Home / Thriller / Bercinta dengan Naga / Mimpi yang Sama : Bercinta dengan Orang Asing

Share

Mimpi yang Sama : Bercinta dengan Orang Asing

Author: Pierre Magnol
last update Last Updated: 2022-12-17 20:00:51

Sampai siang hari para tetua desa belum memberikan penjelasan dari kejadian tadi malam. Sepertinya mereka juga belum yakin 100%, bahkan setelah melihat ramalan-ramalan di buku tua peninggalan nenek moyang. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Penduduk desa mulai takut, mereka waswas  jika kejadian tadi malam akan membawa bencana bagi penduduk pulau Tannin. 

“Latu, kamu tahu tidak? Katanya kejadian tadi malam berhubungan dengan naga biru!” 

“Kata siapa?” tanyaku penasaran.

“Tadi aku baru saja ambil rebung sama Tania, katanya dia dengar pembicaraan para tetua tadi malam. Mungkin ini pesan dari naga biru. Katanya sih satu-satu hal yang seolah meninggalkan pulau ya naga biru.”

“Ah, mungkin saja itu hanya dugaan saja. Lagian aku yakin tadi malam mungkin saja nenek tetua desa kelelahan atau paling maksimal ya roh nenek moyang kita saja yang datang,” ucapku dengan santai.

Memang tidak ada penjelasan yang memuaskan untuk menjelaskan kejadian malam itu, namun menghubungkannya dengan naga biru menurutku berlebihan. 

“Ngomong-ngomong itu hiasan biru di kalung kerangmu bagus sekali. Aku belum pernah lihat.”

“Oh, aku menemukannya di sungai. Mungkin sejenis batu.” 

Lempengan biru ini memang sangat indah sehingga tidak mungkin luput dari penglihatan orang-orang.

 “Tadi malam beberapa gadis bertanya itu apa, mungkin mereka juga ingin punya hiasan kalung yang sama.” kata Tari.

 “Ah harusnya di sungai banyak, aku yakin mereka bisa menemukan beberapa kalau mereka cari di sungai. Dulu aku menemukannya saat kita bermain di sungai. Kalau kamu masih ingat ketika kakiku terpeleset itu!”

“Tentu saja aku ingat, dulu aku ketakutan setengah mati. Aku takut sekali akan dihukum karena telah membuatmu terluka.” 

“Kau terlalu memikirkannya, padahal ibuku saja tidak pernah tahu!” Ucapku sambil tertawa.

Aku tentu saja tidak ingin Tari dalam masalah sehingga kejadian itu tidak pernah aku ceritakan kepada ibu dan orang lain. 

“Bu, ini aku bawa rebung!”

Aku melihat ibu tengah membakar ikan, bau sedap memenuhi rumah kecil kami. Masakan ibu memang terbaik. Aku langsung mempersiapkan rebung yang baru saja kuambil. Setelah diiris tipis, ibu mengambil alih. Dia memasak rebung cepat-cepat sehingga masih segar. Tidak lama, kami sudah mulai menikmati makan malam yang sedap. 

“Nak, nanti malam ibu mau ke rumah Tari, katanya keluarga mereka akan memotong ternak. Jadi ibu dipesan untuk ikut bantu-bantu.”

“Wah, berarti besok kita makan daging ya, Bu. Asyik!” ucapku penuh semangat.

Ibu hanya tersenyum melihat tingkahku. Sebenarnya usia 17 tahun bukan lagi usia kanak-kanak di desa ini. Usia 17 tahun adalah tanda kedewasaan. Mereka yang sudah menginjak 17 tahun sudah layak untuk menikah. Beberapa temanku sudah menikah, seperti Tania dan beberapa gadis lain. Suaminya adalah anak tetua desa juga. Dengar-dengar Tari juga sudah dilamar oleh salah seorang pemuda desa. Oleh karena itu, malam ini para tetua akan melakukan ritual untuk melihat kecocokan Tari dan pasangannya. Jika menurut tetua mereka cocok  mungkin mereka akan menikah beberapa bulan ke depan, namun jika tidak terpaksa pernikahan dibatalkan.

Aku sendirian di rumah gelap selepas ibu berangkat ke rumah Tari. Anak gadis sepertiku memang tidak diperbolehkan untuk ikut ke ritual kecocokan seperti itu. Hanya perapian dari dapur yang memberi cahaya. Aku memilih tidur sebab tidak ada juga yang harus aku kerjakan. Baru saja aku merasa menutup mata, pemuda yang tadi malam aku lihat muncul lagi. Pemuda itu berendam di sungai tepatnya di bagian hulu, tempat biasanya aku mandi. Bedanya hari ini dia tidak menghadap ke arahku. Tetapi yang aneh, aku tidak bisa melihat wajahnya. 

Dia berjalan mendekat pemuda itu tidak mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya. Aku bisa melihat setiap jengkal tubuh pemuda itu. Aku menelan ludah, untuk pertama kalinya aku merasa kehausan, aku tergoda oleh tubuh seorang laki-laki asing. Pemuda itu masih membisu, tapi tangannya segera menuntunku ke tengah sungai. Di sana ia melepaskan kain yang kukenakan.

 “Aku sudah lama menunggu,  Latu.” Ia berbisik tepat di telingaku. 

“Aku tidak mengenalmu!” kataku mencoba meminta penjelasan.

“Tubuhmu sudah sempurna, waktunya telah tiba!” kata pemuda itu.

Jangan salah, perkataan itu tidak menakutkan sama sekali, lebih seperti seseorang yang haus dengan kasih sayang. Laki-laki itu meletakkan tangannya di pinggulku. Badannya begitu dekat denganku, bahkan aku bisa merasakan kulit pemuda itu menempel pada lapisan kulitku. Aku merasakan payudaraku menekan dadanya, dan sesuatu menekan bagian bawah badanku. 

“Sebentar. Sepertinya kau salah orang. Aku tidak mengenalmu.”

“Bagaimana mungkin aku bisa salah takdirlah sudah menyatukan kita!”

Laki-laki itu menciumi wajahku. Dia mencium mata, telinga dan juga hidung. Aku sama sekali tidak merasa jijik atau ketakutan. Satu-satunya perasaan yang aku rasakan adalah kenikmatan. Bibir laki-laki itu turun, dia menjilat leherku dengan ganas. Aku bisa mendengar nafasnya yang memburu. Sesekali aku bisa merasakan giginya menggigit kulitku dengan lembut. Tangannya membelai buah dadaku dengan lembut. Dia kemudian menarikku ke pinggir sungai. Dia menggendongku ke rerumputan di pinggir sungai. Dia membaringkan tubuhku di sana. 

Aku telentang dan menuruti setiap gerakan pemuda itu. Namun, entah bagaimana sampai sekarang aku belum bisa melihat wajahnya walaupun tidak ada jarak di antara kami. Dia mencium setiap jengkal tubuhku. Aku mengerang, bukan karena kesakitan, namun kenikmatan itu begitu menyegarkan otakku. Tangannya meremas dadaku, sedangkan bibirnya mencium perutku, turun ke bawah, dan ke bawah lagi. Lidahnya bergerak begitu lincah, membuatku terbang penuh dengan gairah.  Aku yang sudah tidak tahan menarik laki-laki itu, aku mencium bibirnya yang terasa manis. Aku mencium lehernya sampai meninggalkan bekas. Tanganku mencakar punggung laki-laki itu. Aku memaksanya agar dia bersatu denganku. Namun, tiba-tiba aku terbangun. Dan sekarang aku berada di kamar. 

“Ha!! Apa yang terjadi!” teriakku.

Aku menenangkan nafas, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Matahari sudah terbit, kamarku sudah dipenuhi dengan cahaya yang menyelinap dari sela papan. Aku masih mengingat betul mimpiku tadi malam. Aku begitu heran, kenapa aku memimpikan hal yang sama dalam dua hari ini? Apakah ini hanya mimpi semata atau ada arti di dalamnya. Aku tidak tahu, dan tidak tahu harus mencari tahu ke mana. Tidak mungkin aku bercerita kepada ibu jika aku bercinta dengan seseorang di dalam mimpi, tidak mungkin pula aku menanyakan arti mimpi ini pada tetua desa. 

Saat hendak berdiri, barulah aku merasa bagian bawah terasa sakit, tidak begitu sakit namun cukup membuat kakiku tidak nyaman untuk berjalan.

“Ada apa ini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bercinta dengan Naga   Bagaimana Aku Harus Memanggilmu?

    Bratindra memeluk erat tubuh Latu, ia berusaha membangunkan perempuan itu. Sesekali kelopak mata Latu terlihat bergerak seperti hendak terbuka. Namun, hanya dalam hitungan detik kembali diam bak patung. Malam ini akan sangat panjang dan dingin. Ia tak pernah membayangkan akan tidur di gua yang disucikan ini. Benar jika semua penduduk desa tak pernah masuk ke dalam gua ini, tetapi Bratindra sudah berulang kali masuk ke dalamnya. Bratindra tahu betul kondisi gua ini dan sudah mempersiapkan banyak hal untuk menjalani kejadian ini. Untung saja dia sudah mempersiapkan banyak hal. Bratindra sudah tahu jika cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Dia menumpuk kayu kering dekat dinding gua. Dengan bantuan batu ia menyalakan api kecil untuk menghangatkan mereka berdua. Dengan bantuan ibunya dia mengebas buah dan makanan. Memang tak terlalu banyak karena awalnya mereka tak menduga mulut gua akan ditutup. Namun, hal itu tak terlalu dipusingkan Bratindra. Ternyata penduduk membawa persembahan

  • Bercinta dengan Naga   Pemberian dan Kenikmatan

    “Oh, tidak mungkin!” kata Latu saat mendengar pengakuan pemuda itu. Bagaimana mungkin pemuda yang selama ini hidup dalam mimpinya adalah naga biru, naga yang dipuja-puja oleh penduduk pulau Tannin. Naga yang sama sekali tak ia percayai. “Aku kira kau sudah tahu,” katanya menggoda. “Dari mana aku tahu?” balas Latu pendek. “Bagaimana mungkin manusia bisa memberimu kenikmatan seperti yang aku berikan?” tatap pemuda itu. Ia menatap Latu begitu lekat sampai Latu tak berani membalasnya. “Aku tak merasa kau memberikan sesuatu padaku,” “Kenikmatan yang kuberikan padamu, ah tentu saja kau masih mengingatnya. Walaupun pemuda itu memberikan hal itu padamu tapi kau pasti sadar jika ia tak mampu membuatmu merasakan apa yang kau rasakan saat bersamaku,” “Dari mana kau tahu aku dan kak Bratindra,” kata Latu keceplosan. Ia tak melanjutkan kalimatnya. “Oh, tentu saja aku tahu. Aku bisa melihat semua yang terjadi di pulau Tannin, hanya saja tubuhku masih belum terlalu kuat untuk data

  • Bercinta dengan Naga   Kamu dipersembahkan untukku

    “Latu, bangun, bangun,” bisik Bratindra. Ia muncul dari bebatuan di pinggir gua. Sejak semua penduduk pulau sibuk menyiapkan ritual dia bersiap dengan rencana membatalkan ritual itu. Ia membawa kebutuhannya untuk bertahan di gua dan berniat membawa Latu pergi dari tempat itu. Namun, yang tidak ia duga adalah bahwa gua akan ditutup dengan kayu-kayu besar yang begitu rapat. Di depan kayu itu mereka juga menumpuk bebatuan sehingga akan sulit atau bahkan mustahil baginya melewati pintu itu. Bratindra juga tahu jika gua itu hanya memiliki satu jalan keluar. Satu-satunya hal yang dilakukan Bratindra adalah membangunkan Latu dari tidurnya. Membuatnya terbangun, tetapi hal itu juga mustahil. Bratindra mengangkat Latu dari baru besar dan membaringkannya di pinggir gua yang sudah ia lapisi dengan kain yang dibawanya. Bratindra menjambak dan menggarut rambunya yang tak gatal. Ia tak mungkin membawa Latu, apa yang harus dia lakukan? Ia sendiri tak tahu. Semakin malam suhu gua semak

