Bagi dunia, Kian Alvaro adalah definisi kesempurnaan; seorang CEO jenius dengan wajah tanpa cela dan kekuasaan tak terbatas. Namun setiap malam, kesempurnaan itu retak, digantikan oleh penjara giok dingin yang merenggut identitasnya sebuah kutukan kuno yang menjadi rahasia tergelapnya. Takdir mempertemukannya dengan Elara, seorang barista berlidah tajam yang secara tak sengaja menjadi satu-satunya saksi dari wujud terkutuknya. Demi membungkam Elara, Kian menyeretnya masuk ke dalam sangkar emasnya, menjadikannya asisten pribadi sekaligus tunangan dalam sebuah pernikahan kontrak yang mengikat. Terjebak dalam dunia kemewahan yang penuh intrik, Elara menemukan bahwa topeng giok itu lebih dari sekadar kutukan; itu adalah jejak dari konspirasi dan pengkhianatan yang mengancam untuk menghancurkan warisan Alvaro. Sementara Kian berjuang melawan monster dalam dirinya, Elara menyadari bahwa warisan keluarganya yang terlupakan mungkin adalah satu-satunya harapan. Di antara rahasia dan kebohongan, mampukah kehangatan Elara melelehkan hati CEO bertopeng giok itu sebelum kegelapan menelan mereka berdua?
View MoreAroma kopi yang pekat berbaur dengan wangi manis dari croissant mentega, menciptakan sebuah selimut hangat yang memeluk siapa pun yang melangkah masuk ke "Kopi Senja". Bagi Elara, aroma ini adalah napasnya, melodi dari hari-harinya. Di balik konter kayu ek yang mengilap, gerakannya lincah dan presisi. Jemarinya menari di atas mesin espreso, menghasilkan desisan uap dan aliran cairan hitam pekat yang sempurna. Senyumnya, meski lelah setelah seharian berdiri, tak pernah luntur saat menyajikan pesanan.
"Kopi susu gula aren untuk Mbak Rina," ujarnya riang, meletakkan cangkir keramik dengan latte art berbentuk hati yang sedikit miring. "Hati-hati, masih panas." Wanita bernama Rina itu tertawa kecil. "Hatimu yang miring atau kopinya, El? Terima kasih, ya." Elara hanya membalas dengan cengiran. Kopi Senja adalah dunianya. Sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, tempat para pekerja kantoran melepas penat dan mahasiswa mencari inspirasi. Setiap sudutnya terasa akrab, dari tumpukan buku di rak pojok hingga alunan musik jazz instrumental yang mengalun pelan. Namun, setiap hari pada pukul empat sore, kehangatan itu seolah menyusut, ditarik paksa oleh sebuah kehadiran yang membuat udara terasa lebih dingin beberapa derajat. Lonceng di atas pintu berdentang pelan, bunyinya terdengar lebih tajam dari biasanya. Seketika, bisik-bisik pelan di antara pelanggan mereda. Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Ia bisa merasakannya aura dingin yang menusuk, begitu kontras dengan kehangatan kafe. Ia menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan senyum profesionalnya, lalu berbalik. Di sana, di ambang pintu, berdiri sesosok pria yang seolah berjalan keluar dari sampul majalah bisnis. Tubuhnya tinggi tegap, dibalut setelan abu-abu arang yang seolah ditenun dari bayangan dan presisi. Setiap helai rambut hitamnya tertata sempurna, dan garis rahangnya setajam pisau. Namun, bukan penampilannya yang sempurna yang membuat orang menahan napas. Itu adalah matanya. Sepasang mata gelap, sedalam obsidian, yang memantulkan kehampaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada minat, hanya ada kekosongan yang membekukan. Pria itu, Kian Alvaro, CEO dari Alvaro Corp, raksasa teknologi yang gedungnya menjulang angkuh beberapa blok dari sini. Dalam hatinya, Elara memberinya julukan: Tuan Tanpa Rasa. Tanpa sepatah kata pun, Kian berjalan melintasi ruangan. Langkahnya tak bersuara di atas lantai kayu, menuju meja yang sama di sudut paling terpencil, yang menghadap ke jendela tetapi selalu tertutup tirai tipis. Seolah-olah ia ingin melihat dunia luar tanpa dilihat kembali. Elara sudah menyiapkan cangkir. "Pesanan biasa, Tuan?" tanyanya, suaranya berusaha terdengar stabil, menolak untuk terintimidasi. Kian hanya mengangguk singkat, tatapannya tak pernah benar-benar fokus pada Elara. Ia lebih seperti menatap menembus dirinya. "Americano, tanpa gula," Elara menggumam pada dirinya sendiri sambil mulai bekerja. Setiap hari ritualnya sama. Kian akan duduk di sana selama tepat satu jam, menyesap kopinya perlahan, tatapannya kosong. Ia tidak pernah membuka laptop, tidak pernah membaca buku, tidak pernah menjawab telepon. Ia hanya duduk, diam, diselimuti aura kesendirian yang begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Para pelanggan lain akan mencuri-curi pandang, berbisik tentang kesepakatan bisnis triliunan rupiah yang baru saja ia tutup atau tentang pesaing yang ia hancurkan tanpa ampun. Bagi mereka, Kian Alvaro adalah predator di puncak rantai makanan korporat. Tapi bagi Elara, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih ganjil. Ia pernah teringat dongeng yang sering diceritakan neneknya sebelum tidur. Cerita tentang makhluk-makhluk musim dingin yang terperangkap dalam wujud manusia, membawa hawa dingin abadi ke mana pun mereka pergi. Tentu saja itu konyol. Ini Jakarta, bukan negeri dongeng bersalju. Namun, setiap kali Kian berada di dekatnya, Elara bisa merasakan bulu kuduknya meremang karena sensasi dingin yang tak wajar. "El, aku harus pulang cepat, ya," suara Pak Budi, pemilik kafe yang baik hati, membuyarkan lamunan Elara. "Anakku demam. Kamu bisa tolong tutup kafe malam ini? Nanti uang lemburnya aku lebihkan." "Tentu saja, Pak. Tidak masalah," jawab Elara tulus. "Semoga lekas sembuh untuk putranya." "Terima kasih banyak, El. Kamu memang bisa diandalkan." Setelah memberikan beberapa instruksi, Pak Budi bergegas pergi, meninggalkan Elara sendirian di balik konter. Satu per satu pelanggan mulai pergi seiring senja yang berganti malam. Lampu-lampu jalan di luar mulai menyala, memantulkan cahaya kuning hangat di jendela kafe. Suasana menjadi sunyi, hanya menyisakan Elara dan Tuan Tanpa Rasa di sudut gelapnya. Keheningan terasa lebih berat sekarang. Biasanya, obrolan ringan Pak Budi akan mengisi kekosongan ini. Elara mulai membersihkan meja, menyapu lantai, gerakannya sengaja ia buat sedikit lebih berisik untuk memecah kesunyian yang canggung. Ia melirik ke arah Kian. Pria itu masih di sana, cangkirnya sudah lama kosong, tetapi ia belum beranjak. Pandangannya terpaku pada rintik hujan pertama yang mulai membasahi kaca jendela. Wajahnya, yang diterpa cahaya temaram dari dalam, tampak pucat pasi. Ada sebersit kerapuhan di sana, sesuatu yang belum pernah Elara lihat sebelumnya. Sesuatu yang dengan cepat lenyap saat Kian menyadari tatapannya. Mata mereka bertemu selama sepersekian detik. Elara merasakan sengatan listrik dingin menjalari tulang punggungnya. Ia buru-buru membuang muka, jantungnya berdebar kencang. Sudah waktunya tutup. Dengan langkah ragu, Elara berjalan ke pintu depan untuk membalik tanda "BUKA" menjadi "TUTUP". Ia menarik napas, bersiap untuk mengucapkan kalimat yang paling ia takuti malam ini. "Maaf, Tuan. Kami sudah akan tutup." Tidak ada jawaban. Kian masih mematung di kursinya. Elara menelan ludah. "Tuan Alvaro?" Perlahan, Kian berdiri. Gerakannya kaku, seolah setiap sendinya terasa sakit. Ia berjalan menuju kasir untuk membayar, meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di atas meja jauh lebih banyak dari harga kopinya. "Kembaliannya..." "Simpan saja," potong Kian, suaranya serak dan dalam, kata pertama yang ia ucapkan malam itu. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Elara menghela napas lega. Akhirnya. Ia bisa mengunci pintu dan pulang. Ia mengikuti Kian dari belakang, siap menarik pintu geser setelah pria itu keluar. Namun, Kian berhenti tepat di ambang pintu. Punggungnya yang lebar menghalangi seluruh jalan keluar. "Tuan?" tanya Elara bingung. Kian tidak menjawab. Ia hanya berdiri mematung. Hujan di luar semakin deras, menciptakan tirai air yang menghalangi pandangan. Saat itulah Elara menyadarinya. Tangan Kian yang terkepal di sisinya bergetar hebat. "Anda baik-baik saja?" Elara melangkah lebih dekat, rasa cemas mengalahkan rasa takutnya. "Jangan," desis Kian, suaranya terdengar penuh penderitaan. "Jangan mendekat." Elara membeku. Peringatan itu terasa begitu nyata, begitu mendesak. Tepat pada saat itu, lampu utama kafe berkedip dua kali sebelum akhirnya padam total, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang hanya ditembus oleh cahaya remang dari lampu jalan dan papan nama kafe. Listrik padam. Sesuatu yang biasa terjadi saat hujan deras. Elara meraba-raba mencari ponselnya, menyalakan senter. Cahayanya langsung menyorot pintu depan, tempat Kian masih berdiri. Dan pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Kian Alvaro sedang mencengkeram wajahnya dengan kedua tangan. Dari sela-sela jarinya yang panjang dan pucat, bukan kulit yang terlihat, melainkan sesuatu yang bersinar. Cahaya hijau keperakan yang lembut, seolah ada batu giok cair yang meleleh di bawah kulitnya. Pria itu terhuyung ke belakang, punggungnya menabrak pintu kaca dengan keras, menimbulkan suara dentuman yang mengerikan. "Argh!" Erangan kesakitan yang tertahan lolos dari bibirnya. Itu bukan suara seorang CEO yang berkuasa, melainkan rintihan hewan yang terluka. Elara terpaku di tempat, senter di tangannya gemetar hebat. Dongeng neneknya tentang makhluk malam, tentang kutukan, tentang perubahan wujud yang menyakitkan, semua berkelebat di benaknya. Ini tidak mungkin nyata. Ini pasti hanya ilusi yang diciptakan oleh kegelapan dan ketakutannya. Kian perlahan menurunkan tangannya. Wajah yang menatap balik ke arah Elara dalam sorotan cahaya senter bukanlah wajah Kian Alvaro. Kulit, tulang, dan ekspresi manusianya telah lenyap. Sebagai gantinya, ada sebuah topeng. Topeng giok yang mulus, bersinar dengan cahaya supernatural, menutupi seluruh wajahnya. Topeng itu tidak memiliki ekspresi, tetapi Elara bisa merasakan tatapan panik dan ngeri dari dua lubang mata kosong yang kini menghadap lurus ke arahnya. Malam telah tiba, listrik telah padam, dan pintu menuju dunia luar tertutup rapat. Elara terperangkap di dalam, bersama badai yang menyamar sebagai manusia, yang kini telah menunjukkan wujud aslinya yang mengerikan.Helikopter hitam itu mendarat tanpa suara di sebuah lembah kecil yang tersembunyi di kawasan Puncak, Cisarua. Saat pintu geser terbuka, udara yang langsung menyergap mereka begitu berbeda. Jika Jakarta adalah napas panas dari mesin dan ambisi, dan Ciptagelar adalah udara tanah yang sarat dengan bahaya, maka Puncak adalah embusan nap
Fajar baru saja akan merekah, namun di dalam penginapan terpencil itu, tidak ada satu pun dari penghuninya yang tertidur. Pengetahuan akan tenggat waktu tiga minggu yang mereka miliki terasa seperti beban fisik, menekan udara di sekitar mereka dan membuat setiap detik terasa berharga sekaligus menyiksa. Mereka tidak lagi hanya melawan sebuah konspirasi, mereka kini sedang berlomba melawan pergerakan langit."Perpustakaan Senja," ulang Kian, suaranya pelan namun bergema di keheningan pagi buta. Ia menatap Elara, mencari kepastian. "Hanya itu petunjuk yang kita punya?"Elara menghela napas, mencoba menggali lebih dalam lagi ke sudut-sudut ingatannya yang kabur. "Hanya itu, Tuan. Nenek hanya menyebutnya sekali atau dua kali saat aku masih sangat kecil. Bukan sebagai tempat yang nyata, lebih seperti sebuah dongeng. Dia bilang 'si penjaga buku' adalah kerabat jauh dari garis keturunan ibu, seorang pria yang sangat tua, lebih tua dari seharusnya, dan tinggal di sebuah tempat
