jasnya sempurna, ekspresinya tenang. Ashley turun menyusul dengan langkah pelan, satu tangannya menahan perut yang mulai terasa berat. “Aku antar kamu ke kantor,” ujar Glen.. Ashley tersenyum kecil. “Kamu tidak terlambat?” “Aku masih bisa mengatur waktu,” jawabnya ringan. Perjalanan menuju Cath Company berlangsung hening namun nyaman. Glen sesekali melirik Ashley, memastikan ia duduk dengan baik. Tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa menenangkan. Sesampainya di depan gedung Cath Company, Glen turun lebih dulu, membukakan pintu. “Jangan memaksakan diri,” katanya singkat namun tegas. “Kalau lelah, hentikan rapat.” Ashley mengangguk. “Aku tahu.” Glen menunggu sampai Ashley benar-benar masuk ke gedung sebelum kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanannya menuju Vierca Group. Tak lama setelah itu, sekretaris Ashley mengetuk pintu ruang kerjanya. “Nyonya Ashley, Tuan George dari Slytzea
Sore itu paviliun belakang mansion terasa tenang. Angin berembus pelan, membawa aroma teh hangat yang baru diseduh. Ashley duduk dengan posisi rapi namun santai, satu tangannya memegang cangkir, tangan lain sesekali menyentuh perutnya. Glen duduk di hadapannya. Sebagai anak bungsu keluarga Moonstone, sikapnya selalu terlihat lebih ringan dibanding saudara-saudaranya—namun tetap penuh perhitungan. “Kamu sudah dengar soal Rensca?” tanya Ashley membuka pembicaraan. Glen mengangguk pelan. “Sudah. Keputusan itu langsung dari Tuan Besar.” Ashley menarik napas. “Jujur saja, aku merasa caranya terlalu keras. Dia sedang hamil, tapi justru dipindahkan dan dijauhkan dari William.” Glen menyandarkan punggungnya dengan tenang. “Di keluarga Moonstone, stabilitas selalu lebih penting daripada perasaan. Ayah hanya melakukan apa yang menurutnya perlu.” Nada suaranya datar, tidak membela, namun juga tidak menentang. Ashley menatap permukaan teh di cangkirnya. “Aku takut kondisi Rensca mal
Dengan segala pertimbangan, Akhirnya Rensca dilarukan kerumah sakit terdekat. Koridor rumah sakit kembali sunyi setelah dokter masuk ke ruang observasi. Rensca masih terbaring lemah di balik pintu tertutup itu—bertarung sendirian mempertahankan janin yang hampir saja hilang. Di luar, keluarga Moonstone berdiri tanpa empati. Tuan Besar Moonstone duduk di kursi tunggu paling ujung. Tongkat kayunya bertumpu di lantai, genggamannya mantap, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun kegelisahan. Usia tak pernah melemahkan wibawanya—justru memperkerasnya. “Dokter bilang janin masih hidup,” lapor salah satu anggota keluarga dengan suara hati-hati. “Masih,” ulang Tuan Besar pelan. Satu kata itu terdengar seperti vonis. William berdiri tak jauh, rahangnya mengeras. “Ayah, kondisi Rensca tidak stabil. Dia hampir—” “Dia kehilangan kendali,” potong Tuan Besar dingin. “Dan itu tidak bisa ditoleransi dalam keluarga Moonstone.” Tak ada nada khawatir. Hanya penilaian. Seorang paman Mo
“Kumohon. Biarkan aku menjagamu, dan bayi ini,” lirih George. “Kita bicarakan itu nanti. Takut ada yang dengar,” bisik Ashley. Dan benar saja, tak berselang lama, Alfredo masuk membawa baki berisikan teh dan beberapa camilan. “Silahkan Tuan,” ucap Alfredo. Suasana pun menjadi canggung. Alfredo yang bisa merasakannya langsung melirik tajam kearah Ashley dan George. “Saya akan menunggu diluar, Nona,” ucap Alfredo kemudian berjaga didepan pintu ruangan bersama Louis. “Oh ya, apa sudah ada kabar dari Ayah Yi Ze?” tanya Ashley Mengingat kerjasama yang sangat berharga bagi George. “Sudah. Beberapa hari lagi, aku akan terbang untuk meeting dengan mereka,” ucap George. “Wah, bagus sekali. Semoga lancar,” ucap Ashley. George mengangguk. “Mau ikut?” tanya George. “Jangan gila George. Aku sedang hamil. Glen tidak akan mengizinkan,” kesal Ashley. George pun terkekeh melihat wajah kesal Ashley. “Aku hanya bercanda,” ucap George. “Sudahlah. Aku harus bekerja,” ucap Ashley






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews