Share

Mimpi yang Sama : Bercinta dengan Orang Asing

Sampai siang hari para tetua desa belum memberikan penjelasan dari kejadian tadi malam. Sepertinya mereka juga belum yakin 100%, bahkan setelah melihat ramalan-ramalan di buku tua peninggalan nenek moyang. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Penduduk desa mulai takut, mereka waswas  jika kejadian tadi malam akan membawa bencana bagi penduduk pulau Tannin. 

“Latu, kamu tahu tidak? Katanya kejadian tadi malam berhubungan dengan naga biru!” 

“Kata siapa?” tanyaku penasaran.

“Tadi aku baru saja ambil rebung sama Tania, katanya dia dengar pembicaraan para tetua tadi malam. Mungkin ini pesan dari naga biru. Katanya sih satu-satu hal yang seolah meninggalkan pulau ya naga biru.”

“Ah, mungkin saja itu hanya dugaan saja. Lagian aku yakin tadi malam mungkin saja nenek tetua desa kelelahan atau paling maksimal ya roh nenek moyang kita saja yang datang,” ucapku dengan santai.

Memang tidak ada penjelasan yang memuaskan untuk menjelaskan kejadian malam itu, namun menghubungkannya dengan naga biru menurutku berlebihan. 

“Ngomong-ngomong itu hiasan biru di kalung kerangmu bagus sekali. Aku belum pernah lihat.”

“Oh, aku menemukannya di sungai. Mungkin sejenis batu.” 

Lempengan biru ini memang sangat indah sehingga tidak mungkin luput dari penglihatan orang-orang.

 “Tadi malam beberapa gadis bertanya itu apa, mungkin mereka juga ingin punya hiasan kalung yang sama.” kata Tari.

 “Ah harusnya di sungai banyak, aku yakin mereka bisa menemukan beberapa kalau mereka cari di sungai. Dulu aku menemukannya saat kita bermain di sungai. Kalau kamu masih ingat ketika kakiku terpeleset itu!”

“Tentu saja aku ingat, dulu aku ketakutan setengah mati. Aku takut sekali akan dihukum karena telah membuatmu terluka.” 

“Kau terlalu memikirkannya, padahal ibuku saja tidak pernah tahu!” Ucapku sambil tertawa.

Aku tentu saja tidak ingin Tari dalam masalah sehingga kejadian itu tidak pernah aku ceritakan kepada ibu dan orang lain. 

“Bu, ini aku bawa rebung!”

Aku melihat ibu tengah membakar ikan, bau sedap memenuhi rumah kecil kami. Masakan ibu memang terbaik. Aku langsung mempersiapkan rebung yang baru saja kuambil. Setelah diiris tipis, ibu mengambil alih. Dia memasak rebung cepat-cepat sehingga masih segar. Tidak lama, kami sudah mulai menikmati makan malam yang sedap. 

“Nak, nanti malam ibu mau ke rumah Tari, katanya keluarga mereka akan memotong ternak. Jadi ibu dipesan untuk ikut bantu-bantu.”

“Wah, berarti besok kita makan daging ya, Bu. Asyik!” ucapku penuh semangat.

Ibu hanya tersenyum melihat tingkahku. Sebenarnya usia 17 tahun bukan lagi usia kanak-kanak di desa ini. Usia 17 tahun adalah tanda kedewasaan. Mereka yang sudah menginjak 17 tahun sudah layak untuk menikah. Beberapa temanku sudah menikah, seperti Tania dan beberapa gadis lain. Suaminya adalah anak tetua desa juga. Dengar-dengar Tari juga sudah dilamar oleh salah seorang pemuda desa. Oleh karena itu, malam ini para tetua akan melakukan ritual untuk melihat kecocokan Tari dan pasangannya. Jika menurut tetua mereka cocok  mungkin mereka akan menikah beberapa bulan ke depan, namun jika tidak terpaksa pernikahan dibatalkan.

