Alvin masih terduduk di sofa kamar Shesa, dia membiarkan Shesa tertidur setelah tangisan itu mulai mereda.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Alvin, Wulan membuka pintu kamar itu perlahan, menghampiri Alvin yang sudah berdiri dari sofa.
"Gimana, Tante?"
"Tante putuskan sementara Tante tinggal di sini untuk sementara waktu, Tante rasa Tante nggak bisa ninggalin Shesa dan papa nya berdua di rumah ini," ujar Wulan pelan.
"Anggi?"
"Minggu depan Anggi sudah harus oulang ke Singapura, jadi ... tadi Pandu bilang dia dan kamu akan bergantian menemani kami, hingga kasus ini selesai," ujar Wulan dan Alvin mengangguk tanda paham.
"Bagaimana Shesa?" tanya Wulan.
"Keadaannya masih sama, aku kira trauma itu tidak akan muncul lagi setelah hitungan 10 tahun Shesa melewatinya," ujar Alvin.
"Tante merasa bersalah," ucap Wulan memandangi putrinya.
"Bukan saatnya menyalahkan diri Tante, sekarang saatnya kita
"Aku akan mengusut kasusnya hingga tuntas, agar Papa tau sehebat dan sebaik apa Chandra Adhiyaksa itu." Alvin kembali duduk di kursi kerjanya. Budiman kembali melangkah meninggalkan ruangan itu. Sementara Pandu terduduk lemas menyaksikan perdebatan yang lagi-lagi membuatnya merasa tidak nyaman hidup di dalam keluarga itu. Pandu merogoh sakunya, meraih ponselnya yang bergetar. Nama Anggi tertera di sana. "Ya, Sayang." Suara Anggi terdengar begitu cemas. "Aku segera kesana, tunggu kami." "Kenapa?" tanya Alvin mengerutkan kedua alisnya. "Pak Gunawan terjatuh dari tangga saat akan mengunjungi Shesa ke kamarnya." "Astaga." Dengan langkah cepat mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Shesa dan keluarganya berada. Derap langkah kaki Alvin dan Pandu terdengar melewati selasar rumah sakit. Alvin sedikit berlari kala dia melihat Shesa berdiri di depan pintu ruang tindakan. "Gimana?" tanya Alvin merangkul pundak Shesa. "
Derap langkah Alvin tegas memasuki ruangan pemeriksaan di kepolisian saat berkas kasus Shesa telah di terima oleh pihak kepolisian. Di dampingi kuasa hukumnya, Shesa sudah ada di sana lebih dulu. "Sayang," ujar Alvin membelai lembut rambut Shesa yang duduk berhadapan dengan tim penyidik. "Maaf aku telat," ujar Alvin menarik kursi di sebelah Shesa. "Selain Anda sendiri, adakah orang yang bisa kita jadikan saksi pada kasus ini?" tanya penyidik. "A— ada," jawab Shesa ragu. "Siapa?" Penyidik menatap mata Shesa tajam. Shesa menoleh ke arah Alvin, lalu Alvin mengangguk. "Ayah saya sendiri," ucap Shesa menunduk. Dua jam dalam sesi interogasi, menjawab pertanyaan yang kadang sedikit banyak membuat Shesa merasakan ketakutan. Alvin merengkuh Shesa dalam dekapannya, memberikan kenyamanan pada kekasihnya. Berjalan bersisian, dengan mengenakan masker agar tak banyak orang yang mengetahui keberadaannya, Shesa berjalan
"Arrgh ...." Shesa menggeram saat dia sampai di depan mobil menunggu kedatangan Alvin. "Kelakuan anak dan bapak sama ... sama-sama menyebalkan, sama-sama tidak ber- attitude," umpatnya kesal sambil memukul-mukulkan tangannya pada mobil Alvin. "Sayang ... hei, Shesa ... Shesa cukup," ujar Alvin menahan tubuh Shesa yang sudah bergetar menangis. "Kejam, Vin ... kejam sekali mereka." Shesa terisak, Alvin merengkuh Shesa, mendekapnya menahan sebisa mungkin rasa sakit hati kekasihnya. "Jangan di dengar, jangan di rasa, jangan pedulikan mereka, kamu gak salah, kita nggak salah, Sha ... mereka yang keterlaluan," ujar Alvin menenangkan Shesa. "Lihat aku." Alvin menangkup kedua pipi Shesa, menatap mata merah dan sembab itu. "Fokus, kita harus fokus ... jika kita ingin keluar dari kemelut ini, kita harus fokus pada kasus kamu, biarkan Soraya. Terserah dia mau seperti apa, cukup jangan kamu perduli kan, ya? inget kata-kata aku," ujar Alvin lalu memeluk kembali tu
"Pemirsa, masih ingat dengan mantan model papan atas yang merupakan salah satu ambassador dari brand terkenal, Shesa Larasati. Menjadi korban dalam kasus pelecehan seksual, pemerkosaan yang di lakukan oleh seorang pengusaha ternama 10 tahun silam, hingga berita ini diturunkan belum ada konfirmasi dari dua belah pihak." Suara penyiar acara gosip di televisi menggema di telinga Shesa pagi itu yang baru saja keluar dari kamar mandi kamarnya. Di raihnya remote tv yang tergeletak di atas nakas dan menggantinya dengan yang lain. "Anak seorang pengusaha ternama Gunawan Wibawa, Shesa Larasati menjadi korban pemerkosaan yang di lakukan oleh teman bisnis ayahnya, kasus terbesar tahun ini. Diketahui bahwa Shesa meninggalkan dunia permodelan sudah satu tahun ini dan ternyata menjalin hubungan dengan pengusaha muda, Alvin Atmaja." Lagi - lagi beberapa channel televisi mengabarkan berita yang sama. Ya, inilah puncaknya, semua media dan masyarakat tahu apa yang sedang terja
Di sebuah restoran mewah, keluarga Shesa sudah berada dan melengkapi sebuah meja panjang yang tertata rapi dan terhidang berbagai macam menu. Pak Gunawan sudah bisa tersenyum dan sudah mulai terbiasa dengan kehangatan keluarga itu. Meski rasa bersalah masih terus menghantuinya, ingin rasanya lelaki tua itu memeluk Shesa dan meminta maaf pada putrinya itu. Meski Shesa tidak pernah melihat atau menatap lelaki itu lama, perasaan hati Gunawan sungguh perih mendapat perlakuan seperti itu. Dengan terbata-bata dan gerakan yang terbatas, Gunawan berusaha memulai berbicara malam itu. "Sebelumnya, terimakasih karena saya masih di terima di dalam keluarga ini," ujarnya berkata dengan sangat pelan. "Terimakasih juga untuk Nak Alvin dan Pandu yang sudah membawa saya bertemu dengan putri-putri saya." Mata lelaki itu mulai berembun, tangannya bergetar di atas meja. "Teruntuk Shesa, Papa minta maaf," ujarnya menangis. "Maafkan atas kebodohan Papa di mas
Semua mata beralih pada suara lelaki itu, Chandra berdiri angkuh dengan tersenyum sinis pada Gunawan. "Sepertinya uang yang aku berikan untuk kebutuhanmu setiap bulan kurang cukup, Gunawan hingga kamu harus mendramatisir keadaan seperti ini," ejek Chandra. "Cukup!" Mata Gunawan terlihat merah menahan marah. "Tutup mulutmu," ujar Gunawan. "Cukup sudah tipu dayamu, Chandra," ucap Gunawan terbata, Pandu menahan pundak lelaki tua itu agar menahan emosinya. "Berkas sudah saya masukkan ke kepolisian, saya rasa Anda juga sudah menerima surat panggilan," ujar Alvin yang terdengar santai. "Kalian memang luar biasa ...." Chandra bertepuk tangan. "Sampai bertemu di pengadilan Chandra Adhiyaksa," ucap Alvin yang sudah berdiri dengan wajah dinginnya. Semua keluarga di ruangan itu menghela nafas ketika Chandra Adhiyaksa memutuskan meninggalkan mereka. "Ada satu hal yang ingin Papa katakan pada kalian," ujar Gunawan pelan lalu menatap Shesa.
"Apa yang bisa Papa bantu untuk kamu?" tanya Budiman pada Alvin. "Bantuan yang mana?" Alvin balik bertanya. "Bantuan pernikahanku atau menjatuhkan Chandra Adhiyaksa?" "Keduanya," ujar Budiman. Semburat senyum terukir di wajah Pandu. Ya, ketika es itu mencair maka semuanya akan mengalir begitu saja. Alvin pun tersenyum, kembali melangkah ke arah sang Ayah yang sudah berdiri di sisi meja kerjanya. "Alvin hanya butuh restu Papa, kedatangan Papa dan mama ke pernikahan Alvin. Untuk masalah Chandra semua kita serahkan ke pengadilan, Alvin nggak bisa berharap banyak tapi satu yang pasti, setidaknya semua orang sudah tahu buruknya Chandra Adhiyaksa." "Papa bangga sama kamu," ujar Budiman memeluk Alvin. "Dan ... Pandu, kamu belum ada niat untuk kembali ke perusahaan ini?" "Aku sedang fokus dengan usaha yang aku bangun, Pa. Untuk saat ini aku belum bisa bergabung dengan Papa dan Alvin, kalo hanya dibutuhkan untuk membantu,
Amarah itu benar-benar memuncak, ingin rasanya Shesa mencabik-cabik Chandra Adhiyaksa hingga musnah dari hadapannya. Ruangan itu kembali gaduh, Hakim Ketua kembali menenangkan keadaan, hingga akhirnya Hakim memutuskan untuk menghentikan sidang dan dilanjutkan tiga hari lagi dengan membawa saksi. Shesa terduduk lemas di kursi itu, kepalanya menunduk. Alvin menghampiri Shesa, berjongkok di hadapan kekasihnya itu, lalu menyematkan rambut Shesa yang terjuntai jatuh. "Kita pulang, yuk," ujar Alvin lembut. Pandangan mata itu begitu nanar menatap lelaki yang begitu setia menemaninya hingga detik ini. Shesa meraih tangan Alvin menciumi telapak tangan itu. "Jangan tinggalin aku," ujarnya dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Iya ... aku nggak akan ninggalin kamu, kita pulang yuk." Alvin merangkul pundak Shesa, membawanya berdiri dan melangkah meninggalkan ruangan itu. Semua anggota keluarga sudah menunggu di lobby pengadilan