"Pagi Ma, Pa," sapa Pandu yang masih mengenakan setelan celana pendek dan kaos oblongnyo.
Lelaki berumur 30 tahun itu masih berdiri di satu anak tangga saat mendapati kedua orangtuanya sedang berbincang di ruang makan pagi itu.
"Papa nggak dengar kamu pulang," ujar Budiman.
"Sampe jam 10 tadi malam, aku langsung masuk ke kamar. Mama sehat?" tanyanya mencium pucuk kepala ibu sambungnya itu.
"Sehat," ujar Paula memberikan satu sendok nasi goreng pada piring di hadapan Pandu. "Pake telur?" tanyanya pada anak tiri kesayangannya.
Pandu hanya mengangguk, mendapatkan perlakuan yang adil sedari kecil dari Paula membuatnya sangat menyayangi wanita itu. Paula selalu memberikan yang terbaik untuk kedua anaknya, termasuk jodoh. Sayangnya, jodoh yang Paula berikan saat itu malah membuat Pandu sempat pergi meninggalkan mereka.
"Gimana usaha kamu?" tanya Budiman.
"So far so good, Pa ... masih tiga cabang, itu juga aku masih butuh banyak
Enjoy reading 😘
"Ma, sop iga nya udah selesai," ujar Shesa sore itu di dapur. Paula yang baru saja kembali dari kamarnya segera menghampiri Shesa. "Ya udah nanti biar si bibik yang menghidangkan di meja makan," kata Paula pada menantunya itu. "Shesa bangunin Alvin dulu ya, Ma," ujar Shesa dijawab dengan anggukan Paula. Semenjak pulang dari Singapura empat hari yang lalu, Paula meminta mereka sementara tinggal di rumahnya. Kebetulan saja Budiman sedang mengadakan perjalanan keluar negeri, jadi Paula ada alasan meminta Alvin dan istrinya untuk menemaninya. Pintu kamar itu Shesa buka perlahan, Alvin masih terbaring di ranjang dengan selimut yang membalut tubuhnya. Pelan Shesa menaiki tempat tidur itu, memainkan anak-anak rambut suaminya. "Sayang, bangun yuk," bisik Shesa di telinga Alvin, lalu dia memberikan kecupan di pipi suaminya. Alvin menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhnya lalu memeluk Shesa yang berada di sampingnya. "Kenapa bar
"Mertua idaman," sahut suara yang datang dari belakang tubuh Paula. "Oh hai ... mantan calon mantu," balas Paula santai. "Terimakasih sudah datang ke acara ini," ujarnya lagi sambil tersenyum. "Tante, apa kabar? sepertinya sedang bahagia-bahagianya ya," sindir Soraya. "Ya seperti ini lah, kalo melihat keluarga bahagia sudah pasti Tante ikut bahagia. Kamu lihat ... ini," tunjuk Paula pada sisi ekor matanya, "sudah gak ada kerutan, ternyata perawatan mahal bisa kita kalahkan dengan hati yang bahagia," ujar Paula lagi-lagi membalas sindiran Soraya diikuti tawa dari teman-teman sosialita Paula. "Semoga secepatnya dapat momongan ya, Jeng ... biar bahagianya tambah lengkap." Mimik wajah Soraya jelas sekali terlihat kesal, dan dia yakin semua orang tahu isi hatinya saat ini. Musik mengalun dengan tempo cepat, beberapa peragawati melangkah gemulai di atas catwalk. Satu per satu dari mereka membawakan rancangan desainer terkenal yang di t
"Pa ...," sapa Alvin setelah mengetuk pintu ruang kerja Budiman siang itu. "Masuk, Vin," jawab Budiman. "Kita masih menunggu satu orang lagi," ujar Budiman lagi. "Siapa?" tanya Alvin bingung. "Ada apa, Pa?" Ketukan di pintu membuat keduanya menoleh ke asal suara. Windu, sang mantan pengacara melangkah masuk ke dalam ruangan. "Apa kabar, Vin?" Alvin menerima uluran tangan Windu dengan alis mengerut. "Baik, Win ... ada angin apa?" tanya Alvin. "Duduk dulu kalian," ujar Budiman beranjak dari kursi kerjanya bergabung di sofa. "Ada apa, Pa?" Lagi-lagi pertanyaan itu muncul kembali. "Papa minta Windu datang kesini untuk membahas perkara tentang Soraya. Entah kenapa sejak Pandu cerita dia mengunjungi Pandu beberapa waktu lalu, Papa menaruh curiga dengan dia," tutur Budiman. "Sebenarnya Alvin juga menaruh curiga pada Soraya, dan anehnya lagi kenapa saat acara kemarin Papa mengundangnya?" "Sengaja,
Untuk ke sekian kalinya Shesa keluar masuk kamar mandi. Sejak subuh rasa di perutnya tidak enak, entah karena salah makan semalam atau maagnya yang kembali kambuh. Alvin terbangun mendengar suara Shesa samar-samar dari kamar mandi. Lelaki itu beranjak menghampiri Shesa yang duduk lemas di sisi toilet. "Kenapa?" "Nggak tau, kayaknya salah makan atau kebanyakan makan," ujar Shesa memegangi perutnya. "Kan udah aku bilang, kamu makan kebanyakan," ujar Alvin membuka kotak obat di atas meja wastafel. "Sini, aku olesin minyak kayu putih," kata alvij dengan mata yang masih mengantuk. "Besok-besok kalo makan diingat-ingat ya, perut kamu itu nggak bisa langsung masuk makanan yang banyak." Alvin terus berceloteh namun tangannya juga tak berhenti membalurkan minyak itu ke perut dan dada Shesa. "Kamu kayak aki-aki, ngomel mulu," ujar Shesa memencet hidung suaminya itu. "Udah hangat belum?" "Udah ... minyaknya aku pegang aja, mau aku hirup b
Siang itu setelah dari butiknya, Paula dan Shesa mampir ke salon langganan mereka sekedar untuk memanjakan diri sejenak. "Sha, udah bilang ke Alvin kalo kita ke salon dulu, kan?" tanya Paula memastikan. "Udah, Ma ... Alvin juga sepertinya pulang agak malam, ada lembur biasalah akhir bulan." "Kemarin demam, malam ini lembur ... kadang Mama heran dengan lelaki-lelaki di rumah, semua sama." "Nggak apa-apa, Ma ... yang pentingkan jelas mereka ada dimana, dan lagi ngapain," ujar Shesa tersenyum menggoda ibu mertuanya. "Kamu minggu depan jadi balik lagi ke rumah kalian?" "Iya, nggak apa-apa kan, Ma ... sudah sebulan di tinggal semenjak dari Singapura." "Ya sudah lah ... mau gimana lagi," kata Paula dengan wajah kecewa. "Ma, jaraknya nggak jauh ... cuma satu kilometer dari rumah rumah Mama," ujar Shesa sambil menikmati pijatan di kepalanya. "Oh ya, katanya Anggi mau pulang akhir bulan ini ke Indonesia? Mama kasih
Soraya tertidur pulas di lengan Windu yang dia jadikan sebagai bantalan kepalanya, selimut tiis berwarna menutupi tubuh polosnya hingga dada. Bentuk buah dada yang sempurna tercetak dalam balutan selimut itu membuat Windu menggelengkan kepalanya. Hal gila yang harusnya terjadi hanya dalam khayalannya itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah perpisahan mereka empat tahun lalu, ini lah untuk kali pertamanya mereka lakukan lagi hal seperti dulu. Windu mengeratkan pelukannya, tangannya yang menyusup ke dalam selimut seakan memberikan kehangatan penuh di tubuh Soraya. Soraya menggeliat ketika tangan Windu berada kembali di atas dadanya. Matanya terbuka perlahan, memandangi wajah Windu yang sudah tersenyum lebih dulu padanya. "Pagi," suara serak Windu membuyarkan lamunan Soraya yang masih terheran-heran mendapati dirinya berada di pelukan Windu. "Tadi malam—" "Iya, kamu yang minta," ujar Windu tersenyum mengusap bibir wanita itu. "Tapi—" "Ngg
Dekorasi taman hotel itu nampak indah. Barisan tempat duduk yang saling berseberangan tersusun begitu rapih. Para tamu undangan pun mulai banyak yang berdatangan. Sebenarnya ini hanya acara sederhana, mengingat pasangan ini bukanlah pasangan dari kalangan artis dan terkenal. Namun, mempunyai orang tua seorang pengusaha besar mau tidak mau Pandu harus menghormati Budiman Atmaja. Begitupun dengan Anggi yang kebetulan adalah adik dari Shesa yang notabene nya adalah seorang model dan karena kasus yang Shesa alami. Pandu beserta keluarga sudah berada pada deretan kursi yang berseberangan dengan deretan kursi keluarga Anggi. "Sayang, aku harusnya duduk sama mama dan Anggi kan?" tanya Shesa "Iya, tapi kan kamu bagian dari keluarga aku, Sayang," jawab Alvin terkekeh mengingat mertuanya dengan mertua sang kakak sama. Anggi berjalan anggun menuju tempat yang diperuntukkan untuknya. Mengenakan gaun berwarna putih dan rambut yang terurai, gadis itu
"Mas ... Mas Pandu," seru Alvin dari luar pintu kamar Pandu. Ketukan pintu itu membuat Pandu dan Anggi kelabakan harus bersikap seperti apa. Anggi merapikan piyamanya, begitu juga Pandu memakai kembali kaos dan boxer nya. "Mau apa sih anak itu," gerutu Pandu. "Udah, Sayang?" tanya nya pada Anggi agar tunangannya itu siap menghadapi yang terjadi jika pintu itu terbuka nanti. "Santai ya, jangan grogi," ujar Pandu lagi, Anggi hanya mengangguk. "Lama banget sih," ujar Alvin saat pintu kamar itu terbuka. Alvin tersenyum tipis kala matanya mendapati Anggi berada di dalam kamar itu dengan pakaian tidur. "Ngapain sih lo?" tanya Pandu. "Belum juga ngapa-ngapain, ganggu aja lo," bisik Pandu. "Lah ... nyalahin gue, lo kurang cepet gerakannya," kekeh Alvin. "Mama udah tidur, Nggi?" tanya Alvin iseng. "Udah, Mas." "Pantesan." Alvin tertawa. "Ngapain lo ke kamar gue?" "Temenin gue nyari bubur kacang