"Ada yang lupa?" tanya Shesa membuka pintu, mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. "Kamu?"
"Oh jadi di sini kalian tinggal." Wanita itu melenggang masuk ke dalam tanpa ada yang mengundang.
"Mau apa?"
"Gak ada ... aku cuma mau liat aja, tempat tinggal gundik calon suamiku." Soraya mengedarkan pandangan matanya ke semua ruangan.
"Gak ada urusannya sama kamu, mending kamu keluar dari sini."
"Untuk sekelas mantan model kayak kamu, boleh juga tempat tinggalnya ... di kasih sama pengusaha yang mana nih."
"Jangan sembarangan kamu ngomong."
"Pembelaan diri sepertinya ... lagu lama banget."
"Keluar!" Shesa mengikat kimono satinnya, meminta Soraya keluar dari apartemen miliknya.
"Berapa di bayar sama Alvin? Melayani dia di kantor dan di ranjang."
"JAGA MULUT KAMU SORAYA!"
"Kenapa? Takut kalo yang aku bilang benar?"
"Terserah kamu mau bil
Alvin baru saja memarkirkan mobilnya di pekarangan besar kediaman orang tuanya. Rumah itu nampak sepi, hanya terlihat beberapa orang penjaga rumah, tukang kebun dan satu orang pembantu yang sedang menyapu di teras rumah "Mama sama papa sudah bangun, Mbak?" tanya Alvin pada pembantu rumah tangga itu. "Ada di ruang makan, Mas." Alvin melangkah masuk menuju ruang makan, dilihatnya kedua orangtuanya sedang berbincang seperti biasa. "Ma, Pa," sapa Alvin menarik kursi di samping Paula. "Vin ... tumben pagi udah kesini, gak ke kantor kamu?" "Nanti, Pa." "Tumben pulang, Mama kira kamu udah lupa jalan pulang," ujar Paula ketus. "Inget lah, Ma ... dari kecil Alvin tinggal di sini, gak mungkin Alvin lupa jalan pulang." "Pasti ada maunya," kata Paula lagi, sambil menyuapkan makanannya ke dalam mulut. "Mama memang ibu terbaik," ujar Alvin menyesap teh yang baru saja dia tuangkan di cangkir berwarna putih. "Ka
Shesa menepikan mobil di sebuah rumah asri, rumah milik Wulan ibunya, satu bulan yang lalu mereka bertemu dan berjanji akan saling mengunjungi. Ini kali kedua Shesa menginjakkan kakinya di rumah ini. Shesa perlahan membuka pintu pagar berwarna putih yang ukurannya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Terparkir dua mobil di pekarangan rumah milik sang Mama. Rumah itu terlihat sangat sepi, mungkin Wulan masih berada di restorannya pikir Shesa. Shesa mengetuk beberapa kali pintu rumah itu. Tak berapa lama suara kunci terputar pun terdengar, perlahan pintu itu terbuka. Seorang gadis berusia 20 tahun, dengan rambut hitam panjang se pundak, hidung yang mancung dan mata yang sama indah dengannya pun berdiri di ambang pintu itu. Lama mereka saling terdiam, seolah mengamati kemiripan di antara keduanya. Hanya umur saja yang terpaut tujuh tahun. "Kakak ... Kak Shesa? Kakak ...." Anggi memeluk Shesa yang masih berdiri terpaku tak percaya deng
"Kenapa?" tanya Shesa. "Kenal?" Shesa mengerutkan keningnya. "Uhuk ... uhuk ...." Pandu kembali meneguk air minumnya, mengusap bibirnya dengan tisue yang diberikan oleh Anggi. "Alvin? mungkin orang yang berbeda," ujar Pandu. "Tapi Alvin aku juga pernah menyebut nama Pandu, bisa jadi Alvin yang sama," kata Shesa lalu mengusap layar ponselnya. Shesa menunjukkan Poto Alvin dan dirinya saat di apartemen. "Kenal? Alvin ini?" "Alvin?" Pandu seketika terdiam. "Mas, kamu ditanya Kak Shesa, kamu kenal gak?" tanya Anggi. "Alvin Atmaja ... adik tiri aku," ujar Pandu. Shesa menyandarkan tubuhnya di kursi, dunia ini sungguh kecil, bertemu dengan orang yang satu sama lainnya saling berhubungan. "Mas, kamu serius?" tanya Anggi tak percaya. "Aku anak Budiman Atmaja dari pernikahan siri nya sebelum menikah dengan Mama Paula, mama nya Alvin." Anggi memijat keningnya, bagaimana mungkin bisa bertemu deng
"Dimana Shesa?" tanya Alvin pagi itu pada Pandu. "Ada di kamarnya," jawab Pandu. "Lo hutang penjelasan sama gue," ujar Alvin berjalan masuk ke dalam rumah Wulan. Keadaan di dalam rumah itu sudah sepi, waktu menunjukkan pukul setengah 10 pagi. Anggi jelas saja sedang mengantar Wulan ke restorannya, sedangkan Pandu meminta diri untuk di rumah menunggu kedatangan Alvin. Alvin membuka pintu kamar itu perlahan, Shesa masih meringkuk di atas tempat tidur menghadap ke sisi yang lain. Melihat kekasihnya masih tertidur, Alvin ikut masuk ke dalam selimut, memeluk Shesa dari belakang. Menciumi leher jenjang kekasihnya dan mengeratkan pelukannya. Alvin tahu betul apa yang di rasakan Shesa. Dan dia akan berjuang untuk itu. Tubuh Shesa bergerak, merasakan lengan kokoh melingkar di pinggangnya. Mencium wangi yang menyeruak dari sosok yang dia rindukan. Shesa membalikkan tubuhnya, lelaki itu menatapnya, lalu tersenyum. "Sudah siang, ayo bangun
"Tapi kenapa Shesa gak bialng ke gue!" Alvin menahan amarahnya. "Karena aku takut menerima kenyataan." Shesa menghampiri Alvin, Alvin membuang puntung rokoknya lalu merangkul pundak kekasihnya itu. "Kenapa harus takut? Kenapa nggak bilang saat itu juga, supaya aku bisa menghajarnya saat itu juga," geram Alvin. Mata Shesa sudah berkaca-kaca, dia tahun betul Alvin akan benar-benar melakukan tindakan itu jika Shesa mengatakan yang sebenarnya saat itu. "Beberapa hari setelah pertemuan di ruang meeting itu, dia juga datang menghampiriku. Aku jijik melihatnya, Vin." Shesa menangkup wajahnya, menunduk dan menangis terisak. "Kita harus laporkan ini, Sha," kata Alvin. "Benar kata Alvin," ujar Wulan yang ternyata sudah berdiri di dekat mereka. "Kalian harus tetap melaporkan kejadian ini meski sudah terjadi 10 tahun yang lalu." "Benar, aku yakin bukan hanya Shesa yang menjadi korbannya," ujar Pandu. "Maksud kamu, ini skandal
Dua hari di Tasikmalaya, akhirnya Shesa dan Alvin memutuskan kembali ke Jakarta. Begitu juga dengan Pandu yang akhirnya kembali ke Bandung, sementara Anggi menghabiskan libur semesternya membantu usaha sang Mama. Rencana mereka untuk menjatuhkan Chandra Adhiyaksa sudah mulai tersusun rapi, jika pun akan terendus oleh media, itu adalah konsekuensi yang harus di ambil oleh Alvin apalagi Shesa. "Hari ini masuk ke kantor ya," ucap Alvin pagi itu masih di atas tempat tidur mereka. Shesa menghela nafasnya, "kalo aku berhenti aja gimana? Bukan karena aku takut oleh cibiran orang, tapi lebih menjaga nama baik perusahaan kamu bahkan ... aku masih ragu bisa menatap mata Pak Budiman lama." "Papa dan mama urusan aku, Sha. Kamu nggak perlu mikir ke arah sana, cukup fokus sama aku," ujar Alvin memberikan kecupan di puncak kepala Shesa. "Tetap aku mikir ke mereka, Vin. Interaksiku dengan mereka akan lebih sering karena masalah ini, apalagi mama kamu sempat t
Shesa hanya bisa terdiam saat Minggu pagi Alvin mengajaknya untuk bertemu dengan keluarganya. "Ayo, masuk," ajak Alvin saat mereka tiba di rumah besar itu. "Nggak apa-apa, semua terkendali," ujar Alvin tersenyum lalu merangkul kekasihnya itu. Suami-istri itu sedang berbincang-bincang di sebuah taman yang asri, dua cangkir teh dan beberapa bakery menemani mereka pagi itu. "Pa, Ma," sapa Alvin. Paula dan Budiman Atmaja menoleh kepada asal suara, tidak nampak sedikit senyum pun yang menyambut kedatangan Alvin dan Shesa. "Ma, gimana? udah enakan?" tanya Alvin sambil menautkan kedua pipinya. "Kamu kemana aja?" tanya Paula tanpa menjawab pertanyaan Alvin. Mata Paula beralih pada Shesa, "ini sekretaris kamu itu, kan?" "Ini Shesa, pacar aku dan sekretaris aku juga, Mama sudah pernah bertemu, Papa juga sudah sering bertemu bahkan papa suka cara Shesa dalam mengerjakan pekerjaannya, iya kan Pa?" Alvin merengkuh
"Halo Mas," sapa Alvin pada Pandu yang menjawab telponnya malam itu. "Gimana?" "Gue udah dapet informasinya, ayah mereka tinggal di Bogor, perusahaan Pak Gunawan bangkrut dua tahun yang lalu, perusahaannya di ambil alih oleh Chandra Adhiyaksa, jadi bohong kalo Chandra bilang dia tidak tau keberadaan ayah Shesa." "Bogor?" "Iya, gue lagi pastiin alamatnya, tunggu kabar gue," jawab Pandu. "Jangan lama, Mas ... Mau nikah gue," ujar Alvin. "Sabar, Vin ... bukan cuma lo yang mau nikah, gue juga mau," seloroh Pandu. "Lo cari yang lain kenapa, Mas ... yang bener aja, kakak sama adik nikah sama pacarnya yang ternyata kakak adik juga, gimana ini ceritanya," ujar Alvin terkekeh sambil menghisap puntung rokoknya. "Gue nggak mikirin itu, Vin," ujar Pandu ikut tertawa. "Kebayang Budiman Atmaja pusing liat kelakuan anaknya," ujar Pandu lagi tertawa terbahak-bahak. "Ngobrolin apa?" tanya Shesa memeluk Alvin dari belakang.