CEO Bertopeng Giok

CEO Bertopeng Giok

last updateLast Updated : 2025-07-08
By:  Ethan ZacharyOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
17Chapters
12views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Bagi dunia, Kian Alvaro adalah definisi kesempurnaan; seorang CEO jenius dengan wajah tanpa cela dan kekuasaan tak terbatas. Namun setiap malam, kesempurnaan itu retak, digantikan oleh penjara giok dingin yang merenggut identitasnya sebuah kutukan kuno yang menjadi rahasia tergelapnya. Takdir mempertemukannya dengan Elara, seorang barista berlidah tajam yang secara tak sengaja menjadi satu-satunya saksi dari wujud terkutuknya. Demi membungkam Elara, Kian menyeretnya masuk ke dalam sangkar emasnya, menjadikannya asisten pribadi sekaligus tunangan dalam sebuah pernikahan kontrak yang mengikat. Terjebak dalam dunia kemewahan yang penuh intrik, Elara menemukan bahwa topeng giok itu lebih dari sekadar kutukan; itu adalah jejak dari konspirasi dan pengkhianatan yang mengancam untuk menghancurkan warisan Alvaro. Sementara Kian berjuang melawan monster dalam dirinya, Elara menyadari bahwa warisan keluarganya yang terlupakan mungkin adalah satu-satunya harapan. Di antara rahasia dan kebohongan, mampukah kehangatan Elara melelehkan hati CEO bertopeng giok itu sebelum kegelapan menelan mereka berdua?

View More

Chapter 1

Semua yang Terkunci

Aroma kopi yang pekat berbaur dengan wangi manis dari croissant mentega, menciptakan sebuah selimut hangat yang memeluk siapa pun yang melangkah masuk ke "Kopi Senja". Bagi Elara, aroma ini adalah napasnya, melodi dari hari-harinya. Di balik konter kayu ek yang mengilap, gerakannya lincah dan presisi. Jemarinya menari di atas mesin espreso, menghasilkan desisan uap dan aliran cairan hitam pekat yang sempurna. Senyumnya, meski lelah setelah seharian berdiri, tak pernah luntur saat menyajikan pesanan.

"Kopi susu gula aren untuk Mbak Rina," ujarnya riang, meletakkan cangkir keramik dengan latte art berbentuk hati yang sedikit miring. "Hati-hati, masih panas."

Wanita bernama Rina itu tertawa kecil. "Hatimu yang miring atau kopinya, El? Terima kasih, ya."

Elara hanya membalas dengan cengiran. Kopi Senja adalah dunianya. Sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, tempat para pekerja kantoran melepas penat dan mahasiswa mencari inspirasi. Setiap sudutnya terasa akrab, dari tumpukan buku di rak pojok hingga alunan musik jazz instrumental yang mengalun pelan. Namun, setiap hari pada pukul empat sore, kehangatan itu seolah menyusut, ditarik paksa oleh sebuah kehadiran yang membuat udara terasa lebih dingin beberapa derajat.

Lonceng di atas pintu berdentang pelan, bunyinya terdengar lebih tajam dari biasanya.

Seketika, bisik-bisik pelan di antara pelanggan mereda. Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Ia bisa merasakannya aura dingin yang menusuk, begitu kontras dengan kehangatan kafe. Ia menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan senyum profesionalnya, lalu berbalik.

Di sana, di ambang pintu, berdiri sesosok pria yang seolah berjalan keluar dari sampul majalah bisnis. Tubuhnya tinggi tegap, dibalut setelan abu-abu arang yang seolah ditenun dari bayangan dan presisi. Setiap helai rambut hitamnya tertata sempurna, dan garis rahangnya setajam pisau. Namun, bukan penampilannya yang sempurna yang membuat orang menahan napas. Itu adalah matanya.

Sepasang mata gelap, sedalam obsidian, yang memantulkan kehampaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada minat, hanya ada kekosongan yang membekukan. Pria itu, Kian Alvaro, CEO dari Alvaro Corp, raksasa teknologi yang gedungnya menjulang angkuh beberapa blok dari sini.

Dalam hatinya, Elara memberinya julukan: Tuan Tanpa Rasa.

Tanpa sepatah kata pun, Kian berjalan melintasi ruangan. Langkahnya tak bersuara di atas lantai kayu, menuju meja yang sama di sudut paling terpencil, yang menghadap ke jendela tetapi selalu tertutup tirai tipis. Seolah-olah ia ingin melihat dunia luar tanpa dilihat kembali.

Elara sudah menyiapkan cangkir. "Pesanan biasa, Tuan?" tanyanya, suaranya berusaha terdengar stabil, menolak untuk terintimidasi.

Kian hanya mengangguk singkat, tatapannya tak pernah benar-benar fokus pada Elara. Ia lebih seperti menatap menembus dirinya.

"Americano, tanpa gula," Elara menggumam pada dirinya sendiri sambil mulai bekerja.

Setiap hari ritualnya sama. Kian akan duduk di sana selama tepat satu jam, menyesap kopinya perlahan, tatapannya kosong. Ia tidak pernah membuka laptop, tidak pernah membaca buku, tidak pernah menjawab telepon. Ia hanya duduk, diam, diselimuti aura kesendirian yang begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Para pelanggan lain akan mencuri-curi pandang, berbisik tentang kesepakatan bisnis triliunan rupiah yang baru saja ia tutup atau tentang pesaing yang ia hancurkan tanpa ampun.

Bagi mereka, Kian Alvaro adalah predator di puncak rantai makanan korporat. Tapi bagi Elara, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih ganjil. Ia pernah teringat dongeng yang sering diceritakan neneknya sebelum tidur. Cerita tentang makhluk-makhluk musim dingin yang terperangkap dalam wujud manusia, membawa hawa dingin abadi ke mana pun mereka pergi. Tentu saja itu konyol. Ini Jakarta, bukan negeri dongeng bersalju. Namun, setiap kali Kian berada di dekatnya, Elara bisa merasakan bulu kuduknya meremang karena sensasi dingin yang tak wajar.

"El, aku harus pulang cepat, ya," suara Pak Budi, pemilik kafe yang baik hati, membuyarkan lamunan Elara. "Anakku demam. Kamu bisa tolong tutup kafe malam ini? Nanti uang lemburnya aku lebihkan."

"Tentu saja, Pak. Tidak masalah," jawab Elara tulus. "Semoga lekas sembuh untuk putranya."

"Terima kasih banyak, El. Kamu memang bisa diandalkan." Setelah memberikan beberapa instruksi, Pak Budi bergegas pergi, meninggalkan Elara sendirian di balik konter.

Satu per satu pelanggan mulai pergi seiring senja yang berganti malam. Lampu-lampu jalan di luar mulai menyala, memantulkan cahaya kuning hangat di jendela kafe. Suasana menjadi sunyi, hanya menyisakan Elara dan Tuan Tanpa Rasa di sudut gelapnya. Keheningan terasa lebih berat sekarang. Biasanya, obrolan ringan Pak Budi akan mengisi kekosongan ini.

Elara mulai membersihkan meja, menyapu lantai, gerakannya sengaja ia buat sedikit lebih berisik untuk memecah kesunyian yang canggung. Ia melirik ke arah Kian. Pria itu masih di sana, cangkirnya sudah lama kosong, tetapi ia belum beranjak. Pandangannya terpaku pada rintik hujan pertama yang mulai membasahi kaca jendela. Wajahnya, yang diterpa cahaya temaram dari dalam, tampak pucat pasi. Ada sebersit kerapuhan di sana, sesuatu yang belum pernah Elara lihat sebelumnya. Sesuatu yang dengan cepat lenyap saat Kian menyadari tatapannya.

Mata mereka bertemu selama sepersekian detik. Elara merasakan sengatan listrik dingin menjalari tulang punggungnya. Ia buru-buru membuang muka, jantungnya berdebar kencang.

Sudah waktunya tutup.

Dengan langkah ragu, Elara berjalan ke pintu depan untuk membalik tanda "BUKA" menjadi "TUTUP". Ia menarik napas, bersiap untuk mengucapkan kalimat yang paling ia takuti malam ini.

"Maaf, Tuan. Kami sudah akan tutup."

Tidak ada jawaban. Kian masih mematung di kursinya.

Elara menelan ludah. "Tuan Alvaro?"

Perlahan, Kian berdiri. Gerakannya kaku, seolah setiap sendinya terasa sakit. Ia berjalan menuju kasir untuk membayar, meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di atas meja jauh lebih banyak dari harga kopinya.

"Kembaliannya..."

"Simpan saja," potong Kian, suaranya serak dan dalam, kata pertama yang ia ucapkan malam itu. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu.

Elara menghela napas lega. Akhirnya. Ia bisa mengunci pintu dan pulang. Ia mengikuti Kian dari belakang, siap menarik pintu geser setelah pria itu keluar. Namun, Kian berhenti tepat di ambang pintu. Punggungnya yang lebar menghalangi seluruh jalan keluar.

"Tuan?" tanya Elara bingung.

Kian tidak menjawab. Ia hanya berdiri mematung. Hujan di luar semakin deras, menciptakan tirai air yang menghalangi pandangan.

Saat itulah Elara menyadarinya. Tangan Kian yang terkepal di sisinya bergetar hebat.

"Anda baik-baik saja?" Elara melangkah lebih dekat, rasa cemas mengalahkan rasa takutnya.

"Jangan," desis Kian, suaranya terdengar penuh penderitaan. "Jangan mendekat."

Elara membeku. Peringatan itu terasa begitu nyata, begitu mendesak.

Tepat pada saat itu, lampu utama kafe berkedip dua kali sebelum akhirnya padam total, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang hanya ditembus oleh cahaya remang dari lampu jalan dan papan nama kafe. Listrik padam. Sesuatu yang biasa terjadi saat hujan deras.

Elara meraba-raba mencari ponselnya, menyalakan senter. Cahayanya langsung menyorot pintu depan, tempat Kian masih berdiri.

Dan pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya seolah berhenti mengalir.

Kian Alvaro sedang mencengkeram wajahnya dengan kedua tangan. Dari sela-sela jarinya yang panjang dan pucat, bukan kulit yang terlihat, melainkan sesuatu yang bersinar. Cahaya hijau keperakan yang lembut, seolah ada batu giok cair yang meleleh di bawah kulitnya. Pria itu terhuyung ke belakang, punggungnya menabrak pintu kaca dengan keras, menimbulkan suara dentuman yang mengerikan.

"Argh!" Erangan kesakitan yang tertahan lolos dari bibirnya. Itu bukan suara seorang CEO yang berkuasa, melainkan rintihan hewan yang terluka.

Elara terpaku di tempat, senter di tangannya gemetar hebat. Dongeng neneknya tentang makhluk malam, tentang kutukan, tentang perubahan wujud yang menyakitkan, semua berkelebat di benaknya. Ini tidak mungkin nyata. Ini pasti hanya ilusi yang diciptakan oleh kegelapan dan ketakutannya.

Kian perlahan menurunkan tangannya.

Wajah yang menatap balik ke arah Elara dalam sorotan cahaya senter bukanlah wajah Kian Alvaro. Kulit, tulang, dan ekspresi manusianya telah lenyap. Sebagai gantinya, ada sebuah topeng. Topeng giok yang mulus, bersinar dengan cahaya supernatural, menutupi seluruh wajahnya. Topeng itu tidak memiliki ekspresi, tetapi Elara bisa merasakan tatapan panik dan ngeri dari dua lubang mata kosong yang kini menghadap lurus ke arahnya.

Malam telah tiba, listrik telah padam, dan pintu menuju dunia luar tertutup rapat. Elara terperangkap di dalam, bersama badai yang menyamar sebagai manusia, yang kini telah menunjukkan wujud aslinya yang mengerikan.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
17 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status