Aku sendirian di rumah gelap selepas ibu berangkat ke rumah Tari. Anak gadis sepertiku memang tidak diperbolehkan untuk ikut ke ritual kecocokan seperti itu. Hanya perapian dari dapur yang memberi cahaya. Aku memilih tidur sebab tidak ada juga yang harus aku kerjakan. Baru saja aku merasa menutup mata, pemuda yang tadi malam aku lihat muncul lagi. Pemuda itu berendam di sungai tepatnya di bagian hulu, tempat biasanya aku mandi. Bedanya hari ini dia tidak menghadap ke arahku. Tetapi yang aneh, aku tidak bisa melihat wajahnya. 

Dia berjalan mendekat pemuda itu tidak mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya. Aku bisa melihat setiap jengkal tubuh pemuda itu. Aku menelan ludah, untuk pertama kalinya aku merasa kehausan, aku tergoda oleh tubuh seorang laki-laki asing. Pemuda itu masih membisu, tapi tangannya segera menuntunku ke tengah sungai. Di sana ia melepaskan kain yang kukenakan.

 “Aku sudah lama menunggu,  Latu.” Ia berbisik tepat di telingaku. 

“Aku tidak mengenalmu!” kataku mencoba meminta penjelasan.

“Tubuhmu sudah sempurna, waktunya telah tiba!” kata pemuda itu.

Jangan salah, perkataan itu tidak menakutkan sama sekali, lebih seperti seseorang yang haus dengan kasih sayang. Laki-laki itu meletakkan tangannya di pinggulku. Badannya begitu dekat denganku, bahkan aku bisa merasakan kulit pemuda itu menempel pada lapisan kulitku. Aku merasakan payudaraku menekan dadanya, dan sesuatu menekan bagian bawah badanku. 

“Sebentar. Sepertinya kau salah orang. Aku tidak mengenalmu.”

“Bagaimana mungkin aku bisa salah takdirlah sudah menyatukan kita!”

Laki-laki itu menciumi wajahku. Dia mencium mata, telinga dan juga hidung. Aku sama sekali tidak merasa jijik atau ketakutan. Satu-satunya perasaan yang aku rasakan adalah kenikmatan. Bibir laki-laki itu turun, dia menjilat leherku dengan ganas. Aku bisa mendengar nafasnya yang memburu. Sesekali aku bisa merasakan giginya menggigit kulitku dengan lembut. Tangannya membelai buah dadaku dengan lembut. Dia kemudian menarikku ke pinggir sungai. Dia menggendongku ke rerumputan di pinggir sungai. Dia membaringkan tubuhku di sana. 

Aku telentang dan menuruti setiap gerakan pemuda itu. Namun, entah bagaimana sampai sekarang aku belum bisa melihat wajahnya walaupun tidak ada jarak di antara kami. Dia mencium setiap jengkal tubuhku. Aku mengerang, bukan karena kesakitan, namun kenikmatan itu begitu menyegarkan otakku. Tangannya meremas dadaku, sedangkan bibirnya mencium perutku, turun ke bawah, dan ke bawah lagi. Lidahnya bergerak begitu lincah, membuatku terbang penuh dengan gairah.  Aku yang sudah tidak tahan menarik laki-laki itu, aku mencium bibirnya yang terasa manis. Aku mencium lehernya sampai meninggalkan bekas. Tanganku mencakar punggung laki-laki itu. Aku memaksanya agar dia bersatu denganku. Namun, tiba-tiba aku terbangun. Dan sekarang aku berada di kamar. 

“Ha!! Apa yang terjadi!” teriakku.

Aku menenangkan nafas, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Matahari sudah terbit, kamarku sudah dipenuhi dengan cahaya yang menyelinap dari sela papan. Aku masih mengingat betul mimpiku tadi malam. Aku begitu heran, kenapa aku memimpikan hal yang sama dalam dua hari ini? Apakah ini hanya mimpi semata atau ada arti di dalamnya. Aku tidak tahu, dan tidak tahu harus mencari tahu ke mana. Tidak mungkin aku bercerita kepada ibu jika aku bercinta dengan seseorang di dalam mimpi, tidak mungkin pula aku menanyakan arti mimpi ini pada tetua desa. 

Saat hendak berdiri, barulah aku merasa bagian bawah terasa sakit, tidak begitu sakit namun cukup membuat kakiku tidak nyaman untuk berjalan.

“Ada apa ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status