  • Bercinta dengan Naga   Selepas Bergairah 🌧

    ☆Sudut pandang orang ketiga serba tahu _____Warga berkumpul di depan rumah Latu dengan obor di tangan. Bratindra sudah keluar dari kamar Latu. Ia berjanji akan membatalkan ritual itu dengan segala cara. “Aku akan menyelamatkanmu,” katanya pada Latu dan segera keluar dari jendela kamar Latu. Meninggalkan Latu, gadis yang baru saja bercumbu dengannya menghadapi hari yang mungkin saja menjadi hari terakhirnya. Latu membuka pintu dan membiarkan para tetua masuk ke rumah. Dari belakang ibunya berjalan dengan kepala yang tertunduk lesu. Latu berjalan dengan janggal karena baru saja tubuhnya sangat lelah dibuat Bratindra. “Dengar, Nak. Tak ada dari kami menginginkan hal buruk terjadi padamu. Seharian kami berdoa agar engkau masih memiliki nafas kehidupan setelah ritual ini dilakukan. Para tetua percaya jika Naga memiliki cara bijaksana untuk menerima persembahan ini.” Latu mengangguk, ia tak mendengar nasihat itu, bahkan sedikit pun. Mereka mulai membersihkan tubuh Latu d

  • Bercinta dengan Naga   Mulutmu Bekata Tidak, tapi Tubuhmu menginginkanku

    “Kak, kita bisa ketahuan!” bisikku ketika Bratindra membuka kain yang menutup tubuhku. “Kak, pintu terbuka. Seseorang bisa saja masuk!” kataku mendorong Bratindra. Aku memperbaiki kain yang tadi hampir terlepas. Aku bingung apakah laki-laki ini tulus mencintaiku sehingga dia mau melakukan segala hal untuk menyelamatkanku dan pulau Tannin. Atau dia punya agenda lain. Bratindra mengedap-endap ke depan. Ia menutup pintu tanpa dilihat oleh orang yang berjaga di depan. Kayu panjang penghalang pintu pun dipasang sehingga orang tak bisa membuka dari depan. “Kau tahu, kau harus menjadi milikku, kau tak bisa diberikan begitu saja kepada makhluk-makhluk kejam itu!” Bratindra melepas kain itu dengan begitu mudah. Hanya sedetik tak ada lagi yang menghalangi pemandangan pemuda itu. Cahaya remang dari obor di luar rumah membuat suasana semakin erotis. “Aku malu,” “Apa kau tak mau membuka matamu, Latu?” Latu tak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah semua sama nikmatny

  • Bercinta dengan Naga   Kita "Menikah" Malam Ini 👀

    Baru saja Latu ingin berjalan ke sungai untuk menemui Bratindra suara ibu berteriak terdengar begitu cari dari kejauhan. “Latu! Nak!” teriaknya sambil berlari. “Latu!” Aku sontak saja menemui ibu. Dari raut wajahnya dia terlihat begitu ketakutan. Entah hantu apa yang mengejarnya, padahal masih sore. Sesampai di halaman ibu langsung memelukku. Matanya sembab dan merah. Ia menangis, meraung. Beberapa orang terlihat mengikuti ibu dari belakang. Mereka juga memasang wajah yang sama menyedihkannya dengan ibu. Mata mereka memandangku dengan tatapan kasihan. “Ibu kenapa?” tanyaku dengan suara gemetar. Aku bahkan tidak memikirkan tentang diri sendiri, aku mengira ibu sakit atau dia berbuat kesalahan. Namun, bukan ibu yang harus kukhawatirkan. “Nak, bagaimana ini. Bagaimana ini!” “Bagaimana gimana, Bu?” tanyaku sedikit emosi. Kenapa tak ada satu pun yang menjelaskan kejadian ini padaku? Setelah beberapa saat ibu terus menangis tanpa penjelasan para tetua pulau datang. Kali ini tak han

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status