Perjalanan kembali dari Lembah Tujuh Bintang terasa jauh lebih berat daripada saat berangkat. Setiap langkah terasa membebani, bukan karena kelelahan fisik semata, tetapi karena bobot pengetahuan yang baru saja mereka peroleh. Hutan yang di pagi hari terasa magis dan penuh kehidupan, kini terasa mencekam dan opresif. Setiap bayangan
Keheningan yang mengikuti pernyataan Elara terasa begitu pekat, seolah udara di lembah itu sendiri ikut menahan napas. Realisasi mengerikan itu menggantung di antara mereka: mereka tidak sedang menghadapi seorang pebisnis serakah, tetapi seorang fanatik yang berencana melepaskan bencana.Kian adalah yang pertama kali memecah kebekuan. Reaksinya bukanlah kepanikan, melainkan fokus yang dingin dan tajam. Naluri sang jenderal mengambil alih sepenuhnya. Dengan gerakan lembut namun tegas, ia menarik Elara menjauh dari batu hitam itu. "Jangan sentuh lagi," perintahnya pelan, matanya memindai lingkungan sekitar, waspada terhadap ancaman yang tak terlihat.Ia mengeluarkan sebuah multi-alat dari sakunya. Dari salah satu kompartemennya, ia mengambil sebuah penjepit kecil dan sebuah tabung sampel steril. Dengan presisi seorang ahli bedah, ia mendekati batu itu dan dengan hati-hati mengambil sampel dari cairan hitam kental yang sudah sedikit mengering di sisinya. Ia memasukkannya
Fajar di perbukitan Ciptagelar adalah sebuah entitas yang sama sekali berbeda dari fajar di Jakarta. Tidak ada gedung pencakar langit yang menghalangi cahaya pertama, hanya kabut tipis yang melayang di atas pucuk-pucuk pohon, mengubah sinar matahari pagi menjadi selubung keperakan yang magis. Di dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara serangga hutan, Elara dan Kian sudah bergerak. Mereka adalah dua bayangan yang menyelinap keluar dari penginapan, meninggalkan jejak embun di atas rerumputan.Pakaian mereka adalah cerminan dari misi mereka. Setelan mahal dan sepatu kulit telah berganti dengan celana kargo berwarna zaitun, kaus menyerap keringat, dan sepatu bot trekking yang kokoh. Kian, tanpa jas dan dasinya, tampak lebih liar dan berbahaya, otot-ototnya yang terbentuk dari disiplin bertahun-tahun terlihat lebih jelas. Elara, dengan rambut yang diikat ekor kuda dan ransel kecil di punggungnya, memancarkan aura ketenangan dan fokus yang tidak ia miliki beberapa minggu lalu."Merek
Perjalanan darat selama beberapa jam dari Jakarta menuju kaki Gunung Salak adalah sebuah transisi yang nyata, bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara psikologis. Aspal mulus dan hutan beton yang angkuh perlahan-lahan menyerah pada jalanan yang lebih berkelok, digantikan oleh hamparan sawah hijau zamrud yang berkilauan di bawah matahari dan siluet pegunungan yang membiru di kejauhan. Udara di dalam mobil sedan mewah yang dikemudikan oleh supir pribadi Kian terasa dingin dan artifisial, sangat kontras dengan udara lembap dan hangat yang merembes masuk setiap kali mereka menurunkan kaca jendela.Elara menatap pemandangan yang familier itu dengan perasaan campur aduk. Ada kelegaan yang menenangkan saat melihat kembali perbukitan dan pepohonan yang menjadi latar masa kecilnya. Namun, kelegaan itu kini dilapisi oleh lapisan tipis kecemasan. Tanah yang indah ini bukan lagi hanya sekadar rumah; ini adalah medan perang yang tidak terlihat. Setiap petak tanah yang mereka lewati kini ia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments