Mariana kehilangan segalanya dalam sekejap. Suaminya berselingkuh dengan saudara kandungnya sendiri. Bayi yang sangat dinantikannya meninggal dunia. Dan Bella, sahabat baiknya, pergi untuk selamanya setelah melahirkan. Di tengah duka yang belum usai, suami Bella yang sekaligus atasannya datang dengan sebuah tawaran mengejutkan. “Kamu sahabatnya, dan kamu juga baru kehilangan anakmu. Aku tahu ini sulit, tapi bayi ini membutuhkanmu. Hanya kamu satu-satunya yang bisa kupercaya.” Mariana tidak tahu apakah itu jalan keluar atau justru awal dari kehancuran baru. Apa yang awalnya hanya tentang mengisi kekosongan perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Kehangatan yang tidak seharusnya ada, tatapan yang bertahan terlalu lama, dan perasaan yang terus tumbuh di tempat yang salah. Tapi bisakah cinta bertahan jika sejak awal ia hadir dalam situasi yang begitu keliru?
view more“Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!”
Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.
Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.
Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca—adik kandung Mariana sendiri.
Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.
“Kalian … bagaimana bisa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.
“Ka-kak ….” Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi tubuhnya.
Di samping Bianca, Bara tersentak kaget. Dengan gerakan tergesa-gesa, pria itu meraih celananya yang tergeletak di lantai lalu berlari menghampiri Mariana.
“Sayang, aku bisa jelaskan—”
“Jelaskan apa lagi, Bara?!” Mariana menyela dengan suara bergetar. “Aku melihat semuanya dengan mataku sendiri! Kalian berdua—!”
Kata-katanya terhenti di ujung lidah. Dadanya naik turun, dipenuhi rasa sesak yang tak tertahankan. Amarah bercampur dengan kepedihan mengoyak dada Mariana seperti sembilu.
Matanya kembali menatap ranjang yang berantakan. Selimut kusut, aroma tubuh mereka masih terasa di udara. Benar-benar menjijikan!
Tubuh Mariana melemah, seolah beban yang menyesakkan dadanya kini juga melumpuhkan seluruh dirinya. Lalu, tiba-tiba—
Rasa sakit luar biasa menusuk perutnya.
Mariana tersentak. Tangannya refleks mencengkeram perutnya yang membuncit. Rasa nyeri itu datang begitu kuat hingga kakinya bergetar hebat. Dan seketika itu juga, sesuatu yang hangat mengalir di antara kedua pahanya.
Darah.
Tarikan napasnya melemah sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke lantai.
“Kak Mariana!” Bianca menjerit panik sementara matanya membelalak sempurna.
“Sayang!” Bara hendak meraih tangannya, tetapi Mariana menepisnya dengan tatapan penuh kebencian.
“Ja-jangan sentuh aku …,” suaranya begitu lemah.
Bianca dan Bara seketika kelimpungan. Wajah mereka sama-sama dipenuhi kepanikan.
“Cepat panggil ambulans!” seru Bara pada Bianca.
Bianca segera meraih ponselnya dan menghubungi layanan darurat.
Sementara itu, Mariana menggigit bibirnya seraya menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Air mata terus mengalir dari sudut matanya, bukan hanya karena rasa sakit pada perutnya, tetapi juga luka yang jauh lebih dalam di hatinya.
Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
***
Suara sirene ambulans memecah keheningan malam, menggantikan jeritan panik Bianca dan suara Bara yang terbata-bata menjelaskan situasi kepada operator darurat. Tubuh Mariana sudah hampir kehilangan seluruh tenaganya. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi.
Dalam pandangannya yang semakin kabur, Mariana merasakan tubuhnya diangkat ke atas tandu. Suara-suara di sekelilingnya terdengar samar, tetapi ia masih bisa merasakan dinginnya udara malam menyentuh kulitnya saat mereka membawanya keluar.
Seorang petugas medis dengan sigap memasangkan masker oksigen di wajahnya, sementara yang lain bergerak cepat memeriksa tekanan darahnya.
“Tekanan darahnya turun drastis!” suara paramedis itu terdengar tegang. “Detak jantung janin juga melemah. Kita harus bergerak cepat!”
Kata-kata itu menghantam kesadaran Mariana seperti tamparan keras.
Tidak. Tidak mungkin.
Kepanikannya bercampur dengan ketakutan yang mencekam. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih dari itu, ada sesuatu yang jauh lebih menakutkan menghantui pikiran Mariana.
Tidak boleh terjadi apa-apa pada bayinya.
Mariana berusaha mengangkat tangannya, ingin menggenggam perutnya yang terasa semakin berat. Tapi tubuhnya terlalu lemah.
Bara naik ke dalam ambulans, wajahnya tampak begitu cemas. “Sayang, bertahanlah! Aku ikut denganmu,” suaranya bergetar.
Mariana ingin menjerit, ingin menolak kehadiran pria itu. Tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah isakan lirih. Mariana terlalu lemah untuk mengusir pria itu.
Sesampainya di rumah sakit, Mariana segera dibawa ke ruang gawat darurat. Seorang dokter perempuan datang tergesa-gesa memeriksa kondisinya.
“Kita harus segera lakukan operasi. Pasien mengalami solusio plasenta—”
Mariana tak bisa memahami sepenuhnya istilah medis yang digunakan dokter, tetapi ia tahu satu hal. Saat ini bayinya dalam bahaya.
“Kumohon … selamatkan bayiku,” Mariana berbisik lemah, air matanya mengalir membasahi pipi.
“Tim segera bersiap. Kita ke ruang operasi sekarang!”
Para perawat mendorong ranjang Mariana dengan cepat. Langit-langit rumah sakit tampak berputar dalam pandangannya yang semakin mengabur. Suara-suara mulai terdengar jauh seperti berada di ujung terowongan.
Sebelum semuanya menjadi gelap, Mariana hanya bisa berdoa.
‘Ya Allah, selamatkan bayiku.’
***
Beberapa jam kemudian,
Suara monitor detak jantung berdengung samar di ruangan serba putih itu. Aroma khas antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan hawa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang.
Mariana membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemah, sementara nyeri masih berdenyut di perutnya.
Ada sesuatu yang hilang. Perasaan kosong itu mencengkeram hatinya sebelum pikirannya bisa sepenuhnya sadar.
“B-bayi … bayiku …,” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Seorang perawat yang berjaga segera menghampiri. Tatapan wanita itu penuh belas kasihan, dan itu sudah cukup bagi Mariana untuk memahami segalanya.
Tidak—
Pintu kamar terbuka, seorang dokter masuk dengan ekspresi tenang namun penuh simpati. Ia berhenti di samping ranjang, lalu menatap Mariana sejenak sebelum berbicara,
“Nyonya Mariana Cempaka, kami sudah berusaha semampu kami.”
Napas Mariana tercekat. Tangannya mencengkeram selimut erat. “B-bayi saya. Bagaimana bayi saya, Dok?”
Dokter menghela napas. “Pendarahan yang terjadi terlalu banyak. Saat tiba di rumah sakit, kondisi janin sudah sangat lemah.”
Mariana menggeleng pelan, matanya mulai basah. “Tidak ….”
Dokter melanjutkan dengan suara lembut. “Kami sudah mencoba segalanya, tapi kami tidak bisa menyelamatkannya. Saya turut berduka.”
Dunia Mariana terasa runtuh. Air matanya jatuh tanpa suara sementara tangannya meraba perutnya yang kini kosong.
Tidak ada lagi kehidupan di sana.
Bayi yang selama ini ia nantikan, yang tinggal dua minggu lagi seharusnya ia lahirkan—hilang dalam semalam. Semua harapan yang ia bangun runtuh begitu saja.
Suara pintu terbuka di sampingnya. Langkah kaki terdengar mendekat.
Mariana tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
Bara.
Pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh penyesalan, tetapi Mariana tak ingin melihatnya. Tak ingin mendengar satu kata pun dari pria itu.
“Sayang, aku—”
“Keluar.” Suara Mariana begitu lirih tetapi juga tajam.
Bara terdiam.
“Keluar dari hidupku, Bara!” Mariana mengulangi, kali ini suaranya pecah bersama isak tangis yang tak bisa lagi ia tahan. “Kamu membunuh anak kita. Aku nggak mau melihatmu lagi.”
Isakan pilu itu memenuhi seluruh ruangan kamar. Untuk pertama kalinya, Mariana membenci Bara lebih dari apa pun.
Enam tahun kemudian…Langit biru cerah ketika Mariana baru saja tiba di makam Selene. Hari ini adalah peringatan kematian putrinya—yang tak sempat ia dekap dalam pelukan.Meski sudah bertahun-tahun berlalu, setiap langkah menuju batu nisan itu selalu membuat dadanya sesak. Tak ada waktu yang benar-benar bisa menyembuhkan kehilangan.Tangannya menggenggam seikat bunga lili putih, kelopaknya lembut seperti angan tentang bayi perempuan yang tak pernah sempat ia nyanyikan lagu nina bobo. Rasa rindunya pada Selene tidak pernah menua, tidak pernah pudar, tidak pernah berubah menjadi kenangan biasa.Di belakang Mariana, suara langkah kecil terdengar menyusul.“Elhan, pelan-pelan,” ujar Nate lembut, menggandeng tangan putra mereka yang lebih kecil, Noel, yang kini berusia empat tahun.“Aku bawa bunga juga untuk Kak Selene, Ma,” ucap Elhan sambil memperlihatkan rangkaian bunga warna-warni hasil pilihannya sendiri.Mariana tersenyum sendu. “Terima kasih, Sayang. Kak Selene pasti senang.”Mereka
Mariana melangkah perlahan mendekati Nate yang duduk diam di sofa kamar mereka di kediaman Adikara. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri di belakangnya, lalu melingkarkan kedua tangan ke leher sang suami, memeluknya dari belakang dengan pelan namun penuh kehangatan.Nate menoleh sedikit, tersenyum tipis. Ia lalu memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke lengannya Mariana, seolah menemukan jeda dalam kekacauan hari ini.“Gimana kalau makan malam dulu, Mas?” bisik Mariana lembut di dekat telinganya. “Kamu belum makan sejak siang, kan?”Nate menghela napas panjang, seolah baru menyadari perutnya memang kosong. Tapi bukan itu yang membuatnya letih. Kepalanya penuh.“Lapar sih iya,” gumamnya pelan. “Tapi rasanya semua makanan bakal hambar malam ini.”Mariana tak langsung menjawab. Ia hanya mengencangkan sedikit pelukannya, memberikan kehangatan yang tak bisa diucapkan dengan kata.“Aku tahu semuanya berat, Mas. Tapi kamu nggak harus hadapi semuanya sendirian.”Nate membuka mata, lalu mena
Arya segera membantu Mariana merebahkan tubuh Arsita ke atas kasur. Tangan Mariana gemetar saat ia meraih botol kecil dari laci nakas, menyodorkan minyak kayu putih ke ayah mertuanya.“Papa, tolong oleskan di pelipis mama. Aku nggak berani menyentuh wajah mama,” ujar Mariana panik. Meski situasinya darurat begini, Mariana tetap segan untuk menyentuh wajah sang ibu mertua.Arya mengangguk cepat, membuka tutup botol, lalu dengan tangan yang tak kalah bergetar, ia mengusapkan minyak itu ke bawah hidung istrinya. Mariana duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Arsita erat-erat sambil berdoa dalam hati dengan tulus.Sementara itu, dari pintu kamar, Mbak Yanti muncul tergopoh. Ia segera menghampiri ranjang, matanya membelalak melihat situasi yang genting.“Mbak Yanti, tolong gendong Elhan keluar dulu, ya,” pinta Mariana cepat.Tanpa banyak tanya, Mbak Yanti mengangguk. Ia segera mengangkat Elhan yang menangis di pinggir kasur, lalu menimang bayi itu lembut seraya membawanya ke luar kamar.
Mariana langsung menghampiri Nate saat melihat suaminya berdiri di foyer. Wajahnya memancarkan ribuan pertanyaan, namun tak satu pun terucap. Hanya sorot matanya yang berbicara—cemas, bingung, dan menunggu.Nate melepaskan sepatunya perlahan, lalu tanpa berkata sepatah kata pun, ia menarik Mariana ke dalam pelukannya. Kepalanya terbenam di lekuk leher istrinya.Mariana membalas pelukan itu dengan lembut. Tangannya mengusap punggung Nate. “Ada apa, Mas?”Nate diam sejenak, lalu menarik napas panjang. Ia kemudian melepaskan pelukan itu perlahan, menatap mata istrinya dengan sorot yang lelah namun serius.“Aku harus cerita sesuatu,” ucapnya pelan.Mariana mengangguk, kemudian menggandeng tangan Nate menuju ruang tengah. Mereka duduk berdampingan, dan Mariana meraih jemari suaminya.“Papa punya anak dengan wanita lain,” ujar Nate.Mariana menatap suaminya tanpa berkedip. “Maaf… apa?” tanyanya terkejut.“Papa punya anak dari wanita lain. Sudah lama. Namanya Daniel. Dia masih mahasiswa, dan
Nate tidak bisa berkata-kata setelah mendengar ucapan ibunya barusan. Ayahnya punya anak dari wanita lain? Lelucon konyol macam apa ini?Namun, melihat air mata yang terus jatuh dari wajah ibunya, suara yang bergetar saat mengucapkannya, Nate tahu ini bukan sekadar lelucon basi. Ini bukan cerita drama murahan. Ini kenyataan pahit yang akhirnya terungkap setelah sekian lama terkubur rapat.Napasnya terasa berat. Ia menatap ibunya dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan. “Mama serius?”Arsita mengangguk pelan. “Selama ini Mama percaya pada papamu. Ternyata... Mama salah. Namanya Daniel. Dan dia… dia bilang kalau Arya adalah ayah kandungnya.”Nate berdiri, berjalan gelisah ke arah jendela, lalu kembali menatap ibunya. “Dia bawa bukti? Surat? Hasil tes DNA, misalnya?”“Belum,” jawab Arsita pelan. “Tapi dia tahu banyak hal. Terlalu banyak untuk dianggap kebetulan. Dan dia tidak datang untuk menuntut. Dia hanya butuh bantuan.”“Bantuan apa?” Suara Nate terdengar serak.Arsita mengu
Setelah saling berbagi cinta dan kasih sayang selama berbulan madu, hari ini Mariana dan Nate kembali ke Jakarta. Mereka baru turun dari mobil dengan koper di tangan, masih saling tertawa kecil soal perjalanan mereka. Namun begitu Mariana berjalan ke arah pintu depan, sosok tak terduga sudah menunggunya di sana.Bianca berdiri di teras, wajahnya merah karena emosi.“Akhirnya kamu pulang juga,” sindir Bianca dingin.Mariana refleks berhenti melangkah, dan Nate langsung meraih tangan istrinya.“Kenapa kamu di sini, Bianca?” tanya Mariana.“Bara di penjara!” bentak Bianca tanpa basa-basi, matanya membara. “Kalian puas sekarang? Kalian benar-benar menghancurkan hidup kami!”Mariana menatap adik kandungnya itu. “Nggak ada satu pun dari kami yang menghancurkan hidup siapa pun,” jawab Mariana mantap. “Bara menuai apa yang dia tanam. Dia menggelapkan dana perusahaan dan membahayakan nyawaku. Itu konsekuensinya.”“Omong kosong!” pekik Bianca tak terima. “Puas kamu, hah? Sekarang anakku akan tu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments