Share

Mimpi yang Ketiga: Sebuah Pesan 

Karena penasaran dengan mimpi yang berulang, maka aku memutuskan untuk pergi ke sungai. Kali ini aku meminta Tari untuk menemaniku. Sebentar lagi perempuan ini akan menjadi istri seseorang. Ritual tadi malam berjalan sesuai harapan. Para tetua merestui rencana pernikahan Tari. Sebenarnya, aku ragu untuk menceritakan ini kepada Tari tetapi tidak ada lagi orang yang bisa aku ajak bicara.

“Tari aku mau cerita tapi kamu janji ya tidak akan cerita ke orang lain.”

“Wah, ada apa, aku jadi jantungan!” bisik Tari.

Setelah sampai di hulu sungai aku dan Tari duduk di batu-batu besar, aku bersiap untuk menceritakan mimpiku yang berulang dalam dua malam terakhir.

“Jadi aku sudah dua kali bermimpi, dan mimpiku itu seolah berlanjut.”

“Mimpi apa?” bisik Tari, dia bersiap mendengarkan sebuah rahasia yang tidak boleh dibagikan dengan orang lain. 

“Jadi aku sudah dua kali bermimpi bertemu pemuda di sini, tepat disini.” Kataku sambil menunjukkan tempat di mana biasanya aku mandi. “Jadi aku akan muncul di pinggir sungai dan melihat laki-laki itu berendam di sini.”

“Terus?”

“Di mimpi pertama, aku berjalan mendekati laki-laki itu dan entah kenapa aku malam mencium dia!”

“Wah….. Kau nakal sekali!” bisik Tari, tentu saja dia tidak bisa percaya jika aku melakukan itu, bahkan dalam mimpi sekalipun. “Kau lihat wajahnya? Terus habis itu?”

“Nah itu dia yang aneh di mimpiku yang pertama, saat dia berbalik tiba-tiba saja aku terbangun. Tapi yang pasti aku melihat cahaya yang memancar dari wajahnya sampai aku tidak bisa melihatnya.” Aku berhenti sejenak, melihat reaksi Tari yang ternganga. 

“Terus di mimpi kedua, aku kembali melihatnya. Tapi kali ini dia berbalik badan namun, tetap saja aku tidak bisa melihat wajahnya. Kemudian, dia dan aku, begitulah!” ucapku, aku tidak mampu menceritakan detailnya kepada Tari.

“Astaga, ternyata kau nakal sekali. Latu si polos ini ternyata pikirannya nakal dan liar!” ucap Tari, “Mungkin saja itu ada artinya tapi mungkin juga itu hanya kebetulan. Usia kita kan sudah dewasa dan hal semacam itu alamiah. Kita bermimpi bersama laki-laki. Menurutku mimpi itu jangan terlalu kau pikirkan.” tambahnya.

Perkataan Tari itu memang sangat masuk akal. Bisa saja ini adalah salah satu hal yang harus aku alami karena usiaku yang bukan anak-anak lagi. 

“Ya sudah, mending kamu mandi sekarang, nanti kemalaman!” kata Tari.

Dia sendiri juga segera melepas bajunya dan membersihkan diri di sungai. Aku juga segera berjalan menuju tempat biasa aku mandi. Aku menggosok seluruh tubuh mencoba menghilangkan kotoran yang menempel. 

Entah apa yang merusak pikiranku aku malah berniat untuk tidur lebih awal. Aku merindukan laki-laki yang ada di mimpiku.  Baru saja terlelap, aku kembali terbangun, kali ini aku sudah telentang di kain lembut yang digelar di atas rumput di pinggir sungai. Badanku sudah tidak dilapisi sehelai kain pun. Aku segera mencoba menutup badanku dengan kain itu. Namun, tangan seseorang menghalangi gerakanku.

“Akhirnya kau kembali lagi!” Bisiknya.

Ternyata laki-laki itu sedang berbaring tepat di sebelahku.  Tangan menarik kain yang tadinya hendak kukenakan.

“Aku sudah menunggu begitu lama!”

“Kenapa kau bisa muncul lagi di mimpiku?”

“Ha..Ha..Ha. Apakah kau kira ini mimpi?” katanya dengan suara menahan tawa.

Ia kemudian mendekat. Aku bisa merasakan jika nafasnya begitu hangat dan mengindra getaran yang menjalar begitu saja ke seluruh tubuh. Jari-jarinya berkeliaran seolah aku adalah kepunyaannya. Aku hanya menggeliat menikmati sentuhan itu. Sebenarnya sangat aneh bila aku menikmati hal ini karena jika dipikir aku bahkan tidak mengenalnya. Kedua kakiku menendang ke sana kemari sampai akhirnya kakinya mengimpit kedua kakiku. Bibirnya masih berkeliaran di sekujur tubuhku.

“Pejamkan matamu, Latu!” ucapnya.

Bersamaan dengan ucapan itu pemuda itu membuat aku dan dia menjadi satu.

 “Ah…., sakit, sakit” Aku merintih kesakitan. Aku tahu jika ini ada di dunia mimpi, tapi mengapa rasa sakit yang aku rasakan begitu nyata.

“Sebentar  lagi tidak akan sakit, aku berjanji!” kata laki-laki itu.

Setelah diam dengan posisi yang masih sama, akhirnya dia mulai bergerak. Tanpa iringan lagu aku bisa merasakan aku dan dia menari seirama. Tanganku pun mulai bergerak seolah aku sangat lihai dalam hal ini.

“Apakah kau sudah bisa menikmatinya?” ucap laki-laki itu, dia menatapku sambil terus bergerak. Aku tidak mampu menjawab, mataku terpejam dengan rapat, aku malu sekali jika harus memandang laki-laki itu. Aku bisa merasakan wajah memerah dan panas. Sedangkan pemuda itu terlihat berkeringat, terlihat bulir-bulir kecil yang muncul di dahi dan lehernya. Telinganya sedikit memerah, sedangkan di bibirnya hanya senyuman yang terlihat Badanku mulai lemas. Nafasku tidak lagi beraturan. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, aku tidak ingin laki-laki itu melihat wajahku dalam kondisi seperti ini. 

“Aku ingin melihat wajahmu!” bisiknya, ia menarik kedua tanganku dari wajah, memegangnya dengan erat, ia tidak membiarkan aku menutup wajahku.

“Aku malu!” ujarku pelan. 

“Kenapa kau harus malu. Lihat mataku Latu!” bisiknya.

Akhirnya aku membuka mata. Untuk pertama kalinya aku melihat wajah pemuda itu. Hidungnya mancung sekali, bola matanya berwarna cokelat namun, seperti aksen biru di dalamnya. Bibirnya merah dan tebal. Wajahnya begitu halus dengan struktur yang tegas.

“Hai Latu!” kata laki-laki itu begitu dekat ke telingaku. 

Begitu lama rasanya aku dan dia saling memeluk dan bercumbu hingga akhirnya dia melepaskanku. Aku menutupi badan dengan kain yang tadinya terlempar sembarang. Sedangkan pemuda itu tidak peduli sama sekali, dia masih tertidur di sampingku, dia memiringkan badannya menghadap ke arahku. 

“Apa kau malu?” 

“Ha?, aku, aku..”

Tentu saja aku sangat malu. Bagaimana bisa aku melakukan hal ini bersama seseorang yang aku tidak kenal. Namun, jika dipikir ini kan hanya mimpi. Aku sangat kebingungan dengan situasi ini. Aku tahu jika ini hanya mimpi, tapi kenapa semua terasa begitu nyata, sampai rasa malu yang kurasakan begitu asli. 

“Astaga, jadi kau masih berpikir ini hanya mimpi biasa?” ucap laki-laki itu.

Aku begitu tersentak ketika sadar jika laki-laki itu seolah bisa membaca apa yang sedang kupikirkan. 

“Kau bisa membaca pikiranku?” 

“Kenapa tidak? Kau adalah milikku Lalu dan akan tetap begitu. Bahkan, pikiranmu juga milikku.” Ia tersenyum kembali memegang tanganku. 

“Sebentar aku tidak paham. Aku bahkan tidak mengenalmu, bagaimana mungkin aku milikmu?”

“Bahkan seribu tahun sebelum kau di kandungan, kau sudah kepunyaanku Latu.”

“Wah, kelihatannya aku terlalu jago merangkai mimpi sehingga terasa begitu nyata.” Kataku entah pada siapa.

Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang tidak aku kenal sama sekali mengklaim bahwa aku miliknya, bahkan sebelum di kandungan, ada-ada saja. Aku makin yakin jika semua ini hanyalah mimpi biasa, mimpi yang dimiliki setiap gadis yang sudah beranjak dewasa. 

Segera pemuda itu bergerak, ia mencium bagian dadaku begitu lama hingga meninggalkan tanda kemerahan. “Ini bukan mimpi biasa, kau adalah pengantinku.” ucapnya, dan kemudian aku merasa angin begitu dingin menggerayangi tubuhku dan ketika aku terbangun. 

“Sudah kuduga, hanya mimpi.” pikirku saat aku kembali terbangun di tempat tidurku. Namun, aku teringat dengan ucapan laki-laki itu sehingga segera kulihat bagian dadaku. 

“Astaga, Jadi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status